- Hak Istimewa -
“Nggak bisa, Aga. Kamu harus lebih tegas dong sama istri kamu. Jangan keseringan dimanjain!”
“Tapi, Ma, kasian Ayu—“
“Wajar kok. Semua ibu di dunia akan merasakan hal itu, Ga. Nggak ada yang beda. Justru dia harus lebih kuat lagi mentalnya. Biar bisa jadi ibu yang tahan banting.”
“Ma, nggak semua orang punya mental sekuat itu,” balas Aga, tak setuju dengan pernyataan mama.
“Makanya kamu sebagai suami harus tegas. Harus kasih tau apa aja kewajiban sebagai istri dan ibu. Nggak usah lah pake asisten rumah tangga segala.”
“Tapi, dulu aja mama juga dibantuin sama banyak ART, kok. Papa nggak ngebiarin mama capek-capek ngurus anak-anak dan rumah.”
“Ah! Kamu ini tau apa, sih. Udah, pokoknya Mbok Mirah nggak boleh ikut di sini. Titik.” Biasanya, jika sang ibu sudah berujar demikian, maka semua anak-anaknya, termasuk Nuraga, akan selalu menurut. Tak mampu memberikan perlawanan lagi.
BRAAAK!!!
Suara dentuman pintu terhempas cukup keras di hadapan kedua ibu dan anak itu, membuat keduanya tercengang kaget ke arah suara.
“Ayu,” panggil Nuraga yang menyadari kepergian istrinya dari arah depan pintu kamar yang tertutup setengah. Lelaki itu berusaha mengejarnya.
“Nggak papa, Mas. Aku bisa kok ngurus semuanya sendiri. Mama bener, semua ibu di dunia melewati hal ini, kok.” Wanita dengan piyama jingga itu berusaha menahan laju tangisannya yang kini terlalu mudah runtuh.
“Sabar ya, sayang. Kamu nggak sendiri kok. Kita akan lewatin sama-sama.” Sebuah pelukan hangat melesat seketika itu juga. Memberi setitik ketenangan bagi wanita dengan lesung pipi di hadapannya.
“Nanti, kita coba cari ART dari yayasan lagi, ya.”
Dahayu menggeleng, “nggak usah, Mas. Nggak perlu. Aku harus bisa jadi ibu yang kuat buat anak-anakku, kan?” ujar Dahayu berusaha menampilkan seutas senyum di bibir merah mudanya.
“Udah santai aja. Nggak usah diambil hati omongan mama. Lagian kan kamu liat sendiri tuh. Mama tetep bawa Mbok Mirah juga kok ke sini. Udah langsung disuruh handle Diaz, kan? Kamu bisa santai.” Aga meyakinkan lagi dengan raut wajah tengilnya. Senyum tipis mengembang di wajah tampan dengan kumis tipis itu.
“Maksud kamu?”
“Iya. Mama tuh emang suka drama gitu lah. Tapi aslinya perhatian.”
Sejak awal pernikahan kedua sejoli itu, Dahayu memang agak sulit untuk mengakrabkan diri dengan Mama Trias. Setelah bersikap begitu lembut pada Ayu sejak resmi tinggal di rumahnya, kini sikap lembut itu menguap kembali semenjak kehadiran Diaz. Entah bagaimana yang sebenarnya.
“Tapi, Mas ....”
“Udah nggak usah khawatir. Oh iya, aku boleh tanya satu hal sama kamu?” Aga melempar tanya sembari melepaskan cepol rambut istrinya, lalu merapikan surai hitam itu dengan jari-jari tangannya.
“Apa?”
“Udah berapa lama nggak pergi ke salon? Perawatan dari kepala sampai kaki?” tanya Nuraga. Pagi ini, ia memutuskan untuk tidak berangkat ke kantornya untuk menepati janji. Tak disangka, mama tiba-tiba saja muncul di depan rumah tanpa pemberitahuan sebelumnya. Setidaknya benar-benar tanpa Ayu ketahui.
“Hmm? Aku jelek, ya?” Kedua bola mata Ayu melebar sembari bibirnya melempar tanya, seolah tak terima dengan pertanyaan Aga yang lebih mirip dengan sebuah sindiran.
“Loh, apaan, sih. Maksud aku, kamu mau nggak kalo aku anterin nyalon hari ini?” Lelaki itu berusaha memberi klarifikasi singkat. Kalimatnya berhasil membuat Ayu sedikit tercekat.
“Nyalon? Sementara mama dateng ke sini, trus aku tinggalin beliau dan anak aku, cuma buat ke salon, gitu?”
“Ini kenapa kita malah saling lempar tanya gini, sih?” protes Aga merasa canggung. Menggaruk-garuk bagian tengkuknya yang tak terasa gatal sama sekali.
“Iya sayang. Kamu santai lah dulu. Biar aku yang urus Diaz hari ini,” lanjutnya sambil berdiri tepat di hadapan Ayu yang masih duduk di tepian ranjang.
“Are you sure? Mana mungkin mama ngizinin,” sahut Ayu masih tak yakin. Wajahnya merengut, meskipun sangat ingin menerima tawaran menyenangkan itu. Wanita mana yang tak senang dengan tawaran bersantai merawat diri di salon seharian?
“Beneran. Soal mama gampang, bisa aku atur. Yang penting, stok Asi ada di kulkas. Gimana?”
