- Mood Swing -
"Kanaya, kan?"
Nuraga menggeleng.
“Jawab sekarang dong!” pinta Ayu, lebih kepada paksaan. Raut wajahnya kembali siaga, seperti bersiap akan sebuah berita besar yang mengejutkan.
“Nanti aja, sayang,” ujar Nuraga masih berusaha menghindar. Ponsel pintarnya masih tersimpan rapat di saku celananya.
“Kenapa, sih?”
“Aku masih mau nemenin kamu. Nggak pengin ngurusin yang lain dulu. Boleh, kan?”
Meskipun terasa berat, Dahayu tetap berusaha menerima jawaban suaminya. Napasnya tersengal dengan suhu panas yang tiba-tiba muncul kembali di sekujur tubuhnya.
Dering ponsel sempat berhenti beberapa menit, namun kembali berbunyi setelahnya. Menandakan panggilan yang begitu mendesak. Kini Nuraga tak lagi dapat menyembunyikan rasa penasarannya. Wajahnya terlihat panik, namun seperti tak ingin menjilat kembali perkataannya barusan.
“Mas, jawab aja!” desak Ayu berubah pikiran. Perasaannya tak menentu jika harus membiarkan ketidaktahuan menghantui.
Nuraga diam, terlihat berpikir. Perlahan mengintip layar ponsel yang telah di genggamannya.
“Kenapa sembunyi-sembunyi, sih? Takut ketauan soal Kanaya, ya?” tuduh Ayu dengan tatapan sinis.
“Kamu ngomong apa sih?”
“Ya udah jawab lah teleponnya di hadapan aku!”
Si pemilik dering telepon itu tetap abai, benar-benar menyulut emosi wanitanya.
“Jawab sekarang, Nuraga!” pekik Ayu yang kembali mengeluarkan jurus andalannya menyebut nama Nuraga tanpa awalan Mas. Sesuatu yang sangat Nuraga benci, entah karena apa.
“Kamu kenapa, sih, Yu? Sejak kapan kamu berubah kasar gitu?” sahut Nuraga sama kasarnya.
“Sejak kamu nggak pernah bisa dampingin aku lagi! Nggak pernah dukung aku lagi!” Hujan kembali turun di wajah ayunya.
Lelaki dengan setelan necis berwarna gelap itu masih diam, memahami setiap kata yang keluar dari bibir istrinya.
“Ada hubungan apa kamu sama Kanaya? Kenapa kamu bohong sama aku?” teriaknya lagi. Ayu seperti kesetanan. Tak lagi mampu mengontrol emosi dirinya. Terlebih saat perasaan itu muncul kembali. Membuat kepalanya terasa berat, dadanya sesak seperti terhimpit.
Seperti merasakan kesedihan yang sama, Diaz kembali menangis bersamaan dengan ibunya.
“Astagfirullahaladzim ..., istigfar, Yu! Kamu tau nggak sih, semenjak hamil sampai sekarang, kamu tu selalu berprasangka buruk sama aku. Nggak ada Dahayu yang lembut kayak dulu lagi. Apa yang aku lakuin buat kamu tu jadi serba salah terus!” Nuraga membuang napas kasar.
“Mama yang telepon. Bukan Kanaya!” lanjut Aga, mengerti maksud tatapan curiga istrinya.
“Kalau bukan dia kenapa kamu nggak jawab aja?” nada suaranya masih meninggi.
“Karena aku tau kamu lagi butuh didampingin, Ayu! Karena aku tau, mama telepon cuma mau memastikan kamu jadi ketemu sama dokter Arini. Bukannya kamu bilang nggak mau?”
Tangis wanita berlesung pipi itu semakin kencang. Tubuhnya terasa lemah dan tak berdaya. Ia bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri. Hanya mampu tertunduk lesu, merasa bersalah pada suaminya sendiri.
Nuraga yang menyaksikan kebisingan di kamar mereka sore itu, memejamkan matanya beberapa saat lantas menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali secara perlahan dengan mulutnya.
Ia memutuskan untuk menenangkan dulu putranya yang masih mengerang, seperti ketakutan. Menimangnya pelan, lalu kembali menghampiri Dahayu dengan membawa serta bayi di gendongannya.
“Kamu nggak kasihan sama Diaz kalau setiap hari dia denger kita berantem? Denger kamu nangis dan teriak-teriak gitu?” tanya Aga, ikut tersulut emosi pada Dahayu yang masih tersungkur di lantai.
Setelah menimang-nimang buah hatinya hingga merasa lebih tenang, Aga kembali meletakkan Diaz di dalam box bayinya. Bola mata kecil itu masih terjaga, seperti berusaha mencerna apa yang sedang terjadi pada kedua orang tuanya.
Setelahnya, Nuraga langsung membimbing istrinya kembali ke atas kasur. Mengusap air mata yang masih mengalir di wajah Dahayu sambil merapikan rambutnya yang menempel di sisi-sisi wajah.
“Maafin aku, ya,” ucapnya, tak ingin memperpanjang masalah lagi.
Dahayu menggeleng, tangisnya semakin menjadi meskipun tak bersuara, “aku nggak tau, Ga. Aku benci semua keadaan ini!” teriaknya tertahan. Tak ingin mengejutkan Diaz lagi.
“Aku butuh kamu dukung aku, Ga,” ujarnya lagi, menatap dalam netra suaminya.
