- Plus Minus -

Hidup bukan hanya tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, melainkan bersyukur dan bersabar atas apa yang kita miliki.


***
 

“Oke. Semuanya sehat, baik. Keadaan ibunya juga baik. Tinggal dijaga mood-nya dan asupan gizinya juga. Biar janinnya terus berkembang dengan baik,” ujar seorang dokter wanita dengan ramah.

Setelah perdebatan tentang kehamilannya, Ayu dan Aga sepakat untuk segera memastikannya dengan pemeriksaan ke dokter kandungan. Aga masih merasa ragu dengan hasil positif dari alat test kehamilan. Menurutnya, ada kesalahan pada hasil test tersebut.

Sedangkan Ayu telah merasa yakin bahwa ada janin yang sedang berkembang di dalam tubuhnya. Dan semakin mantap dengan pernyataan dokter malam itu. Wajahnya berbinar, sembari senyum merekah dari bibir mungilnya saat mendengar penjelasan dokter mengenai keadaan diri dan calon bayinya.

“Kehamilan di usia muda ini sebenarnya banyak sekali nilai plus-nya. Selain fisik ibunya yang jauh lebih siap, risiko komplikasi pada kehamilan pun bisa jauh lebih kecil,” lanjut dokter Arini dengan nada suara yang begitu menenangkan.

Pasangan suami istri itu kini telah duduk berhadapan dengan dokter Arini di meja kerjanya. Mendengarkan dengan saksama dan perasaan yang campur aduk.

“Tapi ada minusnya juga. Dan itu harus kalian hadapi sama-sama. Berjalan bersama.”

“Minusnya apa, dok?” tanya Ayu penasaran.

“Hal utama yang sering saya temui pada kehamilan pertama pasangan muda seperti kalian, yaitu masih kurang siap menjadi orang tua. Mental, emosional itu yang harus kalian kuatkan. Harus saling mendukung.”

Ayu menatap suaminya yang masih terlihat kurang nyaman dengan segala pernyataan dari dokter di hadapannya itu. Laki-laki itu  terlihat tidak antusias akan kehamilan istrinya.

“Perlu kalian ingat lagi, bahwa apa pun yang kalian hadapi saat ini, sudah melalui persetujuan Yang Maha Esa. Semua atas izin dari-Nya. Jadi ya harus dihadapi, dijaga dan diterima dengan sepenuh hati. Betul?” Dokter berusia sekitar 45 tahunan itu terlihat serius.

Ayu mengangguk lemah, sadar bahwa tak ada ketertarikan yang sama pada suaminya mengenai kehamilan itu.

“Mmm, kapan saya harus balik ke sini lagi buat periksa, dok?” tanya Ayu, memutuskan untuk segera menyudahi sesi pertemuannya dengan dokter kandungan malam itu.

“Bulan depan aja, kecuali ada keluhan yang berbahaya, silakan datang kembali.”

“Baik, dok.” Wanita itu bergegas ingin beranjak, menyusul Aga yang telah lebih dulu berdiri.

“Di usia kehamilan awal gini, apa masih memungkinkan untuk tidak dilanjutkan, dok?” pertanyaan yang keluar dari bibir Aga seolah petir yang menggelegar di siang hari, mengejutkan setiap orang terutama Ayu.

“Maksud anda tidak dilanjutkan?”

“Digugurkan, mungkin?”

“Aga!” teriak Ayu tak percaya. Raut wajahnya berubah sedih, dengan mata berair. Tak menyangka akan mendengar hal tersebut dari suaminya sendiri.

“Saran dari saya, lebih baik  hindari pemikiran untuk menggugurkan kandungan seperti itu. Karena setiap janin adalah anugerah dari Allah. Menggugurkan kandungan tanpa indikasi medis yang jelas justru memiliki risiko efek samping yang lebih berbahaya, loh.”

Ayu tak kuasa menahan tangisannya.

“Mm, oke. Terima kasih, dok.” Aga mengakhiri konsultasinya dan segera beranjak ke luar ruangan. Meninggalkan Ayu yang masih mematung di hadapan dokter.

