BAB IV


Lucia tidak punya pilihan selain mengikuti permainan Giovanni Wilder. Ia mulai belajar lantaran ia lebih takut pada ancaman atasannya. Sungguh, disekap di dalam ruang kamar Gio dengan keadaan seperti itu bukan hal yang menyenangkan, membayangkan saja bisa membuat tubuhnya gemetar.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Lucy mencoba bertahan dengan hal yang sangat bertentangan dengan prinsipnya. Kyan selalu menghiburnya, bahkan saat Lucy berada di titik yang paling rendah. Lucy menjadi sangat bergantung pada Kyan dalam hal isi hatinya. Baginya, Kyan adalah pendengar yang baik sekaligus motivator. Kyan bagaikan mood booster untuk Lucy.

Begitu pula dengan Kyan. Baginya, Lucy adalah candu. sehari tidak bertemu Lucy adalah hal yang tidak menyenangkan. oleh karena itu, ia selalu duduk tepat pukul delapan pagi di sisi KnK Food yang menghadap gedung NC Times demi melihat Lucy berlari terburu-buru saat berangkat dan kembali duduk di tempat yang sama pada pukul lima sore untuk melihatnya keluar dari gedung NC Times dengan wajah lelah. Saat itulah mereka saling bertemu pandang dan Lucy akan duduk di hadapannya sambil menyantap seporsi chicken wings ekstra pedas, minuman bersoda, tak lupa kopi krim latte dengan gula dua sendok teh, seperti biasa. Selalu seperti itu.

Di hari pertama salju mulai turun menyentuh belahan bumi New York, mereka tidak bertemu seperti biasanya.

Satu hari, dua hari, hingga seminggu. Kyan tidak ada di tempatnya. Lucy ingin menghubunginya, namun ia tidak punya nyali untuk melakukannya. Ia hanya menunggu, berharap Kyan duduk di tempat biasa dan menemani berbincang-bincang selepas kerja.

Pagi itu, Lucy datang ke kantor lebih awal. Ia melepas jaket tebalnya, kemudian duduk dengan malas di kursi. Penghangat ruangan menyala normal, namun ia tetap merasa dingin.

"Lucy? Masalah apa yang membuatmu seperti ini?"

Elly datang menghampirinya, masih mengenakan jaket tebal berwarna jingga, hidungnya memerah karena udara dingin di luar gedung.

Lucy menarik napas panjang. "Tidak ada, hanya merasa ... tidak semangat."

"Apa pemuda di KnK yang membuatmu tidak semangat hari ini? Ia sudah tidak ada di sana sejak seminggu yang lalu."

Mata Lucy membulat tidak percaya menatap Elly, Elly hanya tertawa pelan, duduk santai di kursi yang ada di sebelah Lucy.

"Aku wartawan, hobiku mencari informasi."

Lucy mendengus. "Seharusnya aku tidak terkejut."

"Tepat! Oh! Aku dapat beberapa berita yang harus kautulis pagi ini."

"Hah! Apa berita tentang Jennifer Frith si Ibu Wakil Pemilu itu? Atau tentang kelakuan Jimmy Colton di pengadilan?" cemooh Lucy, ia sudah muak dengan berita-berita yang ditulisnya bebeapa pekan terakhir, dan hal itu juga yang selalu di bicarakan dengan Kyan hingga seminggu yang lalu.

"Ini lebih besar! Tentang beberapa orang sekaligus. Ada beberapa oknum yang menuduh August Sanford si anggota House of Representative menyuap Jennifer Frith. Buruknya lagi, mereka juga menuduh Adrian Wilder dan Randy Patton berada di balik semuanya, mengeluarkan dana untuk August sekaligus melakukan korupsi besar-besaran!"

"Jackpot! Empat orang akan tertangkap dalam satu kasus dan entah kenapa aku justru semangat bila mereka dipidanakan."

Elly memutar bola matanya. "Kau akan mati bila itu terjadi, tahu!"

