- Prasangka -
Prasangka buruk lahir dari sebuah ketakutan dan rasa enggan mencari kebenaran di atasnya. Sibukkan hati dengan prasangka baik, perbaiki diri dengan perkataan baik. Karena sedusta-dustanya ucapan adalah prasangka buruk.
***
“Nak, jangan lupa ya kalau di sana nanti, kamu harus sering-sering telepon mama. Kabarin,” titah Mama Trias pada Dahayu sembari merangkul pinggang menantunya.
Dahayu tersenyum lepas. Sudah dua minggu belakangan, setelah ia banyak menghabiskan waktu bersama mertuanya, Ayu baru menyadari betapa ia diterima dengan sepenuh hati di keluarga Adhitama. Jauh dari prasangkanya dulu, di awal perkenalan hingga pernikahan.
“Iya, Ma. Ayu pasti ngabarin terus kok,” sahut Ayu ceria. Betapa ia merindukan sosok ibu yang mampu menerimanya dengan tulus seperti itu.
“Pokoknya nurut deh kata mama. Nggak usah ditahan-tahan, segera kasih mama cucu!” kali ini Mama Trias tak lupa melirik Nuraga dengan tatapan setengah mengancam.
“Ya kan semua atas izin Allah juga, Ma. Lagi pula kalo untuk sekarang ini kita berdua belum—“
“Iya mama tau. Tapi kita kan tetap harus berusaha dan berdoa. Jangan ditunda-tunda! Memang nggak ada yang bakal bener-bener siap jadi orang tua, Aga. Semua harus berproses dan terus belajar,” potong mama Trias, membuat Aga tak berkutik.
Dahayu terkikik puas. Akhirnya ada orang yang berhasil membuat Nuraga bungkam atas pendapatnya.
“Ayu setuju kan, Nak, kalau segera punya baby?” mama beralih pada Ayu yang langsung gelagapan.
“E-eh, i-ya, Ma. Tapi—“
“Ya nggak ada tapi-tapian kalo gitu. Harus lebih kenceng usahanya.”
Giliran Aga kini tersenyum jahil ke arah istrinya yang salah tingkah. Menampilkan raut wajah yang begitu menggemaskan.
“Udah ya, Ma. Kita mau pamitan sama ayah ibu dulu. Keburu telat nanti,” papar Aga menyudahi titah ibundanya yang terus menerus meminta agar segera diberi cucu oleh pasangan baru itu.
“Ya sudah. Semua udah beres, kan? Nggak ada yang ketinggalan? Ayu, kue yang mama beliin jangan lupa dibawa ya, Nak. Makan yang banyak. Kamu butuh banyak energi biar—“
“Maaa, udah ya,” potong Aga yang langsung menggamit lengan ibundanya dan menciumnya. Segera ia memeluk erat mama yang menyambutnya dengan hangat, bergantian dengan Ayu yang juga melakukan hal yang sama pada Mama.
“Ayu pamit ya, Ma. Mama jaga kesehatan,” pamit Ayu yang masih merangkul pinggang mertuanya itu.
“Iya sayang.” Mama Trias membelai lembut kerudung biru tua yang telah menutupi surai hitam milik Ayu.
“Jaga diri kalian baik-baik,” ucap mama, seraya melambai dan menjawab salam dari kedua anaknya itu.
Sebuah mobil mewah keluaran terbaru milik keluarga Adhitama telah bersiap di halaman depan. Siap meluncur untuk mengantarkan tuannya ke tempat tujuan selanjutnya.
“Koper semua udah masuk bagasi kan, Pak?” tanya Aga pada supir pribadinya.
“Siap, Mas. Tinggal berangkat.”
“Oke. Kita berangkat sekarang.” Nuraga dengan lembut mengenggam lengan istrinya dan menuntunnya masuk ke dalam mobil. Berlanjut dengan lambaian perpisahan pada mama.
