- Sesal -
Jika tidak ingin menyesali sesuatu di kemudian hari, maka lakukanlah segalanya hanya karena Allah.
***
“Kamu lagi sama siapa, Mas?”
“Sama Kanaya, tunggu ya. Bentar lagi aku sampai, kok.”
“Kanaya – Kanaya, siapa?” tepis Ayu, tak setuju untuk mengakhiri panggilannya.
“Rekan bisnis aku, dia baru aja pindah ke Surabaya. Jadi aku anter dia balik sekalian, searah.”
“Dia cewek, kan?”
“Iya ...,” sahut Aga masih tak bersemangat.
“Jadi kamu boncengan sama cewek? Kamu tau nggak—“
“Cuma nganterin, sayang. Nggak lebih.”
“Ya sama aja bukan mahram. Ada batasan bagi laki-laki yang sudah menikah buat berinteraksi sama lawan jenis. Termasuk boncengan, nganterin pulang. Kamu paham, kan?” serang Ayu tak peduli dengan tangisan bayi kecilnya di belakang.
“Sayang, itu Diaz nangis. Kamu urus dia dulu, ya. Nanti kita bahas lagi di rumah.”
“Nggak pe—“
TUUUT TUUUT TUUUT
Panggilan teleponnya diakhiri begitu saja. Ayu beranjak dengan perasaan marah dan cemburu. Berjalan kesal menuju ke arah suara yang semakin mengganggu indera pendengarannya.
“Lu bisa diem nggak, sih?” sentak Ayu pada Diaz yang semakin melengkingkan tangisannya.
Dahayu berusaha menutupi kedua telinganya dengan tangan.
“Lu itu berisik, tau nggak?” lanjutnya lagi, lantas berlari ke sudut ruangan sembari menelungkupkan wajahnya ke arah lutut sambil berjongkok. Tubuhnya bergetar hebat.
Paduan tangis pecah dalam satu ruangan yang sama. Kinerja pendingin ruangan seolah tak dapat diandalkan saat itu. Suhu panasnya berhasil menenggelamkan ruangan berukuran 5x6 meter, hingga warna kulit putih kemerahan sang bayi pun menulari sekujur tubuh Ayu. Dirinya terbakar emosi.
“Aaaakkk! Kenapa sih dulu gue harus terima lamaran orang yang sama sekali nggak gue kenal?” racau Ayu, kembali menyesali masa lalunya.
"Kenapa harus nikah dan ninggalin kehidupan gue yang dulu? Kenapa resign, Ayu?" Bentaknya pada diri sendiri.
Surai hitam panjangnya kini tergerai kacau tak beraturan. Kedua tangannya masih terus menerus berupaya menutupi kedua telinga, agar terhindar dari tangisan Diaz yang semakin meronta.
Sekejap kemudian, Ayu merasakan pusing yang begitu hebat di kepalanya. Wanita itu berjalan terhuyung, menuju kembali ke box bayinya. Sekuat tenaga ia berusaha bernapas normal, namun terasa begitu berat. Sesak.
Dalam hitungan menit, usahanya untuk menggapai buah hati di dalam tempat tidurnya berhasil. Diaz telah berada di gendongan ibunya. Ditimang, dibuai dengan begitu lembut.
Makhluk kecil itu seolah merdeka ketika selimut rajut yang menutupi tubuhnya kini telah tiada. Tangisnya tak lagi nyaring, menyisakan isakan napas pendek-pendek hampir tak bersuara.
“Kamu haus ya, Sayang?” tanya Ayu dengan seringai tajam.
“Sabar, dong. Jangan buru-buru gitu. Kita santai aja, oke?” tawanya pecah, melengking ke seluruh ruangan.
Dengan masih terhuyung Dahayu menggendong bayi kecil itu menuju kasur, lantas memposisikan dirinya berbaring di sebelah Diaz untuk mulai menyusui. Meski dengan susah payah dan menahan nyeri, wanita itu berhasil melancarkan aksinya.
Perasaan damai seketika muncul, merambat di sekujur nadinya. Perlahan, Dahayu mampu bernapas dengan lega. Nyaman. Seiring dengan setiap tegukan yang terdengar dari bayi mungil di dekapannya.
Wanita berlesung pipi itu kini menangis lirih, merasa lelah dengan perasaan asing yang sering kali muncul pada dirinya semenjak kehadiran Diaz.
***
Sebuah kecupan hangat mendarat tepat di kening Dahayu sore itu.
“Kamu udah bangun. Udah solat?” sapa raut wajah tegas dengan senyum khasnya yang begitu tampan. Bulu-bulu halus di sekeliling wajahnya mulai bermunculan, tanda bahwa lelaki itu belum sempat melakukan ritual cukurnya.
“Diaz mana?” panik Dahayu, lantas segera mengambil posisi duduk. Tak dipedulikannya pertanyaan Nuraga.
“Barusan aku pindahin ke box-nya. Kalian sweet banget, sih. Tidur peluk-pelukan.”
Ingatannya melayang pada kejadian sebelum ini. Rasa sesal dan cemburu buta hampir membuat Ayu kehilangan akal sehatnya.
“Kamu kenapa?”
“Kayaknya, aku nggak mungkin bisa jadi ibu yang baik deh, Mas.”