"Katakan, hal konyol apa yang harus kulakukan kali ini?"

"Oknum ini dikepalai oleh aktivis universitas. Ia memulai dengan membuat grub di universitas, di media sosial, kemudian menyebarluaskan berita-berita itu lewat media sosial. Berita mereka sudah mendapatkan jutaan like dan menuai komentar positif di masyarakat. Bila hal ini terjadi, bahkan media besar seperti NC Times dan NCTV tidak akan mampu melawannya."

"Oh, itu bagus!"

"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!"

"Demi Tuhan!" Lucy memutar bola matanya kesal. "Bila memang Wilder dan yang lain melakukan kecurangan, mereka harus mendapatkan hukuman!"

Elly menunduk. "Tapi itu akan berdampak buruk bagi Gio," cicitnya.

Lucy mengembuskan napas berat sambil mengurut pangkal hidungnya. "Astaga ...."

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Elly sangat menyukai Gio dan mau melakukan segala cara untuk menarik perhatiannya. Terkadang Elly melampiaskan perasaannya pada hal lain untuk menelan kenyataan bahwa Gio sama sekali tidak berminat padanya.

"Kita harus mencari cara untuk melawan mereka, Lucy."

"Ehem!"

Mereka berdua menoleh saat seseorang masuk ke ruangan dan berdehem keras.

"Lucia, ikut ke ruanganku!" ujanya dingin, kemudian langsung pergi. Suasana ruangan mendadak sepi.

"Akhir-akhir ini Gio suka sekali memanggilmu ke ruangannya."

Lucy memejamkan matanya. "Ya Tuhan ... masalah apa lagi ini?"

"Kau seharusnya senang, aku ingin berada di posisimu."

"Kalau bisa, dengan senang hati aku akan memberikannya padamu."

Karena bagi Lucy, berhadapan dengan Gio sama seperti berhadapan dengan ancaman terbesarnya. Lucy bangkit dari duduk sambil bertanya-tanya apa yang diinginkan bosnya kali ini.

Lucy memang merasa Gio sering menyuruh datang ke ruangannya, padahal tidak ada kepentingan, hanya duduk beberapa jam. Kadang Gio menyuruh duduk di kursi miliknya untuk memeriksa beberapa berkas yang ada di laptop. Semua hal itu sebenarnya bisa dilakukan bosnya sendiri, tetapi ia malah melimpahkan semua padanya. Selagi Lucy mengerjakan pekerjaan Gio, Gio sendiri asyik duduk santai di kursi sofa merah marun di dalam ruangan. Kadang Lucy berpikir bahwa Gio melakukan semua ini agar ia tidak melakukan hal yang dapat mengakibatkan dampak buruk bagi NC Times.

"Apa kau sudah tahu kabar itu?" tanya Gio langsung pada intinya saat mereka duduk berhadapan di ruangan.

"Apa tentang aktivis universitas yang menyerang beberapa orang di kelompok Anda?"

"Circle A tepatnya. Kau akan terbiasa menyebutnya begitu karena kau adalah bagian dari divisi istimewa NC Times."

Lucy memutar bola matanya, namun Gio justru tersenyum.

"Senang kau menyukainya, Lucia."

Dalam hati Lucy mengutuk bosnya.

"Nama lengkapnya adalah Ethan Blake, julukannya Ebby, nama media sosialnya Black Ebby. Ia membuat sebuah grub bernama Black Parade yang menggerakkan beberapa orang untuk menjatuhkan salah satu anggota House of Representative. Aku ingin bagaimana pun caranya semua tuduhan Ethan Blake berbalik padanya dan nama empat anggota Circle A menjadi bersih."

Lucy mengerutkan keningnya. "Ia hanya seorang mahasiswa! Anda tidak bisa menghukumnya terlalu berat hanya karena ceritanya lebih diterima masyarakat daripada berita milik NC Times."

Gio masih duduk santai di kursi besarnya.

