BAB III
Sabtu malam pukul tujuh, Kyan melihat Lucy berlari tergesa-gesa menghampirinya.
"Hah ... maaf, aku terlambat ... hah ... lima belas menit!" ujar Lucy sambil mengatur napas dan memegang kedua lututnya, napasnya memburu tak beraturan.
Kyan tersenyum, sebenarnya lima belas menit bukan waktu yang lama untuk menunggu, apalagi yang ditunggu adalah perempuan ini. Perasaannya semakin membuncah saat ia melihat Lucy datang dengan baju polos selutut berwarna merah jambu tanpa lengan, ada kerutan di pinggangnya, ia membawa tas kecil tali panjang di samping, rambut cokelat gelapnya dibiarkan terurai menutupi leher, sedikit tak teratur karena perempuan itu harus berlari teburu-buru.
"Kita akan berangkat setelah kau siap," ujar Kyan.
"Aku siap ... hah ... oke, kau benar! Tunggu sebentar!"
Lucy mengatur napasnya lagi hingga benar-benar teratur kemudian berdiri tegak, tersenyum melihat Kyan yang tampan walau masih berpenampilan layaknya kutu buku, kacamata tebal masih setia menghiasi wajahnya hanya saat ini ia tidak membawa gitar.
"Luke tiba-tiba datang ke apartemenku, menggeledah seisi dapur karena kelaparan. Aku meninggalkannya sendirian di sana. Apa kau sudah menunggu lama? Kau mengirimiku pesan bahwa kau sudah ada di sini sejak pukul enam."
Lagi, Kyan berubah gugup dan menggosok hidungnya tiga kali.
"Oh ... aku ... ya ... aku ada urusan di tempat ini dan menyelesaikannya sebelum bertemu denganmu."
"Masalah penampilan panggungmu?" tanya Lucy.
"Ya! Masalah itu, dan ... sepertinya aku akan senang bernyanyi di sini dengan kontrak yang lama," jawaban gugup Kyan membuat Lucy mengerutkan kening dalam. Sebenarnya ada rasa ingin tahu yang besar dalam diri Lucy untuk mengorek informasi lebih banyak tentang Kyan, tetapi ia menahannya dan memilih untuk diam.
"Oke, jadi ... ke toko mana kau akan mengantarku?"
"Oh, kita tidak langsung pergi ke sana! Aku akan mengajakmu berjalan-jalan lebih dulu. Apa kau keberatan naik motor?"
"Aku tidak keberatan naik apa pun, bahkan jika harus berjalan kaki."
Kyan tersenyum, inilah yang disukainya dari Lucy, kesederhanaan.
"Well, aku tidak sejahat itu hingga membiarkanmu berjalan kaki dalam jangka waktu yang lama, Lu."
Mata Lucy membulat. "Apa kau akan mengajakku pergi hingga larut malam?"
Kyan tersenyum. "Kita lihat saja."
Ia berjalan menuju tempat motornya diparkir bersama Lucy dan naik ke motor. Motor besar berwarna putih, bergaya dan berkelas. Lucy bahkan tidak percaya kalau Kyan hanya seorang penyanyi kafe bila dilihat dari motornya saja.
"Ayo naik! Apa kau meragukan sesuatu?" tanya Kyan sambil menyodorkan helm pada Lucy.
Lucy menggeleng dan menyembunyikan kecurigaannya. "Tidak." Kemudian ia mengenakan helm warna putih dan naik ke belakang Kyan, sedikit kesusahan lantaran motor itu cukup tinggi baginya.
Kyan menyalakan motornya.
"Siap?"
"Ya."
"Kau bisa berpegang padaku bila takut jatuh, tapi aku janji tidak akan mengebut."
"Oke."
Lucy berpegangan pada pinggang Kyan dengan malu-malu. Walau tidak begitu dekat, tetap saja Lucy masih bisa mencium bau tubuh Kyan dari belakang, perpaduan antara wood dan citrus.
"Maaf Lu, aku hanya punya ini untuk mengajakmu pergi."
Lucy tersenyum, laki-laki ini lebih sering merendahkan diri di depannya. Lucy tidak pernah menginginkan apa pun secara berlebihan kecuali mimpinya untuk menjadi jurnalis.
"Aku tidak peduli apa yang kau bawa, Kyan. Aku hanya ingin membeli satu kemeja putih yang murah dan layak pakai untukku bekerja."
"Sebagai permintaan maaf, aku akan memberikan lebih dari itu."
Lucy berdecak. "Hei ... sudah kukatakan aku tidak memerlukan apa pun selain satu kemeja putih, kan?"
"Oke, satu kemeja putih."
Kyan memilih untuk tidak berdebat, namun ia telah merencanakan banyak hal di dalam kepalanya. Lucy tidak akan mau menerima semua itu, sudah pasti, tetapi ia akan memberikan tanpa kompromi. Ia hanya ingin yang terbaik untuk perempuan ini.
Kyan tidak langsung mengabulkan tujuan Lucy. Ia mengajaknya berkeliling Times Square dan melihat kelap-kelip lampu dari bangunan-bangunan hiburan.
