- Godaan -
Satu tahun berlalu ...
Tepat di minggu keempat, awal tahun baru, Ayu telah menyelesaikan gelar sarjananya. Beberapa bulan sebelumnya pun, Dahlia berhasil masuk di universitas ternama di Jakarta untuk memulai kehidupan barunya sebagai mahasiswi.
Seluruh lelah dan kerja keras Ayu beberapa tahun belakangan ini telah terbayar. Satu beban yang cukup berat seolah telah terlepas dari pundaknya. Yaitu menabung untuk biaya kuliah Lia serta menyelesaikan tanggung jawab kuliahnya sendiri.
“Dahlia harus kuliah, Yu! Gimana pun caranya, kamu harus cariin dananya,” ucap ibu setiap hari selama hampir tiga tahun belakangan.
Sebagai seorang banker lulusan SMA, gajinya tentu saja tak bisa dibilang cukup untuk biaya kuliah diri sendiri dan orang lain. Belum lagi untuk biaya transport setiap harinya, ditambah kebutuhan hidup sehari-hari yang juga dibebankan kepada Ayu.
“Insya Allah, Bu. Ayu pasti usahakan,” jawab Ayu setiap kali ibu mulai membahas masalah pendidikan adiknya.
Meskipun entah bagaimana caranya, Ayu akan mati-matian memutar otak dan tenaganya untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut. Tak jarang, Ayu yang mampu tersenyum riang di hadapan banyak orang itu, merasa ingin menyerah dan mengaku kalah, lelah dengan segala beban yang ia pikul.
Dahayu bukan gadis yang rela menyerah begitu saja setelah usaha kerasnya. Jika saja ia tak pernah mendengar percakapan ibunya bersama Dahlia malam itu, sudah dapat dipastikan bahwa Ayu akan terus berjuang demi menghidupi keluarganya, tak peduli dengan cara apa pun. Tak peduli seberapa lelah dirinya sendiri.
Kini, Ayu benar-benar sudah menyerah untuk menomor satukan kebahagiaan orang lain dan menganggap tak penting kebahagiaan dirinya sendiri. Ia bahkan sudah tak sabar untuk pergi dari rumah dan berhenti dari pekerjaan yang semakin membuat batinnya tak nyaman itu. Setelah penantian panjang, akhirnya tiba saat hari terakhirnya bekerja.
“Kamu yakin, Yu? Gajinya dua kali lipat bahkan lebih, loh. Setelah menikah, kamu boleh deh honeymoon dulu beberapa lama gitu. Abis itu, balik kerja di sini lagi. Gimana?” tanya seorang rekan kerja Ayu sore itu.
“Kenapa aku sih, Kak? Kan aku udah jelas-jelas resign per hari ini,” sahut Ayu sambil menyelesaikan mengemasi barang-barang pribadinya.
Wanita di sampingnya itu tersenyum kecut. “Sejauh ini, kinerja kamu yang paling mumpuni, Yu. Apalagi kalau kamu naik jabatan di situ, udah pas banget. Yakin deh nggak lama setelahnya, kamu bakal direkomendasiin lagi,” jelas Vika dengan suara agak berbisik. Hanya ada mereka berdua di ruangan saat itu.
“Ya nggak masuk akal lah, Kak. Pengalaman kerjaku aja kurang dari lima tahun.”
“Loh, buktinya Airin bisa jadi Relationship Manager juga kurang dari lima tahun, Yu.”
“Itu sih karena ada orang dalem, kan?” ujar Ayu terang-terangan, membuat wanita bernama Vika itu menelan salivanya kasar.
“Ya anggap aja kamu juga ada orang dalem. Dari pada ijazah s1 kamu dianggurin gitu aja.”
“Mmm, nggak deh, Kak. Aku masih pengin istirahat dulu.” Ayu menolak. Sejak dulu Ayu sangat menghindari permainan orang dalam di setiap keinginan yang sedang ia usahakan. Baik untuk beasiswa di sekolah favorit atau pekerjaan. Semua murni atas izin Allah dan kegigihannya dalam berjuang.