Bukannya langsung menjawab, Ayu justru berdiri menjauh, memosisikan dirinya berdiri di depan jendela kaca di kamar yang menjadi sumber cahaya matahari pagi masuk ke ruangan. Hangat langsung menyapa tubuh dan wajahnya. Pantulan sinar kekuningan membuatnya kesulitan membuka lebar-lebar matanya.
“Itu dia, Mas, masalahnya. Mana mungkin ada stok Asi yang melimpah di kulkas. Ada sih, tapi nggak banyak kayak di statusnya ibu-ibu lain. Kayaknya aku emang nggak dilengkapi Allah dengan limpahan air susu deh setelah melahirkan Diaz,” ungkap wanita itu sambil bersedekap dan mata yang agak menyipit.
“Ya nggak gitu dong, sayang. Allah itu selalu mencukupi segala kebutuhan makhluknya. Bukan nggak dilengkapi dengan limpahan asi. Cuma kita aja yang harus lebih banyak belajar lagi. Bersabar dan bersyukur lagi.” Nuraga terlihat menggenggam lengan istrinya.
Keduanya kini berbagi kehangatan dalam pancaran sinar matahari pagi yang sama.
“Aku udah coba terus. Belajar menyusui langsung dengan berbagai posisi, belajar pompa sampai cara menyimpan dan menghangatkan Asi. Minum segala macam produk pelancar Asi. Makan ini makan itu. Asiku tetap nggak berlimpah, sayang,” adunya sedikit kesal. Mengingat perjuangan yang ia lakukan selama hampir tiga bulan ke belakang tak jua memperlihatkan hasil maksimal.
“Mungkin nggak berlimpah, tapi tetap mencukupi kebutuhan Diaz, kan?”
Dahayu menggeleng cepat, “nggak tau. Aku merasa dia selalu masih belum puas setiap habis menyusu,” bantah Ayu.
“Tapi kan berat badannya setiap bulan bertambah, beb. Dokter juga nggak kasih tau ada kekurangan atau apa pun, kan? Normal aja, sayang. Kamu aja yang terlalu mikir berlebihan,” jawab Nuraga tak merasa ada kekurangan.
“Masa, sih?”
Nuraga mengangguk yakin, “lagi pula kalau emang Diaz kekurangan asi, dokter udah pasti menyarankan susu tambahan, sayang. Selama kenaikan berat badannya normal, Diaz tumbuh sehat dan baik, berarti semuanya baik-baik aja. Nggak ada yang harus kamu khawatirkan,” ujarnya merangkul pundak Dahayu.
“Aku ngerasa selalu kurang sebagai ibu. Aku nggak bisa ngasih yang terbaik buat Diaz, aku bukan ibu yang—“
“Udah-udah. Kamu udah lakuin yang terbaik, kok. Please, jangan berusaha jadi ibu sempurna. Jadi ibu yang bahagia aja. Kembali ceria kayak Dahayu yang aku kenal dulu.” Ucapan tulus dari Nuraga seolah menyentuh tepat di jantung Dahayu. Keduanya saling memandang satu sama lain.
Entah kenapa, Dahayu seperti menemukan sebuah tembok besar yang berdiri tepat di hadapannya. Yang menjadi penghalang terbesar bagi dirinya untuk melimpahkan kasih sayangnya pada Diaz. Sisi keibuannya yang lembut, berbanding terbalik dengan sisi angkuhnya yang selalu merasakan kebencian pada Diaz. Sebuah tembok yang menjadikan Dahayu merasakan cinta sekaligus murka pada buah hatinya itu.
“Mmm, mau jadi ke salon, nggak?” tawar Nuraga lagi, membuyarkan pikiran Ayu.
“Aku ..., aku nggak yakin bisa ninggalin Diaz, mas.”
“Tapi juga pengin perawatan, kan?”
Tak mampu mengelak, Dahayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya udah, aku anterin. Yuk!”
“Hah? Diaz?”
“Sekarang Diaz lagi sama mama sama Mbok Mirah, kok. Ada stok asi juga. Tenang aja lagi,” ujar Aga berusaha meyakinkan.
“Tapi aku belum reservasi, Mas. Aku—“
“Udah, bilang aja istrinya Nuraga Adhitama. Di salon yang biasanya itu, kan? Udah tau lah dia,” sahut Aga.
Sejak dulu, Dahayu memang selalu berusaha untuk tidak menonjolkan privilege-nya sebagai seorang istri dari keluarga Adhitama. Sesuai dengan keinginan Nuraga yang saat itu tengah berusaha bangkit membangun perusahaannya sendiri tanpa hak istimewa nama Adhitama. Sebagai seorang istri yang selalu mendukung suaminya, Dahayu pun sengaja untuk tidak menonjolkan hal tersebut dalam setiap kegiatannya selama ini di perantauan.
“O-oke,” sahut Ayu merasa canggung.
Nuraga segera meminta istrinya untuk bersiap-siap. Sementara dirinya akan mencoba negosiasi dengan ibunya sendiri agar Dahayu bisa diberikan kesempatan keluar untuk merawat diri.
••••••
Lanjut jum'at ya,
Hari ini Dahayu mau happy-happy dulu. 😁
Semangat jadi ibu yang bahagia, yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top