- RESIGN -
Saat batinmu memilih berhenti dari nikmat pekerjaan duniawi, maka yakinlah akan kuasa Allah yang telah menjamin rezeki.
***
Dahayu sengaja mematikan mesin motor matic berwarna hitam miliknya sebelum benar-benar sampai di pekarangan rumah. Perlahan, gadis dengan jaket parka berwarna dark tosca itu lalu mendorong motornya ke garasi. Masih sempat ia melirik pada kaca spion untuk bercermin dan membenahi kekacauan pada riasannya malam itu. Namun terlalu malas untuk benar-benar menghapus riasan yang lebih mirip seperti badut di paras ayunya.
Palingan udah pada tidur, bersihin di kamar sekalian aja, lah, batinnya membenarkan.
Gadis 22 tahun itu berjalan setengah mengendap, berusaha memutar kunci pintu rumahnya sepelan mungkin hingga tak menimbulkan suara. Agar tak lagi ada pertanyaan “baru pulang, Yu?” yang pastinya akan berlanjut dengan rentetan panjang ceramah dari masalah A sampai Z dari ibunya.
“Baru pulang, Yu?”
Usahanya berakhir kegagalan.
“Ibu? Kok belum tidur?” tanyanya basa-basi setelah menutup pintu dari dalam dan berpaling menghadap ibunya.
"Ibu nunggu kamu. Tumben lembur nggak ngabarin dulu?” sahut ibu, sambil menatap tajam dari ujung rambut hingga kaki Ayu.
“Kamu kenapa?” tanya wanita itu lagi, heran melihat kekacauan pada wajah Ayu.
“Ayu nggak lembur, Bu. Ada acara perpisahan tadi di kantor. Trus ini, biasalah, Bu, temen-temen pada iseng,” jawab Ayu sambil membuka jaketnya dan memperlihatkan selempang pita berwarna pink bertuliskan bride to be yang masih tersemat di tubuh mungilnya.
"Perpisahan? Perpisahan apa?" tatapan ibu seolah menghakimi Ayu, membuat si calon pengantin tak mampu berkutik.
"P-per-pisahan a-ku, Bu. Kan aku—"
"Kamu? Tapi, kok? Kok mendadak? Kok kamu nggak pernah bilang ibu?” timpalnya. Raut wajah ibu berubah bingung. Nampak keresahan dalam sorot mata yang mulai menua itu.
Ayu membuang napas kasar. Lelah dengan pertanyaan kesekian kalinya tentang hal yang sama dari ibunya.
“Lagian itu ngapain, sih, pakai acara kayak begini-begini. Wajah dicoret-coret kaya badut. Boros. Buang-buang uang tau, nggak?” dengan kasar, ibu menarik selempang dari tubuh Ayu hingga badan mungil itu terguncang.
“Tapi kan, bukan Ayu yang—,”
“Udah lah, sana cuci muka!” Lagi-lagi ibu tak memberikan kesempatan pada Ayu untuk menjawab. Wanita tua itu justru berjalan menjauhi Ayu dengan wajah tak bersahabat.
"Ya kan, salah lagi-salah lagi,” lirih Ayu sambil menatap kepergian ibunya. Ia memilih untuk tidak memulai lagi perdebatan yang tak ada habisnya itu.
Sudah hampir setahun berlalu, sejak rencana pernikahan itu ia sampaikan pada ayah dan ibu, Ayu pun jelas-jelas mengutarakan niatannya untuk berhenti bekerja. Bahkan dua bulan yang lalu, gadis itu menyusun surat pengunduran dirinya di rumah. Di hadapan ayah dan ibu. Tapi selalu saja tak ada kata sepakat dari ibu.
Ayu berjalan malas menuju kamarnya. Masih saja tak dapat ia cerna mengapa ibu begitu sulit menerima kenyataan bahwa dirinya memilih untuk berhenti bekerja dan sibuk mengurus rumah serta keluarga barunya setelah menikah nanti. Bahkan jika belum berencana menikah pun, Ayu akan segera melepas pekerjaan yang membuat batinnya bergejolak tak nyaman itu. Pasti.
Selepas meletakkan tas dan beberapa barang-barang bawaannya di atas meja, Ayu langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Menyamankan posisinya lalu mengusap layar ponsel pintarnya dalam sekali usapan. Segera ia mengirim pesan pada calon suaminya, Nuraga Adhitama. Mengadu tentang kekesalannya malam itu.
