- Berdamai Dengan Diri -
Dear, Dahayu...
Masa kecilmu memang kurang menyenangkan.
Penuh dengan kebencian, kesakitan dan perasaan diabaikan.
Tapi kamu terus berjalan.
Kamu melangkah hingga memilih untuk kebahagiaan dirimu sendiri.
Meski memang, jalan yang kau pilih tak serta merta melepaskanmu dari kekangan perih di masa lalu itu.
Kita sudah sejauh ini melangkah.
Apakah tidak sebaiknya, kita berdamai saja
dengan pergulatan perasaan yang sering membuat kita merasa lelah itu?
Aku berjanji, akan ada saatnya kita bisa makan permen kapas sepuasnya tanpa harus takut ada seseorang yang akan merebutnya lantas memaki-maki kita dengan sumpah serapahnya.
Tidak akan ada lagi tangan yang ringan akan tamparannya di wajah kita, Ayu.
Kamu harus percaya.
Aku tau, kamu hanya gadis kecil yang ingin bahagia. Ingin dicintai dan merasakan hangatnya pelukan dari seorang ibu yang melahirkanmu.
Kamu tenang saja, aku sudah berdamai dengan dirinya. Kini giliranmu. Kamu, aku dan dia harus segera berbaikan. Agar kita bisa berjalan beriringan, tanpa rasa takut yang mencekam.
Dahayu.
Kini aku sadar, Allah telah menuntunku untuk menjadi kuat. Begitu pun denganmu.
Kita adalah satu.
Kita harus lupakan masa lalu itu, demi kebahagiaan hidup di masa yang akan datang.
Jangan lupa, kini aku telah dianugerahi seorang anak laki-laki tampan yang butuh untuk disirami hari-harinya dengan kasih sayang seorang ibu.
Kita memang tidak bisa memilih ingin dilahirkan dari seorang ibu seperti apa.
Tapi, mari kita memilih untuk menjadi seorang ibu yang bahagia saja.
Seorang ibu yang mau menemani tumbuh kembang anak-anak kita kelak dengan hati yang ikhlas dan penuh kesabaran.
Kita berdamai, ya, Ayu.
Aku menyayangimu.
Dari Dahayu.
***
Dahayu mengakhiri tulisannya dengan air mata yang menggenang. Ia melipat kertas surat bergambar bunga matahari itu, lalu meletakkannya ke dalam sebuah kardus kecil berwarna merah muda.
Sudah hampir enam bulan setelah ia menjalani terapi dengan psikolognya. Meski sempat diarahkan untuk mendapat perawatan langsung dari psikiater, namun Dahayu merasa jauh lebih nyaman saat menjalani sesi terapi dengan psikolognya saja. Tanpa harus mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
Atas saran dari psikolognya, Dahayu telah menuliskan beberapa surat untuk dirinya di masa lalu. Semua surat-surat itu ia tuliskan dengan penuh kesadaran, dan keikhlasan hati.
Dahayu pun telah merasa jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
Ia sudah mampu menimang kembali buah hatinya dengan penuh rasa cinta. Bersama-sama, Ayu dan Aga lebih mendekatkan diri lagi kepada Sang Ilahi dengan mengikuti berbagai macam kajian.
Ayu kembali menutup kardus merah muda itu, dan meletakkannya di bawah meja. Lantas, ia berdiri seraya menghapus air mata yang menggenang di ekor matanya.
Berjalan ke luar kamar dan mendapati Nuraga sedang asyik bermain dengan Diaz yang sudah mulai belajar merangkak.
“Duuh, sibuk banget anak mama sama papa. Sini peluk dulu,” ucap Ayu seraya menggendong buah hatinya dan menghujaninya dengan ciuman.
“Papanya juga mau dong diciumin gitu,” seloroh Aga merasa diabaikan.
Dahayu tersenyum manis, lalu segera memenuhi permintaan suaminya.