“Kata siapa, sih? Kamu itu udah melakukan yang terbaik versi kamu. Versi kita,” kata Nuraga. Kedua jemari pasangan itu saling bertautan. Hal yang telah cukup lama tidak Ayu rasakan.
“Mana ada ibu yang baik nggak mau nyusuin anaknya sendiri,” ujar Ayu, melepaskan genggaman tangan Aga namun segera diraih kembali oleh suaminya itu.
“Dahayu mau kok. Tadi sampai ketiduran bareng, kan?”
“Hhh ... Kamu tuh nggak ngerti apa yang aku rasain sekarang, Mas.”
“Kamu kasih tau dong. Cerita biar aku ngerti.”
Bukannya menjawab, Dahayu hanya memandangi pantulan dirinya pada kedua bola mata coklat milik Aga. Tersenyum, lalu kembali bermuka masam berulang kali.
“Kanaya siapa?” tanya Ayu kasar, tiba-tiba bola matanya membulat, menyuguhkan kembali raut wajah kelat di hadapan Aga.
“Rekan bisnis aku, sayang. Yang dulu berani kasih modal gede buat pembangunan hotel kita di Kalimantan,” jelas Aga antusias, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Nada bicaranya justru menandakan suatu kegembiraan tersendiri.
“Ngapain kamu nganterin dia?”
“Ya sekadar ngehormatin tamu aja, sayang. Jangan marah dong,” ujar lelaki itu, memeluk erat istrinya tanpa menunggu izin terlebih dahulu. Dahayu menurut, luluh dalam pelukan suaminya. Emosi yang tadinya meletup-letup kembali tersamarkan.
“Sejauh apa hubungan kamu sama dia?” Ayu tak tahan untuk tidak bertanya. Ingatan akan kesendiriannya kala hamil muda dan di detik-detik menjelang persalinan seperti mengantre ingin diulas satu per satu. Apa mungkin, Nuraga pertama kali bertemu Kanaya di Kalimantan saat itu? Sedangkan sepenggal obrolan yang Ayu tangkap tadi seperti menandakan keakraban di antara keduanya.
“Dia temen kuliah aku dulu. Sekarang kita coba jalanin bisnis bareng, udah, gitu doang.”
“Sure?” satu fakta baru telah terungkap. Kanaya bukan pemain lama di kehidupan suaminya.
Nuraga mengangguk, “Yap,” ujarnya.
“Tadi cuma berdua? Sering? Waktu di Kalimantan juga, ya?” tebak Ayu yakin, bak seorang detektif yang menginterogasi tersangkanya.
“Nggak sayang. Tadi juga bareng sama asistennya, kok. Roy namanya.”
“Oh ya?”
“Heeh.”
“Jadinya, kamu mau pergi ketemu dokter Arini nggak?” segera Nuraga mengalihkan topik pembicaraan. Lengannya yang kekar dengan lembut membelai rambut hitam yang menutupi sebagian wajah Ayu.
Wanita itu menggeleng, “aku nggak mau,” sahutnya tegas sambil bersedekap.
“Ya sudah. Kamu istirahat aja, ya!”
“Emangnya nggak papa?” risau Dahayu, teringat perintah mertuanya yang akhir-akhir ini berubah lebih menyebalkan.
“Udah, santai aja. Mumpung Diaz lagi tidur, kamu juga ikutan tidur gih! Eh, udah makan belum?”
Dahayu menggeleng, pikirannya masih belum sepenuhnya beralih dari sosok Kanaya. Insting seorang istri seolah memberitahukannya bahwa ada sesuatu yang belum Nuraga ungkapkan.
“Mau makan apa? Permen kapas mau? Biar lebih happy,” tawar Nuraga bersemangat. Jelas ia telah hafal di luar kepala tentang camilan favorit Dahayu sejak dulu.
“Mmmm ..., mau sih. Tapi ...,” Dahayu sengaja menggantungkan kalimatnya, diselaminya kedalaman mata Aga yang justru semakin menyipit.
“Tapi apa?” katanya, masih menyipitkan mata ke arah Dahayu, menandakan ketidaknyamanan.
“Apa yang lagi kamu tutup-tutupin, Mas?” tebak Ayu tanpa basa-basi.
“Apaan? Nggak ada, sayang,” sahut Aga berusaha meyakinkan.
Di tengah perdebatan keduanya, gawai hitam dengan logo apel milik Nuraga berdering kencang, sebuah panggilan masuk. Lantas Ayu semakin memandanginya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Kenapa nggak diangkat aja?”
“Nggak papa, nanti lah. Paling urusan kerjaan.”
“Kanaya, kan?”
•••••
Jeng jeng jeeeeng...
Nuraga kenapa ya kira-kira?
Maapin, malem banget updatenya. Byasalah, sok sibuk di dunia nyata. Hehe.
Oh iya gaes, buat kalian yang sedang dalam fase Baby Blues Syndrome, kalian nggak sendiri. Jangan pernah ngerasa kalau kalian bukan ibu yang sempurna, ya. Nggak ada manusia sempurna. Please, kita kuat. Kita hadapi masa-masa ini bersama, dengan selalu meminta pertolongan Allah. Cari support system terbaik yang kalian punya.
Salam sayang selalu 🥰
halodwyta
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top