- Setitik Cahaya Terang -

Recharge Your Iman With Quran!

***


Aga mendapati tubuh Ayu gemetar di sudut lantai kamar mandi. Wanita itu mendekap kedua lututnya sambil menangis. Sekujur tubuhnya basah akibat air yang membludak dari bathtub dengan keran yang dibiarkan terbuka.

Di lantai yang sama pula, tersebar pecahan kaca serta barang-barang yang berserakan.

“Kamu baik-baik aja? Ada yang luka?”

Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Ayu.

Tanpa berlama-lama, Nuraga segera menyelimuti tubuh Ayu dengan handuk lalu memapahnya keluar, menuju kamar. Gagang pintu yang telah rusak akibat tendangan Aga dibiarkan menggantung begitu saja.

Tak ada yang lebih penting selain keadaan Dahayu saat ini.

“Ganti baju dulu, ya. Aku nggak mau kamu kedinginan.” Dengan tenang, Nuraga membantu Ayu mengganti pakaiannya dengan yang baru. Lantas, lelaki itu menggiringnya duduk di atas kasur dan menyelimuti kaki hingga ke pinggangnya.

“Sayang, kamu kenapa?” tanya Aga lembut sambil mengusap air mata yang masih saja memaksa jatuh di kedua pipi Ayu.

“Aku ...” bibirnya kelu, seolah tak mampu lagi berkata-kata.

“Aku nggak pantes buat kamu, Mas. Naya yang lebih pantes. Aku juga nggak bisa jadi ibu yang baik buat Diaz. Aku nggak bisa,” ungkap Dahayu seraya matanya semakin memerah dan mulai membengkak akibat tangisan.

“Kenapa bisa bilang gitu. Kamu yang terbaik—“

“Nggak, Mas. Aku bisa lihat kok gimana bahagianya kamu kalau ngobrol sama Naya.”

Aga menggeleng ingin menanggapi, namun Ayu terlebih dahulu melanjutkan percakapannya.

 “Lagi pula, ibu yang baik nggak akan pernah kepikiran buat menyakiti anaknya sendiri kan, Mas?”

Lelaki dengan kumis tipis di wajahnya itu menelan salivanya kasar. Berharap hal yang dikatakan istrinya barusan tak benar-benar terjadi. Tak mungkin ada seorang ibu yang tega menyakiti anaknya sendiri.

“Setiap hari aku dengar bisikan-bisikan jahat buat mencelakai Diaz. Aku nggak mau! Tapi aku nggak tau harus berbuat apa.” Tangisnya semakin pecah.

“Astagfirullahaladzim ....”

“Aku capek sama pikiranku sendiri,” pekik Ayu sambil menarik-narik rambut panjangnya. Merasa frustrasi.

Sebagai suami, Aga merasa bersalah atas segala yang terjadi pada Ayu. Entah apa yang dialaminya. Namun Aga sepenuhnya merasa ada yang salah dan harus segera diatasi.

Aga masih membisu. Kerongkongannya nyaris kering. Tak ada kata terucap selain hanya membenamkan tubuh gempal Ayu ke dalam pelukannya.

Dari depan pintu kamar, Mama Trias mendapati keduanya dalam keadaan haru. Hatinya ikut mencelos mendapati kesedihan dan kegelisahan yang terpancar jelas.

“Aku ... Aku pernah nodongin pisau ke Diaz waktu dia nangis seharian tanpa sebab,” ungkap Ayu menyesal.

Bukannya marah, Aga justru semakin erat mendekap tubuh Ayu yang masih bergetar hebat. Aga bukan tak terkejut. Ia hanya berusaha tetap tenang, seraya terus mengucap zikir kepada Allah.

“Aku nggak pantes jadi ibu, Mas. Nggak pantes bersanding sama kamu.”

“Kamu tenangin diri dulu, ya,” sahut Aga masih shock namun terus berusaha tenang.

“Aga, Ayu,” panggil mama lembut sembari mendekat. Tak tahan untuk tidak menengahi permasalahan ini.

Ayu terlonjak kaget melihat kehadiran Mama. Tentu saja ia tak berharap ada orang lain yang mendengar pengakuannya tadi selain Aga. Kini habislah sudah. Semua orang pasti akan menyalahkannya.

Ekspresi yang sama terpancar dari raut wajah Nuraga yang terkejut. Tak menyangka akan kehadiran ibunya.

“Salat dulu lah, Nak. Sudah masuk waktu zuhur,” tambah mama lagi. Sedikit melegakan perasaan keduanya.

Nuraga mengurai pelukannya lantas mengangguk atas ucapan sang ibu, pandangannya masih tertuju pada wajah pucat milik Dahayu.

“Minta ampun, Nak. Rendahkan hatimu di hadapan Allah. Lupakan sejenak kesibukan dan masalah duniawi.  Jadikan Al Quran sebagai penenang hati yang gelisah. Sudah berapa lama kalian nggak mengaji?”

