9
Yuji mengerjapkan mata tatkala sinar menyilaukan menimpa iris cokelat terangnya. Ia termangu di ceruk yang tak bisa disebut gua itu. Udara segar pagi hari memenuhi rongga dadanya, angin sepoi manyapa lembut kulit wajahnya. Ia masih memandang tak percaya, benar, ia masih tak percaya jika ia bisa menikmati langit-langit biru itu lagi. Daun-daun dari tanaman liar itu dicekalnya erat, tanah berbatu ia raba. Rasanya masih sama aja, sama ketika ia masih hidup. Ia bangkit, selimut tebal yang entah darimana menutupi tubuhnya dilipatnya rapi.
"Sensei."
Wanita itu berdiri di sana. Pada bebatuan dan pasir-pasir putih, juga dinginnya ombak yang menerpa sela-sela jemari kaki. Ia memegang sebilah tombak yang ujungnya tertutup kain.
"Yuji! Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.
Yuji menggaruk tengkuk. "Yah, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja."
Sang guru tersenyum lalu beranjak menjauhi tepi pantai. Butiran putih menempel pada tumit yang selesai bergumul dengan tumpukan pasir. Kaos kaki ia kenakan dan tali sepatu ia kencangkan. Tanganannya melambai-lambai memerintahkan sang pemuda untuk mendekat.
"Seharusnya aku sudah mati."
"Kata siapa?" netra sewarna madu itu memandang sang pemuda yang tengah gelisah.
"Kataku. Aku tak seharusnya hidup kembali."
"Sukunalah yang harus mati, dan bukan kau. Kau pantas untuk hidup." Ia mulai melangkahkan kaki kembali pada ceruk yang dikelilingi dengan bebatuan dan semak belukar. Mereka harus pergi sebelum ada seseorang yang datang kemari.
"Sensei, tombak apa yang kau bawa?"
Ia menoleh sebelum sampai di tepi ceruk, sebuah kerikil tertendang olehnya kemudian mendarat pada batu yang lebih besar.
"Oh, ini tombak yang terbuat dari ekor Trygon."
"Dari mana sensei mendapatkan tombak itu?"
"Seseorang meminjamkannya padaku dan nanti setelah selesai harus dikembalikan lagi ke laut." Apakah dewa pantas disebut dengan seseorang?
"Kenapa laut?"
"Karena dari sanalah ia berasal." Dari daging kelabu dan aliran-aliran emas ichor saat ekornya terpotong.
"Aku tidak mengerti."
Ia tertawa kecil, "Kau tidak perlu mengerti, Yuji. Sekarang melangkahlah ke dalam bayangan." Ucapnya.
Yuji menginjakkan kaki dalam bayang-bayang ceruk, tangan sang guru yang terulur disambutnya. Saat jari-jemari itu tergenggam seketika itu pula keduanya lenyap dari pandangan.
•••
Cairan bening dalam wadah kaca itu melambangkan keegoisannya. Ia memang egois, ia berniat mengikat sang kekasih hati agar gelora asmara yang dirasakannya saat ini senantiasa tertambat padanya, bahkan setelah kematian merenggutnya dari dunia yang fana ini. Ia melirik ke arah ruang tengah, di sana Yuji tengah menyantap sepotong roti yang diambilnya dari minimarket terdekat tadi. Pemuda itu makan dengan lahap, pipi-pipinya menggembung, penuh dengan adonan-adonan dari gandum yang berbau harum-yang kini sedang dilumatnya dengan gigi-gigi geraham.
Ia meracik, meracik, dan terus meracik. Air yang diambilnya dari kolam Lethe manakala ia berada di tanah orang-orang mati dituangkannya ke dalam periuk. Letak kolam itu berseberangan dengan kolam Mnemosine, di mana para roh yang meminum airnya akan mendapatkan kembali ingatannya. Dan wadah kaca yang pertama kali diperlihatkannya tadi menampung cairan dari mata air itu. Ia tidak tahu apakah khasiatnya akan terasa jika diminum oleh manusia. Akan tetapi patut dicoba, begitu pikirnya.