“Serius, Yu? Ngaco banget, deh. Gaji 13 juta perbulan kurang gede? Belom luaran lainnya loh, Yu. Ya kali ditolak.” Vika mulai terdengar kesal.
“Maaf, Kak. Tapi keputusan aku saat ini udah bulat. Seenggaknya, untuk dua tahun ke depan aku mau istirahat dulu.”
“Tawaran kayak gini nggak dijamin dateng kedua kalinya loh, Yu. Katanya, kamu butuh uang buat dana kuliah Dahlia juga, kan?”
“Alhamdulillah udah ada tabungan. Tinggal tambah-tambah lagi.”
“Jadi beneran nggak mau, nih? Nggak nyesel?”
Ayu menggelengkan kepala dengan yakin.
“Yu! Yu! Gagal deh gue dapet persenan kalau berhasil ajak lu!” sahut Vika jujur sembari berdiri kesal.
“Sorry, Kak.”
“Emangnya abis nikah mau jadi ibu rumah tangga tu ngapain deh, Yu? Jangan nyesel lu, ya!”
Ayu mengangguk lemah.
Untuk saat ini, gaji yang disebut-sebut rekan kerjanya tadi memang begitu menggiurkan bagi Ayu. Apalagi bagi dirinya yang terbilang masih minim pengalaman kerja. Terlebih saat mendengar posisi yang ditawarkan, yang memang menjadi incaran beberapa rekan kerjanya saat itu.
Mungkin saja dengan ia menerima tawaran untuk kembali bekerja, dan menduduki jabatan dengan embel-embel kata manager, ibu akan lebih bisa menerima kehadirannya. Atau bahkan, ibu akhirnya akan menganggap Ayu sebagai anak yang berhasil.
“Ah ..., nggak! Jangan tergoda, Ayu!” ucapnya pada diri sendiri.
Setelah selesai berkemas dan mengikuti prosesi pelepasan dirinya sebagai salah satu karyawan di bank tersebut, kini dirinya telah resmi menjadi pengangguran.
***
“Jadi kamu nyesel sekarang?” tanya Aga melalui sambungan telepon sore itu, tepat setelah Ayu selesai dengan ritual perpisahan dirinya sebagai karyawan. Tentu saja sebelumnya Ayu telah mencurahkan segala keresahannya pada si calon suami.
“Gaji segitu lumayan banget buat aku. Apalagi dengan posisiku sebagai tulang punggung keluarga,” sahut Ayu sambil menggendong kardus kecil berisi barang pribadinya dan berjalan santai menuju ke tempat parkir.
“Trus, kamu mau ambil aja?”
Ayu diam, terlihat berpikir.
“Ya kalo emang yakin mau ambil jabatan mentereng itu, nggak papa. Terpaksa kita harus LDM-an setelah menikah nanti,” ujar Aga lagi. Nada suaranya terdengar kecewa.
“Tapi ...,” sahut Ayu ragu-ragu. Gadis itu telah duduk di atas motornya, bersiap mengatur posisi kardus yang harus ia bawa pulang itu.
“Ambil aja. Kapan lagi ada kesempatan langka kayak gitu.”
“Aku nggak mau LDM. Ngapain nikah kalo malah jauh-jauhan.” Dahayu menjawab yakin, sembari mengenakan helm dan jaketnya.
“Ya gampang lah. Jakarta-Surabaya nggak jauh-jauh amat. Dengan gaji segitu kamu bisa terbang bolak-balik semaunya kamu, kapan pun kamu mau. Murah.”
“Kok jutek gitu, sih?”
“Nggak, kok. Aku cuma ngasih tau, harga tiket pesawat nggak seberapa buat seorang manager. Ya, kan?”
“Aga kok gitu, sih?” rengek Ayu manja, mengurungkan niatnya untuk memulai perjalanan meski langit senja mulai beranjak datang mengelilinginya.
“Loh, gimana?”
“Aku nggak terima tawaran itu, kok.”
“Ya nggak papa kalo emang kamu masih pengin kerja. Aku nggak bakal ngelarang juga.”
Ayu merengut, benar-benar menunda perjalanannya menuju tempat tujuan selanjutnya.