“Kamu kuat. Jaga amanah dari Allah ini dengan sepenuh hati, ya!” ujar dokter Arini mengelus lembut lengan Dahayu, mencoba menyemangati wanita itu.

Ayu mengangguk, lalu segera menyusul suaminya keluar ruangan. Berusaha menerima kenyataan yang baru saja ia hadapi.

***

“Kenapa kamu bisa tanya hal kayak gitu?” serang Ayu saat di dalam perjalanan pulang.

“Nggak papa. Iseng aja.” Lelaki itu berusaha tetap santai, dengan tatapan serius ke arah jalanan.

“Nggak lucu, Ga!”

Nuraga yang terbiasa dipanggil dengan sebutan mas di depan namanya, melirik kesal ke arah Ayu saat kesekian kalinya mendengar namanya dipanggil tanpa panggilan sayang.

“Aku belum siap,” sahutnya. Raut wajah tampannya tegas, penuh kemarahan.

“Aku yang harusnya nggak siap, Ga! Nggak akan ada yang berubah kok sama tubuh kamu, selain waktu. Kenapa harus nggak siap?”

Nuraga diam seribu bahasa. Tatapannya fokus pada kemudi dan jalan raya.

“Kalau nggak siap jadi orang tua kenapa ngajak nikah buru-buru?”

“Cuma nikah, kan? Bukan buat jadi orang tua.”

“Kayaknya tujuan kita buat membina rumah tangga harus diperjelas lagi deh, Ga. Biar searah.”

Lelaki itu tetap diam.

“Aku nggak nyangka sih kamu bakalan bersikap kayak gini, Ga. Di luar ekspektasi aku tentang kamu di awal,” ungkap Ayu kecewa.

Tanpa aba-aba, mobil melaju lebih kencang dari pada biasanya. Membuat penumpangnya tersentak dan refleks mencari pegangan untuk menyeimbangkan tubuhnya. Ayu menggapai lengan suaminya dengan wajah ditekuk, kesal.

Kurang dari 30 menit, SUV yang ditumpangi keduanya telah terparkir mulus di halaman rumah baru pasangan tersebut. Rupanya, lelaki 25 tahun itu masih betah berdiam diri tanpa bercengkerama sedikit pun dengan sang istri. Ia berlalu begitu saja meninggalkan Ayu, masuk ke dalam kamarnya terlebih dahulu.

Harusnya, kehamilan pertama ini menjadi sebuah pengalaman baru yang menyenangkan bagi Ayu. Namun rupanya, hanya menambah sebuah beban baru dalam kehidupannya. Haruskah Ayu ikut menolak kehadiran calon buah hati di dalam rahimnya itu?

Ayu berjalan lunglai, menyusul suaminya ke dalam kamar.

“Kamu mau aku gugurin aja bayi ini?” tanya Ayu dengan tatapan kosong, menghampiri Aga duduk di atas sofa kamar.

“Hah? Kamu yakin?” Akhirnya lelaki itu membuka mulut, namun dengan nada bicara terkejut.

Ayu mengangguk, “kan kamu juga nggak mau. Buat apa dipertahanin?” sahut Ayu, seolah kehilangan lagi akal sehatnya.

Nuraga berjalan mendekat, lantas merangkul wanita di hadapannya itu.

“Maafin aku, ya. Aku nggak bermaksud gitu. Aku cuma kaget dan belum siap,” ujar Nuraga, kali ini dengan nada bicara lebih lembut seperti biasanya.

Tak ada jawaban terlontar dari wanita itu selain air mata.

“Kita jaga sama-sama, ya. Anak kita.” Ucapan Nuraga kali ini jauh lebih menenangkan, tapi justru tak mampu menahan derasnya air bening yang berjatuhan di wajah Ayu.

"Jangan pernah minta aku buat ngegugurin anak kita lagi, ya."

Nuraga mengangguk, sembari membelai lembut kerudung coklat tua yang masih melekat di atas kepala istrinya.

••••••


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top