BAB I


5 Tahun Lalu

Lucia Kinston tidak pernah menyangka bahwa hari ini adalah hari yang sangat buruk. Beberapa jam yang lalu ia berharap bahwa semua berjalan dengan lancar, membuang semua rasa gugup dan menggantinya dengan senyum canggung, namun ternyata harapan berubah menjadi bencana.

Kakinya yang berbalut sepatu pantofel warna hitam melangkah ke dalam KnK, sebuah restoran cepat saji di depan NC Times, tempatnya mengalami kekecewaan. Ia tidak bisa berpikir jernih pun tidak tahu untuk apa masuk ke tempat ini saat perutnya tidak merasa lapar. Saat melihat menu yang ada di atas counter, ia memutuskan untuk memesan sesuatu.

"Aku ingin satu porsi chicken wings ekstra pedas dengan minuman ekstra soda. Jika restoranmu menyediakan kopi, aku juga memesan secangkir kopi krim dengan gula dua sendok teh."

"Baik. Kopi Anda akan tiba sepuluh menit lagi, kami akan mengantarnya ke meja."

Lucy hanya menunggu sesaat sambil merenung hingga pesanannya datang. Ia membawa seporsi chicken wings ekstra pedas dan minuman bersoda ke meja yang ada di ujung dekat dengan dinding kaca. Sudut sepi, hanya ada seorang pelanggan yang sedang menikmati seporsi ayam goreng dan susu cokelat.

Lucy duduk dengan kasar, bahkan hampir saja ia membanting nampannya ke atas meja. Ia menggeram sambil mengacak-acak rambut cokelat gelapnya, kedua sikunya bertumpu di atas meja.

"Sial! Aku tidak akan pernah melangkahkan kakiku lagi ke sana! Tidak akan!" geramnya setengah berteriak.

Kemudian ia melahap makanan yang ada di depannya dengan kasar hingga membuatnya tersedak, buru-buru ia menyahut minuman bersoda yang ada di dekatnya.

"Ya ampun! Sepertinya hari ini aku memang dikutuk!" gerutunya seraya menstabilkan napas lalu duduk menyandar di kursi, memejamkan mata.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya seorang laki-laki yang duduk tak jauh di sebelahnya, satu-satunya laki-laki yang duduk dekat sudut tempat yang ia pilih. Sepertinya laki-laki itu telah lama memperhatikannya, setidaknya sejak Lucy bertingkah aneh seperti orang sedang kesetanan.

"Ya ampun! Kau mengagetkanku!" ujar Lucy yang hampir saja terjatuh dari kursinya, karena saat ia membuka mata, laki-laki itu sudah duduk di hadapannnya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya laki-laki itu untuk yang kedua kalinya.

"Apa kau melihatku sedang baik-baik saja?" ketus Lucy.

"Tidak," jawab laki-laki itu tanpa rasa bersalah.

"Kalau sudah tahu, kau tidak perlu bertanya!"

Lucy kembali melahap makannnya, sebaliknya laki-laki itu hanya diam sambil memperhatikannya dengan tatapan yang tidak biasa.

"Ini luapan emosi, bukan kelaparan," ujar Lucy dengan nada tak bersahabat, seolah memberi jawaban atas tatapan orang asing yang tak kunjung pergi dari hadapannya.

"Ini pesanan Anda. Kopi krim dengan gula dua sendok teh," ujar seorang pelayan perempuan yang datang membawa pesanan Lucy.

"Letakkan saja di atas meja! Kenapa baru sekarang kau mengantarkan kopiku?"

"Maaf, Nona."

Setelah pelayan itu meletakkan pesanan Lucy, ekspresinya berubah sedikit kaget saat melihat ada laki-laki itu.

"Tu-Tuan?" pelayan itu hendak membungkuk dengan wajah sedikit pucat, namun hanya dengan isyarat tangan dan sedikit senyuman, pelayan itu kembali tersenyum.

"Maaf Tuan, dan ... terima kasih."

Pelayan itu pergi tergesa-gesa, tidak repot untuk menoleh kembali ke belakang. Lucy melihat semua kejadian itu kemudian mengerutkan keningnya. Perasaan kesal yang masih hinggap di hatinya menghentikan niatnya untuk beramah tamah dengan laki-laki aneh yang ada di hadapannya.

"Kenapa pelayan itu bersikap aneh? Apa kau ini bosnya?" tanya Lucy masih dengan nada ketus.

"Oh, bukan. Aku sering datang ke sini. Sesekali aku mengisi tempat ini dengan bernyanyi. Siapa tahu tempat ini menjadi awal karirku sebagai penyanyi terkenal," terang laki-laki itu sambil tersenyum.

"Kau? Penyanyi?" tanya Lucy tidak percaya.

"Tentu saja! Itu mimpiku."

