- Tentang Pernikahan -
Menikah adalah sebuah keyakinan tentang janji pertolongan Allah dan sebuah ladang ibadah yang siap kita semai bersama. Bukan ajang perlombaan atau sekadar pembuktian diri. Menikahlah dengan niat memperbaiki diri.
***
“Nggak perlu kerja, ikut jadi istriku aja.”
Refleks, Ayu tersedak makanannya sendiri. Lalu segera meraih gelas air di hadapannya lagi.
“M-maksud Pak Aga, gimana?”
“Pak-pak, emang gue bapak lu?”
“Oh, so-sorry, Pak, Mas, s-saya jadi bingung.”
“Dengerin baik-baik, ya. Sekali lagi. Kamu berhenti kerja di bank itu, lalu nikah dan ikut aku ke Surabaya. Gimana?” tawar lelaki tampan itu seolah-olah tak memiliki beban.
“Tapi saya belum ada rencana nikah muda, Mas.” Ayu telah berhasil menenangkan diri pasca dibuat terkejut oleh pertanyaan Aga barusan.
“Masih tahun depan, kok.”
“Saya masih kuliah.”
“Udah semester akhir, kan, pasti?”
“S-saya belum ada niat keluar dari pekerjaan saya.”
“Masa?” tanya Aga tak yakin.
Ayu hanya mengangguk, tanpa berani menatap ke arah lawan bicaranya.
“Kalau kamu nikah sama aku, kita bakal memulai kehidupan yang bener-bener baru di Surabaya. Cuma berdua.”
“Maaf, Mas, saya belum bisa—“
“Kamu harus pikirin ini baik-baik, deh. Kamu bisa selesaikan kuliahmu dulu, setelah itu kita menikah.”
“Menikah nggak bisa semudah itu, Mas. Lagi pula, kita belum ada 24 jam saling kenal.”
“I know. Tapi aku yakin sih, kita bisa memulainya baik-baik. Atau, karena kamu punya pacar? Udah lah, tinggalin aja. Nggak boleh pacar-pacaran.”
“Nggak ada.”
“Nah! Jomlo, kan. Trus kenapa nggak terima aja?”
Kali ini Ayu memberanikan diri menatap ke arah Aga yang sama sekali tak terlihat memiliki beban atas segala ucapannya barusan.
“Kalau Mas Aga memilih saya secara acak untuk diajak menikah, Mas Aga salah orang. Buat saya, pernikahan nggak sesederhana itu.”
“Kata siapa acak, sih? Kamu Dahayu Anjani, kan?”
Ayu mengangguk bingung.
“Ya udah deh gini aja. Izinin aku ketemu orang tua kamu buat bahas ini semua.”
“Maaf, Mas, tadi saya udah bilang, saya belum ada niat menikah muda.”
“Kenapa?”
Ayu terlihat berpikir beberapa saat, “Y-yaaa, karena, saya masih mau menyelesaikan kuliah,” sahutnya asal. Kehabisan akal untuk mengelak.
“Udah mau lulus, kok.”
“Saya masih punya banyak tanggungan, maka dari itu saya masih butuh pekerjaan dan belum ada niat buat menikah," ulangnya kesal.
“Kalau kamu jadi istriku, aku yang bakal nanggung semua beban di pundak kamu itu, Yu. Kamu hanya perlu duduk manis, mendukung pekerjaan aku. Santai aja.”
Siapa sih laki-laki di depan gue ini? Seolah-olah tau banget soal kehidupan gue.
“Mmm, tapi, Mas ....”
“Kamu nggak harus jawab saat ini juga, kok. Aku bakal nungguin sampai kamu jawab iya.”
“Tapi—“
“Udah deh nggak usah kebanyakan tapi.”
Dahayu berhasil dibuat mati gaya oleh lelaki yang baru dikenalnya itu.
“Nggak ada jawaban lain, ya. Harus iya. Bersedia. Mau. Apa pun itu, aku nggak terima penolakan.”
Mau nikah kok maksa?
“Mmm, kenapa?” tanya Ayu.
“Ya nggak papa. Aku serius sama ucapanku buat menikahi kamu.”
“Kenapa saya?”
“Kalau udah nemuin yang tepat, kenapa harus cari yang lain lagi?”
“Tepat? Kok bisa? Kita bahkan baru aja—“
“Aku percaya sama pilihan papa.”
Ayu tak lagi bisa berkata-kata. Seingatnya, ia memang pernah beberapa kali mendampingi Pak Rustam untuk bertemu dengan nasabah prioritas di bank tempatnya bekerja, Pak Jaya Adhitama. Murni untuk masalah pekerjaan dan sama sekali tidak pernah ada bahasan mengenai hal pribadi.
“Wajar sih kalau kamu heran. Tapi kenyataannya emang gitu. Dulu papa sering ajak aku kalau mau ketemu sama kamu. Tapi aku selalu nolak dan menghindar. Ternyata sekarang aku menyesal, kenapa nggak dari dulu aja aku nurutin kata papa buat ketemu kamu.”
“Tapi, saya—“
“Ayu. Kamu tu kebanyakan tapinya, ya. Udah terima aja kenyataannya.”
Kenyataan? Apa sih? Elu tiba-tiba muncul di hidup gue dan langsung ngajakin nikah? Kenyataan macam apa?