“Tapi kenapa kamu seolah nggak peduli sama aku. Kamu lebih nurut sama kemauan mama, padahal aku—“
“Dahayu ..., kita butuh bicarain ini baik-baik. Dengan kepala dingin. Bukan sekarang, okay?” putus Nuraga, tak ingin melanjutkan.
Dengan berat hati, Ayu mengangguk. Meskipun masih banyak sekali hal yang mengganjal di dadanya kala itu. Namun, wanita berlesung pipi itu tersadar. Ingatannya kembali pada momen sakral akad nikahnya dulu. Saat sang ayah memberi keduanya petuah-petuah bijak menjelang ijab qabul dilangsungkan.
“Suami yang lelah seharian mencari nafkah, sudah selayaknya mendapat perlakuan yang baik dari istri ketika dia kembali ke rumah. Maka perlakukanlah dia dengan lemah lembut, Nak! Rendahkan suaramu padanya.”
“Jangan sekali-kali kamu lupakan, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa sebagian besar penghuni neraka adalah perempuan. Karena mereka itu tidak mau bersyukur dan mengakui kebaikan suaminya. Tidak berterima kasih atas lelah dan pengorbanan suaminya.”
“Sebaliknya, sebagai suami pun sudah selayaknya bersabar untuk membimbing istrinya. Ingatkan dan nasehati dia dengan kepala dingin. Bukan dengan emosi apalagi berujung kekerasan fisik.”
Ayu menangis sembari merapalkan istigfar perlahan-lahan. Menyesali sikapnya yang semakin tak keruan akhir-akhir ini. Rasanya, ingin sekali ia segera pulang menemui ayahnya. Bercerita segala hal padanya dan memeluk tubuh ringkih yang selalu berhasil membawa ketenangan padanya selama ini.
***
“Menurut kamu, gimana kalau kita minta Mbok Mirah aja yang bantu momong Diaz?” usul Nuraga ketika waktu makan malam berduaan.
“Mmm, emangnya ART yang dari yayasan kemarin nggak cocok?”
“Kurang sreg, sih. Kamu gimana?” sambung Aga lalu segera mengunyah lumat-lumat lagi makanannya.
“Ya nggak papa, sih. Tapi ..., emangnya mama ngizinin?” Dahayu mendelik, mengingat kenyataan bahwa mertuanya lah yang selama ini menghalang-halangi Nuraga untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga untuk meringankan pekerjaan rumah istrinya.
Mertuanya berdalih agar Ayu bisa belajar menjadi wanita mandiri. Tak melulu meminta bantuan orang lain untuk tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
“Nanti aku coba obrolin dulu. Tapi, kamu nggak papa kan kalau ditemenin Mbok Mirah?”
Wanita yang disebut-sebut adalah seorang asisten rumah tangga di rumah Mama Trias yang sejak dahulu membantu mengurusi ketiga anak Adhitama, termasuk Nuraga. Beliau adalah seorang pembantu rumah tangga di keluarga Adhitama yang sudah sepuh.
Dahayu hanya menganggukan kepalanya, menurut. Meski di dalam hatinya agak meragu. Di satu sisi, ia percaya bahwa dirinya mampu mengurus Diaz seorang diri. Namun di sisi lain, keadaan membuatnya jauh dari kata kuat. Ia terlalu lemah untuk melawan emosi di dalam dirinya yang belakangan terlalu sering mengamuk keluar.
“Mmm, mau keluar sebentar beli permen kapas, nggak?” tawar Nuraga seperti memberikan angin segar pada Dahayu yang sedang kegerahan.
“Boleh?” girang Dahayu. Sorot matanya berbinar senang.
“Boleh dong. Selesaikan makan, trus siap-siap, ya!”
Sekali lagi wanita itu mengangguk. Menampilkan wajah semringah dan bergegas menyelesaikan makannya, lantas pamit untuk bersiap-siap.
Di dalam kamar, ia mematut diri di depan cermin. Telah siap dengan gamis berwarna hitam polos yang membungkus tubuhnya, hijab merah marun pun telah tersemat rapi menutupi kepalanya. Dahayu menarik kedua sisi kanan dan kiri hijab pasminanya, lantas mengalungkannya ke leher. Ia lalu tersenyum beberapa detik, memandangi keindahan yang terpantul di cermin.
“Tapi kok kelihatan gendut, sih? nggak nyaman dilihat,” protesnya pada bayangan dirinya sendiri, lalu kembali menurunkan lilitan pasmina di leher, mengaturnya sedemikian rupa sehingga menutupi bagian dada dan perut. Dirinya kembali memutar-mutar pandangan di hadapan cermin. Memandang bingung pada sosok dirinya sendiri.
“Cantik,” gumamnya sambil tersenyum.
Setelah puas dengan tampilannya, Dahayu memulas sedikit lipstik dengan warna tangerine di bibirnya. Berhasil menciptakan tampilan segar di wajah. Kini Dahayu bersiap menghampiri suaminya di lantai bawah.
Sambil meraih dan menggendong Diaz, perlahan ia menuruni satu persatu anak tangga, hingga pada anak tangga terakhir ia menemukan sebuah kejanggalan yang segera merusak kembali mood-nya yang baru saja membaik.
•••••
Sepengalaman aku, hormon setelah melahirkan emang kacau banget, sih. Bikin mood swing dan perasaan was-was di mana-mana. Tapi, kalau support system kita baik, semua bisa dilalui dengan mudah, kok.
Tenang, ada Allah yang selalu menguatkan kita.
Semangat para ibu!
🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top