- Keputusan -
Manusia akan dihadapkan dengan rasa kecewa yang begitu besar saat tak lagi melibatkan Allah dalam setiap pilihan hidupnya.
***
“Jadi, kedatangan saya ke sini memang bertujuan untuk melamar Ayu untuk jadi istri saya.” Dengan gagah, Aga yang sebelumnya telah memperkenalkan diri segera menyampaikan niat kedatangannya kepada si tuan rumah.
“Ada apa tiba-tiba mau nikah? Kamu hamilin anak saya, ya?” tuduh ibu sebelum ayah sempat menjawab lebih dulu. Wanita itu menghadirkan tatapan penuh amarah pada tamunya.
Memang akan selalu seperti itu jika berkaitan dengan Ayu. Wanita tua dengan khimar abu-abu di hadapan mereka itu akan selalu menunjukkan kemarahan dan kebencian jika anak sulungnya tak sejalan dengan dirinya. Lain hal jika dengan Dahlia, anak bungsu kesayangannya.
“Astagfirullahaladzim, Bu-bu, sabar dulu,” sela ayah berusaha menengahi. Dengan keterbatasannya, ayah berusaha menenangkan istrinya dengan menggenggam lengan wanita itu erat-erat. Ibu menurut, menurunkan sedikit egonya dan mengembuskan napas kesal.
Sedangkan Ayu, masih memandang tak percaya atas tuduhan ibunya sendiri. Matanya memerah menahan marah.
“Ayu, Aga, coba jelasin sama ayah dulu, Nak. Kenapa kalian tiba-tiba memutuskan untuk menikah? Bukankah Ayu bilang, kalian baru saling kenal?” tanya Ayah dengan suara agak serak, meminta penjelasan kepada lelaki berkemeja putih polos yang terkesan lebih formal dari pada saat pertemuan dengan Ayu sebelumnya.
Ayu memandang ke arah Aga, memberi kode agar lelaki itu yang menjawab, dan segera direspon cepat oleh Nuraga.
“Mmm, mohon maaf sebelumnya, di sini saya mau meluruskan dulu bahwa tidak pernah terjadi apa-apa antara saya dan Ayu. Kami berdua memang baru saling mengenal, lebih tepatnya, Ayu yang baru mengenal saya,” jelas Aga dengan nada suara yang tetap tenang.
Semua yang ada di ruangan dengan saksama ikut mendengarkan, termasuk Ayu yang memang tak pernah berurusan sebelumnya dengan lelaki 25 tahun itu.
“Almarhum papa saya sempat menawarkan saya untuk berkenalan dengan Ayu. Beliau kagum dengan kerja keras dan semangat Ayu, bekerja sambil tetap melanjutkan kuliah,” sambung Aga.
Ayu diam menekuni setiap kalimat yang terlontar dari bibir lelaki itu.
“Beliau bilang, Ayu adalah tipe gadis yang cocok untuk dijadikan istri. Dan jelas, beliau sangat-sangat menginginkan saya untuk mendekati Ayu, yang bahkan saat itu belum tahu sama sekali tentang saya.”
“Kalau papa sudah bersikeras menjodohkan saya dengan Ayu, saya yakin kalau memang itu adalah pilihan yang terbaik menurut beliau. Sayangnya, belum sempat saya memenuhi keinginan itu, papa sudah nggak ada. Beliau meninggal dunia empat bulan yang lalu.” Raut muka Aga berubah kusut, seolah menahan sebuah penyesalan.
“Lalu?” tanya Ayah yang mendengarkan dan ikut penasaran. Tentu saja Ayu jauh lebih penasaran dengan kisah di balik hadirnya Aga secara tiba-tiba dalam kehidupannya itu.
“Keinginan terakhir papa, melihat saya menikah. Satu-satunya wanita pilihan beliau cuma ayu.”
Gadis berlesung pipi itu menatap Aga penuh tanda tanya. Mencoba menilik kembali ingatannya saat beberapa kali bertemu dengan almarhum Jaya Adhitama. Namun gagal mendeteksi bahwa nama Nuraga Adhitama pernah disebut-sebut dalam beberapa pertemuan tersebut.
“Papa emang nggak pernah bahas tentang itu sama Ayu. Setiap pertemuan, murni cuma urusan pekerjaan. Tapi diam-diam, papa mencari tahu tentang Ayu buat saya,” sambung Aga, seolah mampu membaca pikiran Ayu yang masih kebingungan dengan kisah yang Aga tuturkan.
“Atas dasar apa beliau memilih Ayu untuk menjadi istri Aga?” sahut Ayah sembari berusaha mengarahkan kursi rodanya lebih mendekat kepada Nuraga.
Nuraga refleks segera membantu, sambil menanggapi dengan gelengan pelan di kepala.
“Yang jelas, sebagai anak bungsu yang sangat dekat dengan papa, saya hanya percayakan saja masa depan saya dengan pilihan beliau. Sekarang, giliran saya sendiri yang harus maju dan bergerak cepat melamar Ayu. Sebelum penyesalan itu datang lagi,” ujar Aga to the point.
