- Mengasihi -

“Diaz digendong sama oma dulu, ya. Cucuku, sayangku. Penerus keturunan Adhitama, kamu ganteng sekali, nak,” cetus Mama Trias yang baru saja datang berkunjung ke Surabaya setelah kabar kelahiran Diaz.

Rumah mewah milik kedua pasangan berbahagia itu kini sedang dipenuhi dengan kehangatan keluarga yang seolah melebur menjadi satu berkat kelahiran cucu pertama dari pihak Ayu. Ibu dan Mama Trias terlihat sangat kompak dan berbahagia mengemong bayi kecil berambut tebal itu.

Di sisi lain, Ayu yang masih dalam masa pemulihan pasca melahirkan sudah disibukkan dengan urusan menyusui dan mengurus bayi. Meski masih banyak dibantu oleh ibu dan juga mertuanya, namun keinginannya untuk segera bisa mengurusi sendiri buah hatinya begitu besar. Meskipun sempat mengalami kesulitan saat pelekatan menyusui, namun Ayu tak hentinya berjuang.

“Ganteng dong, anaknya Aga. Mirip papanya, kan?” sahut Aga tersenyum narsis dan penuh percaya diri. Wajahnya semringah terkesan dingin. Namun senyum sinisnya benar-benar menggemaskan bagi Ayu. Sebuah hal yang justru menjadi awal mula Ayu tertarik dengan lelaki itu.

Ayu tersenyum menolak, “nggak ada mirip-miripnya lah sama kamu. Mirip mamanya gitu, putih, rambutnya tebal,” ujarnya meminta pengakuan.

“Mirip dua-duanya gitu, kok.” Ibu membela, memandangi Ayu lalu Nuraga berganti-gantian. Senyumannya tulus seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Semua orang di dalam ruangan tertawa. Seperti mendapat angin segar akan kehadiran Diaz yang membawa kedamaian. Setiap orang seolah telah melupakan masa lalu serta masalah-masalahnya yang berat.

Tak berlangsung lama, bayi kecil itu menangis dengan nada rendah dan naik turun, menandakan lapar atau ingin meminta jatah susu.

“Loh, mau ke mama ya? Mau minta susu?” canda omanya sambil beranjak, menyerahkan kembali cucunya pada Ayu.

“Belajar menyusui lagi ya, Yu,” sambung Mama Trias, disambut anggukan dari wanita berlesung pipi itu.

Diaz kini telah berada di pelukan ibunya untuk menuntaskan haknya. Meski terkesan malu-malu dan tegang, Ayu berusaha untuk tetap tenang menyusui Diaz.

Perlahan Ayu mengalungkan selembar kain berwarna biru muda bergambar ikan hiu ke arah lehernya, lalu menutupi bagian dada beserta anaknya dengan kain tersebut.

“Ngapain ditutup-tutupin, Yu. Sama ibu dan mertua sendiri kok. Kasian Diaz kepanasan,” ucap Mama Trias tak setuju dengan sikap menantunya.

“Mmm, i-iya Ma.”

“Lain hal kalau di tempat umum, boleh lah malu-malu dan pake apronnya. Ini cuma di rumah kok, di depan keluarganya sendiri.”

“Ma, namanya juga masih baru. Masih harus banyak belajar, Ma. Maklum lah kalo malu-malu,” bela Nuraga pada akhirnya. Membuat dada wanita yang sedang menyusui anaknya itu berdesir, merasa aman.

“Ih, jaman mama dulu udah langsung bisa loh, gampang, kan. Nggak usah segala pake kain penutup gini,” sambung mamanya lagi.

“Mmm,” gumam Ayu tak ingin memberi jawaban. Raut wajah bahagianya tiba-tiba memudar, berganti menjadi rasa was-was.

Sebagai ibu muda yang baru saja melahirkan dan belajar menyusui anak, menggunakan apron saat menyusui di dalam rumah sebenarnya adalah sebuah hal yang sangat sulit dilakukan.

“Ya udah kalo gitu ibu keluar dulu ya, nak. Biar kamu nyaman menyusuinya.” Ibu ikut mengambil sikap, merasa bahwa anaknya sedang dalam kesulitan.

Dahayu hanya mengangguk sambil terus berusaha menyusui anaknya yang masih terus menangis.

Dengan perasaan panik, sesekali Ayu menengok ke dalam apronnya dan mencoba menyusui kembali dalam posisi yang telah ia pelajari. Namun sang bayi tetap menangis entah karena apa.

“Bisa nggak sih, Yu? Itu apronnya dicopot aja coba!” Perintah mertuanya dengan tatapan kesal. Nada bicaranya pun tak seperti biasa, tenang dan menyenangkan. Beralih tinggi dan seolah menyalahkan.