Times Square adalah pusat New York. Hiburan, perkantoran, dan segala yang dibutuhkan ada di sini. Masih banyak aktifitas meski matahari telah terbenam.
Setelah puas berkeliling, Kyan mengajak Lucy ke ANC Plaza, sebuah pusat perbelanjaan besar yang ada di Times Square, bersaing dengan berderet pusat perbelanjaan lainnya. Mereka berdua berjalan kaki dan melihat deretan toko dengan barang-barang yang tidak bisa dibilang murah.
"ANC?" tanya Lucy bingung.
"Satu produk dengan NC Times."
Lucy membulatkan matanya. "Gio?"
"Adrian Wilder, itu yang aku tahu."
"Gio mungkin adalah anaknya, namanya Giovanni Wilder."
"Oh, kau benar! Giovanni, lagi pula mereka memiliki marga yang sama," jawaban Kyan seakan menunjukkan bahwa Kyan tidak begitu tertarik.
"Semua barang yang mereka miliki sangat mahal! Kuharap bukan ini tempat yang kau maksud untuk membeli kemeja putihku, Kyan."
Kyan tersenyum, bahkan giginya tampak. "Tidak! Ikuti saja aku!"
Lucy tidak memiliki pilihan, ia tidak pernah pergi ke tempat ini sebelumnya dan mengikuti Kyan adalah hal yang benar agar tidak tersesat dengan wajah bodoh.
Kyan mengajaknya masuk ke tempat alat-alat tulis dan toko buku. Bukan toko yang murah, kalau boleh, Lucy lebih memilih membeli barang di kios kecil pinggir jalan daripada tempat seperti ini. Lucy berjalan di belakang Kyan sambil melihat ke sekeliling. Ia percayakan sepenuhnya pada Kyan.
"Hei, mana yang lebih kau suka? Hitam metalik atau silver?" tanya Kyan sambil menunjukkan dua buah benda kecil berbentuk persegi panjang.
"Apa itu?"
"Recorder."
"Oh, maksudku ... untuk apa? Aku punya ponsel yang bisa digunakan untuk merekam, lagi pula aku bukan pekerja lapangan."
"Pilih saja!"
"Tidak! Itu mahal! Aku tidak bisa membelinya!"
Kyan mengembuskan napas berat. "Aku pilih hitam metalik."
"Hei!"
Ucapan protes Lucy tidak dihiraukan oleh Kyan, ia masih mengajak berkeliling toko, membeli segala macam dan kali ini tanpa bertanya lebih dulu pada Lucy. Bertanya berarti berdebat, jadi ia akan membeli tanpa banyak pertanyaan.
Saat keluar dari toko, Kyan memberikan sebuah tas karton kecil yang dibawanya pada Lucy. Lucy mengerutkan keningnya.
"Aku tidak menerima komplain kecuali saat kau membukanya di apartemen."
"Tapi ...."
"Lu, tidak ada komplain. Ingat?"
"Emm ... baiklah."
Lucy mengerutkan keningnya sambil tetap mengekor di belakang Kyan. Sebenarnya apa yang dibelinya dan untuk apa Kyan memberikan padanya?
"Kurasa ini cocok, ayo!"
"Apa? Apa yang cocok?"
Kyan menarik tangan Lucy dan mengajaknya masuk ke sebuah toko baju. Di dalamnya terdapat banyak sekali pilihan baju untuk ke kantor. Lucy hanya iseng saat melihat salah satu kemeja putih dan membalik bandrol harganya, seketika matanya membulat dan ia mengambil langkah mundur.
"Kau suka yang itu?" tanya Kyan sambil memiringkan kepalanya.
Lucy mendadak gagap. "Ti-tidak! Apa yang kau cari di toko ini sebenarnya?" tanya Lucy mengalihkan pembicaraan.
"Sesuatu ... bukan! Beberapa hal!" jawab Kyan asal sambil melihat kemeja putih pilihan Lucy tadi. Ia tidak menoleh sedikit pun pada Lucy, hanya mengira-ngira lalu mengambilnya.
"Hei! Untuk apa kau mengambilnya?" protes Lucy.
"Aku hanya melihat-lihat!"
"Tapi kenyataannya kau membawa beberapa pakaian di tanganmu! Itu bukan melihat-lihat!"
Lagi, Kyan tidak menanggapi ocehan Lucy dan langsung berjalan menuju kasir.
Setelah keluar dari toko, Kyan memberikan tas karton yang dibawanya pada Lucy.
"Aku tidak menerima komplain kecuali saat kau membukanya di apartemen. Sekarang masih pukul sembilan dan masih ada waktu untuk makan malam."
"Mm ... tadi aku sudah makan di apartemen."
Kyan tersenyum. "Ini terakhir, setelah itu aku akan mengantarmu pulang."
Lucy tampak berpikir sebentar. "Baiklah! Aku tidak menerima apa pun setelah ini, oke?"
"Oke."
