- Firasat -
“Mas, sini deh!” panggil Ayu dengan nada suara bergetar. Aura wajahnya melukiskan kecemasan yang berbaur dengan kegembiraan.
“Ada apa?” Lelaki jangkung itu beranjak dengan malas dari meja kerjanya, berjalan pelan menghampiri Ayu.
“Nih!” Wanita itu menyerahkan sebuah benda pipih kecil serupa stik berwarna putih susu.
“I-ini, maksudnya?”
Ayu mengangkat sebelah alisnya, meminta suaminya untuk membaca sekali lagi hasil yang tertera pada test pack digital itu.
“Pregnant?”
“He’eh,” sahut Ayu lirih. Seperti ada sebuah bola yang menghantam keras kepalanya secara tiba-tiba saat itu juga. Ayu merasakan pusing yang sangat mengganggu.
“K-kok bisa sih? Harusnya kan aman?”
“Hah?” tanya wanita itu, melupakan rasa pusingnya.
“Y-ya, harusnya kan belum hamil sekarang. Aku belum mau.”
“Serius? Siapa kamu, bisa-bisanya ngatur kehendak Tuhan?” sahut Ayu kesal. Ia berjalan menjauh, meninggalkan Nuraga yang masih terpaku dengan benda kecil di genggamannya tadi.
Tak berapa lama, lelaki itu ikut menyusul Ayu duduk di sofa.
“Maksud aku, kan kita udah sepakat buat nggak punya anak dulu dalam waktu deket ini. Aku masih harus sibuk urusin bisnis kita yang baru berkembang—“
“Mas! Manusia tu cuma bisa berencana. Aku pikir kamu juga udah tau soal itu. Sehebat-hebatnya alat buatan manusia, sebaik-baiknya kita ngatur rencana ini-itu, kalau Allah udah berkehendak lain kita bisa apa?” ujar Ayu kecewa. Benar saja dugaannya bahwa Nuraga akan terkejut dengan kabar pagi itu.
“Okay. Okay. Aku paham. Tapi, kita ..., emangnya kamu udah siap dengan segala konsekuensinya? Jadi orang tua itu nggak gampang loh.” Wajah tampan lelaki itu masih terlihat cemas. Bahkan ia belum melepaskan alat test kehamilan itu dari genggamannya sedari tadi.
“Nikah pun aku nggak bener-bener siap, kok. Tapi aku berusaha menjalani sebaik-baiknya aja.”
“Iya sayang, aku ngerti. Tapi kan ..., ini kamu hamil. Itu artinya akan ada banyak banget perubahan sama diri kamu. Badan kamu. Kehidupan kamu. Mental kamu. Kamu siap?”
“Kamu nggak salah? Ini anak kita. Bukan cuma aku yang harus siap, kan?” Ayu berdiri geram, tak menyangka bahwa tanggapan Nuraga akan terlalu menyakitkan.
Lelaki itu berdiri cemas beberapa detik, kemudian kembali duduk sembari memegangi kepalanya dengan kedua tangan.
“Bukannya seharusnya kamu happy?” tanya Ayu lagi, berusaha menolak perasaan yang berkecamuk di dalam pikirannya. Pada kenyataannya, bukan hanya Nuraga yang belum siap menjadi orang tua. Ia pun belum siap dan sangat terkejut dengan kabar kehamilannya.
“Are you happy?” Aga balik bertanya.
Sebuah pertanyaan yang entah kenapa tak mampu Ayu jawab sepenuh hati. Raut wajahnya nampak sayu. Memandang sekali lagi pada alat tes kehamilan yang kini telah tergeletak di atas meja.
“Aku nggak tau,” sahut Ayu sembari menggeleng.
“Apa kita harus happy? Pernikahan kita bahkan baru jalan enam minggu.”
“Tapi bukannya kita tetap harus bersyukur? Allah kasih kita kemudahan buat punya keturunan. Lalu kenapa kita harus cemas gini, sih?” Ayu seolah telah mendapatkan kembali logikanya.
“Iya, sih, bener. Tapi, aku masih harus berjuang. Aku mau buktiin kalau aku bisa jalanin bisnis secara mandiri tanpa bantuan nama papa,” jelas Aga. Sorot matanya melukiskan ambisi yang kuat.
“Lalu masalahnya apa kalau aku hamil?”
“Mmm, okay, aku mau jujur. Beberapa bulan ke depan, aku harus ke Kalimantan buat perluasan relasi bisnis kita.”
“Kok baru bilang?” Ayu semakin dibuat kecewa mendengar kabar dari suaminya.
“Iya. Emang baru aja deal kemarin. Jadi, ada pengusaha yang mau ngasih modal besar gitu. Susah loh buat dapetin kesempatan kayak gini tanpa pake embel-embel nama Adhitama.”
“Trus, kamu mau ninggalin aku sendirian di sini?”
“Mmm, tadinya sih aku mau nawarin kamu buat pulang dulu ke rumah,” jawab Aga ragu-ragu.
“Kamu beneran, Mas? Nggak berniat ajak aku aja, gitu?” pancing Ayu, berusaha tetap tenang.
“Bisa aja sih kalau mau ikut. Tapi, bakal sering ditinggal-tinggal sendirian nantinya, gimana?” ujar Nuraga dengan nada bicara agak malas.