DEG!

Ulu hati Nuraga serasa dipukul kencang. Selama ini, ia terlalu sibuk dengan dunianya. Hingga lupa menjamah kitab suci agamanya sendiri. Pedoman hidupnya.

Bahkan ia lupa dengan statusnya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya. Sesalnya menyeruak, mengingat dirinya belum mampu membimbing istrinya dalam kebaikan.

Wanita berlesung pipi di hadapannya pun tak mampu mengontrol rembesan air di wajahnya yang tak henti berjatuhan. Ayu merasa seolah berada di sebuah lubang dalam dan gelap. Hampa.

Nuraga menatap bola mata coklat indah milik Ayu yang kini berubah merah. Wajah sendu itu membalas anggukan pelan, seolah paham dengan arti dari tatapan suaminya tersebut.

Dengan bergenggaman tangan, keduanya beranjak mengambil air wudu lantas bersimpuh di atas sajadah. Memohon ampun atas segala yang telah terjadi.

Setelah melahirkan Diaz, hari ini menjadi pertama kalinya lagi kedua pasangan itu dapat menikmati salat berjamaah berdua.

Baru kali ini Ayu merasakan ketenangan dalam sujud panjangnya. Biasanya, salat hanya sebagai rutinitas baginya. Apalagi setelah memiliki anak. Astagfirullah.

Tak seharusnya kehadiran anak menjadi penyebab ia jauh dari Allah. Tak seharusnya kesibukan duniawi bisa membuatnya begitu tenggelam dalam kegelapan.

Dahayu terus berzikir dan memohon ampun dalam lirih.

Meski masih merasa sempit bagai terkurung di dalam lubang, namun kini ada setitik cahaya yang telah ia dapati.

Masih dalam balutan mukena berwarna putihnya, Ayu merebahkan diri di atas pangkuan Aga. Sedang Aga, melanjutkan lantunan Al Qurannya sambil sesekali membelai pucuk kepala istrinya.

Sungguh hal itu semakin membuat Dahayu berangsur tenang dan nyaman.

***

“Sayang...” panggil Aga lembut.

“Iya?” Dahayu menghentikan sejenak kegiatannya melipat pakaian bayi.

Tatapan itu masih sendu. Masih terlalu jelas jejak-jejak air mata di atasnya. Namun, wanita itu sudah mampu untuk memberikan senyum terbaiknya pada Aga.

“Kamu baik-baik aja?”

Dahayu mengembuskan napas agak kencang sebelum akhirnya mulai menjawab.

“Saat ini aku ngerasa baik.”

Nuraga mengangguk.

“Mulai hari ini, aku akan lebih banyak di rumah buat nemenin kamu dan Diaz, ya. Kita hadapi ini sama-sama.”

Kali ini giliran Ayu yang mengangguk.

“Hhhh, sejujurnya, aku nggak tau, apa aku bisa jadi lebih baik lagi setelah ini. Atau malah semakin parah?”

“Kita cari jalan keluarnya sama-sama nanti, ya.”

Wanita berlesung pipi itu sekali lagi mengangguk. Sesekali, badannya masih terlihat bergetar, seperti tersedu. Bedanya, tak ada lagi air mata yang terjun bebas di pipinya.

“Tapi bisikan-bisikan itu ..., kerasa bener-bener nyata, Mas.”

“Kamu kurang istirahat.”

Lagi-lagi Ayu mengangguk, ingin menyetujui pendapat Aga. Bisikan itu hanya halusinasinya saja. Akibat kekurangan jam tidur dan juga melemahnya keimanan diri.

“Sama kurang iman, ya?” sambung Ayu setengah becanda. Namun, perasaannya seperti teriris.

“Kita perbaiki diri sama-sama, ya. Manusia memang sering tergelincir dalam lubang kesalahan. Dosa. Tapi, Insya Allah, kita akan terus bangkit dan berlari menuju cahaya. Bersama-sama?”

Untuk kesekian kalinya Ayu mengeluarkan jurus andalannya, menganggukkan kepala.

Keduanya lalu berpelukan dan saling menguatkan.

“Aku ingat, dulu papa pernah bilang kalau tanda-tanda iman mulai melemah, salah satu contohnya adalah tumbuhnya rasa malas dalam melakukan amal ibadah. Lalai dari membaca dan mentadaburi Al Quran. Iman yang melemah akan menjadikan dada terasa sesak dan sempit. Allah sirnakan rasa lapang dari hatinya. Astagfirullah...”

Dahayu ingin sekali menangis, namun air matanya seolah telah habis. Tak setetes pun mau menunjukkan keberadaannya.

Ayu tak yakin apa yang sebenarnya tengah bergelut di pikirannya sendiri. Apakah ia telah merasa baik-baik saja sekarang? Atau, terasa semakin sesak di dadanya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top