- Lemahnya Iman -
"Kamu kenapa nggak ke kantor lagi?”
Cahaya matahari pagi mulai merambat masuk ke kamar. Ayu bangkit dari tidurnya dan mendapati Aga tengah menimang-nimang Diaz di depan jendela kamar.
Semenjak menjadi ibu, tidur selepas salat subuh seolah menjadi rutinitas bagi Ayu. Setelah sepanjang malam ia lebih sering terbangun mengurus buah hatinya, rasa lelah di tubuh seolah membuatnya malas untuk aktivitas lain selain tidur atau sekadar berbaring di dalam kamar.
“Aku mau temenin kamu dulu. Katanya kamu mau pulang ke Jakarta. Jadi?”
Wanita itu meraih ponsel dari atas nakas, lalu kembali meletakkannya setelah berhasil mengetahui tanggal dan hari saat itu. Sejak disibukkan dengan rutinitas di rumah, Ayu menjadi sering melupakan tanggal dan hari. Ia menjadi lebih pelupa bahkan untuk hal-hal kecil sekali pun.
“Kamu serius mau temenin? Nginep di rumah aku nggak papa? Di kamar jelek, panas, dan—“
“Sayang, nggak usah mulai dulu, ya. Aku nggak masalah kok di mana aja. Asal kamu bisa happy lagi,” ujar Nuraga mendekat ke arah sang istri.
“Mau nyusuin?” tawar Aga, sembari memperlihatkan wajah Diaz dalam dekapannya. Bayi mungil yang semakin menggemaskan itu tumbuh begitu cepat.
Ayu mengangguk, segera mengambil alih Diaz lalu menciuminya. Perlahan, mulai memosisikan diri untuk segera menyusui Diaz.
“Hari ini jalan-jalan dulu, yuk. Beliin baju-baju baru buat Diaz,” ajak Aga, membelai lembut rambut istrinya.
“Kenapa bajunya?”
“Udah kekecilan. Dia udah semakin besar.”
Dahayu menatap bayi kecilnya dalam-dalam. Menyesali bahwa dirinya bahkan tak memperhatikan tumbuh kembang Diaz yang begitu singkat.
Sekali lagi wanita itu mengangguk. Merasa bersalah.
“Beli-beli baju buat istriku juga. Atau ..., lagi pengin beli apa?”
“Aku? Mmm, nggak usah lah,” jawabnya ragu-ragu.
Pikirannya melayang ke masa dulu. Membeli baju-baju baru memang bukan menjadi kebiasaannya. Meskipun ia sudah mampu mencari uang sendiri, namun Dahayu dituntut untuk bisa menghidupi keluarganya. Menabung untuk kuliah adiknya bahkan membiayai sendiri kuliahnya.
“Tapi, dulu kan kamu kerja. Bisa punya uang sendiri buat beli apa pun yang kamu mau. Sekarang, udah kewajiban aku buat nafkahin kamu.”
Dahayu tersenyum tipis, “aku jarang belanja pake uang gajiku. Harus nabung, biar bisa kuliah,” sahutnya masam.
“Iya, istriku kan hebat. Tapi, sekarang kamu boleh kok belanja apa aja yang kamu perlu. Aku kerja juga buat kamu. Buat Diaz. Oke?”
Dahayu menganggukkan kepala untuk kesekian kalinya.
“Skincare?”
Kali ini, wanita itu terdiam. Meskipun jarang berbelanja pakaian, Dahayu lebih senang merawat diri dengan membeli seperangkat alat dan bahan untuk perawatan tubuh dan wajahnya. Karena sadar, dirinya tak mungkin bisa merutinkan diri untuk melakukan perawatan di salon. Melakukannya sendiri di rumah akan jauh lebih hemat dan nyaman.
Wanita dengan lesung pipi itu menengok ke arah meja rias, pada rak akrilik bening tempat jajaran skincare-nya bertahta. Sudah lama sekali tak tersentuh.
“Masih ada. Lagian udah nggak sempet juga.”
Nuraga terdiam, kehabisan kata-kata. Ia takut akan menyinggung perasaan wanita di sebelahnya itu jika terus menerus menjawab.
“Mmm, jadi ..., jadi pulang?” tanya Ayu memastikan.
“Kalo kamu mau, aku siapin tiket. Sekalian bareng sama mama.”
“Emang, mama nggak papa?”
“Santai. Gampanglah itu.”
“Jangan gampang-gampang terus, Mas. Aku tu nggak ngerti sama mama kamu. Kadang suka semaunya. Kadang juga baik banget,” ungkap Dahayu jujur, mengundang tawa renyah dari Nuraga.
“Bukannya, kamu juga gitu ya? Eh, anu maksud aku ....”
“Emang iya aku gitu?” tawa manisnya kini melengkung sempurna.
