BAB II
Dering telepon membangunkan Lucy dari tidur pulasnya. Ia tidak tahu pukul berapa saat ini, yang pasti cahaya matahari sudah masuk ke kamar melalui celah-celah tirai jendela. Ia bangun, melihat ke sekeliling dan mengambil ponsel yang tak jauh darinya, dahinya berkerut saat tertera nama 'Olivia' di layar.
"Ada apa, Olivia?" tanyanya malas.
Terdengar suara keras dan cepat dari dalam ponsel sampai-sampai Lucy harus menjauhkannya dari telinga.
"Hei, bicara yang jelas please? Aku baru saja bangun tidur."
"Apa? Kau baru saja bangun tidur? Dengarkan aku baik-baik! Bila dalam waktu sepuluh menit kau tidak datang ke NC Times maka kesempatanmu akan hilang! Kau diterima, Lucy!"
"Tu-Tunggu, apa?"
"Kau diterima! Cepat ke sini sebelum kesempatanmu diberikan pada orang lain! Sepuluh menit!"
Telepon ditutup, mata Lucy membulat, jantungnya berdegup kencang dan untuk sesaat ia masih terpaku.
"Ya Tuhan jangan bilang ini hanya mimpi!"
Lucy mencubit tangannya sendiri dan menjerit saat merasakan sakit.
"Ya Tuhan! Aku tidak boleh membuang sepuluh menitku!" serunya, ia segera menggosok gigi dan mencuci muka, lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian terbaik yang ia punya, tak lupa dengan sepatu pantovel hitam. Ia memastikan dirinya telah wangi dengan menyemprotkan banyak parfum ke tubuhnya karena ia tidak sempat untuk mandi.
Lucy memutuskan untuk pergi ke NC Times secepat kilat. Ia bersyukur bahwa apartemen yang diberikan Olivia untuknya berada di Hell's Kitchen, tidak jauh dari NC Times yang ada di Times Square. Ia bisa membuat dirinya sampai di NC Times dalam waktu kurang dari sepuluh menit.
Setelah sampai, Lucy mengatur napasnya yang tersengal karena sempat berlari. Ia tidak tahu bahwa kendaraan umum yang dinaikinya cukup lambat dan membuatnya tidak sabar.
"Syukurlah kau sudah datang! Ayo kita masuk ke dalam!"
Olivia menyambutnya, sepertinya ia telah menunggu di halaman gedung dengan tidak sabar. Perempuan berpakaian formal yang anggun, ia memiliki rambut cokelat gelap panjang yang diikat rapi. Olivia adalah sepupu Lucy, anak dari kakak ibunya, dan ia sudah cukup lama bekerja di NC Times. Usia mereka tidak selisih jauh, Olivia hanya dua tahun lebih tua dari Lucy.
"Tunggu, biarkan aku mengatur napasku dulu!"
"Kau seharusnya tahu kalau memang ingin bekerja di sini maka aku akan mengusahakannya untukmu! Kenapa kau malah tidur?"
"Kukira ini masih ... pagi?" tanya Lucy ragu.
"Kau bahkan tidak tahu kalau sekarang pukul sepuluh?"
"Ya Tuhan! Ternyata aku tertidur lama sekali, ya?"
Olivia menepuk dahinya di saat Lucy hanya tertawa kecil tanpa rasa bersalah.
"Ayo, aku akan mengantarmu menemui Gio."
"Gio?"
"Kau panggil dulu Tuan Wilder sampai ia memutuskan kau boleh memanggilnya dengan nama kecilnya atau tidak. Dia direktur NC Times dan usianya masih cukup muda."
"Wow ... oke. Tunggu, jantungku masih berdetak kencang!" ujar Lucy dengan tangan kiri memegang lengan Olivia kuat dan tangan kanan menyentuh dadanya.
"Atur napasmu dulu dan persiapkan diri."
"Baik."
Setelah itu Olivia mengantar Lucy hingga sampai ke lantai paling atas gedung NC Times.