Ayu diam, bersedekap. Belum lagi selesai urusan tentang kehamilannya, kini ada kejutan baru yang harus ia hadapi.
“Malah sekarang kamu lagi hamil juga, kan. Mmmm, apa nggak bahaya kalau kamu ikut?” sambung lelaki itu, seolah baru saja mendapat ide cemerlang berkedok kehamilan istrinya.
“Jadi beneran kamu mau ninggalin aku?”
“Ya gimana? Aku udah keburu janji sama pengusaha itu.”
“Wow. Sepenting itu kah?”
“Ya penting banget lah bagi aku. Kenapa bisa ngomong gitu?” Aga balik bertanya, seperti terpancing emosi.
“Kehamilan aku nggak penting?”
Nuraga diam, tak kuasa memberikan jawaban.
“Hhh, ya sudah. Aku nggak mau pulang.” Ayu segera mengambil keputusan. Apa jadinya nanti kalau ibu mengetahui dirinya kembali ke rumah di saat hamil muda? Apalagi dengan keadaan Aga yang sibuk dengan pekerjaannya. Ayu bahkan sudah yakin dengan tanggapan tak nyaman dari ibunya nanti.
“Serius? Atau, ibu aja yang diminta ke sini temenin kamu? Atau Lia?” Aga nampak berbinar.
“Nggak usah. Aku bisa sendiri.”
“Kamu yakin?”
“Yap.”
“Kamu marah? Mmm, nanti aku beliin permen kapas yang banyak, deh. Biar punya stok di rumah,” ujar Aga, berusaha menghibur istrinya yang masih terlihat muram.
“Hm,” deham Ayu, tanpa ingin menjawab panjang lebar.
“Nanti malam kita periksa ke dokter kandungan, ya. Buat memastikan, dan biar tau harus gimana.”
Mau tak mau, Ayu mengangguk pasrah. Terbit senyuman kecil di ujung bibir wanita itu. Rupanya, ada sebuah perasaan haru yang terselip kini, saat mengetahui bahwa akan ada seorang calon manusia yang tumbuh di rahimnya.
Jauh di suatu tempat berbeda, seorang wanita tua dengan kacamata bulatnya yang telah usang, sedang berusaha duduk di pinggir tempat tidur. Dibantu oleh seorang perempuan muda yang menopang lengannya.
“Nak, gimana kabar kakakmu? Dia baik-baik aja, kan?” tanya ibu pada Dahlia setelah berhasil duduk dengan aman.
Beberapa waktu lalu, wanita tua itu terjatuh cukup keras saat ingin duduk di tempat tidurnya itu. Akibat pandangannya yang mulai senja, dan pikirannya yang entah kemana.
“Baik-baik, Bu. Barusan aku juga udah telponan sama kak Ayu,” sahut Dahlia berbohong.
Sudah beberapa hari ini Ayu memang tak sempat memberi kabar pada keluarganya di rumah. Bahkan, pesan terakhir Lia belum juga menunjukkan tanda centang dua berwarna biru.
“Dia sedang apa? Kenapa nggak nanyain ibu atau ayah?”
“Nanyain kok, Bu. Lia ngabarin kalo ibu abis jatuh. Katanya, ibu harus lebih hati-hati lagi. Dan harus segera ganti kacamata. Gitu,” sahut Lia berusaha menutupi kesedihannya.
“Ibu nggak perlu ganti kacamata, Nak. Mahal. Uangnya kamu tabung untuk kuliah aja.”
“Bu, nggak usah dipikirin soal itu. Kak Ayu juga masih transferin buat kita sehari-hari, kok. Biaya kuliah aku bahkan udah disiapin Kak Ayu.” Kali ini, Dahlia berkata jujur.
“Kasihan kakakmu itu, Nak. Dia pasti capek sekali.”
“Udah, sekarang ibu istirahat aja, ya. Nanti malam kita coba telepon kak Ayu lagi. Mungkin sekarang dia lagi sibuk.”
Ibu mengangguk, lantas berbaring dengan bantuan Dahlia.
“Segera tanya kakakmu, Nak. Ibu merasa saat ini dia sedang sedih. Sedang kebingungan.” Firasat seorang ibu.
“Iya, Bu. Ibu istirahat dulu ya.”
Dahlia menyaksikan sendiri air bening melesat jatuh dari ujung mata keriput ibunya. Wanita tua itu berusaha menyamarkannya dengan memejamkan mata, lalu memeluk erat sebuah selimut yang ia dapatkan dari kamar Dahayu.
Setelah yakin bahwa ibunya telah tertidur, Dahlia sengaja mengambil foto nampak punggung wanita tua itu, lalu mengirimkannya pada Dahayu.
“Kak, ibu nanyain kak Ayu terus. Nanti malam, tolong telepon bentar kalau ada waktu,” ujar Lia pelan melalui pesan suara.
Kali ini tak butuh waktu lama, Dahayu segera membalas pesannya.
“Oke.” Singkat. Menggambarkan sebuah kekecewaan yang begitu mendalam.
•••••
Maapkan yaa baru sempat publish jam segini. Lagi dalam perjalanan mudik nih.
Btw, selamat idul fitri, maafkan lahir batin.
Kawal terus kisah Ayu-Aga, please.
Terima kasih kalian, 🥰
Salam sayang,
halodwyta
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top