“Ta-tapi, Ma—“

“Udahlah, Yu. Nggak usah malu-malu. Kasian itu Diaz udah kehausan. Panas.”

Dahayu melirik ke arah Nuraga, meminta pertolongan. Namun lelaki itu malah mematung dengan wajah kebingungan. Segera Ayu beralih menatap ibunya yang belum jadi beranjak.

Dengan tatapan lembut, ibu kembali mendekati Dahayu sambil mengangguk. Tatapannya berhasil membuat Ayu sedikit tenang, lantas melepaskan perlahan apron biru muda itu dan kembali mencoba menyusui.

Tak menunggu lama, Diaz berhasil mendapatkan haknya dengan nyaman.

“Nah kan, bener. Diaz cuma kepanasan, Yu. Nggak nyaman dia kalo harus ditutup-tutupin gitu nyusunya.”

“I-iya, Ma.”

Kebahagiaan dalam rumah seolah segera sirna setiap saat Ayu mulai dituntut harus bisa segala hal baru sebagai seorang ibu.

“Belajar lagi, ya!” sahut Nuraga sembari membelai lembut surai Ayu.

Ayu tersenyum pasrah.

“Pelan-pelan,” sambung ibu dengan nada bicara lembut dan masih dengan tatapan menenangkan.

***

“Mas, nanti kalau pas Diaz nangis mau nyusu, tolong dong dikondisikan. Ajak mama keluar dulu, atau sebisa kamu lah,” pinta Ayu saat malam hari pada Nuraga yang bersiap akan tidur.

“Emang masalahnya apa, sih? Kan mama doang. Sama-sama perempuan juga, kok.”

“Iya. Tapi aku nggak nyaman. Aku pengin bisa menyusui dengan nyaman, Mas.”

“Ya sabar. Mama juga nggak akan di sini terus-terusan, kok. Ibu juga, kan?”

“Mm, ooh, oke.”

“Kamu mau gimana lagi, sih? Menyusui ya tinggal menyusui aja, kan? Lagian nggak di tempat umum ini. Bisa sambil belajar sama mama, sama ibu juga,” sahut Aga lagi, merasa terganggu dengan celotehan istrinya.

“Iya oke. Ya sudah, nggak usah teriak. Nanti Diaz bangun.”

Nuraga dengan cuek menutupi seluruh tubuh hingga kepalanya dengan selimut. Membuat Ayu mendesah keras, kesal dengan suaminya.

Alih-alih bisa beristirahat, Ayu harus berbesar hati untuk melanjutkan mencuci beberapa lembar pakaian bayinya, juga mengisi perutnya yang mudah sekali merasa lapar. Untunglah ibu dan Dahlia sudah membantu sebagian besar pekerjaan rumah lainnya.

“Mau ke mana?” tanya Aga kembali meloloskan bagian kepalanya keluar dari selimut.

“Makan.”

“Oh ... Mau aku temenin?”

“Nggak usah, jagain Diaz aja.”

“Oke,” sahut lelaki itu, melirik ke arah box bayi yang sengaja diletakkan di kamar yang sama.

Tanpa sepatah kata lagi, Ayu beranjak pergi dengan membawa serta ponsel pintar di genggamannya.

Di meja makan, sembari menyuap setiap sendok nasi beserta lauk pauknya, matanya tak henti melirik ke arah ponsel. Jemarinya yang bebas, berselancar lepas di atas layar. Sambil sesekali ia tersenyum tipis setiap selesai melihat satu unggahan menarik, begitu berulang-ulang.

Layar ponsel dan media sosial kini berhasil mengembalikan senyumnya yang ceria untuk beberapa saat. Sampai terdengar kembali jeritan tangis bayi mungilnya yang tiba-tiba mengubah raut wajah Ayu menjadi lusuh kembali. Lelah.

“Baru juga makan sebentar, me time. Udah ada suara tangisan lagi,” protesnya sambil berjalan menuju kamar.

“Mas kamu nggak bisa ya ganti gendongin Diaz bentar?” tanya Ayu kesal, namun tak ada tanggapan apa-apa dari sang suami.

Nuraga tetap tidur dengan nyaman di atas kasurnya.

“Huh. Nyebelin!” kesal Ayu, segera mendatangi box bayi dan menggendong Diaz yang masih terus menangis.


•••••

Hmmmm, mana nih suaranya ibu-ibu yang pernah merasa kek gini? Wkwkwk. Sebel ya buibu, tapi penuh cerita perjuangan. Banyak hikmahnya, tapi kudu kuat sabarnya.

Buat yang masih mengalami fase ini, keep strong, moms! Kamu kuat kamu hebat. Semangat karena Allah. 🥰🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top