Sihirnya menyeruak, mantra-matra terucap, magis menyelubungi cairan yang diaduk searah jarum jam. Tak lama berselang ramuannya pun jadi. Ia memasukannya dalam wadah kaca berbentuk silinder, kemudian digoyangkannya pelan. Tetesan-tetesan kehitaman itu membentuk pusaran kecil dalam genggamannya. Ia mengambil kotak kayu lalu menatanya bersebelahan dengan lembaran-lembaran kertas penuh goresan tinta hitam yang beberapa waktu lalu sempat ditulisnya sebelum menyambangi perkakas masak di dapur. Rangkaian laurel emasnya ia ikut sertakan, kotak itu kemudian disimpannya di kabinet.
Kedua tangannya bertumpu pada permukaan kayu yang dipernis, cokelat mengilap. Ia menatap tajam tembok yang dicat sewarna gading, seolah-olah musuh tengah berdiri tepat di hadapan. Ia menghela napas tatkala sorot matanya kembali melunak, diusapnya wajah dengan kasar kemudian lekas merapikan untaian rambut yang sedikit berantakan. Kenop pintu disentuhnya perlahan lalu digenggamnya erat. Tak lama setelah ia menutup pintu, kaki-kakinya melangkah menjauh dari kamar yang nantinya akan ia rindukan.
Yuji membuka pembungkus roti lainnya ketika ia melewati ruang tengah. Kali ini roti melon, sementara yang lainnya adalah bolu. Matanya juga menangkap pembungkus ramen instan dan botol-botol air mineral serta sekotak susu. Ia mendudukkan diri pada bantalan empuk tak jauh dari sang pemuda yang duduk lesehan di lantai beralas permadani. Punggungnya bersandar pada kaki sofa sementara mulutnya sibuk mengunyah.
"Sudah selesai?" tanyanya dengan mulut penuh.
"Telan dulu, Yuji. Nanti bisa tersedak." Ucapnya. Ia tersenyum saat Yuji mengangguk patuh lalu menenggak seteguk air.
"Sebenarnya, sedari tadi kau sedang membuat apa, Sensei?" Yuji menatap penasaran, sorot matanya meminta jawaban atas kelontangan-kelontangan yang tak henti-hentinya ia dengar.
"Wasiat." Jawabnya singkat.
Pemuda itu membeku sejenak, tak percaya dengan apa yang barusan tertangkap daun telinga. "Sensei, kau tidak sedang bercanda 'kan?"
Tidak. Sayangnya ia tidak sedang berkelakar. Kunci duplikat dari apartemen sang kekasih berputar-putar di telunjuk kanannya. Ia kembali tersenyum untuk yang kesekian kali. "Hanya untuk berjaga-jaga."
•••
"Bagaimana jika harga yang harus kau bayar adalah kematianmu? Apa kau masih mau menerima bantuanku?" Tanyanya.
Pertanyaan itu seketika membuatnya gamang, ia menimang kata apa yang harus ia ucapkan sebagai jawaban. Nyawanya atau nyawa orang banyak. Kebahagiaannya atau kebahagiaan orang banyak. Namun, bagaimana ia bisa bahagia menyaksikan orang-orang tak berdaya tumbang, bergelimpangan di sekitarnya. Pilihan yang sulit, sungguh pilihan yang sulit. Akan tetapi ia harus memilih, ia tengah berpacu dengan waktu. Setiap detik yang ia habiskan di tempat ini akan diisi dengan kematian dan kekacauan yang semakin tidak keruan di belahan bumi lain.
"Akan tetap kuterima."
Sang dewa bergeming menatapnya dalam. Bola mata hitam itu seakan menelanjanginya, menembus ke dalam sukma, mencari-cari sepercik keraguan. Senjata yang ujungnya dibalut kain ia gerakkan di depan dada. Kain itu tersingkap dan bilah kelabunya terlihat.
Ia tidak sadar jika tangan kanan sang dewa memegang senjata. Sejak kapan tombak itu ada di sana? Ah, iya, ia lupa. Ia terlalu gugup semenjak kedatangan sosoknya yang penuh kuasa hingga matanya melewatkan hal-hal yang terpampang dengan jelas.
"Ini tombak yang dibuat oleh penyihir Aeaea. Aku menemui Hephaestus untuk menempanya ulang serta menyempurnakan bentuknya. Kau tahu terbuat dari apa tombak ini bukan?"