Mereka keluar dari pusat perbelanjaan dan kembali menaiki sepeda motor. Sebenarnya Kyan juga tidak suka belanja di ANC, bukan karena uang, ia hanya ingin membantu kios-kios kecil dengan membeli barang dagangan mereka. Hal yang membuatnya belanja di ANC adalah semua produk terbaik dijual di sana, dan Lucy pantas mendapatkan yang terbaik darinya.
Lucy benar-benar menahan protesnya, ia bahkan tidak bertanya pada Kyan ke mana tujuan mereka selanjutnya. Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah tempat bernuansa merah, lampion merah di mana-mana, tulisan-tulisan Cina, dan beberapa orang tampak berlalu lalang. Suasananya tidak kalah ramai dari Times Square.
"Biar kutebak, ini Chinatown?"
"Kau benar! Ada rumah makan yang menjual mie sangat enak di sini. Ayo!"
Kyan memarkir motornya dan memilih berjalan menyusuri Chinatown hingga mereka sampai di sebuah kedai sederhana bertuliskan 'Great NY Noodletown'. Begitu masuk ke dalamnya, sangat terasa suasana oriental, juga tercium bau sedap yang menguar. Kursi dan meja terbuat dari kayu berwarna cokelat gelap, ada tiga buah lampu gantung kecil di langit-langitnya. Tidak begitu lebar, namun cukup nyaman.
Mereka berdua duduk berhadapan di meja berbentuk persegi dekat pintu masuk dan counter. Kyan memesan makanan serta minumannya, Lucy memesan menu yang sama dengan Kyan.
"Sepertinya kau tahu betul tempat ini, apa kau juga bernyanyi di sini?" selidik Lucy.
Kyan tertawa pelan. "Tidak. Tempat ini tidak memiliki panggung, lihat? Aku hanya suka berkeliling hingga kemudian aku menemukan tempat ini."
"Aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua ini, tapi ... terima kasih, Kyan," ujar Lucy sambil menunjukkan barang belanjaan yang dibawanya.
Kyan menggosok hidungnya tiga kali sambil tersenyum, wajahnya sedikit malu-malu.
"Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu agar hari-harimu di kantor menyenangkan, Lu."
Lucy tersenyum. "Kau manis sekali! Aku akan selalu mengingatnya."
Tak lama kemudian pesanan datang. Dua porsi Roast Duck Noodle Soup yang disajikan dengan mangkuk keramik warna putih, sendok keramik, juga sumpit. Ada teh hangat spesial yang disajikan dalam teko keramik kecil disertai dua buah gelas keramik putih.
"Mm ... aku belum pernah makan ini sebelumnya," ujar Lucy ragu.
Kyan tersenyum. "Ini salah satu menu kesukaaku di tempat ini, bila kau ingin mencoba yang lain aku akan memesankannya untukmu."
"Tidak, ini sudah cukup."
Mereka menikmati hidangan yang tersedia selagi panas, Kyan meminta garpu untuk Lucy yang tampak kesusahan menyantap mie dengan sumpit.
"Begini lebih mudah, terima kasih Kyan! Ini enak," ujar Lucy sambil tersenyum.
"Syukurlah bila kau menyukainya."
Setelah hidangan habis, Lucy menyandarkan punggungnya pada kursi sambil mengusap mulutnya dengan tisu.
"Ini pertama kali dan aku sangat terkesan!"
Kyan tersenyum, dalam hati ia berjanji akan mengajak Lucy menjelajah ke dunia yang lebih luas lagi.
"Tunggu! Ada apa di luar?" tanya Lucy yang tiba-tiba mengerutkan keningnya saat melihat ke arah luar pintu, beberapa orang tampak berkerumun di sana, juga beberapa polisi.
"Aku akan membayar dulu, setelah itu kita melihatnya."
Setelah Kyan membayar makanannya, mereka menghampiri orang-orang yang berkerumun tersebut. Kyan melihat beberapa orang yang dikenalnya dan berfirasat bahwa hal yang terjadi di sini sudah pasti tidak menyenangkan, untuk saat ini atau bahkan ke depannya.
"Luke?"
Seorang laki-laki berhidung mancung menoleh saat Lucy memanggilnya, Ia mengenakan seragam polisi lengkap dan wajahnya cemberut.
"Lu? Oh! Selagi kau di sini, ini kunci apartemenmu! Terima kasih tumpangannya ya!" ujar Luke yang menyerahkan sebuah kunci pada Lucy, namun wajahnya tetap menghadap pada kerumunan.
"Apa yang terjadi?"
"Hal yang biasa terjadi saat berurusan dengan orang 'bernama'."
"Bernama? Pejabat maksudmu?"
"Ck! Ya ampun kenapa kakakku harus menjadi seorang pemburu berita?" decak Luke yang kemudian dihadiahi cubitan kasar di lengannya. "Ya ampun Kakak! Sakit!"
"Bahkan cubitan seorang perempuan saja kau tidak tahan!"
"Aku tahan! Asal bukan kau orangnya!"