Lucy memasuki sebuah ruangan besar bernuansa merah marun. Elegan dengan dinding yang sebagian besarnya terbuat dari kaca sehingga suasana meriah Times Square bisa terlihat jelas dari tempat ini. Seorang laki-laki duduk di kursi hitam, ia mengenakan jas hitam, tersenyum penuh wibawa saat Lucy datang bersama Olivia.
"Selamat pagi, Lucia Kinston. Terima kasih kau sudah mengantarnya ke sini, Olivia."
"Tentu, Gio."
"Maaf karena saya tidak datang tepat waktu, Tuan Wilder."
"Oh, panggil saja aku Gio." Laki-laki itu melihat berkas yang ada di meja sambil menaikkan satu alisnya. "Dari Saugerties dan Olivia adalah saudara sepupumu. Pengalaman mengelola restoran milik keluarga di Saugrties. Lulusan jurnalistik dengan nilai cumlaude dan memiliki sertifikat-sertifikat jurnalis serta kepenulisan."
Lucy hanya menunduk saat Giovanni Wilder, direktur NC Times, membaca daftar riwayat hidupnya.
"Kata beberapa staf kau agak sulit dikendalikan. Nilai plus kau memiliki semangat yang tinggi, sayangnya aku tidak ikut mewawancaraimu saat itu. Olivia, panggilkan Eliana Anderson masuk ke ruanganku, kau boleh melanjutkan pekerjaanmu yang sempat tertunda."
"Baik."
Olivia hendak beranjak pergi, Lucy sempat meminta Olivia untuk tinggal lewat isyarat mata, namun Olivia membalasnya dengan isyarat mata pula agar Lucy tetap tinggal di sini bersama dengan bos.
"Duduklah Lucia, tidak perlu takut," ujar Gio saat Olivia telah pergi.
Dengan takut, Lucy duduk di kursi yang ada di hadapan Gio.
"Jadi, kenapa kau tidak meneruskan restoran milik keluargamu?" tanya Gio kemudian.
Sejujurnya, Lucy takut menatap bos barunya. Tatapannya begitu tajam seakan sanggup menelanjanginya hanya dengan tatapan mata. Ia tidak tahu mengapa dirinya bisa menjadi kaku seperti ini.
"Ayahku meninggal dan usaha keluargaku tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk mengganti modalnya."
"Bangkrut?" tanya Gio sambil tersenyum sinis.
"Kata bangkrut mungkin terdengar cukup kasar, Tuan ...."
"Gio."
"Oke."
"Apa kau memanggilku, Gio?" tanya seorang perempuan yang masuk ke dalam ruangan. Ia itu mengenakan kemeja berwarna putih, rambutnya pirang sebahu dan kulitnya sedikit berwarna merah, matanya biru sedikit sipit. Ia tersenyum cerah seperti berharap sesuatu saat Gio memanggilnya.
"Duduklah."
Perempuan itu menurut, duduk dan tersenyum cerah menatap Lucy.
"Ini adalah Lucia Mary Kinston, anggota baru NC Times."
"Oh hai Lucia! Aku Eliana."
Lucy tersenyum canggung. "Hai Eiiana."
"Kau bisa memanggilku Elly."
"Mulai besok kau dipindahtugaskan dan bekerja di lapangan untuk mencari berita. Kau juga harus mengajari Lucy karena besok ia yang akan menggantikan posisimu."
Senyum Elly yang cerah dan penuh semangat tiba-tiba luntur saat Gio berkata seperti itu.
"Tuan Wil- Gio, Anda tidak harus membuat posisi orang lain tergeser hanya karena aku."
"Tidak apa-apa, Lucia," ujar Elly yang menatap Lucy sambil memaksakan senyumnya. "Ini sudah perintah Gio. Perintah atasan adalah mutlak di NC Times, setuju atau tidak. Baik, Gio."
Lucy hanya bisa diam, bagaimanapun keputusan seperti ini adalah salah.
"Kau tidak perlu khawatir karena aku sangat berpengalaman dalam kerja lapangan! Mulai besok kita menjadi tim dan akan bertemu setiap hari. Mohon kerjasama, ya!" Elly, walaupun posisinya tergeser masih tetap tersenyum dengan ceria.