Mobil segera melaju menuju kediaman ayah dan ibu, mengarungi kemacetan kota.
“Kamu yakin nggak mau ajak ibu dan ayah beberapa hari dulu ke Surabaya?” tanya Aga sambil jemarinya tak lepas dari genggaman tangan sang istri.
Ayu menggeleng, “Pada nggak mau juga palingan,” tebak Ayu.
“Mmm, nggak dicoba dulu?”
“Nggak tau deh. Siap-siap dengerin ocehannya aja, ya, Mas. Tolong dimengerti dulu,” pinta Ayu dengan raut wajah memelas di hadapan suaminya.
“Oke, santai. Aku sih nggak baperan,” jawab Aga terdengar malas.
Berbeda dengan Ayu yang begitu diterima dengan baik di keluarga Adhitama, Nuraga merasa masih canggung dan sulit mengakrabkan diri dengan ibu. Wanita tua itu seolah selalu memiliki bahan perdebatan dengan Ayu dan Aga.
Ayu terlihat melamun. Segera saja Aga merangkulnya, mencoba menenangkan.
“Udah nggak papa. Aku bangga sama kamu, selama ini kamu bisa sabar banget ngadepin ibumu sendiri. Kalau aku mungkin udah melawan sekeras-kerasnya.”
“Kadang aku juga pengin banget ngelawan, Mas. Tapi aku kayak nggak berdaya, dan ..., aku nggak mau jadi anak durhaka.”
“Kamu udah ngelakuin yang terbaik,” lanjut Aga, mengecup lembut punggung tangan istrinya.
Ayu tersenyum manis, namun masih terlihat penuh luka. Sorot matanya melukiskan sebuah kesedihan yang teramat dalam.
“Udah siap, kan, tinggal jauh dari mereka?” tanya Aga lagi.
Ayu mengembuskan napasnya kasar, “siap nggak siap. Tapi, aku pengin bisa bebas.”
Aga mengangguk, lalu segera memeluk sang istri. Begitu menenangkan.
“Kamu nggak sendirian, sayang. Ada aku. Kita mulai hidup baru kita sama-sama, ya.”
“Iya, Mas.”
***
“Assalamualaikum,” sapa Dahayu, diikuti oleh Nuraga sembari mengetuk pintu.
“Waalaikumussalam. Eh, ayo masuk, Kak. Ibu udah nanyain kak Ayu terus dari kemarin,” ujar Dahlia sambil menuntun lengan Ayu lembut.
“Oh ya? Kenapa?” tanya Ayu.
Lia menggeleng, “kangen kali, Kak. Beberapa kali aku liat ibu di kamar Kak Ayu. Duduk, diem aja merhatiin sekeliling kamar.”
“Masa sih, dek?”
Kali ini Lia mengangguk.
Dahayu menatap suaminya penuh arti, disambut anggukan pelan dan senyum dari lelaki itu. Tanda bahwa ia mengizinkan Ayu untuk segera menemui ibunya.
“Ikut sama aku?” tawar Ayu.
“Mmm, ayah lagi ngapain? Aku nemuin ayah aja,” ujarnya sambil melirik Lia, meminta jawaban.
“Oh, ayah ada di belakang. Biasa lagi ngurusin tanaman.”
“Ya udah. Ngobrol sama ibu dulu, gih!” Aga kembali menatap Ayu, dibalas anggukan lembut darinya.
Keduanya kemudian berpisah. Ayu didampingi oleh Dahlia menuju ke kamar ibu.
“Bu,” panggil Ayu, canggung.
Wanita tua yang sedang berbaring itu kemudian seketika bangkit, menghadapi anak sulungnya.
“Ayu, bukannya hari ini mau berangkat ke Surabaya?”
“Iya, Bu. Sengaja mampir dulu mau pamit.”
“Mmm, ya udah, aku bikinin minum dulu ya, Kak,” pamit Dahlia, seolah mengerti jika ibu dan anak itu butuh waktu berdua saja.