"Luke! Ayo kita kembali ke kantor, Patrick Aston bersikeras mengambil alih kasus dan menyuruh tim kita untuk pulang," ujar seorang perempuan yang datang menghampiri Luke.
"Pak Kepala? Kenapa dia harus repot-repot turun untuk kasus jalanan seperti ini?"
Perempuan itu memutar bola matanya, menyimpan kembali pistolnya. Perempuan bertubuh tegap berseragam polisi dengan jabatan yang lebih tinggi dari Luke. Ia memiliki kulit sedikit gelap, rambutnya digulung sehingga tampak lehernya yang jenjang, ada tahi lalat di pelipis kiri dan di bawah bibir sebelah kanan.
"Kasus jalanan yang melibatkan keluarga Patton."
"Lagi? Ini sudah beberapa kali mereka berulah dan terlindungi! Lu, aku harus kembali. Sebaiknya kau juga pulang! Tidak perlu bersusah payah mencari berita tentang kasus ini, kasus ini milik keluarga Patton."
"Keluarga Patton?" Sejujurnya, Lucy tidak mengerti.
"Oh, kau Lucia kakaknya Luke? Aku Alesandra, aku adalah ...."
"Pacarku!"
"Ehem, Inspektur Kepolisian New Yok," sahut perempuan itu sambil berdehem dan melotot pada Luke yang ada di sebelahnya.
"Ayolah Sandra! Kau malu mengakuinya di depan kakakku?"
"Bukannya aku tidak sopan atau ingin mencampuri urusan pekerjaanmu, tapi jangan menyia-nyiakan waktumu untuk meneliti kasus bila hal itu melibatkan Patrick Aston, terlebih keluarga Patton dan kawan-kawannya. Sampai ketemu lagi Kakak Ipar!"
"Ta-tapi, hei!"
Mereka berdua tidak mendengar panggilan Lucy, mereka berjalan menuju mobil patroli kemudian pergi. Lucy tidak tahu maksud perkataan Sandra tadi.
Terdengar sayup-sayup suara rintihan di dalam kerumunan. Lucy melihat melalui celah-celah manusia. Di sana ada seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluhan, badan kurus, wajah penuh darah, tersungkur di hadapan seorang laki-laki paruh baya dengan rambut sebahu yang diikat, tangannya menyila, terdapat cerutu mahal di selipan jari-jari tangan kirinya. Tidak ada tatapan iba dari lelaki itu, yang ada hanya tatapan jijik pada laki-laki yang penuh dengan luka.
Lelaki angkuh itu bergumam kemudian pergi, setelah itu dua orang yang mengenakan jas hitam menyeret laki-laki yang penuh luka.
Lucy menatap ngeri kejadian itu, bahkan polisi tidak melakukan apa-apa, hanya diam dan menonton, salah satunya malah menghampiri lelaki angkuh berambut panjang. Lucy melihat ke kiri dan ke kanan, baru teringat bahwa ia tadi sedang bersama dengan Kyan.
Lucy kembali ke Great NY Noodletown dan mendapati Kyan tengah berdiri menyandar di dinding dekat pintu masuk, tersenyum pada Lucy sembari melambaikan tangan rendah. Kyan tidak menemaninya ke tengah kerumunan, bahkan tidak menunjukkan antusias terhadap apa yang tengah terjadi. Lucy bergegas menghampiri Kyan.
"Aku bertemu dengan Luke dan ia mengembalikan kunci apartemenku. Bila kau ingin pulang lebih dulu, aku tidak keberatan."
"Ini sudah larut dan aku yang mengajakmu, jadi aku juga yang akan mengantarmu."
"Aku ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di sini, mungkin membutuhkan waktu yang sedikit lama."
"Kau yakin? Mereka adalah Patton."
Lucy semakin bingung, lagi-lagi nama Patton yang keluar.
"Aku tetap harus mencari tahu!"
Kyan tersenyum. "Aku akan menunggumu," ujarnya, mengalah.
"Sungguh? Kau ... tidak keberatan?"
"Tidak. Pergilah sebelum narasumber terpercaya pergi dari lokasi kejadian."
"Oh! Kau benar!"
Lucy kembali ke TKP dengan penuh semangat, Kyan hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, bagaimana pun ia sudah tahu akhirnya.
^^^
Lucy merasa penuh semangat keesokan harinya di kantor. Ia mendapat berita besar yang pertama, terlebih kemeja putih cantik pemberian Kyan yang menjadi mood booster untuknya. Ia baru duduk dan akan mengetik berita saat Elly tiba-tiba datang dengan tergesa-gesa menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Lucy heran.
"Kau sudah tahu berita tentang kejadian yang ada di Chinatown?"
"Ya ... aku baru akan membuatnya."
"Bagus! Aku ditugaskan untuk mencari tahu kelengkapannya dan semua data sudah kudapatkan."
Lucy membelalakkan matanya. "Wow! Kau ... bermalam di sana?" tanya Lucy tidak percaya.