Lucy tersenyum lemah. "Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Mohon kerjasamanya, Elly!"
"Jam kerjamu mulai pukul delapan hingga pukul lima sore, setiap senin hingga sabtu, terkadang kau harus lembur atau sesekali menemani Elly di lapangan. Kami memiliki sistem dan peraturan yang berbeda dengan perusahaan lain. Kalian berdua boleh meninggalkan ruangan dan Lucia, sebaiknya kau pulang untuk mempersiapkan harimu besok."
"Baik."
Elly berjalan di samping Lucy hingga keluar ruangan. Di luar ruang direktur adalah lobi yang sepi, ada satu meja yang seharusnya adalah tempat untuk sekretaris, namun meja itu kosong.
"Gio tidak suka memiliki asisten, ia lebih suka bekerja sendiri. Lantai ini khusus untuk ruangan direktur dan ruangan pimpinan redaksi. Satu tingkat di bawahnya adalah ruang para senior. Ruang kerjaku dua tingkat di bawah ruangan Gio bersama dengan anggota redaksi yang lain. Lantai di bawahnya lagi khusus ruang pertemuan, bawahnya lagi untuk tim kreatif, bawahnya lagi percetakan, bawahnya lagi kafe, bawahnya lagi untuk para tamu."
"Gedung setinggi ini hanya delapan lantai yang terpakai?"
"Tidak, beberapa lantai lain disewa oleh pengusaha kecil. Ruang kerjaku akan menjadi ruang kerjamu besok."
"Apa ... kau baik-baik saja?" tanya Lucy yang merasa bersalah.
Suara lift berdenting, pintunya terbuka dan mereka berdua masuk.
"Aku baik-baik saja, jangan terlalu dipikirkan! Ini adalah dunia kerja, apa pun bisa terjadi! Oh ya, pakaian di sini bebas, tetapi Gio lebih suka perempuan dengan kemeja putih dan rok selutut."
"Bukankah Gio ada di lantai paling atas? Dia tidak akan tahu para pegawaiya mengenakan pakaian apa hari ini."
"Gio bukan bos semacam itu, ia bos yang suka berkeliling. Baiklah Lucy, sampai ketemu besok!"
Elly keluar dari lift di lantai nomor sepuluh, itu artinya Lucy harus turun sepuluh lantai lagi untuk mencapai urutan paling bawah.
Ada satu hal lagi yang harus dilakukan Lucy setelah ini sebelum kembali ke apartemennya. Ia memiliki janji untuk bertemu seseorang di KnK Food.
^^^
Hanya perlu menyebrang jalan dan Lucy sudah tiba di KnK. Mata hijaunya menyisir seluruh ruangan kemudian bibirya tersenyum saat seorang laki-laki melambai rendah padanya. Lucy tak lekas datang, ia menuju ke counter terlebih dahulu untuk memesan makanan.
"Segelas kopi krim dengan dua sendok teh dan satu porsi kentang goreng."
"Baik, kopinya mohon ditunggu sepuluh menit, Nona."
"Oke."
Lucy menunggu sebentar untuk mendapatkan kentang gorengnya kemudian duduk di hadapan laki-laki itu, di tempat yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu.
Makanan yang dipesan laki-laki itu masih sama, seporsi ayam goreng dan segelas susu cokelat. Porsi kids meal tanpa mainan.
"Makanan yang sama, Kyan?"
Kyan tersnyum. "Ya."
"Apa restoran ini tidak menyediakan mainan untuk porsi kids meal?"
"Ada."
"Lalu?"
"Aku menyimpannya."
"Kau mengoleksi mainan?" tanya Lucy, matanya membulat tak percaya. Kyan tertawa kecil melihatnya.
"Aku memberikanya pada anak-anak kecil yang kutemui di pingir jalan. Beberapa orang seusiaku yang kukenal juga memiliki banyak koleksi mainan."
"Ya ... itu akan menjadi kebiasaan unik bila yang kau koleksi adalah mainan dari restoran cepat saji."