“Naaah, gitu dong,” ujar Nuraga merasa puas.
“Kamu bisa aja, Mas. Oh iya, katanya mau pergi ngurusin kerjaan, jadi?”
“Jadi dong, tapi sama kamu dan Diaz, ya. Sekalian jalan-jalan abis itu.”
“Emangnya nggak papa bawa-bawa istri dan anak?”
“Ya nggak papa banget lah. Orang aku bosnya. Suka-suka aku, dong,” sahut Nuraga menepuk-nepuk dadanya pelan.
“Dih, sombong. Nggak boleh gitu, nggak baik.”
“Hehehe, iya-iya. Becanda sayang. Aku mau kalian ikut, karena aku punya kejutan buat kamu.”
“Apaan?”
“Ya rahasia, lah. Kejutan masa dikasih tauin sekarang. Mendingan sekarang kamu siap-siap. Tolong siapin baju-baju kita buat sekitar 5 hari, deh. Keperluan Diaz juga, jangan lupa,” pinta Aga bersemangat.
“Hah? Lama banget mau ngapain?”
“Udah deh, siapin aja pokoknya. Yuk aku bantuin.”
Dahayu menuruti permintaan suaminya tanpa basa-basi lagi. Demi apapun, Dahayu kini telah menemukan kebahagiaannya bersama keluarga kecil mereka.
Ikhtiar langit dan buminya sejauh ini benar-benar membawa perubahan besar pada Ayu. Rumah mewahnya kini tak lagi terasa sunyi dan tak berpenghuni.
Rumah besar dengan hanya empat penghuni itu kini terasa jauh lebih nyaman dan menenangkan. Gina, cucu dari Mbok Mirah di kampung yang akhirnya dipilih untuk menggantikan Mbok Mirah membantu merawat Diaz.
Kini Ayu memiliki sebuah gambaran keluarga yang selama ini ia idam-idamkan.
“Udah siap?” tanya Nuraga sesaat setelah Dahayu selesai dengan segala urusannya.
“Udah.” Dahayu telah siap dengan tunik panjang berwarna hijau mint yang dipadukannya dengan rok plisket berwarna coklat susu. Wajahnya kini terlihat lebih segar dengan riasan sederhana dan perawatan rutin yang kembali ia lakukan demi mencintai dirinya sendiri.
Pola makan dan hidup sehat yang juga ia terapkan, rupanya berhasil membawa kembali tubuh ramping seperti yang ia miliki saat belum menjadi seorang ibu. Sungguh perjuangan panjang yang begitu menyenangkan.
“Oke. Ayo kita berangkat.”
***
Nuraga membiarkan istri dan anaknya tinggal dengan nyaman di dalam sebuah kamar hotel milik pribadi di kawasan pusat kota Surabaya. Sementara dirinya tengah disibukkan dengan rapat penting mengenai pekerjaan.
Tak berapa lama, Aga kembali ke kamar tipe presidential suite room tempat anak dan istrinya beristirahat. Tak lupa mereka membawa serta Gina dan memperlakukannya layaknya keluarga sendiri.
“Assalamualaikum, Diaz. Papa udah selesai kerja. Sekarang waktunya kita jalan-jalan,” sapa Nuraga dengan penuh semangat, langsung menggendong Diaz di pelukannya.
“Kamu nggak mau mandi dulu?”
“Nggak usah lah, udah ganteng gini. Keburu ketinggalan pesawat ntar. Yuk, berangkat ke Bandara.”
Lagi-lagi Dahayu menurut. Baginya kini, suami adalah jalannya menuju surga. Selama segala permintaannya masih dalam jalan kebaikan, Dahayu akan selalu taat pada suaminya itu.
Dalam perjalanan menuju bandara, akhirnya Dahayu mengetahui bahwa Nuraga akan mengajak mereka untuk terbang ke Labuan Bajo. Tempat yang selama ini Ayu idam-idamkan untuk dikunjungi.