“Iya. Kamu tau nggak, aku kangen kamu yang dulu. Yang ceria. Yang kuat. Yang selalu percaya diri.”
Ayu mengembuskan napas panjang. Seperti berusaha mencerna kata demi kata dari Nuraga.
“Aku juga bingung sama diriku sendiri.” Jawaban yang akhirnya dipilih oleh Ayu, sembari tertawa perih, lantas kembali meletakkan Diaz yang hampir terlelap ke dalam box bayinya.
Di tengah hangatnya obrolan rumah tangga pasangan muda itu, ponsel Nuraga berdering agak kencang.
Ayu menoleh ke arah suara dengan rasa penasaran yang tinggi. Sedangkan Aga dengan malas berjalan menuju nakas dan mengambil ponselnya.
“Naya. Boleh aku jawab?” izinnya buru-buru, takut dering ponselnya akan mengganggu tidur bayinya.
Dahayu mengangguk. Air muka yang tadinya senang, langsung berubah datar. Ia berjalan ke arah meja rias sambil mencepol rambut. Tatapannya tak henti melirik ke arah Nuraga.
Ditatapnya punggung lelaki yang menjauh dari pantulan cermin di depannya. Bahkan Ayu menunda keinginannya untuk ke kamar mandi, demi mendengarkan sedikit pembicaraan kedua mantan pasangan itu.
Perasaan was-was muncul di dalam dirinya kini. Dalam hati, Ayu mengakui bahwa Nuraga dan Kanaya seperti pasangan yang begitu serasi. Hal itu semakin membuatnya takut kehilangan. Takut akan kekecewaan dan pengkhianatan.
“Iya Naya,” sahut Nuraga begitu lembut pada wanita di ujung telepon. Berbeda dengan sikap Nuraga kemarin yang terkesan dingin pada Kanaya.
Ayu memerhatikan gesture tubuh Aga yang begitu nyaman. Lelaki bertubuh tegap itu seperti sangat menikmati obrolannya dengan Naya. Bahkan Ayu dapat menangkap senyum mengembang di wajah Aga.
Saat pikirannya melayang entah ke mana, lengking tangisan dari Diaz tiba-tiba kembali memenuhi ruangan.
“Kenapa lagi, Diaz? Kan baru aja tidur,” desis Ayu kesal, berjalan ke arah box bayi dan mencoba menenangkannya.
Ayu melirik ke arah suaminya yang tetap terlihat sibuk dengan telepon. Menyebabkannya kesal dan menganggap Diaz sebagai pengganggu saat seharusnya ia bisa mencuri dengar pembicaraan Aga dan Naya kala itu.
“Diaz! Kamu bisa diem nggak, sih?”
Tanpa menunggu Diaz berhenti menangis, Ayu meletakkannya kembali ke dalam box bayi.
Perasaan itu kembali tiba, membuat bola mata Ayu terasa panas. Ia merasakan pusing yang begitu mengganggu dan mulai berhalusinasi.
Dengan kedua tangannya sendiri Ayu membekap mulut kecil Diaz hingga diam. Tak lagi ada suara tangisan dan tatapan memohon dari si kecil di dalam box bayi.
Diaz terlelap, hingga tak mampu bergerak.
Ayu menggeleng histeris sambil memegangi kepala dan menarik-narik rambutnya. Napasnya memburu, tak beraturan.
Spontan ia berlari menuju kamar mandi, meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa dan membanting pintu kamar mandi dengan kesal.
“Nggak perlu lagi, Nay. Istri gue satu-satunya yang perlu gue jaga hatinya sekarang,” tutur Aga seraya memutuskan panggilan telepon dan langsung mengejar Dahayu. Ia pun abai dengan tangisan putra kecilnya kali ini.
“Sayang ...,” panggil Aga, mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi dengan khawatir.
Ayu tak menjawab, hanya menimbulkan suara gaduh seperti sebuah kaca yang terjatuh menghantam lantai kamar mandi.
“Ayu. Kamu nggak papa?” teriak Aga panik berusaha membuka paksa pintu kamar mandi.
Tak juga ada jawaban dari dalam membuat Aga semakin cemas dan dengan sekuat tenaganya, Aga menendang pintu kamar mandi hingga terbuka.
“Ayu!!! Sayang, kamu kenapa? Astagfirullahaladzim ....”
•••••
Bersambung ...
Aku up pagi2 hari ini, biar bisa agak selonjoran.
Makin tegang nulis kisah Ayu-Aga, nih. Keinget beberapa kasus ibu yang menyakiti bahkan bisa sampai membunuh anaknya sendiri gara2 depresi, 😣
Astagfirullah ...
*Diaz masih bobo anteng ya onty2. Tadi mama Ayu cuma lagi halusinasi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top