"Ekor Trygon. Circe mengambilnya dari dasar lautan. Dan oleh restu sang dewa purba ia diperbolehkan membawa ekornya." Jawabnya.
"Benar sekali, Circe dan insting keibuannya. Tombak itu ia berikan pada Telegonus bila sewaktu-waktu sang dewi bermata kelabu datang mengincar nyawanya."
Athena, dewi yang katanya mengenggam kebijaksanaan. Ia tak bisa berpaling barang sedikitpun dari bilahnya yang berwarna abu-abu, sewarna langit mendung yang siap melimpahkan air ke tanah. Dan tanpa ia kehendaki, kalimat-kalimat meluncur begitu saja.
"Satu goresan saja mampuh membunuh manusia dan menyiksa dewa-dewa besar. Apakah itu benar? Bahkan kau sekalipun?"
Sang dewa mengangguk, untaian kelamnya bergerak seirama. "Bahkan aku sekalipun."
"Akan kuberikan senjata ini padamu. Tapi ingatlah satu hal, anak muda. Begitu kau menerima segala bantuan dan petuahku, itu berarti kau selangkah lebih dekat dengan kematian."
"Tidak mengapa, pada dasarnya semua makhluk fana memang berjalan mendekati kematian."
Sang dewa diam, ia juga terdiam.
"Pergilah ke Elisian setelah semua ini berakhir, takdirmu akan segera terpenuhi."
"Tapi aku bukan pahlawan, kenapa aku harus pergi ke Elisian?"
"Kau separuh dewa, lebih perkasa dari manusia biasa. Maka dari itu tugas kepahlawanan diembankan pada kalian. Tak peduli seberapa keras kalian mengelak, takdir pasti akan mengejar."
"Aku tidak mau menjadi pahlawan." Tidak ada pahlawan yang bahagia.
"Kau tidak bisa menghindar."
Berapa lama lagi percakapan kepahlawanan ini akan terus berlangsung. Ia bahkan belum mengutarakan niatan yang sama saat ia menemui ibunda.
Dan seakan menjawab pertanyaan dalam benaknya sang dewa pun berkata, "Tumpahkan darah untukku dan panggil diriku. Aku akan datang mengabulkan keinginanmu."
"Berbahagialah, pahlawan. Aku menyanggupi permintaanmu yang sebelumnya sempat ditolak."
Dusta. Kalian para dewa tidak akan mebiarkan seorang pahlawan bahagia.
Ingatan itu berputar seperti kaset rusak di dalam kepalanya. Ia hafal setiap kata yang terucap, ia masih ingat bagaimana tergeragapnya dirinya manakala sosok agung itu muncul, bau laut seakan kembali tercium di sekitarnya. Desiran angin dan deburan ombak masih terekam jelas saat percakapan itu terjadi. Ia tidak mungkin lupa akan keputusan terbesar yang pernah ia buat.
Kerlingan matanya kini tepaku pada dua orang pemuda yang memekik tak percaya. Awalnya mereka terpana lalu gelombang keterkejutan menerjang sedemikian rupa saat mereka berlari mendekat. Pemuda berambut landak dan pemuda berbekal pedang di pinggang, rasanya sudah lama sekali ia tak melihat mereka berdua padahal baru tiga malam ia pergi.
"Itadori! Kau-" Fushiguro kehilangan kata-kata saat Yuji melambaikan tangan menyapa dirinya. "Oi, Fushiguro!" serunya sembari memperlihatkan gigi-gigi.
"Bagaimana bisa?" Okkotsu menimpali, jemarinya sibuk mengusap mata dan sesekali mencubit lengannya sendiri.
"Kau hidup kembali!" sambung Fushiguro.
Kata-kata mereka tumpang tindih seakan beradu kecepatan untuk menuturkannya, mereka mencercanya dengan berbagai kalimat tanya. Ia menghela napas, memejamkan mata sejenak sembari menikmati embusan angin siang hari. Menjelaskan pada mereka tentang apa yang terjadi dalam kurun waktu tiga hari ini bukanlah perkara mudah. Sebab ia juga harus menjelaskan identitas aslinya.
"Beritahu pada kami, Sensei. Siapa sebenarnya dirimu?"
"Aku putri dari Hecate, sang dewi sihir dan kutukan."