"Tentu saja! Aku terlambat datang ke TKP, jadi aku memutuskan untuk mencari berita sepanjang malam. Baca laporanku, simpulkan, tulis, nanti aku yang akan membenarkan kesalahannya. Aku harus ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku belum pulang sama sekali."
"Bolehkah aku menggabungkannya dengan informasi yang kudapatkan?"
Elly tersenyum. "Sangat boleh! Hanya saja kau harus banyak berimajinasi. Aku segera kembali!"
Elly pergi, Lucy mengerutkan keningnya. Imajinasi? Kemudian Lucy menggeleng pelan. Dirinya ada di dunia kepenulisan, tentu saja imajinasi sangat dibutuhkan! Kemudian ia membaca kumpulan informasi yang berhasil didapat oleh Elly, ada beberapa tulisan kecil yang terselip di setiap lembarnya. Setelah membaca dan meresapi semua beritanya, Lucy mulai menyalinnya.
Waktu sudah berjalan lebih dari 45 menit saat Lucy meregangkan tubuhnya dan menyandar. Ia tersenyum puas dengan berita yang sudah ditulis. Hanya tinggal menunggu Elly untuk memperbaiki berita miliknya karena dirinya masih baru di tempat ini.
"Maaf ya karena membuatmu menunggu lama," ujar Elly yang datang menghampirinya, wajahnya sudah lebih cerah dan segar, bahkan tubuhnya sudah sangat harum.
Lucy tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku sudah meyelesaikannya."
Elly berkedip dua kali, sedikit terkejut kemudian tersenyum.
"Itu mengesankan! Saat aku masih baru di divisi ini, aku membutuhkan waktu seharian untuk menulis satu berita. Aku akan memeriksanya, oh tapi aku tidak bermaksud mengguruimu, aku hanya ingin kita benar-benar bekerjasama hingga hasil kerja kita sama-sama menguntungkan."
"Oke."
Elly mengambil satu kursi yang tak jauh darinya, kemudian duduk di sebelah Lucy. Ia sedikit memiringkan kepalanya ke kanan sambil terus menggeser layar komputer ke bawah.
"Maaf Lucy, tapi bukan begini caramu menulis berita," ujar Elly sedikit ragu-ragu.
Lucy mendadak duduk dengan tegap, mengerutkan keningnya.
"Bukan?" tanya Lucy bingung
"Pedagang Kecil Babak Belur, Tuan Besar Patton Mencari Sensasi. Ini bukan judul yang bagus. Seharusnya kau ganti, atau kau pindah kata-katanya seperti ini ...."
Elly mengubah sedikit judulnya, Lucy semakin heran.
"Babak Belur Melawan Tuan Besar Patton, Anggota Gangster Mencari Sensansi?" tanya Lucy bingung, "tapi itu jelas mengandung makna yang berbeda, Elly!"
"Apa kau membaca info yang kuberikan padamu?"
Lucy menangguk. "Tentu saja."
"Semua? Aku tidak yakin! Karena di situ aku menulis beberapa catatan kecil."
"Tapi catatan kecil yang kau tulis bertentangan dengan informasi yang kau dapatkan."
"Hanya tulis saja, Lucy," ujar Elly, walaupun tidak memaksa, namun ia tampak memohon.
"Aku ada di lokasi saat kejadian itu berlangsung, laki-laki berambut panjang yang kalian sebut Tuan Besar Patton ada di sana, tanpa ampun menyuruh beberapa anak buahnya memukuli pemilik kafe dengan alasan pemilik kafe menegur salah satu anak buah Patton yang sedang mabuk dan mengganggu pelayannya dengan perbuatan tidak senonoh!"
"Aku tahu, tapi bila kau menulis seperti itu, ada beberapa hal yang akan terjadi dan itu bisa mempengaruhi NC Times. Pertama, berita itu tidak akan digubris orang kalangan atas karena dianggap sampah. Kedua, grup besar Patton akan marah. Ketiga, Gio akan membunuh kita berdua."
"Kalangan atas?"
"Ada beberapa nama yang tidak boleh kau kotori dalam NC Times, salah satunya adalah Patton. Kami di divisi ini sudah diperingatkan tentang hal itu, mm ... tidak semua, hanya beberapa di bagian berita khusus dan kita ada di bagian berita khusus itu."
Lucy menunduk, tiba-tiba saja tangannya gemetar.
"Kau ada di posisiku sebelumnya, apa kau juga melakukan hal yang sama?"
Elly menggigit bibir bawahnya, tampak merasa bersalah. "Maaf Lucy, tapi ini adalah tugas kita."
Diskusi panjang dengan Elly berakhir dengan Elly yang membuat beritanya sendiri. Lucy memutuskan untuk menemui Olivia saat jam makan siang untuk meminta penjelasan.
Setelah menemui Olivia dan menceritakan semua, Olivia tampak tak terkejut sama sekali dan hal itu membuat Lucy heran.
"Jangan-jangan ... kau sudah tahu?" selidik Lucy.
Olivia memutar bola matanya. "Well, welcome to the jungle!"
"Astaga!"