Kyan tertawa kecil, Lucy tersenyum sambil melahap kentang gorengnya, kemudian seorang pelayan datang mengantarkan pesanan Lucy. Pelayan itu tersenyum pada Lucy kemudian membungkuk hormat pada Kyan.
"Well, selesai lebih cepat. Aku melihatmu berlari tergesa-gesa ke NC Times dan keluar dalam waktu kurang dari dua jam."
Sekali lagi mata Lucy membulat. "Kau sudah ada di sini sejak tadi pagi?"
"Bukankah kemarin aku berkata bahwa aku biasa datang dan menyanyi di sini?"
"Oh aku lupa! Maafkan aku." Lucy tersenyum hingga kedua matanya terpejam, kemudian ia menyeruput kopi yang baru saja diantar.
"Olivia meneleponku pagi-pagi sekali dan memberi kabar bahwa aku diterima di NC Times."
Kyan tersenyum lebar. "Selamat! Dan ... siapa Olivia? Apa dia perempuan yang kau temui di depan gedung?"
"Ya, dia anak dari kakak ibuku."
"Seharusnya kau tahu bahwa kau sudah pasti diterima di NC Times. Ada Olivia, kau tidak perlu khawatir."
"Apa memang begitu?"
Kyan mengangguk. "Orang dalam. Lebih mudah mendapat pekerjaan saat kau memiliki kerabat atau rekan di dalam perusahaan."
"Oh, kau pernah mengalaminya?"
Kyan terdiam. "Aku pekerja independen. Beberapa temanku yang mengatakannya."
Bibir Lucy membulat, kepalanya mengangguk-angguk.
"Kau tahu? Kemarin para staf senior merendahkanku saat wawancara, tetapi hari ini Gio memberiku jabatan. Ia bahkan membuat Elly harus bekerja lapangan dan membuatku menggantikan posisinya di kantor sebagai penulis berita."
"Gio adalah ...."
"Direktur Muda NC Times, Elly adalah bawahannya. Aku merasa bersalah pada Elly karena telah membuatnya menjadi pekerja lapangan. Saat aku mengatakannya pada Elly, ia malah tersenyum dan berkata bahwa perintah Gio adalah mutlak, ia juga tidak marah padaku"
"Mungkin Elly menyukainya," ujar Kyan enteng.
Lucy mengerutkan keningnya. "Bawahan menyukai atasannya? Alasan klasik!"
"Tapi kenyataannya sering terjadi, kan?"
"Kau benar!"
"Jadi, besok kau mulai bekerja di NC Times?"
"Ya, kau orang pertama yang tahu! Bahkan ibu dan adikku belum tahu hal ini. Aku akan menemui adikku dan menelepon ibuku setelah ini."
"Kau punya adik di sini?"
"Luke, dia polisi di sini. Ibuku ada di Lafayette Louisiana. Hidup kami terpisah, aku bersama ayahku di Saugerties sebelumnya."
"Setidaknya kau masih memiliki keluarga yang bisa berkumpul kapan saja."
"Ayahku sudah meninggal. Oh, apa kau tidak memiliki keluarga?"
"Hanya ayah, tetapi aku tidak tinggal dengannya."
"Kenapa?"
"Beberapa alasan. Tidak perlu dipikirkan, aku terbiasa hidup sendiri."
Entah mengapa Lucy merasa ada yang disembunyikan oleh Kyan, tetapi ia tidak mencoba untuk mengorek lebih dalam karena mereka baru bertemu kedua kalinya. Ada perasaa sepi saat Lucy mencoba menatap Kyan, laki-laki ini seakan memiliki luka lama yang masin belum bisa dilupakan.
"Oh, apa kau tahu toko yang menjual kemeja putih dengan harga murah di sekitar sini?"
Kyan mengerutkan keningnya. "NC Times mengharuskan pegawainya mengenakan kemeja putih?"
Lucy tersenyum. "Tidak. Kata Elly, Gio menyukai perempuan berkemeja putih."
"Kau berusaha membuat Gio menyukaimu?"
"Ya ... tentu saja."