Lagi-lagi Ayu hanya bisa mengomel di dalam hati saja. Tanpa berani langsung mengungkapkan kepada lawan bicaranya.
Di tengah-tengah kebingungan yang melanda, seorang pramusaji muncul dengan pesanan lainnya yang tentu saja dari Aga. Semangkuk kukis bentuk hati berwarna merah muda telah tersaji di hadapan keduanya.
“Maaf ya, nggak ada permen kapas. Kamu suka permen kapas, kan?” tanya Aga membuyarkan lamunan Ayu yang masih menatap ke arah kukis dengan tulisan ‘forever love’ di atasnya.
Ayu mengangguk lalu menggeleng hampir tanpa jeda, saking terkejutnya. Sebagai perempuan normal, hatinya menghangat saat mendapat kejutan manis itu.
“Mas Aga tau dari mana aku suka permen kapas?”
“Gampang nyari tau soal kamu, tuh. Dimakan kukisnya.”
“Sayang, Mas. Boleh aku foto dulu?” rasanya Ayu mulai meleleh dengan pesona lelaki tampan di hadapannya saat itu.
“Sure. Diunggah ke akun medsos kamu, ya. Biar semua orang tau kalau kamu sudah jadi milikku.”
“Apaan sih?” celetuk Ayu tak terima.
“Oh, akhirnya Ayu bisa jawab. Dari tadi kenapa cuma ngomel dalam hati?”
“Mas Aga dukun?”
Lelaki tampan dengan setelan berwarna hitam itu tersenyum, “Syirik kalo kamu percaya dukun,” sahutnya.
“Yu, aku tau kamu masih shock sama ajakan ku buat menikah. Tapi aku serius. Tolong dipikirkan lagi.”
“Mas Aga tau, menikah itu bukan hal yang main-main? Menikah itu harus dengan kesadaran dan kesiapan hati kedua belah pihak.”
“Tau.”
“Trus?”
“Ya aku yakin kamu mau, kok.”
“Hah?”
“Real love starts after nikah, kan? Nggak ada solusi terbaik bagi dua insan yang saling jatuh cinta selain menikah, Yu.”
“Saling, Mas?”
Aga mengangguk mantap.
“Barangsiapa memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah,” sambung Aga, mengutip bagian dari hadis yang juga pernah Ayu dengar dalam kajian bulanan di kantornya.
“Kamu tau nggak, Yu, ada tiga kelompok manusia yang pasti ditolong sama Allah,” sambung Aga.
“M-maksudnya?”
“Satu, mujahid di jalan Allah. Dua, pemuda yang menikah untuk menjaga kehormatan diri. Yang ketiga, budak yang berusaha memerdekakan diri agar lebih leluasa beribadah . Aku yang nomor dua, Yu.”
Serius nih, gue digombalin pake hadis-hadis tentang pernikahan?
Ayu benar-benar terdiam kali ini, masih tak habis pikir dengan kepercayaan diri lelaki di hadapannya itu.
“Yu, bantu aku untuk menyempurnakan separuh dari agamaku, please. Bantu aku untuk menjadi lebih baik,” ujar Aga, kali ini dengan nada bicara yang benar-benar serius.
Gadis dengan lesung pipi itu akhirnya menyerah. Ia mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya kembali memberikan jawaban.
“Oke. Kasih aku waktu untuk mikirin ini.”
“Jangan lama-lama.”
“Hmmm,” gumam Ayu, sedikit kesal, namun tak mampu menyembunyikan rona bahagia dari sorot matanya.
“Aku makan kukisnya, ya?”
“Makan aja. Tapi jangan lupa yang tadi, post di medsos, tag aku. Oke?”
Ayu tersenyum tipis, namun degup jantungnya semakin tak beraturan.
“Usernamenya apa?” sahut Ayu serius sambil mengusap layar ponselnya.
“Aga ganteng.”
“Dih.”
“Canda. NuragaAdhtm yang udah centang biru. Follow, ya!”
“Oh, seleb?” desis Ayu. Setelah melihat jumlah pengikut di akun centang biru milik Aga, nyalinya kembali menciut. Orang seperti Aga yang punya segalanya, kenapa justru memilih Ayu untuk menjadi istrinya? Apa ini cuma sekadar permainan?
“Bukan. Cuma banyak penggemar aja.”
Ayu kembali mengunyah kukis di hadapannya dengan tatapan heran.
Kenapa bisa ketemu makhluk semacam ini, sih, Ya Allah.
“Mau?” tawar Ayu basa-basi, sembari menyodorkan mangkuk kukis ke hadapan Aga.
Lelaki itu menggeleng.
“Kalau suka makanan manis, jangan malas sikat giginya.”
“Eh? O-oke,” sahut Ayu salah tingkah.
“Udah malem, aku antar kamu pulang, ya.”
•••••
Yaah gitu, tingkat kePDan Nuraga emang di atas rata2. 😅
Masih semangat ngawal kisah Ayu-Aga sampe kelar, kan? Ini baru awal, masih manis-manisnya sih.
Terus dukung dengan vote dan komennya ya, temen-temen. Semoga yang baca, komen dan vote rezekinya tambah lancar, Aamiin 🥰🥰
Jan lupa tolong tandain typo, love.
See u.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top