"Apa kau pernah menonton serial Spongebob yang berjudul The Krabby Kronicle? Belajarlah dari situ. Itu kartun kesukaan kita, kan?"
"Ini tidak benar! Seharusnya kita menyebarkan fakta, bukan kebohongan!"
"Apa kau pernah mendengar istilah ... berita bisa dibeli? Kau harus membiasakan diri bila kau ingin tetap bekerja di sini. Beberapa senior yang mewawancaraimu berkata bahwa kau naif karena ingin menyajikan berita yang sempurna dan fakta, tapi aku tetap merekomendasikanmu, jadilah kau di sini."
"Kalau tahu seperti itu, aku tidak mau ada di sini," cicit Lucy sambil menunduk.
"Ini rahasia perusahaan! Bahkan hal seperti ini hanya diketahui beberapa staf terpercaya saja. Kau beruntung menjadi salah satunya!"
"Aku tidak mengatakan kalau ini adalah keberuntungan." Lucy menarik napas berat. "Aku harus berbicara pada Gio."
"Lu!"
Lucy sudah telanjur pergi dari ruangan Olivia dan bergegas menuju ruangan Gio.
Lucy tidak bisa menerima hal ini. Di sisi lain ia senang telah diterima di tempat kerja, terlebih ia berada di posisi yang paling ia impikan seumur hidup, namun ia juga merasa bersalah di saat bersamaan. Apa yang harus dikatakannya pada Kyan bila pekerjaan yang dijalaninya seperti ini?
Lucy memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Gio dan membuka pintunya perlahan setelah dipersilakan. Sama seperti saat pertama kali datang, bahkan jantungnya juga masih berdegup dengan kencang.
"Lucia? Ada perlu apa kau datang ke ruanganku?"
Lucy menunduk dalam, masih berdiri di dekat pintu.
"Oh maafkan aku, duduklah!"
Setelah dipersilakan duduk, Lucy berjalan gugup dan duduk di kursi yang ada di hadapan Gio, dipisahkan dengan meja kayu persegi yang lebar.
"Maaf bila saya lancang, tapi apa memang begini kinerja perusahaan Anda?"
Gio mengangkat satu alisnya.
"Apa NC Times selalu menulis berita yang memutarbalikkan fakta? Hari ini saya menulis berita tentang Patton dan ...."
"Ah! Patton!" Gio memotong pembicaraan Lucy. "Lucia, ada beberapa peraturan yang harus dilakukan staf khusus NC Times. Staf khusus dipimpin Olivia, Ia juga punya beberapa bawahan yang berfungsi sebagai pengawas staf-staf lain yang ada di bawahnya, seperti Eliana, termasuk dirimu. Kami menyebutnya sebagai Golden Staff."
Gio menjelaskannya dengan perlahan sambil menatap lurus pada mata Lucy.
"Ada beberapa nama yang tidak boleh dicemari dalam berita yang ditulis Golden Staff ini, dan hukumnya mutlak. Perlu kau ingat, nama-nama itu adalah Grub Ranford, Patrick Aston, Derek Bowman, Jennifer Frith, Jimmy Colton, August Sanford, termasuk Grub Patton, dan Grub Wilder. Delapan nama yang tidak boleh tercemar di NC Times."
Lucy terdiam, ia tidak mengenal nama-nama di atas kecuali Patrick Aston, Patton, dan Wilder. Wilder adalah pemilik NC Times, sudah jelas namanya tidak mungkin tercemar di perusahaannya sendiri.
"Apa ... mereka tidak boleh diberitakan secara fakta?" tanya Lucy hati-hati.
"Hanya yang baik. Kalau perlu kau harus membalik beritanya saat ada hal buruk menimpa mereka."
"Apa yang sudah mereka lakukan pada NC Times sehingga nama mereka tidak boleh kotor di sini? Ini sama seperti kebohongan publik!"
Gio tertawa. "Kau cerdas, Lucia! Kau satu-satunya pegawai yang mengkritik dan menolak perarturan ini secara terang-terangan! Para pegawaiku yang lain selalu patuh saat kuperintahkan seperti itu."
"Karena aku tidak mau menyebar kebohongan!" tegas Lucy akhirnya, ia sediki kesal dengan atasannya. Sudah jelas bahwa perusahan ini merupakan permainan yang dimainkan orang-orang tertentu sehingga akan berdampak buruk pada masyarakat tidak berdosa yang menjadi tumbal.
"Jadi, kau mau ikut peraturannya atau tidak?"
"Tidak!"
Gio tidak menunjukkan ekspresi geram atau marah, ia hanya tersenyum dengan sebelah bibirnya saja.
"Baiklah kalau begitu, kau boleh menulis berita sesukamu."
"Memang begitu seharusnya!"
"Tapi, kalau sampai ada berita yang merugikan delapan nama tersebut di NC Times, aku akan memberimu hukuman."
"Tidak masalah! Saya siap dikeluarkan dari perusahaan ini!" Lucy tak gentar sedikit pun, ia sudah membulatkan tekadnya demi menghapus kebohongan dari media-media seperti ini.