Penerbangan berjalan lancar selama kurang dari dua jam. Dengan cuaca cerah, Ayu dapat menikmati pemandangan awan putih yang lebih mirip dengan permen kapas favoritnya. Membuat senyumnya mengembang tipis menghiasi bibir merah mudanya.
Dahayu merasa begitu bahagia mendengar pengumuman dari kru kabin saat pesawat mereka akhirnya telah mendarat dengan selamat di Bandar Udara Internasional Komodo.
Nuraga telah mempersiapkan segalanya entah sejak kapan. Ia telah memastikan bahwa keluarganya akan merasa nyaman dalam liburan singkat kali ini.
Beruntung, baik Dahayu dan Nuraga merasa cocok dan percaya pada Gina untuk membantu merawat Diaz. Membuat keduanya memiliki kesempatan untuk lebih banyak menghabiskan waktu berpacaran halal ala suami istri, tanpa harus kebingungan untuk menitipkan Diaz.
Seperti malam ini. Keduanya telah duduk berduaan di bangku restoran sederhana di tepi pantai. Tentu Nuraga telah menyiapkan rencana makan malam romantis itu lagi.
“Sayang, sebenernya aku juga punya kejutan lagi loh selain ini,” tutur Nuraga.
Semilir angin laut dan debur ombak ikut serta menyaksikan kebahagiaan kedua pasangan itu. Baru kali ini mereka benar-benar bisa merasakan nikmatnya menikah di usia muda.
“Masya Allah, apaan lagi sih, Mas?”
“Merem, deh,” pinta Aga sambil menggenggam kedua lengan istrinya.
“Kenapa harus merem? Kamu nggak bakal ngapa-ngapain, kan? Jangan aneh-aneh, ya!”
“Nggak boleh suudzon. Merem aja dulu.”
“Iya deh, aku merem.” Dahayu memejamkan kedua matanya seraya menunggu dengan perasaan was-was. Lebih kepada rasa penasaran.
“Ini. Semoga kamu suka, ya. Coba buka mata pelan-pelan, deh.” Nuraga membuka genggamannya, mengarahkan jemari Dahayu kepada sebuah amplop panjang berwarna coklat tua.
“Apa lagi sih ini, Mas?” tanya Dahayu gugup.
“Buka dong.”
Perlahan, Dahayu membuka amplop berwarna coklat tua di genggamannya. Lantas mendapati selembar kertas bergambar masjidil haram.
Dahayu mengerjap-ngerjapkan mata. Dan berbicara dengan sedikit tergagap.
“Ma-maksudnya apa ini, Mas?” tanyanya.
“Sayang, karena aku dikasih kelebihan rezeki, Insya Allah, aku berniat memberangkatkan kita sekeluarga untuk umroh. Kamu mau?”
“Alhamdulillah, Alhamdulillah, Masya Allah, aku mau banget, sayang. Mau,” ucap Dahayu bergetar. Rasa haru menghampiri dirinya. Sungguh panggilan ke tanah suci itu menjadi hal terindah dalam kehidupannya.
“Semoga Allah permudah urusan dan niat kita ya, sayang,” sahut Nuraga menatap wanitanya dengan perasaan bahagia.
“Aamiin.”
Dahayu mengangguk, air matanya tak mampu untuk ia bendung. Bahagia campur haru.
Jemari kedua pasangan itu saling bertautan. Saling mengucap syukur atas nikmat yang masih Tuhan berikan pada keluarga kecilnya.
Di tengah obrolan keduanya dan semilir angin malam yang semakin membuat gigil, sebuah suara panggilan lembut terkesan manja dari arah belakang tiba-tiba mengejutkan keduanya.
“Aga, nggak nyangka bisa ketemu di sini.”
“Kanaya,” sahut Nuraga salah tingkah.
Untuk waktu yang cukup lama Dahayu dan Kanaya saling bersitatap. Tanpa bersuara dan tanpa saling sapa.
•••••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top