•••
Bilah kelabu ekor Trygon masih meneteskan cairan merah tatkala kedua netra biru itu menatapnya dalam diam. Tak ada satu katapun yang terucap ketika jemarinya mencengkeram kepala dari kutukan yang mendiami tubuh sahabat sang pria pemilik rambut putih. Tanah terbelah, jurang menganga di hadapannya, begitu dalam dan gelap, Hades membuka gerbang dunia bawah. Ia pernah berkata bahwa ia akan membawakan kepala dari dalang penyebab kemurkaannya dan sekarang sang dewa menagihnya secara langsung. Tulang berbalut daging itu ia lempar sementara tubuhnya sudah lebih dahulu ditelan oleh kedalaman jurang.
Kedua telapak tangannya ternoda darah, ia mengernyit jijik manakala teringat bagaimana daging lembek itu menempel di sela-sela jari. Bau anyir tercium di udara, menyengat, menusuk-nusuk indera penciuman. Bagaimana penampilannya saat ini? Mengerikan. Darah siapa saja yang menempel pada bajunya sekarang ini? Berkali-kali ia menjadi penyelamat bagi rekannya dan pembunuh bagi musuhnya. Entah cairan itu berasal dari rekannya yang terluka atau penyihir masa lalu yang telah dibinasakannya ia tidak tahu.
Helaian hitamnya yang semula tergerai hingga pinggang kini tinggal sebahu, ia memotongnya manakala ikatannya terlepas saat bertarung dan mengganggu pergerakan. Pria itu pernah memuji rambutnya yang terurai dulu, dulu sekali. Apa ia akan memujinya lagi saat ini? Sepertinya tidak, tidak setelah ia mencabik tubuh sang sahabat menjadi dua bagian.
Lukanya berdenyut kembali, ringisan kesakitan keluar dari mulut ketika alis-alisnya menukik dan kerutan-kerutan tercetak di dahi. Waktunya telah tiba, ia tahu itu. Darah telah ia tumpahkan sesuai perintah yang pernah diucapkan, kutukan-kutukan dan penyihir masa lalu itu adalah persembahannya. Dan darahnya sendiri kini telah memancar, melalui sayaran besar di tangan kiri. Ia menahan perih pada luka yang kembali bertambah. Tinggal satu langkah lagi, pikirnya. Tinggal selangkah lagi sebelum semuanya usai.
Lebih cepat lebih baik, pikirnya. Ia tidak mau serdadu-serdadu dari negara-negara tetangga khususnya sang negara adikuasa dengan anggaran militernya yang luar biasa, tiba di negeri matahari terbit lagi.
"Kenapa kau melukai dirimu sendiri?"
Pria itu datang mendekat setelah lama terpaku melihatnya berlumuran darah. Tawanya menggema dalam hati. Inikah tujuan dari kelahirannya? Rupanya ia memang harus memenuhi takdir yang telah digariskan sebelum ia lahir. Mungkin apa yang ia alami saat ini adalah balasan untuknya. Balasan untuknya yang selalu bungkam saat melihat perselisihan yang terjadi pada umat manusia. Ia selalu berada di antara mereka, namun apa yang dilakukannya hanyalah diam dan melihat.
Ia bisa membayangkan apa yang dewa-dewi itu tengah lakukan di dalam istana yang di kelilingi awan-awan. Mereka duduk di singgasana-singgasana mereka sambil menikmati nektar yang dituangkan dalam cawan-cawan emas sementara ambrosia, daging dan buah-buahan menyegarkan tersaji di meja panjang. Hermes akan mulai melontarkan lelucon-lelucon yang ia simpan lalu tawa mereka akan bergema di seantero ruangan. Tak lama berselang mereka akan mulai membuka percakapan tentang dirinya dan kembali tergelak, seakan menikmati pertunjukkan yang telah ia berikan.
"Kemarikan tanganmu, biar kulihat." Ucapnya.
Pria itu tidak mengerti alasan kenapa uluran tangannya dibalas tepisan kasar. Padahal ia hanya ingin mengobati luka yang tercipta, ia tidak tahan melihat tubuh orang terkasihnya dihiasi luka menganga.
"Tidak."
"Kenapa? Aku ingin menolongmu."
"Kalau begitu, tolong pegang tombak ini untukku. Jangan sampai bilahnya menggores manusia manapun." Tombak berpindah tangan, Gojo menatapnya gamang.