Gio menggeleng, masih tersenyum sinis.
"Oh, bukan itu hukuman yang akan kuberikan untuk pegawai sepertimu! Aku punya hukuman lain yang cukup membuatmu tutup mulut dari dunia luar."
"Dan hukuman apa itu?"
Gio berdiri, sedikit mencondongkan tubuhnya dan membisikkan sesuatu di telinga Lucy. Seketika jantung Lucy berhenti berdetak, matanya membulat dan seluruh tubuhnya gemetar.
"Bagaimana?" tanya Gio percaya diri, ia yakin ia yang menang dalam permainan ini. Ia selalu bisa mengendalikan seluruh anak buahnya, termasuk yang seperti Lucia Kinston.
Lucy menelan ludahnya, ia tidak sanggup lagi berkata-kata. Kalau begini caranya, ia tidak akan sanggup melawan, hanya dapat mengalah.
^^^
Lucy berjalan keluar gedung dengan linglung. Di kepalanya masih terngiang-ngiang ancaman Gio, Bagaimana bisa atasannya memberi ancaman seperti itu?
"Lu?"
Lucy berjingkat saat seseorang memanggilnya, matanya mengerjap beberapa kali dan baru sadar bahwa yang ada di hadapannya adalah Kyan.
"Aku melihatmu dari KnK. Kau berjalan sedikit aneh. Apa kau sakit? Kau kelihatan pucat!" Kyan terdengar khawatir.
Lucy memaksakan senyumnya kemudian ia menggeleng lemah.
"Ini bukan Lucy yang kukenal!" ujar Kyan sambil memegang kedua lengan Lucy. "Apa kau sungguh baik-baik saja?"
Lucy tidak bisa beralih dari tatapan Kyan, sorot matanya begitu intens hingga menembus ke relung hatinya.
Jantung Lucy berdegup kencang, rasanya sesuatu di dalam dadanya ingin tumpah, tanpa sadar ia menangis, memeluk Kyan erat, tubuhnya bergetar hebat.
"Maafkan aku, Kyan ... sepertinya aku tidak bisa memegang kata-kataku sendiri."
"Sudahlah ... tenangkan dirimu, itu yang terpenting. Katakan padaku, apa yang kau butuhkan saat ini?"
Lucy menggeleg cepat.
"Bodohnya aku! Sudah pasti ketenangan! Harusnya aku tidak bertanya!"
Lucy masih menangis di pelukannya, walau tubuhnya sudah tidak terlalu gemetar. Beberapa pasang mata melihat mereka, mengira mereka adalah sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Kyan sedikit malu, ia harus membawa Lucy ke tempat yang bisa membuatnya tenang dan nyaman.
"Ayo ikut aku!"
"Aku sedang tidak ingin pergi."
"Kumohon?"
Lucy terdiam mendengar suara Kyan yang memelas, membuatnya melepas pelukan dan baru sadar bahwa orang-orang yang lewat telah memperhatikan mereka.
"Maafkan aku, aku telah membuatmu malu. Sebaiknya aku pulang saja, terima kasih kau telah datang menemuiku."
Lucy hampir saja pergi saat Kyan berhasil menahan sebelah tangannya.
"Aku akan mengajakmu kencan."
Lucy mengerutkan keningnya. "Kencan?"
"Bukankah kita adalah teman kencan sejak pertama kali kita bertemu?"
Senyum Lucy sedikit mengembang, kali ini ia tersenyum tulus tanpa beban. "Teman kencan? Ide yang bagus!"
"Kalau begitu, ayo kencan denganku!" ajak Kyan malu-malu.
"Baiklah, teman kencanku."
Rasa percaya diri Kyan bertambah saat Lucy menerima ajakannya, padahal awalnya ia sangat pesimis, sekarang ia harus mencari tempat yang dapat membuat Lucy merasakan nyaman dan tenang.
Di sini akhirnya Kyan mengajak Lucy berkencan. Kafe KnK. Kafe bernuansa klasik yang ada di Middle Town New York, tepat di pinggiran pantai. Saat masuk ke dalam kafe terdengar alunan musik klasik yang menenangkan pikiran.
Kyan tidak punya pilihan lain selain tempat ini, tempat ternyaman yang ada di New York. Kyan mengajaknya naik ke lantai dua, ke area balkon luas dikelilingi pagar kayu hitam dan tanaman-tanaman hias. Tak terdengar lagi musik klasik, hanya suara desiran air laut.
Duduk beratapkan langit malam bertabur bintang dengan pencahayaan remang, ada lilin di setiap mejanya, dengan tempat lilin yang memiliki ukiran indah.
"Aku suka tempat ini, tempat yang bagus! Nyaman dan tenang sekaligus. Apa ada hubungannya dengan KnK Food?"
Kyan mengangkat bahunya. "Entahlah."
"Tapi di sini juga sepertinya kau mendapatkan pelayanan khusus seperti di KnK Food."
"Oh, aku ... aku juga sering bernyanyi di sini," ujar Kyan yang mendadak gugup, bahkan ia menggosok hidungnya tiga kali, seperti biasanya.