"Mahasiswa bila menjadi aktivis dengan banyak pengikut, maka eksistensinya bisa membahayakan beberapa pihak tertentu. Kali ini, pihak yang dirugikan salah satunya adalah ayahku, Adrian Wilder. Dalam waktu tiga hari, semua masalah ini harus teratasi. Aku juga akan membantu."

Lucy tersenyum sinis. "Jika memang Tuan Besar Wilder dan kawan-kawannya terbukti bersalah, maka hal itu akan sangat memalukan."

Gio tersenyum dengan sebelah bibirnya. "Berani bertaruh?" kemudian Gio berdiri menghampiri dinding kaca, melihat salju yang turun perlahan dari langit dengan pemandangan Times Square yang ditutupi oleh salju tipis.

"Cuaca akan semakin dingin beberapa hari kemudian, aku tidak keberatan bila ada seseorang yang kusekap di dalam kamar dan menjadikan udara di sekitarku menghangat."

Seketika tubuh Lucy merinding, ini benar-bear ancaman besar baginya!

"Kau boleh keluar dari ruanganku," bisik Gio di telinga Lucy dengan suara yang dibuat lembut.

Tanpa berpikir dua kali, Lucy segera pergi dari ruangan Gio. Di luar ruangan ia berdiri menyandar sambil mengatur napasnya, jantungya berdetak tak karuan, kedua tangannya kembali gemetar. Entah kenapa ia merasa saat ini kehadiran Kyan sangat dibutuhkan.

^^^

Lucy melangkahkan kakinya ke luar NC Times, pikirannya penuh dan ia benar-benar membutuhkan ketenangan saat ini. Matanya mengarah pada KnK Food. Di sana ia melihat Kyan, melambaikan tangannya rendah sambil tersenyum dari balik kaca. Senyum Lucy mengembang. Seperti oase di tengah gurun, semangatnya mulai kembali, namun di detik berikutya senyum Lucy kembali luntur saat ia melihat sesosok perempuan berambut kuning panjang dan kulit sedikit cokelat sedang duduk di dekat Kyan. Perempuan itu mengenakan busana yang modis di musim dingin, lengkap dengan topi bulu angsa yang menghiasi kepalanya. Tampak angkuh, hanya melirik sedikit pada Lucy. Lucy memutuskan untuk tidak melangkahkan kakinya ke KnK Food, namun tiba-tiba seseorang mencegahnya dengan napas yang memburu.

"Apa kau sedang berusaha mengabaikanku? Aku memanggilmu, Lu."

"Aku sempat berpikir untuk menghampirimu, lalu aku teringat ada beberapa hal penting yang harus kupelajari sebagai referensi, termasuk melihat Spongebob Square Pants The Krabby Kronicle."

Kyan tertawa kecil, kemudian melepas kacamatanya sesaat, membersihkannya dari embun dan mengenakannya kembali.

"Spongebob? Maaf Lu, aku tidak bisa lagi menunda untuk bertemu denganmu. Ayo! Aku ingin mengenalkanmu pada seseorag."

Kyan menarik tangan Lucy dan Lucy merasa semakin lama langkah yang diambilnya semakin berat. Apakah perempuan itu adalah sosok yang membuat Kyan menghilang selama tujuh hari berturut-turut?

Lucy duduk di hadapan Kyan dan perempuan itu. Kyan tampak bersemangat mempertemukan mereka berdua.

"Ini teman kencan yang selalu kau ceritakan itu?" perempuan itu bertanya sambil menilai Lucy dari ujung rambut hingga sebatas meja yang menjadi penghalang di antara mereka.

"Ya, dia bekerja di NC Times."

"Oh, wartawan," cibirnya, namun wajahnya tetap tersenyum ramah pada Lucy.

"Lu, ini Jessi. Jessi akan membantuku dalam berkarier."

Lucy tersenyum canggung. "Selamat, Kyan! Dengan begitu kau bisa mewujudkan mimpimu."

Kyan tersenyum. "Terima kasih, Lu. Kau akan mendukungku, kan?"

