- Ekspektasi Tinggi -
Pengharapanmu kepada sesama makhluk adalah cara termudah untuk merasakan penderitaan dan kekecewaan dalam hidup. Berharaplah hanya kepada Allah, maka tak akan ada kepahitan.
***
“Aku udah nggak mau nyusuin dia lagi,” ulang Dahayu dengan penuh penekanan.
Dengan wajah datar terkesan dingin, Dahayu menyerahkan Diaz yang kembali menangis ke dekapan sang Ayah. Bayi berusia tiga bulan itu merasa belum puas mendapat hak menyusunya.
“Kenapa? Sakit?” Aga menyambut dengan perasaan bingung.
Wanita itu menggeleng mengakibatkan sebagian rambutnya bergerak kanan kiri.
“Tapi kayaknya Diaz masih haus, Sayang. Atau kamu timang-timang dulu, ya. Aku hangatkan asi perah dari kulkas dulu,” usul Aga antusias. Kelopak matanya mengerjap-ngerjap, berusaha menghilangkan rasa kantuk yang masih menyergap.
“Nggak mau.”
“Ta-tapi, Yu—“ Nuraga mengernyitkan sebelah alisnya heran.
“Aku nggak mau,” sela Ayu, sengaja memberikan penekanan lagi dalam ucapannya.
“O-oke,” sahut Aga berusaha tenang. Ia menegakkan tubuhnya untuk meregangkan sedikit otot-ototnya. Lantas segera berdiri seraya menimang si buah hati di dekapan.
Pandangannya tertuju pada jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari saat itu. Masih terlalu pagi untuk berdebat dan membiarkan sang buah hati menyaksikan lagi amukan ibundanya. Aga telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga Diaz, menghindarkannya dari rasa trauma akibat temperamen Ayu yang sedang tidak beres.
“Aku turun siapin susu dulu,” pamit Aga membawa serta Diaz di dalam dekapannya.
Dahayu hanya mengangguk sambil menatap lurus tembok kamarnya.
Tepat setelah pintu kamar ditutup dari luar, air mata kembali merebak jatuh di wajah Ayu. Dadanya kembali bergetar akibat tangisan.
Kedua tangannya dengan gerak cepat menutupi kedua telinganya, seolah menolak untuk mendengar semesta. Wanita itu juga menggeleng, semakin lama semakin cepat hingga tak mampu menahan diri untuk berteriak.
“Aaaarrrrgh!” Dahayu menutupi seluruh tubuhnya hingga kepala dengan selimut. Suasana kamar yang temaram semakin menambah minim pencahayaan yang ia dapatkan di dalam selimutnya.
Akibat serangan paniknya, Dahayu merasa kesulitan untuk bernapas normal. Dadanya terasa sesak. Kepalanya terasa berat dan sakit seperti ditusuk-tusuk.
“Aku mau mati aja.”
"Aku udah nggak kuat! Capek."
“Astagfirullahaladzim. Ayu! Istigfar sayang. Kamu nggak boleh ngomong kaya gitu lagi.” Tanpa Ayu sadari Nuraga telah kembali ke dalam kamar dan segera menarik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
Wanita itu masih mengerjap-ngerjap, kesulitan mengambil napas.
“Atau Diaz yang mati?” seringai tajam terlukis di wajah wanita itu.
“Ini udah nggak bisa kita biarin. Kamu harus dapat penanganan yang serius, Yu!” tutur Aga hampir terbawa emosi.
Dahayu terbahak, “maksud kamu apa?” tanyanya. Kilat matanya begitu tajam.
“Kamu nggak baik-baik aja, Yu. Ini sudah berlebihan. Kamu tertekan, depresi!!!” tegas Aga sudah tak mampu membiarkan hal buruk terus menyelimuti keluarga kecilnya.
“Depresi? Maksud kamu aku sakit jiwa?” teriak Ayu tak terima. Bola matanya memerah, panas. Lingkar hitam di area matanya menjadi tanda betapa wanita itu membutuhkan tidur nyenyak.
Aga mematung beberapa detik, seolah menyesal telah berbicara sebelumnya.
“Hhh ... Bukan gitu, Sayang. Please, dong, dengerin aku dulu. Aku mau kita hadapin ini sama-sama. Aku tau kamu capek—“
“Nggak! Kamu nggak tau, Ga. Kamu nggak ngerti!” teriak Ayu bangkit dari posisinya.
Ayu berlari keluar dari kamarnya. Apatis dengan tangisan bayi kecilnya yang semakin meronta.
Spontan, Nuraga segera berlari menyusul.
Mbok Mirah yang sejak tadi berada di ruangan yang sama masih terus mendekap Diaz. Berusaha menenangkan tangisannya yang seolah mengerti keadaan ibundanya.
Wanita tua itu menggeleng pasrah, merasa iba dengan bayi kecil di pelukannya.
***
“Sayang, boleh kita bicara sebentar?” tutur Aga dengan wajah lesu. Kumis tipis di wajahnya kini semakin tumbuh dengan subur. Semakin menambah kesan dewasa pada dirinya.
“Mau ngomong apa?” sahut Ayu, kedua lengannya dengan sigap merapikan kemeja putih berbalut jas semi formal berwarna krim di tubuh Nuraga. Lalu beralih mencermati gaya rambut hingga wajah suaminya dengan senyum menawan.