"Ada apa denganmu? Apa yang akan kau lakukan?"
"Yang akan kulakukan adalah menolong kalian."
"Jangan katakan itu padaku jika kau tidak bisa menolong dirimu sendiri. Lihatlah, kau terluka!" Hardiknya.
Ia terdiam. Tidak. Ia tidak boleh goyah, tidak untuk sekarang atau selamanya. Tidak bahkan jika hatinya berteriak agar ia mendekat dan menanyakan apakah ia baik-baik saja setelah terkurung begitu lama. Tidak untuk mengenggam jari-jemari kokoh itu lagi dan mengajaknya pulang, ataupun mengelus pipi-pipi lembut putrinya. Semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikan mereka berdua. Tidak ada yang bisa melakukannya selain dirinya. Ia tidak tahu kapan lagi para dewa mau mengulurkan tangannya pada manusia.
Tak bisakah pria itu diam saja di saat pertemuan terakhir mereka? Ia tidak mau memulai pertengkaran sebagaimana yang terjadi pada ia dan ibunya. Ia tidak mau waktu yang amat terbatas ini dihabiskan dengan saling melempar amarah. Ia tidak mau kepergiannya diliputi dengan kecewa.
"Luka ini memang sengaja kubuat, Satoru. Sekarang mundurlah, kau tidak boleh menggangguku." Ucapnya payah, penglihatannya mulai berkunang-kunang.
"Sepertinya aku memang bukan kekasihmu, aku hanya orang asing bagimu."
"Kau tidak pernah bisa jadi orang asing bagiku, Satoru."
"Benarkah? Lalu, pikirmu aku ini apa? Kau bahkan tidak memberitahuku siapa nama aslimu." Pria itu mendekat kemudian mencekal pergelangan tangan sang wanita. Tombak ia hempaskan ke tanah, sekarang kesembuhan orang tercinta adalah prioritasnya.
"Kau-" adalah orang yang selama ini kucari-cari. " Tidak. Namaku tidaklah penting, Satoru. Masa laluku bukan sesuatu yang baik untuk diceritakan." Ucapnya gelisah.
"Katakan padaku." Jemarinya menyingkap anak rambut yang menutupi manik sewarna madu. "Katakan padaku apa yang menganggumu. Jangan kau tanggung sendiri, kita bisa menyelesaikannya bersama."
"Tidak, Satoru, kau tidak mengerti. Ini bukan sesuatu yang bisa kau tanggung. Manusia manapun tidak bisa melakukannya selain diriku. Hanya aku yang bisa melakukannya." Ia nyaris putus asa kala genggaman itu semakin mengerat.
"Bagaimana aku bisa mengerti jika kau tak pernah menjelaskannya padaku?" jari-jemarinya melonggar tatkala kalimat itu tertutur disertai nada kecewa.
"Cukup." Ia menarik tangan. "Maafkan aku, Satoru."
Selangkah demi selangkah ia ambil, jika pria itu tidak mau menjauh maka biar ia yang melakukannya. Gojo mencoba meraih pergelangan tangannya sekali lagi. Namun nahas, gumpalan hitam menutupi pandangan, memisahkan kedua insan. Ia menghela napas, tubuhnya sungguh teramat lelah untuk sekedar menciptakan trik yang dulunya mudah.
Kata-kata terucap, ia memanggil sang penguasa jagad raya menagih janji yang telah ia buat. Angin berputar di angkasa, awan gelap berkumpul, debu-debu berterbangan. Pada kalimat terakhir diucapkannya sebuah permintaan dengan penuh keyakinan. Untuk menghapuskan seluruh bentuk kutukan di muka bumi.
•••
Manakala kelopak matanya mengerjap dengan gerakan lambat, dunia seolah berputar di sekitarnya. Ia terbangun ketika kelabatan hitam membelah angkasa. Rajawali, pikirnya. Ia tersenyum ketika kenangan yang sama melintas di kepala. Kini langitnya kembali biru, gumpalan-gumpalan sewarna kapas berarakan tertiup angin. Saat itu ia berada di pangkuan seseorang, sosok itu tak sadar jika dirinya telah terbangun.
"Kenapa aku tak bisa menyembuhkanmu? Kenapa kutukan pembalikku tidak bekerja?"