"Tidak mungkin kau tidak tahu kafe ini berhubungan dengan KnK Food atau tidak."
Tak lama kemudian, seorang pelayan pria yang mengenakan jas hitam datang mengantarkan pesanan mereka berdua.
"Secangkir Coffe Cream Latte dengan gula dua sendok teh, secangkir Special Hot Milk Chocolate, seporsi Cokelat Lava," ujar pelayan tersebut kemudian pergi setelah memberi hormat pada Kyan.
"Astaga! Mereka mengirim pesanan tanpa aku memesannya terlebih dahulu? Bahkan mereka tahu kesukaanku!"
Kyan tertawa kecil, dalam hati ia bersyukur bahwa Lucy sudah kembali seperti saat pertama kali mereka bertemu.
"Inilah yang disebut keajaiban. Cokelat Lava itu milikmu, Lu."
Mata Lucy menyipit, namun wajahnya menunjukkan perasaan senang.
"Tidak bisa disebut keajaiban, pasti ada konspirasi antara kau dan kafe ini!"
Seketika raut wajah Lucy kembali murung.
"Bolehkah aku menceritakannya padamu? Tapi kumohon jangan membenciku ...."
"Untuk apa aku harus membencimu, Lu? Katakan saja."
Melihatnya murung saja Kyan tidak sanggup, bagaimana bisa ia membencinya?
Lucy menceritakan semua kejadian yang dialaminya di kantor. ia tidak peduli tentang rahasia perusahaan, ia menganggap Kyan adalah penyimpan rahasia yang baik. Ia tidak bisa menyimpan semua ini sendiri, ia harus menceritakannya pada orang yang sangat dipercaya untuk mencari solusi agar hukuman Gio tidak pernah terjadi padanya.
Sebenarnya Kyan tidak terkejut dengan apa yang diceritakan Lucy. NC Times milik grub Wilder, dan begitulah adanya. Berita-berita mereka memang kontroversial, terkesan membela beberapa pihak, namun selalu laku di pasaran. Hanya saja mungkin Lucy tidak tahu permainan mereka.
"Kalau memang itu yang diperintahkan ... jalani saja."
"Tapi itu akan bertentangan dengan prinsipku! Itu artinya ... aku juga akan mengingkari janjiku padamu."
Kyan tersenyum. "Harus bagaimana lagi? Resiko pegawai memang harus patuh pada atasannya, lagi pula ... kenapa kau harus setakut itu dengan ancaman drop out?"
Lucy menggeleng lemah. "Bukan drop out hukuman yang diberikan oleh Gio bila aku tetap menyampaikan fakta tentang grub Patton."
"Apa ancaman itu?"
Lucy tampak takut mengatakannya, bahkan wajahnya kembali terlihat pucat.
"Bila aku tetap pada pendirianku ... Gio akan ...."
Lucy masih ragu untuk mengatakannya, matanya bahkan tidak fokus menatap Kyan.
"Gio akan menyekapku di dalam kamarnya dengan mulut tertutup dan tidak akan pernah melepaskanku, dia juga berkata bahwa hal selanjutnya pasti akan menyenangkan baginya." ujarnya sambil menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya kembali gemetar.
Kyan terkejut mendengarnya, tidak heran bila Lucy bisa begitu ketakutan bila ancamannya mengerikan. Kyan mulai paham dengan alur permainannya, hukuman pecat tidak akan mempan untuk orang-orang kritis seperti Lucy, karena ia bisa mempengaruhi orang lain di dunia luar, bisa jadi menyebar rahasia perusahaan, jalan satu-satunya adalah membuatnya trauma dan ketakutan hingga tak sanggup lagi membuka mulutnya, terlebih Lucy adalah seorang gadis lajang dan lugu, sangat cocok untuk menjadi mainan bagi orang-orang macam tuan muda pemilik NC Times yang kaya raya.
"Kalau begitu jangan," desis Kyan, kedua tangannya terkepal erat.
"Apa?" tanya Lucy tidak mengerti, menatap kedua mata Kyan.
"Jangan melawan kata-katanya, ikuti saja permainannya. Orang-orang seperti itu tidak pernah menganggap remeh suatu hal dan bersungguh-sungguh dengan ancamannya."
"Tapi kau akan membenciku karena aku tidak bisa menepati kata-kataku."
"Sekarang yang harus kau pikirkan adalah keselamatanmu, Lu, bukan kata-katamu. Ikuti saja permainannya, bila sudah melewati batas, aku yang akan turun."
"Kau ... sungguh tidak marah?"
Emosi Kyan pada grub Wilder perlahan memudar, digantikan dengan senyuman. "Aku tidak akan pernah marah pada teman kencanku."
Kyan kembali melihat senyuman tulus di bibir Lucy, sepertinya ia sudah mulai tenang.
"Terima kasih, Kyan."
Apa pun akan dilakukan Kyan untuk perempuan ini, perempuan yang telah membuatnya jatuh hati dari hari ke hari.
^^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top