- Lompatan Kenangan -


Dahayu duduk di sebuah kursi meja tua dengan kedua tangan saling bertautan, gugup. Raut wajahnya menunjukkan sebuah perasaan cemas yang tak biasa.

Tepat di hadapannya, ibu sedang menekuni sebuah kertas jawaban hasil ujian yang baru saja Ayu serahkan beberapa menit lalu.

“Kenapa 95? Kenapa tidak sempurna, Yu?” tegas ibu, dengan tatapan penuh kemarahan pada seorang gadis kecil berkerudung putih kusam di hadapannya.

Ibu menggebrak meja dan melemparkan selembar kertas jawaban hasil ujian tadi ke arah Ayu.

Gadis berlesung  pipi itu terperanjat dengan muka masam. Sorot matanya menunduk lesu ke arah kertas jawaban di sudut meja. Tak berani menatap ibunya sendiri.

“Ibu ... Lihat hasil ujian Lia,” sela Dahlia yang tiba-tiba saja datang menghampiri ibunya dan segera menyerahkan sebuah kertas jawaban hasil ujiannya.

“Wah, hebat anak ibu. Besok lagi, pasti kamu bisa dapat nilai yang lebih baik dari 68.” Dengan senyum semringahnya, ibu membelai lembut pucuk kerudung gadis berseragam biru putih di sampingnya.

Lantas keduanya saling berpelukan, seolah tak menganggap keberadaan Dahayu di sana.

Dahayu melirik kesal ke arah ibu dan adiknya sambil mengepalkan kedua lengan.

“Kak Ayu, selamat ya, aku denger-denger tadi kakak yang dapat nilai tertinggi di kelas.” Dahlia kecil beranjak mendekati kakaknya yang segera menolak.

“Nggak penting juga,” sahut Ayu kesal.

“Belum sempurna. Harusnya dia bisa dapat nilai yang jauh lebih baik dari pada itu. Nggak perlu dikasih selamat,” tambah Ibu dengan seringai tajam.

Dengan perasaan penuh kebencian, Dahayu mengambil kasar kertas jawabannya di atas meja, meremas lantas melemparkannya ke sembarang arah.

“Kapan sih aku pernah dianggap ada?” tuturnya tepat di depan mata sang ibu.

Tak adanya jawaban dari ibu membuat Ayu mengambil keputusan untuk segera lari dan menjauh.

Dahayu berlari dengan napas terengah. Titik-titik peluh bercucuran dari kening hingga ke seluruh tubuhnya.

Dengan susah payah dan tenaga yang hampir habis, kaki-kaki kecil itu akhirnya berhenti di sebuah pekarangan rumah yang cukup luas. Di tengah-tengahnya, berdiri dengan tegak sebatang pohon alpukat yang berbuah cukup banyak saat musimnya tiba.

Setiap harinya, pekarangan luas itu akan dipenuhi dengan dedaunan kering yang berhamburan akibat sapaan angin yang menerpa. Dahayu, bertugas untuk membersihkan seluruh pekarangan tersebut setiap sepulang sekolah.

“Ma-af, Bu. A-ku, a-ku abis ada pelajaran tambahan tadi, di sekolah,” terang Ayu ngos-ngosan. Tubuhnya membungkuk seraya perlahan mengatur napas.

“Alasan. Bilang aja kamu malas. Biar Dahlia yang kerjain ini semua, ya? Biar kamu bebas? Bisa main sama temen-temen nakalmu itu?” gertak ibu sambil melemparkan sebilah sapu yang langsung mengenai tubuh kecil Ayu.

“Nggak, Bu. Aku emang—“

“Pemalas. Kamu pikir siapa yang bisa kerjain ini semua lagi? Ayahmu? Lihat keadaannya gimana sekarang.” Tanpa segan, wanita tua berjilbab kusut itu menarik tubuh Ayu agar berdiri tegak menatapnya.

“Ma-maaf, tapi Ayu cuma telat tiga menit—“

“Mau jadi apa kamu, hah? Selalu melawan.” Dahayu belum siap sepenuhnya akan pukulan gagang sapu di betisnya kala itu oleh tangan ibunya sendiri.

“Bu, sakit," rengeknya memohon ampunan.

“Menurut kamu ibu nggak sakit? Melahirkan kamu itu sama saja mematikan kehidupan kami.”

Wanita tua yang Ayu yakini sebagai ibunya itu masih belum jua lelah melayangkan gagang sapunya ke arah tubuh mungil Ayu.

Lagi-lagi Dahayu kembali berlari sekuat tenaganya. Wajahnya meringis kesakitan dengan air mata yang tak mampu ia kendalikan.

Mendadak tubuhnya lemas. Sulit sekali rasanya untuk sekadar membuka mata.

Sayup-sayup, Dahayu mendengar suara pintu berdecit, disusul oleh suara hak sepatu menapak lantai.

“Anak bapak dan ibu baik-baik saja. Tapi, dia harus lebih banyak istirahat. Saya rasa dia terlalu memforsir tenaganya hingga jatuh sakit seperti ini.”