Ayu
Capek, deh. Ibu mulai lagi sama dramanya. Sebel aku.
Aga
Sabar, ya. Sana cuci muka dulu. Pasti belom, kan? Dasar males!
Seperti tak bersekat, Ayu langsung menumpahkan kekesalannya pada Aga seperti biasanya. Bersama Aga, Ayu merasa tak dituntut untuk selalu menjadi kuat. Aga adalah sosok sandaran jiwa yang Ayu idam-idamkan. Hadirnya Aga semakin membuat Ayu mantap untuk keluar dari kungkungan pekerjaan yang tampak indah dari luarnya saja.
Tentu saja bukan Aga yang menjadi alasan utamanya untuk berhenti bekerja. Namun lelaki yang baru dikenalnya itu seolah menyediakan ruang bagi alasan Ayu yang sesungguhnya. Jauh dari lubuk hati terdalamnya, Ayu merasa lelah. Namun keadaannya sebagai tulang punggung keluarga membuat gadis berlesung pipi itu harus mampu bertahan. Berpura-pura nyaman dengan segala nikmat duniawi dari jabatan dengan gaji yang semakin menggiurkan.
Banyak orang menganggapnya beruntung bisa mendapat pekerjaan yang cukup menjanjikan. Meski terlihat bahagia di depan, namun Ayu merasakan sebuah kekosongan di dalam jiwanya. Bukan itu yang ia inginkan.
***
Sepiring nasi goreng sederhana dengan tambahan telur mata sapi favorit Ayu telah tersaji di hadapan. Tak jauh berbeda dari hari-hari biasanya, ayah dan Dahlia -adiknya- duduk mendampingi di satu meja makan bersama. Kecuali ibu yang masih saja bergelut dengan masakannya.
"Haloo ..., kok anteng banget sih, pada kenapa?" tanya Ayu yang tak tahan dengan keheningan pagi itu.
Lia mengedikkan bahunya tanpa bersuara, terus melanjutkan sarapannya dengan wajah menunduk tekun pada piring.
"Yah, kenapa?" Ayu beralih pada ayah.
“Ayu, ibu bilang, kamu jadi resign, ya?" tanya ayah.
"Oh, itu. Iya, Yah. Bukannya Ayu udah pernah bahas sebelumnya, ya?"
"Iya sih, tapi nggak harus grasah-grusuh gitu juga, kan? Ada orang tuamu yang masih bisa diajak diskusi," sahut ibu, akhirnya bergabung di meja makan dengan tatapan sebal.
"Ayu nggak grasah-grusuh kok, Bu. Orang Ayu udah ngajuin surat pengunduran dirinya dari dua bulan yang lalu kan? Ibu aja yang nggak ngeh," jawab Ayu, kali ini tak ingin kalah.
"Mana tau, kan kamu nggak pernah cerita."
"Pernah, Bu. Sejak lamaran Aga waktu itu juga Ayu udah cerita kalo Ayu mau resign."
"Ya tapi kenapa? Emangnya yakin kamu mau ikut Aga ke Surabaya?"
"Insyaallah, Bu," Ayu menyahut malas. Perbincangan mengenai rencana merantaunya selepas menikah nanti rupanya masih belum juga mendapat kesepakatan dari ibu. Apalagi dengan rencana berhenti kerjanya yang telah terealisasi kemarin. Lengkaplah sudah.
"Kenapa sih harus berhenti kerja dan ikut merantau segala? Apa kamu yakin nggak mau punya penghasilan sendiri tanpa bergantung sama suami? Emangnya kamu pikir gampang hidup jauh dari orang tua?" lanjut ibu tanpa sedikit pun memandang ke arah putri sulungnya.
"Lagi pula, Lia baru aja masuk kuliahnya. Masih ada tanggungan, Yu. Belum lagi—"
"Boleh nggak sih Ayu istirahat dulu, Bu? Ayu juga capek kerja terus dari dulu,” sela gadis cantik itu, akhirnya mengakui perasaannya. Bulir bening menengok dari ekor matanya, namun tak berhasil meluncur karena usapan lembut tangan Ayu.
“Ibu dan ayah tenang aja, Ayu masih ada tabungan buat kuliahnya Lia sampai selesai. Insyaallah cukup," sambungnya lagi.
Dahlia yang namanya disebut-sebut menjadi salah tingkah, tak nyaman.