"Tentu saja! Aku adalah orang pertama yang akan ...."

"Hai Lucy! Aku sudah mendengar semua tentangmu dari Kyan. Kau tidak perlu khawatir, aku sudah pasti bisa membawanya menjadi penyanyi terkenal. Aku punya studio musik dan studio rekaman ternama di New York."

"Kalau begitu, Kyan berada di tangan yang tepat."

Jessi tersenyum lebar sambil melirik penuh harap pada Kyan.

"Tentu saja! Lihat? Dia berkata kau berada di tangan orang yang tepat," ujarnya kemudian menggamit lengan Kyan dan menempel manja padanya.

Lucy memperhatikan mereka berdua dalam diam, dadanya terasa sesak dan panas. Ia cemburu, namun bersamaan dengan itu ia merasa bahwa cemburu tidak berhak ia rasakan. Dari awal, hubungan mereka hanya hubungan semu, tidak pernah diresmikan. Bisa jadi Kyan tidak memiliki perasaan apapun padaya dan ujungnya yang ia rasakan hanya bertepuk sebelah tangan.

"Kalau begitu kau harus tahu bahwa Kyan harus menghabiskan waktunya untuk berlatih."

"Oh ... maafkan aku. Tiba-tiba aku teringat bahwa ada hal penting yang harus kukerjakan di apartemen. Kyan, maaf ya? Aku tidak bisa menemanimu. Jessi, aku senang akhirnya ada jalan bagi Kyan untuk meraih mimpinya."

"Aku juga ikut senang," ujar Jessi lebih pada ekspresi tidak peduli.

"Aku akan memesankan makanan kesukaanmu, Lu. Sudah pasti kau belum makan sesuatu."

"Luke akan datang ke apartemenku membawa makanan, tidak perlu khawatirkan aku, Kyan," ujar Lucy sambil tetap memaksa untuk tersenyum.

Kyan menyadari itu. Perempuan itu tengah memaksakan senyumnya.

Kyan melihat Lucy keluar dari KnK Food. Ia tahu Lucy kecewa, sudah pasti perempuan itu salah paham dengan keadaan yang dilihatnya, terlebih dengan tingkah Jessi yang sangat keterlaluan.

"Bisa tolong kau hentikan?"

"Kita sudah terbiasa seperti ini sejak dulu, kan?"

"Tapi tidak terbiasa baginya, kau bisa membuatnya salah paham."

"Itu bagus. Bila kau jadi penyanyi, kau tidak bisa menjalin hubungan dengan wartawan. Kariermu akan menjadi buruk karena mereka."

"Lucy bukan orang yang seperti itu."

"Tidak akan pernah berhasil! Percayalah padaku!"

"Apa bedanya? Ayahmu juga menjalin hubungan dengan mereka."

"Mereka yang kau maksud adalah pemilik kekuasaan, jelas berbeda!"

"Bagiku sama saja, mereka bekerja di tempat yang sama."

Jessi melepas tangannya, memutar bola matanya. "Terserah kau saja! Tidak seperti Kenneth, kau benar-benar tidak menyenangkan!"

^^^

Lucy menutup pintu apartemennya dengan keras, kemudian duduk lemas sambil menyandar, air matanya turun tiba-tiba, hatinya terasa begitu sakit. Jessi tampak bersahabat, namun sorot matanya justru menunjukkan hal yang berlawanan dengan sangat jelas. Ada rasa benci yang begitu kental di mata Jessi, padahal ia yakin ini adalah pertama kali mereka bertemu.

Ponsel berdering, sebuah pesan masuk. Lucy berharap pesan itu dari Kyan, namun perasaannya menjadi semakin kesal saat pesan itu justru datang dari Gio.

'Waktumu tiga hari dimulai dari sekarang, Lucia'

Lucy melempar ponselnya dengan keras, namun tak lama kemudian ia menyesali perbuatannya. Ia segera berdiri dan bergegas mencari ponselnya, mulutnya menggerutu, merutuki nasibnya yang terlampau sial bahkan sejak masih anak-anak.