Dalam keheningan tubuhnya, Dahayu memahami kalau dirinya saat itu tengah berada di sebuah rumah sakit atau klinik. Meskipun sudah sadar, Dahayu tak berniat untuk membuka matanya saat itu.

“Baik, Dok. Terima kasih banyak,” suara parau khas Ayah akhirnya membawa sedikit ketenangan bagi Dahayu.

Tak lama, seorang wanita yang kemudian diketahui Dahayu sebagai dokter tadi kembali berjalan menjauh. Hingga terdengar kembali bunyi decit pintu yang langsung disambut oleh amukan ibunya.

“Manja. Cuma cari-cari perhatian! Buang-buang uang saja, kan, kalau begini,” pekik ibu langsung membuat dada Ayu serasa ditikam.

“Sudah, Bu. Memang Ayu terlalu lelah. Dia harus sekolah, bekerja, masih juga mengurus pekerjaan di rumah. Kasihan,” sahut Ayah membela putri sulungnya.

Kali ini Dahayu dapat mendengar suara ketukan tongkat di lantai, menandakan sang Ayah sedang berusaha berjalan mendekatinya.

Meski sangat ingin membuka mata dan segera memeluk Ayah, namun diurungkannya sebab takut oleh murka ibunya.

“Bukannya itu memang tugas dia? Sebagai perempuan, toh nantinya dia juga yang akan mengerjakan pekerjaan dapur.”

“Ayu itu berprestasi, Bu. Dia bisa meraih masa depan yang lebih baik dengan beasiswa yang ditawarkan gurunya kemarin.”

“Nggak perlu. Kalau dia kuliah di luar kota, lalu siapa yang akan membiayai hidupnya sendiri? Membiayai keperluan rumah dan sederet cicilan? Siapa juga yang akan menyiapkan dana untuk kuliah Dahlia? Nggak mungkin kamu, kan?” teriak Ibu, menciptakan setitik air bening di ekor mata Dahayu.

Tak lagi terdengar jawaban dari Ayahnya.

“Bangun kamu, Yu! Nggak usah pura-pura sakit lagi. Semakin lama kamu di sini, semakin mahal biaya yang harus keluar.” Lagi dan lagi Ayu harus menerima perlakuan kasar dari ibunya.

Dengan gontai dirinya terus melangkah. Ayu sempat kehilangan arah. Hingga secara tiba-tiba waktu mempertemukannya dengan sebuah keajaiban.

Ayu bertemu dengan Nuraga yang memberi sebuah harapan baru baginya dalam sebuah pernikahan.

“Wanita macam apa kamu itu? Sudah berapa kali kamu tidur sama dia? Sampai-sampai kamu rela nikah dan melepas semua kehidupan kamu sekarang, hah?” teriak ibu tak terkendali, sebelah tangannya masih menarik-narik pergelangan tangan Ayu.

“Nggak pernah!” balas Ayu dengan berteriak sama kencangnya. Segera ibu menghadiahinya tamparan panas di pipi.

“Jadi anak bikin malu. Pantes aja kamu nggak pernah mau pakai hijab tertutup seperti Lia. Buat nyari laki-laki kaya, iya?”

Dahayu kembali berlari dengan napas terengah sambil bibirnya terus meracau cepat.

“Aku capek!!!”

“Sayang ..., sayang, kamu kenapa?” Nuraga bertanya cemas, sambil berusaha menenangkan Ayu yang tiba-tiba saja berteriak di tengah tidur lelapnya.

Dahayu menggeleng, perlahan menekuni setiap sudut di ruangan bernuansa pastel itu. Hingga tangisan Diaz mengembalikan kesadarannya.

“Kamu mimpi buruk?” tanya Aga seraya mengusap keringat yang mengucur dari kening istrinya di tengah-tengah ruangan bersuhu dingin.

Ayu mengangguk sambil berusaha mengatur napasnya. Keping memori menyakitkan itu kembali berlompatan di pikiran. Terasa begitu nyata.

Tanpa benar-benar Ayu pahami, Nuraga terus meracau tentang sunah yang sebaiknya dilakukan saat mendapat mimpi buruk.

“Meludah ke kiri sebanyak tiga kali lalu ubah posisi tidur, trus—“

“Diaz,” lirih Dahayu dengan tatapan kosong.

“Oh, oke, aku ambil Diaz dulu, ya.”

Tak berapa lama, Nuraga telah menimang Diaz dan ingin menyerahkan bayi kecil itu pada sang ibu untuk diberikan susu.

Dahayu menyambut dan segera memenuhi permintaan bayinya. Yang membedakan adalah, tak ada lagi desir kehangatan yang Ayu rasakan di setiap isapan bayi mungil itu. Tak ada lagi degup bahagia saat bersitatap dengan bayinya. Tak ada kebahagiaan saat Ayu melihat Diaz tepat di hadapannya.

Wanita dengan lesung pipi itu hanya merasakan hampa. Tak ada rasa kasih sayang terhadap bayinya sendiri. Melainkan kebencian yang semakin mendalam.

“Aku nggak mau menyusui dia lagi.”

••••••

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top