Seketika rasa kesal Lucy menghilang karena laki-laki ini. Sepertinya ia salah dengar. Laki-laki ini bermimpi menjadi penyanyi terkenal dengan gaya yang sangat tidak masuk akal. Tubuh jangkung, sedikit membungkuk dan tampak kurang percaya diri, potongan rambut seperti kutu buku, pas dengan kacamata bingkai kotak tebal warna hitam yang dikenakannya, kemeja polos warna biru muda, celana kain warna hitam. Ia bahkan lebih cocok terlihat di perpustakaan daripada di atas panggung kafe pinggir jalan. Lucy tidak dapat menahannya, ia tertawa.

"Entah apa yang ada di pikiranmu, tapi aku merasa itu tidak cocok sama sekali. Maaf bila aku menyinggungmu."

Laki-laki itu tidak tersinggung, sebaliknya ia malah tersenyum.

"Aku tidak tahu apa alasan yang membuatmu berkata seperti itu, tapi aku senang karena akhirnya kau tertawa."

"Ya, terima kasih telah menghiburku."

"Jadi, kau punya masalah saat datang ke tempat ini?"

Lucy berhenti tertawa, ia membersihkan kedua tangannya dengan tisu kering kemudian menyeruput kopinya.

"Ya Tuhan, kopi ini enak! Walaupun pelayanannya agak lama."

"Kau suka?"

"Tentu saja! Kalau kau mau, aku akan memesankannya untukmu." Lucy kembali menyeruput kopinya.

"Tidak, terima kasih. Aku sudah kenyang dengan makananku." Dengan isyarat mata, laki-laki itu menunjukkan hidangan yang telah habis di atas mejanya.

"Oke ... ayam goreng dan susu coklat?" tanya Lucy dengan nada yang aneh.

"Terbaik di tempat ini."

Lucy berpikir bahwa laki-laki di hadapannya ini benar-benar memiliki selera yang aneh untuk usianya. Ia terlihat seumuran, tapi ... kids meal? Yang benar saja!

Lucy membuang pikiran tentang laki-laki aneh itu dan memutuskan untuk tidak mem-bully terlalu jauh di dalam hati.

"Aku gagal dalam tes wawancara di NC Times," ujar Lucy kecewa.

"Perusahaan media yang ada di depan? Itu perusahaan yang sangat besar!"

"Aku tahu! Tapi aku gagal, bahkan mereka mengejekku habis-habisan."

"Kau bisa mencobanya lagi, tidak perlu disesali."

"Menjadi seorang jurnalis adalah mimpiku sejak kecil. Aku ingin mencari berita dan menulisnya sendiri agar semua orang membacanya. Aku ingin berita yang kutulis membawa kebenaran bagi orang lain, meluruskan masalah yang rumit. Aku berharap berita yang kusampaikan memberi solusi dan pencerahan bagi orang banyak hingga mereka akan memiliki sudut pandang yang positif tentang dunia. Aku ingin menyingkirkan berita bohong yang selama ini menghantui masyarakat."

"Itu bagus! Kalau begitu kau harus menjadi jurnalis."

"Tidak bisa! Mereka menjatuhkan mimpiku. Mereka berkata bahwa orang-orang naïf sepertiku tidak pantas masuk ke dunia jurnalistik. Mereka memberi sederet alasan yang tidak masuk akal lalu aku memilih untuk pergi."

"Itu tidak benar! Hinaan adalah motivasi yang paling kuat, kau tahu? Jadikan itu sebagai penyemangat, tunjukkan bahwa kau tidak seperti yang mereka kira. Tanamkan di pikiranmu bahwa mereka semua salah dan kaulah yang benar, maka mimpimu akan menjadi kenyataan!"

Lucy terdiam, ia meminum kopinya lagi sambil berpikir keras.

"Oh, aku tidak pernah berpikir seperti itu! Kau benar!"

"Aku punya sebuah lagu. Ini buatanku sendiri dan belum pernah kuperdengarkan pada orang lain," ujarnya sambil menggosok hidungnya dua kali. Suaranya terdengar gugup.

"Oke, aku mendengarkan."

"Err ... aku lebih percaya diri dengan gitarku. Tunggu sebentar!"

Laki-laki itu hendak berdiri menuju mejanya untuk mengambil gitar, namun lututnya tidak sengaja membentur meja hingga menghasilkan suara yang berisik dan barang-barang yang ada di atas meja bergerak.

"Ups, maaf."

Lucy menahan tawanya. Laki-laki ini benar-benar unik, ia bisa menjadi seorang penyemangat, namun bisa berubah menjadi sangat kikuk beberapa saat kemudian. Lucy tidak yakin laki-laki ini bisa menjadi seorang penyanyi terkenal seperti mimpinya. Lucy terdiam, ia mengerutkan kening dalam kemudian menggeleng pelan sambil mengurut pangkal hidungnya.