"Ya Tuhan ... kenapa bisa begini?" sesalnya saat ia melihat ponselnya telah hancur, layarnya retak dan ada beberapa bagian yang telah terpisah. Lucy cepat-cepat menyatukannya kembali dan mencoba menyalakannya, namun gagal. Ponselnya tidak menyala.

"Kenapa kau tidak mau menyala? Kau satu-satunya benda yang aku punya ... kenapa bisa begini?"

Ia kembali menangis sambil memeluk ponselnya. Bagaimana bila Kyan mengiriminya pesan? Namun hal itu ditepisnya, tidak mungkin Kyan mengiriminya pesan bila ia sedang menikmati waktu berdua dengan Jessi. Ya, Jessi. Perempuan yang jauh lebih berkelas dibandingkan dengannya. Ia rasa cemburu yang dirasakannya sangat tidak pantas.

^^^

Pagi-pagi sekali, Lucy bangun dan bersiap-siap. Ia berencana untuk pergi ke apartemen Luke sebelum bekerja. Luke adalah harapan satu-satunya, orang yang bisa dimintai tolong di saat seperti ini. Hanya butuh waktu beberapa menit dengan naik taksi dan ia sampai di apartemen Luke, 9th St, Village East.

"Ada apa kau mengetuk pintuku di pagi buta, Kak?" sambut Luke masih dengan penampilan yang berantakan, rambut kusut, lengan kaki piyama tertekuk sebelah, tangan kanannya menggaruk kepala dengan malas.

"Bisakah aku meminta tolong?"

"Lebih baik kau masuk dulu."

Lucy masuk ke apartemen Luke. Ruangan tanpa sekat, kamar dan ruang utama tidak dipisah, langsung tampak tempat tidur queen size berwarna hijau tua yang berantakan dengan bantal dan guling tergeletak di lantai. Dapur minimalis, kulkas, mesin ekspreso, TV kabel, ada dua jendela di sisi tempat tidurnya. Lucy berinisiatif membersihkan tempat tidur Luke kemudian duduk di atasnya. Luke baru selesai mencuci muka.

"Ponselku rusak, aku tidak punya apapun lagi, tolong kau perbaiki," mohon Lucy sambil menunjukkan ponselnya pada Luke.

"Baiklah, kau bisa pakai ponselku."

"Tidak perlu! Kau lebih membutuhkannya, untuk sementara bila kau butuh sesuatu ... datang langsung saja ke apartemenku."

"Oke."

Lucy beranjak. "Oh! Masih ada kotoran di matamu, bersihkan dengan benar!"

Luke cepat-cepat mengusap kedua matanya, membuat Lucy tertawa.

"Aku bersyukur setidaknya aku memiliki adik sepertimu," ujar Lucy sambil tersenyum.

"Apa? Kau berkata sesuatu?"

"Tidak. Terima kasih!"

Lucy cepat-cepat keluar dari apartemen Luke dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya. Setidaknya ia mengalami hal baik setelah rentetan hal tidak menyenangkan yang dialaminya.

Elly memprotesnya pagi ini karena tidak dapat menghubungi Lucy sejak tengah malam kemarin. Tentu saja saat itu Lucy sudah tertidur dengan ponsel rusak di pelukannya. Lucy menjelaskan bahwa untuk sementara ia tidak dapat dihubungi.

"Elly, bisakah kau bermalam di apartemenku nanti?"

"Malam in aku ada kencan buta. Aku tidak janji."

Lucy membulatkan matanya. "Kau masih mengikuti kencan buta?"

"Ya, aku masih belum menemukan seseorang yang pas untukku."

"Astaga ... kenapa kau tidak langsung menyatakan perasaan padanya?"

"Pada siapa?" Elly bertingkah seolah-olah tidak tahu.

"Lupakan! Setelah kencan buta, datanglah ke apartemenku. Gio memberiku waktu tiga hari untuk menyelesaikan berita itu. Kumohon?"