Lagi-lagi Ayu mengangguk. Dengan langkah pelan ia melenggang, mendekati ibunya.
“Bu, gimana keadaan ibu?”
“Baik. Mana Aga?”
“Di belakang, sama ayah. Mmm, ibu beneran nggak mau ikut Ayu dulu sebentar, Bu? Nginep di Surabaya beberapa lama gitu. Ya sekalian jalan-jalan aja,” tawar Ayu pelan, merasa canggung untuk berbicara dengan ibunya sendiri.
Wanita tua di sampingnya itu melengos.
“Kalo ibu ikut, Dahliah mau makan apa?”
Tepat sesuai dugaan Ayu sebelumnya. Ibu akan menolak dengan alasan Dahlia.
“Ya kan, Lia udah gede juga, Bu,” jawab Ayu, malas memulai perdebatan namun tak kuasa untuk diam saja mendengar alasan ibunya.
“Dahlia itu sekarang juga sambil kerja. Kasian dia harus berangkat pagi-pagi. Kuliahnya udah mau mulai, nggak tau nanti harus gimana.”
“Oh, ya bagus deh kalo dia kerja.”
“Maksud kamu? Dia itu harus kuliah, Yu. Dia masih punya banyak cita-cita yang harus dikejar. Nggak kayak kamu yang udah selesai kuliah malah nikah. Berhenti kerja segala.”
Ayu berdiri geram. Namun berusaha untuk tetap tenang.
“Nikah sama anak orang kaya nggak menjamin hidupmu bisa bahagia, Yu.”
“Bu! Kenapa sih masih harus dibahas terus-terusan? Ayu juga punya pilihan. Dari dulu emangnya ibu peduli sama cita-cita Ayu?”
Wanita tua dengan rambut yang hampir seluruhnya telah memutih itu bungkam, memandang kosong ke arah dinding kamar berwarna pucat.
“Ibu tau, salah satu hal yang bikin Ayu yakin mau nikah? Itu biar Ayu bisa segera keluar dari rumah.”
Kali ini ibu tercengang, berusaha menjawab namun hanya berhasil membuka mulutnya tanpa suara. Binar matanya berkaca-kaca.
“Ayu pamit dulu, Bu.” Dahayu menggamit lengan kanan ibunya lantas mengecup punggungnya.
Wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisannya, keluar dari kamar ibu.
“Berangkat sekarang? Keburu macet,” tukas Ayu saat mendapati Aga sedang mengobrol dengan ayahnya di ruang keluarga.
“Loh, aku belum pamit sama ibu,” sahut Aga heran, namun seolah menangkap sinyal kesedihan yang terpancar di wajah istrinya.
“Udah aku pamitin, kok.”
“Yah, Ayu pamit dulu ya. Kabarin kalau ada apa-apa di rumah. Mungkin, Ayu bakalan agak lama lagi baru bisa pulang ke sini.” Wanita berlesung pipi itu beralih pada ayahnya.
“Iya, nak. Kalian hati-hati, ya. Yang sabar,” jawab Ayah lembut.
Keduanya lalu berpamitan dan segera melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di dalam mobil, Dahayu tak kuasa memuntahkan segala perih yang telah menggelayut di matanya.
“Are you okay?” Aga mengusap pelan pundak Ayu yang bergetar.
Wanita dengan hijab menutup rambutnya itu kini menggeleng, lantas tenggelam dalam pelukan hangat suaminya.
••••••
Aku lelah kalau harus jadi Ayu. 😥
Minta tolong, tetap semangatin aku ya, gaes. Biar bisa kelarin kisah ini dengan baik. Tetap baca, komentar dan kasih vote juga ya.
Terima kasih, semangat puasa di akhir-akhir Ramadhan. Jangan kendor yuk ibadahnya.
Salam sayang, 🥰
halodwyta
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top