“Kenapa aku?” Ayu tak tahan untuk tidak bertanya.
Sekali lagi Aga menggelengkan kepalanya.
“Secara tidak langsung, kamu terpaksa ingin menikahi anak saya? Bukan atas keinginan pribadimu, apalagi atas dasar cinta. Iya kan?” tebak Ibu.
Pernyataan dari Aga tadi membuktikan bahwa Aga berniat menikahi Ayu hanya karena ingin menuruti permintaan almarhum ayahnya, tanpa memedulikan perasaan satu sama lain. Cinta? Apa itu cinta?
“Mmm, menurut saya, cinta akan tumbuh setelah adanya ikatan pernikahan. Bukannya memang begitu seharusnya?” jawab Aga justru melempar tanya. Sikap tenangnya benar-benar menjadi nilai tambah tersendiri bagi Ayu.
“Laki-laki seperti kamu seharusnya sudah punya perempuan lain, atau bahkan banyak perempuan lain, kan? Lalu kenapa masih mengharapkan anak saya? Dia bukan siapa-siapa,” hardik ibu lantang.
“Ayu memang bukan siapa-siapa, Bu. Tapi bersama-sama dengan Ayu, saya berharap bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi. Sesuai dengan apa yang papa saya percaya sebelum beliau meninggal dunia.”
“Bahkan papa kamu pun tidak sepenuhnya mengenal Ayu! Apakah baik diam-diam mencari tahu tentang anak gadis orang?” tanya Ibu lagi, masih dengan nada suara penuh emosi.
“Bu ..., sudah—“
“Apa ayah yakin mau memberikan izin anak kita untuk menikah dengan laki-laki asing seperti dia?” sela ibu sebelum Ayah sempat menyelesaikan ucapannya.
“Saya memang orang asing, Bu. Mungkin cara saya yang salah. Saya yang masih jauh dari kata baik ini, memang belum sepenuhnya paham urusan agama. Tapi dengan segenap hati, saya dapat memastikan ketulusan saya untuk menikahi Ayu. Bukan untuk sekadar menjadi lelaki tanpa hubungan yang mendekatinya diam-diam.”
Sebuah cahaya terang terpancar dari sinar mata Ayu. Membuatnya semakin yakin atas keputusan yang telah ia pilih.
Sedangkan ibu telah merasa kalah telak dan tak lagi berusaha menanggapi. Tatapannya kembali dihiasi oleh perasaan tak senang.
Ayu justru senang dengan sikap to the point Aga saat itu. Baginya sekarang, menikah adalah satu-satunya jalan terbaik untuk keluar dari rumah. Apa pentingnya perasaan cinta atau pun tidak? Ayu sama sekali tak mau berpikir panjang mengenai hal itu.
“Ayah serahkan semua keputusan kembali pada Ayu.”
“Ayu bersedia, Yah.”
Sontak, ibu terbelalak mendengar ucapan mendadak Ayu. Sedangkan Ayah dapat menyikapinya dengan jauh lebih bijaksana. Lelaki paruh baya itu mengembuskan napas perlahan dari atas kursi rodanya. Dengan sudut bibir agak melengkung akibat senyuman, ayah menatap Ayu dan Aga secara bergantian.
“Kalau memang kalian berdua sudah sepakat, ayah dan ibu akan mengizinkan,” ujar ayah lembut.
“Ayah,” protes ibu tak terima.
“Dengan syarat, Ayu harus menyelesaikan dulu kuliahnya.”
“Baik.” Aga menyahut mantap.
“Sebelum menuju ke arah yang lebih serius lagi, ada baiknya jika kalian berdua mengadu dan salat istikharah dulu. Libatkan Allah dalam pilihan hidup kalian, Nak. Apa pun itu,” sambung Ayah.
Dahayu dan Nuraga kompak mengangguk, menekuni tiap nasihat ayah. Berbeda dengan ibu yang masih memasang raut wajah pilu, seolah memendam sebuah kesedihan yang begitu mendalam.
“Kalau sudah benar-benar yakin dengan keputusan ini, segera datang ke sini lagi bersama keluargamu. Niat baik memang harus disegerakan. Tapi, bukan untuk terburu-buru. Terus meminta petunjuk pada Allah tentang hal ini ya, Nak.”
“Baik, Yah,” sahut Aga meyakinkan.
“Jangan kalian pikir, menikah itu mudah. Banyak yang harus kalian pertimbangkan matang-matang,” ujar Ibu seraya berdiri.
“Insya Allah, saya sudah pertimbangkan semua baik-baik, Bu.” Aga segera merespon.
Bukan memberi tanggapan, ibu justru berlalu, menyisakan bayangannya di antara ayah, dan kedua sejoli itu.
••••••
Lelah sama part ini. Maafkan kalau belum maksimal. 🥲
Tetap dukung semangat, yaaa.
Salam sayang, 🥰
halodwyta
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top