"Oh, berita itu? Baiklah, aku akan datang."

"Terima kasih! Aku akan meminta tolong pada Olivia juga."

"Kau benar! Olivia ahlinya membuat berita seperti ini."

Lucy tersenyum lemah, ada harapan untuknya.

^^^

Pukul sembilan malam, Lucy masih terjaga di apartemennya, menunggu kedatangan Elly. Biasanya perempuan itu akan datang ke apartemennya selepas pukul sepuluh malam, itu jika ia tidak mengikut kencan buta.

Kencan buta adalah hal yang diikuti sahabatnya beberapa minggu terakhir. Elly pernah mengajaknya, namun ia menolak dengan halus. Ia mencintai Kyan walaupun ia tidak tahu apa perasaannya terbalas. Ia tidak sampai hati untuk mengalihkan cintanya pada orang lain, terlebih pada kencan buta.

Selagi menunggu, ia mencoba meneliti Black Parade. Ia membaca beberapa artikel yang dibuat dan disebarkan oleh Black Ebby alias Ethan Blake.

' Lingkaran emas

Sebuah lingkaran yang diikuti oleh beberapa anggota yang diyakini sebagai pemegang kekuasaan di kota New York. Mereka menjalin hubungan dan bekerja sama satu sama lain, masing-masing mengerahkan kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki untuk mencapai satu tujuan yang sama, yakni menguasai New York dari segala macam aspek dan membuat semua orang tunduk. Hati-hatilah pada mereka.'

Lucy membaca artikel yang lain.

'NC Group, satu dari banyak lingkaran emas. Ayo boikot NC Times dan NCTV! Mereka selalu menampilkan berita-berita yang tidak sesuai dengan fakta!'

Lagi, beberapa artikel yang lainnya.

'August Sanford curang!

Sebenarnya suara dimenangkan oleh lawannya, Benjamin Richard, namun ada salah satu anggota komisi pemilihan umum yang membelot dan melancarkan segala cara untuk memenangkan August Sanford, termasuk mengajak rekan-rekanya dalam lingkaran emas. Sekarang sudah berapa lama Sanford menduduki kekuasaan dan lihatlah sekeliling. Apa ada perubahan baik yang telah dilakukannya tanpa harus merugikan orang lain?'

Beberapa artikel juga membahas August Sanford.

'August Sanford bermurah hati.

Ia mencoba berbuat baik, menyumbangkan harta-hartanya pada orang yang kekurangan. Bisa jadi ia mencari simpati agar terpilih lagi di kampanye berikutnya. Jangan termakan! Sanford anggota lingkaran emas, sebaiknya tolak pemberiannya! Atau terima saja, tapi jangan dipilih untuk kampanye berikutnya! Tidak ada dua periode untuk lingkaran emas!'

Lucy merasa beberapa artikel terakhir yang dibacanya mengandung unsur provokasi yang menyudutkan satu pihak, namun pihak yang disudutkan memang benar adanya. Di sini ia menyebut lingkaran emas, namun Lucy menyebutnya dengan Circle A.

"Lucy?"

Itu dia! Elly sudah datang, Lucy beranjak dari tempatnya dan membukakan pintu.

"Maaf aku datang sangat larut," ujar Elly saat masuk apartemen Lucy, namun ada yang aneh dengannya. Warna kulit Elly memang sedikit merah, namun wajahnya lebih merah dari biasanya, pakaiannya juga berantakan.

"Kau mabuk? Kau bau alkohol!"

Elly tertawa kecil. "Oh Tuhan! Dia mengajakku minum, terus ... terus ... terus ... terus ...."

Elly menceracau tidak jelas sehinga Lucy harus memapahnya masuk agar penghuni apartemen lain tidak terganggu.

Elly berbaring di tempat tidur Lucy dan Lucy duduk di ujungnya. Sepertinya malam ini ia menunda pekerjaannya lagi.