“Kamu nggak mau cukuran?” imbuh Ayu, membelai lembut bulu-bulu halus di wajah Aga.
Lelaki itu menggeleng lemah, mengambil kendali atas kedua lengan Dahayu lantas melingkarkan ke pinggangnya.
“Sayang, aku punya temen psikolog bagus di Jakarta. Dia udah beberapa kali nanganin kasus semacam ini. Mungkin, kita bisa konsultasi ke sana dulu sebelum ke psikiater—“
“Buat apa?” Dahayu langsung membuat jarak, mundur dua langkah ke belakang dari suaminya.
“Ya biar kita bisa sama-sama tau, apa penyebabnya ini semua.”
Wanita itu masih membisu, menghindari segala sentuhan dari Nuraga yang masih berusaha memeluknya.
“Sayang ...,” mohon Aga. Tatapannya begitu tulus.
“Kamu nggak bener-bener nganggap aku gila, kan?”
Nuraga mengesah, “aku yakin kita bisa melewati ini semua sama-sama. Aku pengin kamu bisa kayak dulu lagi,” jelasnya.
“Kayak dulu maksud kamu gimana sih? Justru dari dulu aku udah begini, kan? Nggak pernah dianggap.” Kedua bola matanya melebar, namun pergerakannya kembali lemas. Napasnya berat seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Ayu, kamu inget kan waktu itu kita sempat konsultasi online soal ini. Aku cuma takut kalau—“
“Kalau aku gila? Iya? Kamu takut aku sakit jiwa?” teriak Ayu semakin kehilangan kontrolnya.
Nuraga yang telah siap dengan setelan kerjanya pagi itu kembali mengurungkan niat untuk pamit. Berat sekali rasanya untuk meninggalkan Ayu dalam keadaan seperti itu. Hanya saja, ada pertemuan penting yang harus ia hadiri.
“Sayang aku nggak bermaksud kayak gitu. Tapi aku sendiri juga nggak ngerti harus gimana hadepin emosi kamu yang terus meledak-ledak gini. Jujur, aku takut .... Aku takut hal ini bakalan membahayakan kamu atau Diaz,” ungkapnya tak lagi mampu menahan ketakutan dalam dirinya.
“Lalu aku yang salah? Semua ini karena aku?”
“Bukan sayang, bukan gitu.”
“Semua ini gara-gara aku lebih milih nerima kamu sebagai suamiku dari pada melanjutkan karierku yang lagi di atas. Ini juga gara-gara Diaz yang terlalu cepat hadir dalam kehidupanku.”
“Oh, jadi gitu menurut kamu?”
“Jelas. Apalagi?”
Harapan sebatas harapan. Kebahagiaan hidup setelah terbebas dari kekangan ibunya di rumah, nyatanya belum dapat ia temukan pada sosok Nuraga. Ayu merasa kecewa atas ekspektasi yang ia ciptakan sendiri.
Kedua pasangan itu saling tersulut emosi. Benteng pertahanan kesabaran Nuraga perlahan runtuh.
Kedua tinjunya telah mengepal keras. Air mukanya dingin melukiskan amarah.
“Trus mau kamu apa?” teriak Aga sembari menyingsingkan lengan jas dan kemejanya.
Nggak ada. Nggak tau!!
Dahayu hanya mengutarakannya dalam pikiran. Kenyataannya, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya melainkan tangisan.
“Aku berangkat dulu,” tutur Aga tanpa peduli lagi air mata di pipi Ayu yang mulai menggenang.
Sosok lelaki tampan dengan tubuh tinggi tegap itu berlalu, menyisakan aroma wangi citrus yang menyegarkan.
“Ayu ...,” sapa lembut mertuanya menghampiri.
Ayu hanya menoleh sesaat lalu kembali hanyut dalam tangisannya.
Meski hanya di dalam rumah, Mama Trias selalu khas dengan tampilannya yang terkesan rapi dan elegan. Dalam balutan dress berbahan satin panjang berwarna biru tua, tatanan rambut pendek sebahu dan riasan lembut membuatnya tampak tetap segar di usia yang tak lagi muda.
Mama mengambil posisi sejajar dengan menantunya, duduk di atas sofa.
“Apa yang bisa mama bantu, Nak?” tanyanya lembut.
Tak dipungkiri, pertanyaan sederhana dan lembut dari seorang ibu itu membuat dada Ayu berdesir hangat. Seperti seorang anak yang begitu merindukan perlakuan hangat dari ibunya, Dahayu spontan memeluk Mama sambil terus menangis.
Mama mengelus ujung kepala menantunya yang terus merengek dalam peluknya. Tanpa banyak kata. Tanpa banyak cela. Hanya saling bertukar energi positif sebagai seorang ibu saja.
Hingga pada menit ke sekian, Dahayu mulai menemukan kembali sikap tenangnya.
“Bantu aku buat sembuh, Ma,” ujarnya sesenggukan.
•••••
Hai gaes, lama nggak nyapa.
Hmm, Kadang, kalau lagi banyak pikiran gitu kita cuma butuh didengarkan, kok. Bukan diberi nasihat ini dan itu seolah bener2 paham keadaan kita. Cukup didengarkan.... Yagasi?
Well, nggak nyangka udah nulis kisah Ayu-Aga sampai ke sini. Aku berterimakasih banget buat tmn2 yang udh setia baca, kasih komen positif dan menanti kisah ini walaupun silent reader.
I love you sekebon deh, 🥰🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top