“Mmm, emang kamu mau LDM-an?” tanya Ayu lagi. Ada sedikit keraguan di hati gadis itu saat mengingat tawaran dari rekan kerjanya tadi.
“Kalo aku, sih, jujur aja nggak pernah berhasil pacaran LDR. Nggak tau kalo udah nikah. Belum pernah nikah sebelumnya, sih.”
“Agaaa ...,” teriak Ayu berganti kesal mendengar jawaban Aga.
“Loh, emang bener, kan?”
“Kamu maunya aku ikut kamu aja setelah nikah?” gadis berlesung pipi itu melepaskan kembali helm-nya, benar-benar belum beranjak dari tempat parkir.
“Sesuai kesepakatan kita di awal. Tapi, kalo emang kamu berubah pikiran, yaa ..., aku nggak bisa larang.”
“Tapi kamu jadi nikahin aku?”
“Ya jadi lah, Anjani. Udah di depan mata, masa mau kamu batalin. Yang bener aja.”
“Hmm, ya udah lah. Nikah aja.” Ayu menjawab singkat, namun dengan perasaan cukup lega. Ia begitu nyaman berbagi keluh kesah pada Aga setahun belakangan ini.
Meski keduanya lebih sering berkomunikasi lewat telepon dan menghindari bertemu langsung, namun mereka seolah telah menyatu.
“Kok kayak terpaksa gitu, sih?” tanya Aga tak terima.
“Ya kan emang kamu paksa. Mendadak banget ngajak nikah.”
“Tapi kan kamu bisa aja menolak.”
“Loh, kamu mau aku nolak aja?”
“Yah, salah lagi,” desis Aga.
“Makanya kalo ngajak nikah cewek tu jangan asal.”
“Siapa yang asal, sih. Aku kan udah bilang, cuma kamu yang papa rekomendasiin. Kalo bukan papa yang minta juga ngapain aku kejar-kejar kamu segitunya.”
“Hah? Kamu serius bilang gitu?” tanya Ayu berhasil dibuat terkejut oleh perubahan sikap Aga.
“Ya serius, lah. Cewek yang ngejar-ngejar aku tuh nggak cuma satu atau dua. Lagi pula nggak tau deh kenapa selera papa malah cewek kayak kamu.”
“Coba kamu ulang lagi omongan kamu barusan! Cewek kayak aku? Emang aku kayak gimana?” pekik Ayu mulai terdengar emosi. Untuk kesekian kalinya, Ayu melepas kembali helm-nya.
“Ya palingan kamu tu sama aja kayak cewek-cewek lain yang cuma mau harta doang. Buktinya, nggak mau diajak susah. Baru denger tawaran jabatan dengan gaji segitu aja, bingungnya udah kayak apaan. Padahal di awal bilang setuju memulai semuanya dari nol.”
“Aga, kamu kenapa, sih?” Ayu menjauhkan ponsel dari telinganya beberapa senti, menatap benda itu kesal lalu kembali menempelkan benda kecil pipih itu ke telinganya lagi. Akibat lupa membawa airpods-nya, Ayu belum juga berhasil memulai perjalanannya sembari tetap tersambung dengan Aga.
“Jadi mau nikah atau balik kerja? Mumpung masih ada seminggu sebelum hari H,” tanya Aga sama kesalnya.
“Terserah kamu deh,” sahut Ayu benar-benar kesal lalu mematikan sepihak panggilan teleponnya. Akhirnya gadis itu benar-benar mengenakan kembali helm dan memulai perjalanannya.
••••••
Katanya, menuju hari H pernikahan emang bakalan banyak banget godaan-godaan yang muncul. Tapi jangan salah, setelah menikah pun bakal muncul fase-fase ujian selanjutnya, kan. Namanya juga hidup.
Jadi, masih setia nemenin Ayu-Aga jalanin rumah tangganya, kan? Part selanjutnya kita kondangan, ya. Insya Allah.
Tinggalin komen, vote juga share kisah ini ke temen-temen kalian juga, please! Semoga ada pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini.
Salam sayang, 😍
halodwyta
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top