"Aku tidak tahu kenapa Gio menyukaimu dibandingkan aku, Lucy. Aku lebih cantik, tubuhku lebih indah, tapi dia sama sekali tidak melihatku."

Lucy memutar bola matanya, perkataan yang keluar dari seseorang yang tidak sadar sembilan puluh persen berasal dari lubuk hati yang paling dalam, namun Lucy tidak tersinggung sama sekali dengan ucapan Elly. Elly mungkin hanya cemburu, Lucy juga tidak berminat sama sekali pada Gio.

"Syukurlah aku menyukai teman kencan butaku kali ini, dia memberiku segalanya. Aku senang! Dia laki-laki tampan, kaya raya, genit, tidak kaku seperti Gio! Apa kau mau tahu siapa orangnya, Lucy?" Elly masih berbicara dengan nada yang aneh.

"Oh ya? Siapa dia?" tanya Lucy tanpa menaruh minat sedikit pun.

"Dia Freddy, anak dari Tuan Besar Patton."

Lucy menoleh cepat pada Elly, melihat Elly yang tersenyum kemudian tertawa walau matanya terpejam. Lucy menepuk dahinya, menggeleng pelan.

"Kenapa harus Patton? Ya Tuhan! Semoga Elly sadar siapa orang-orang yang disukainya, mereka semua bermasalah!"

Kemudian Lucy terdiam dan baru menyadari suatu hal, bahwa orang yang dicintainya juga bermasalah, dalam ruang lingkup yang berbeda. Bukankah dunia ini cukup adil? Setiap orang pasti bermasalah walau masalah yang ditimbulkan tidak harus sama.

***

Ancaman Gio sudah tidak pernah terdengar lagi, setidaknya sejak ponsel Lucy rusak. Hari itu, Lucy melihat bosnya berjalan dengan wajah yang sulit ditebak.

"Lucia, masuk ke dalam ruanganku!" ujar Gio saat masuk ke ruangan jurnalis hanya untuk memanggil Lucy, kemudian keluar lagi.

Seisi ruangan berubah menjadi tegang, berbisik-bisik sambil melihat ke arah Lucy. Entah kenapa di saat seperti ini ia membutuhkan kehadiran Elly. Meskipun tingkah Elly menunjukkan bahwa ia sedang iri padanya, namun setidaknya perempuan itu satu-satunya yang memecah keheningan dengan mengajaknya berbicara sambil berandai mereka bertukar posisi.

Selama berjalan menuju ruangan Gio, Lucy hanya menunduk. Sudah jelas ia tahu kenapa Gio memanggilnya. Berita yang ditulisnya tidak terlalu memuaskan, tidak bisa mengambil hati para pengikut Black Ebby. Ia hanya menulis sendiri, Elly tidak bisa membantunya karena disibukkan oleh kencan buta, sedangkan Olivia seakan sibuk dengan urusannya sendiri.

Di tengah pemikirannya yang rumit, tiba-tiba seseorang menabraknya dan Lucy mendengarnya mengaduh.

"Maaf Lu, aku tidak sengaja. Aku sedang terburu-buru! Aku harus menemui seseorang!"

"Pada jam ini? Ke mana? Kau tidak datang ke apartemeku untuk membantu ...."

Olivia meletakkan telunjuk di depan bibirnya, tangan kirinya memegang pundak Lucy. "Ada hal yang harus kuselesaikan, lebih baik kau tidak tahu karena kau akan selalu diawasi. Dah!" Olivia pergi.

Dahi Lucy berkerut, suatu hal? Rasa ingin tahunya tiba-tiba menjadi semakin besar, namun ia mengelaknya, karena saat ini ada hal yang jauh lebih penting. Panggilan dari Gio.

Lucy menelan ludah dengan susah payah saat masuk ke ruangan Gio. Keringat dingin mulai muncul.

"Ada apa?"

"Duduklah," ujar Gio santai, ia duduk menyandar di kursi besarnya, sedikit menggerak-gerakkan kakinya.