"Sudah-sudah. Bu, Lia itu kan sebenernya tanggungan kita sebagai orang tuanya. Bukan tanggungan Ayu. Ayu berhak memutuskan sendiri kehidupannya, Bu." Ayah mencoba menengahi.
"Loh, kok ayah jadi belain Ayu, sih. Dia itu kerja juga buat dirinya sendiri, kan? Apa iya dia mau jadi ibu rumah tangga setelah menikah nanti? Kuliah belum selesai udah mau nikah. Trus, masa iya sih cuma mau ngurus suami dan anak aja di rumah nanti."
“Bu, Ayu tu nggak suka kerja di sana. Ayu nggak nyaman. Lagi pula, apa salahnya sih jadi ibu rumah tangga?”
“Karier kamu tu lagi di atas, Yu. Udah hampir naik jabatan, kan? Apa kamu nggak pengin—“
“Udah lah, Bu. Cukup. Beneran, Ayu udah capek bahas masalah ini terus nggak ada selesainya.” Ayu berjalan menjauh dari meja makan. Meninggalkan wajah-wajah muram yang ada di sana, kecuali ibu yang masih terlihat tak terima.
“Dahayu!!! Lalu siapa yang kamu harap bisa menyelesaikan tunggakan-tunggakan hutang, Yu? Siapa yang kamu harap bisa memenuhi keperluan di rumah? Siapa?”
Ayu berhenti sejenak untuk berpaling kembali ke hadapan sang ibu. Tak percaya dengan apa yang ia dengar tadi.
“Ayu bukan robot, Bu. Ayu bukan mesin penghasil uang yang bisa memenuhi segalanya sendirian. Ayu tu juga anak ibu. Sama kayak Dahlia!”
“Kamu mau lari begitu saja dari tanggung jawab, dengan cara menikah lalu pergi ikut suamimu, gitu?” sahut ibu tak menanggapi ucapan Ayu.
“Oh ..., ini semua tanggung jawab Ayu?”
Ibu terdiam beberapa jeda, lalu seolah sadar bahwa ucapannya sudah terlalu berlebihan.
“Kalau ini emang tanggung jawab Ayu, oke. Ayu bakalan tetap memenuhi semua kebutuhan di rumah ini walaupun udah menikah nanti,” ucapnya emosi. Kedua bahunya naik turun menahan amarah.
“Satu lagi. Ayu rasa, wajar kalau Ayu mau pergi dari rumah ini. Ibu sendiri sudah tahu alasannya, kan?”
•••••
[Update Selasa dan Jumat]
Fiuuuh ...
Akhirnya hari ini dateng juga. Halo hai, gaes. Assalamualaikum...
Sebelumnya aku mau kenalan dulu nih. Aku merasa beruntung udah dapet kesempatan buat bisa nulis di akun ini.
Panggil aku Dewi, yang punya lapak di halodwyta tapi belum pernah publish cerita di situ. Nanti lah lain waktu. 😎
Pas tau seleksi swp gen 5 bakal mengangkat tema tentang kesehatan mental, aku langsung tertarik sih. Apalagi membahas tentang kesehatan mental seorang perempuan yang sering kita sebut ibu. Seorang ibu itu deket banget sama yang namanya depresi, gaes. Serius.
Tapi sayangnya, kadang depresinya seorang ibu tu kayak dianggap sepele dan diremehkan aja gitu sama kebanyakan orang. Padahal pemakluman-pemakluman kayak gitu lah yang justru bisa berakibat fatal banget. Liat aja banyak kasus kekerasan fisik bahkan sampai kematian yang menimpa anak, gara-gara ibunya sendiri. Naudzubillahmindzalik ...
Jadi kira-kira, kisah Ayu ini bakal membahas seputar hal itu deh, gaes. Doakan aku bisa konsisten sampai kelar, yak. 🥰
Oh iya, gimana bab awalnya?
Kira-kira, capek nggak sih kalo jadi Ayu?
Ikutin terus ceritanya sampai ending ya. Biar seneng akunya. Hehe.
Walopun ini aku tulis berdasarkan sudut pandangku sebagai ibu dua anak, tapi kisah ini tetap FIKSI, ya. Kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian ya cuma kebetulan aja.
Semoga kita semua bisa ambil hikmah dan pelajaran dari kisah ini.
Terakhir,
Tolong tandain typo, gaes.
Jangan segan kasih komen yang cakep, sopan, dan bikin aku semangat ya, love.
Vote dan share ke temen-temen kalian juga.
Terima kasiiiih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top