"Ya Tuhan ... apa yang kupikirkan? Bila terus berpikir seperti itu, berarti aku sama seperti mereka yang telah menghinaku," gumam Lucy.

"Oke, dengarkan aku."

Lucy berjingkat kaget. "Oh? Ya ... oke."

Laki-laki itu mulai memetik gitarnya.

"Have you ever feel lonely?

Have you ever feel desperate?

Isn't somebody there to help you?

But not, they just look at you and not do anything

Have you dreamed so beautifully?

Have you dreamed reach the cloud so highly?

But fall with the broken wings

Until it crashed to the ground without anyone else

Lonely

Just stand up, sternly staring at the sky

Believe me that you so special

Everyone doesn't have the same gems

Everyone will be beautiful in the right time

Wrap the wound and spread the hope

Fly! To the sky high

Dont let them catch you and gove you any hurt

Fly! Until nobody can reach you

Because

The dreams is yours

The most shining among the others

Just ... fly!

The dreams is yours."

Lucy bertepuk tangan, laki-laki itu menundukkan kepalanya dengan kikuk sembari membetulkan letak kacamatanya yang turun.

"Aku tidak tahu kau memiliki suara yang indah dan pandai bermain gitar! Kau membuatnya sendiri?"

"Ya. Apa ... terdengar buruk?"

"Apa kau bercanda? Aku menyukainya!"

"Lagu ini belum sepenuhnya jadi, masih tidak sempurna, tetapi lagu ini adalah penyemangatku."

"Kalau begitu lagu ini juga akan menjadi penyemangatku."

Laki-laki itu tersenyum lega, bahkan suara tawanya terdengar samar.

"Benarkah?" tanyanya tidak percaya diri.

"Hanya orang tuli yang menganggap lagu ini buruk."

"Terima kasih. Kalau kau menyukainya, aku akan memperbaikinya lagi."

Lucy tersenyum. "Aku sangat menyukainya." Kemudian ia menunduk sambil meletakkan cangkir kopi yang isinya sudah hampir habis.

"Maaf karena tadi aku telah mengejekmu."

"Tidak masalah. Aku tidak terpengaruh hanya dengan kata-kata seperti itu."

"Aku merasa ... aku sama seperti mereka yang telah mengejekku. Ya Tuhan! Aku merasa buruk sekali!"

"Menyadari kesalahan dan meminta maaf adalah hal yang mulia, kau tidak perlu merasa buruk."

"Jadi, apakah kau bermimpi menjadi penyanyi terkenal?"

"Ya, tentu saja! Aku ingin menghibur banyak orang dan memberi mereka semangat lewat lagu-lagu yang kuciptakan."

"Well, setidaknya kau telah berhasil memberiku semangat. Kalau begitu, kau juga harus menjadi penyanyi terkenal! Dengan suaramu dan keahlianmu bermain gitar, kau pasti bisa meraih mimpimu! Anggap saja kau sudah punya dasarnya."

"Oh, terima kasih."

"Kalau begitu, kau harus berjanji satu hal! Saat aku menjadi seorang jurnalis terkenal, kau juga harus menjadi penyanyi terkenal! Tidakkah mimpimu dan mimpiku bisa saling memberi dukungan satu sama lain? Aku akan menulis tentangmu diberitaku, menunjukkan mereka bahwa kau adalah penyanyi yang memberikan nilai positif pada semuanya."

"Aku akan menuliskan lagu untukmu dan setiap ada hal baru tentangku, kau akan menjadi orang pertama yang tahu."

Mereka berdua tertawa, tidak terasa perbincangan mereka menjadi semakin dekat bahkan mereka lupa bahwa mereka belum mengenal satu sama lain.

"By the way aku tidak tahu siapa namamu dan ... kau juga tidak tahu siapa namaku."

Lucy membulatkan matanya, kemudian kembali tertawa.

"Ya Tuhan! Kau benar! Kita berbincang-bincang seperti telah lama saling mengenal. Aku Lucia Kinston, kau bisa memanggilku Lucy. Umurku 24 tahun dan aku tinggal yah ... tak jauh dari sini."

"Ternyata kita seumuran ya? Aku Kyan Landen, kau bisa memanggilku Kyan. Apartemenku tak jauh dari sini."

Lucy tersenyum. "Terima kasih karena telah mengembalikan semangatku, Kyan."

Kyan, laki-laki itu juga tersenyum dengan bibirnya yang tipis. "Kau juga, Lucy."

"Besok masih pendaftaran, aku akan mencoba lagi!"

"Kalau begitu besok aku akan ada di sini untuk memastikan bahwa kau benar-benar masuk di NC Times dan menjadi seorang jurnalis."

Lucy tertawa kecil, kedua matanya terpejam dan membuatnya tampak lebih manis.

"Aku pasti akan menemuimu lagi di sini."

Saat itulah awal dari pertemuan mereka, awal dari hubungan antara Lucy dan Kyan.

^^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top