Lucy duduk dengan takut.

"Berita yang kau tulis sama sekali tidak membantu, Lucia. Kau menyukai dunia jurnalis, tapi menulis berita ini saja tidak sanggup!"

"Aku suka menulis, tapi tidak suka berbohong!" desis Lucy dan terdengar jelas oleh Gio, namun Gio tidak mempedulikannya.

"Kau bahkan mengabaikan ancamanku! Tidak bisa dihubungi, tidak membalas pesan, apa kau sudah bosan hidup? Apa kau benar-benar ingin dihukum?" kali ini suara Gio terdengar kesal.

"Maaf, ponsel saya rusak di hari pertama Anda mengirim saya pesan ancaman itu. Anda dapat mengancam saya kembali setelah ponsel saya selesai diperbaiki," ujar Lucy dengan nada yang dibuat seformal mungkin.

Gio mengusap wajahnya, menarik napas panjang.

"Aku memaafkanmu, Ethan Blake sudah masuk ke penjara dan dikeluarkan dari kampusnya." Gio tertawa. "Kau tidak di sana untuk melihat wajahnya. Dia begitu lemah!"

"Lalu kenapa kau menghukumnya? Dia orang lemah!"

Gio berdiri, berjalan mendekati Lucy dan menyandar pada mejanya. Wajahnya dengan sengaja di dekatkan pada wajah Lucy.

"Kerana satu virus berbahaya bisa menular dan menyebar menjadi virus yang lebih besar."

Lucy membuang wajahnya, ia benar-benar tidak suka dengan cara berpikir atasannya yang sombong. Sejanak ia berpikir untuk mundur dari mimpinya bila ternyata dunia yang sangat ingin dimasuki bertolak belakang dengan prinsip yang dipegang selama ini.

^^^

"Hei! Kau mengabaikanku lagi!"

Suara perempuan itu membuyarkan lamunan laki-laki berkacamata yang sedang duduk sambil melihat ke luar jendela kaca, tepatnya ke arah gedung NC Times.

"Oh, maaf Jessi."

Jessi memutar bola matanya. "Dia sudah mengabaikanmu dan mematikan ponselnya, kenapa kau masih berharap? Dia sudah menjauhimu, Kyan!"

"Kau tidak memberiku kesempatan untuk memberikan penjelasan padanya."

"Penjelasan apa lagi? Lebih baik kau fokus pada aransemen musik barumu! Hei! Apa kau mendengarku?"

Lagi-lagi Jessi diabaikan, pandangan Kyan seakan terpaku pada satu arah, sosok yang begitu dirindukannya. Sosok itu keluar dari gedung NC Times dengan kemeja putih yang ia berikan, rok hitam selutut, juga sepatu hitam dengan heels lima senti.

Wajah perempuan itu tampak kusut, sudah pasti ada masalah dengan pekerjaannya. Kalau bisa, ia ingin berlari ke sana dan memeluknya, namun Jessi ada di sini, melawan sama artinya dengan menolak tawaran-tawarannya untuk menjadi penyanyi terkenal, mimpinya.

Mereka sempat beradu pandang, namun setelah itu sebuah mobil melintas menghalangi jarak pandangnya. Mobil mewah berwarna putih dan sudah bisa ditebak siapa pemiliknya. Mobil itu berhenti, seorang laki-laki turun menghampiri Lucy.

Kyan penasaran apa yang sedang mereka berdua lakukan. Tak lama kemudian, laki-laki itu masuk ke mobil dan pergi, memperlihatkan sosok perempuan yang dirindukanya, namun kali ini ada sebuah kotak putih di tangannya.

"Lihat? Dia bahkan sudah dapat kekasih baru dan kau tahu sendiri siapa yang dirayunya," ujar Jessi bosan.

Kyan hanya diam sambil terus memperhatikan perempuan yang berjalan semakin menghilang di tengah keramaian Times Square, bahkan tanpa menoleh kembali padanya.

^^^


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top