Jawaban Lucy membuat dahi Kyan berkerut, segera saja Lucy sadar bahwa Kyan sedang menatapnya dengan tatapan yang aneh.
"Bukan seperti yang kau pikirkan, Kyan! Tentu saja aku ingin membuat Gio menyukai dalam konteks bos pada pegawainya, agar bosku terkesan." Lucy jadi salah tingkah. "Sungguh bukan seperti yang kau pikirkan." Entah kenapa ia ingin mempertegasnya, menjelaskannya lebih dari sekali.
"Tapi kau tidak harus menjadi yang bukan dirimu."
"Aku tahu."
"Apa kau sangat membutuhkan kemeja putih itu saat ini?"
"Aku punya dua kemeja putih yang sudah lama dan warnanya tidak sebagus saat pertama kali aku membelinya."
"Itu cukup. Sabtu malam aku akan mengantarmu."
Ada dua hari menuju hari sabtu dan Kyan berpikir bahwa dua buah baju cukup hingga Lucy mengenakan pakaiannya yang baru di hari senin.
"Tunjukkan saja padaku tempatnya, aku akan ke sana sendiri."
Kyan tersenyum. "Malam hari di New York lebih menyenangkan. Aku tahu beberapa tempat yang menjual kemeja putih bagus."
"Yang murah."
"Oke, yang murah. Aku akan menjemput di apartemenmu pada hari sabtu pukul tujuh malam."
"Tidak perlu, Kyan! Aku sudah cukup merepotkanmu dengan meminta untuk mengantarku. Kau tidak harus menjemputku juga."
"Aku tidak merasa direpotkan, Lu."
Lucy tertegun sesaat. Lu adalah panggilan akrab yang biasa digunakan oleh keluarganya. Lucy tidak terganggu dengan panggilan itu, ia merasa nyaman saat Kyan memanggilnya seperti itu.
"Kita bertemu di sini saja, pukul tujuh malam," ujar Lucy.
"Baiklah."
"Apa ini artinya kau mengajakku kencan?"
Pertanyaan Lucy membuat Kyan mendadak gugup, Kyan menggosok hidungnya tiga kali.
"Well ... bagaimana menjelaskannya ya?"
Lucy tertawa dan wajahnya tampak lebih manis saat itu. Suawa tawanya renyah, membuat perasaan gugup Kyan menjadi hilang, terpesona oleh tawa perempuan yang duduk di hadapannya.
"Aku hanya bercanda, Kyan! Maaf bila aku keterlaluan. By the way aku tidak tahu nomor teleponmu."
"Oh ... ya." Kyan terbangun dari lamunannya, menyebutkan deretan angka nomor teleponnya. Lucy mencoba untuk menelepon Kyan dan tak lama kemudian suara dering ponsel berbunyi, tetapi Kyan bahkan tidak mengeluarkan ponselnya sama sekali.
"Aku akan mengeceknya nanti dan segera mengirimimu pesan setelah kau pulang. Maaf aku terlalu malu untuk mengeluarkan ponselku."
Lucy tertawa kecil. "Tidak perlu minta maaf, sejujurnya aku tidak peduli bagaimana ponselmu asalkan kita bisa saling memberi kabar. Aku harus pergi untuk menemui Luke. Terima kasih sudah menungguku, Kyan!"
Kyan tersenyum. "Sama-sama. Kuharap kau tidak bosan bertemu denganku bila kau sungguh bekerja di NC Times."
"Kenapa? Kenapa aku harus bosan?" tanya Lucy bingung.
"Lupakan. Terima kasih telah menemuiku, Lucy!"
"Sampai jumpa hari sabtu!"
Lucy pergi, kopinya telah habis begitu pula dengan kentang gorengnya. Kyan tersenyum.
"Sampai jumpa besok, Lu," gumamnya sambil tersenyum senang.
Baru sekarang ia menemui perempuan seperti itu, perempuan yang membuatnya tertarik walaupun baru dua kali bertemu dan berbicara dengannya. Menurutnya, Lucy adalah perempuan yang tidak akan pernah bosan untuk diperhatikan.
^^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top