Pria itu melayangkan sumpah serapah, ia memanggilnya ketika jari-jemari itu hendak mengangkatnya.
"Satoru."
Sang pria menoleh, binar keterkejutan dan kesedihan terpancar lewat sorot matanya.
"Aku tidak bisa merasakan ke enam mataku." Ia bergeming dengan mulut terbuka.
Tenggorokannya tercekat, ia terbatuk-batuk, kepayahan saat mencoba menarik napas.
"Aku akan menyelamatkanmu. Bertahanlah-"
Dilihatnya sang kekasih yang tengah kelimpungan. Kalimat-kalimat yang diucapkannya tak bisa ia dengar dengan jelas. Rasa lelah menyambarnya dengan hebat, ia merasa tak berdaya, separuh tubuhnya tak bisa ia gerakkan. Bahkan tidak untukk sekedar menyembuhkan diri sendiri, kedewataannya seolah ikut direnggut.
"Tidak akan sempat, Satoru."
"Apa maksudmu?"
"Turunkan aku." Ucapnya susah payah.
Anak didik dan rekan kerjanya datang menghampiri, tatapan mereka bertanya-tanya, Gojo membalasnya dengan gelengan. Jangan ganggu, begitu maksudnya. Dilangkahkannya kaki menuju sebuah pohon, di bawah naungan dedaunan hijau itu dibaringkannya sang wanita.
Ia melihatnya, ia melihat sosok itu tinggal beberapa langkah lagi untuk menggapainya. Jubah hitam menyeret tanah, sang kematian datang mendekat. Pria itu tak bisa melihatnya, hanya ia yang bisa melihatnya.
Sebentar saja, pikirnya.
"Langitnya indah."
"Ya."
"Seperti matamu."
"Ya."
Hiruk pikuk masih lamat-lamat terdengar, entah teriakan ataupun erangan kesakitan. Semua bercampur menjadi satu. Dan di sanalah ia berdiri, di samping batang kecoklatan dengan pakaiannya yang serba hitam. Akhir dari hidupnya t'lah tiba.
"Aku mencintaimu, Satoru."
"Ya." Jeda sang pria. "Aku juga."
Ia menggigit bagian dalam bibirnya tatkala balasan tak lagi terdengar. Jemari yang telah tak berdaya digenggamnya erat-erat. Iris sewarna madu itu telah tertutup rapat dan tidak akan bisa dilihatnya lagi besok, atau besoknya lagi. Tidak untuk selamanya. Tak lama kemudian teriakan menggema, bercampur dengan linangan air mata.
•••
Ia sudah tahu jika warna kesukannya akan digunakan pada saat-saat dimana hati orang-orang akan teriris tatkala melihat tubuh orang tercinta ditimbun oleh tanah. Hari itu ia membawakan ranunculus untuk diletakkan di depan batu nisan. Anak didiknya memberinya usapan dan ucapan bela sungkawa, dan ia hanya diam memandang pusara dari sosok yang sudah tak bernyawa.
Hujan tidak turun untuk mendramatisir keadaan, pun tidak ada satu gumpalan awan yang menampakkan diri. Ia hanya bertemankan angin dan gemeresak dedaunan. Derap-derap langkah mulai menjauh ketika ia menundukkan kepala. Tubuh yang semula berdiri tegap mulai merubuhkan diri. Kala matahari tengah gencar memancarkan sinar hangatnya, Gojo Satoru menangis dalam kebisuan.
•••
Kotak kayu itu dibukanya perlahan, rangkaian laurel emas ia keluarkan. Lembaran-lembaran kertas ia angkat, goresan-goresan itu ditelusurinya dengan saksama.
Teruntuk Gojo Satoru.
Halo Satoru, jika surat ini sampai di tanganmu itu artinya aku telah tiada. Aku akan menyampaikan beberapa hal penting di sini, jadi, kumohon kau tidak keberatan untuk tidak merobeknya sebelum selesai membaca.
Bagaimana keadaanmu, Satoru? Aku tidak tahu kapan kau akan membuka surat ini. Mungkin satu atau dua hari setelah kematianku, mungkin juga bertahun-tahun setelahnya, atau bahkan saat kau sudah membangun keluarga baru. Kapanpun itu, sayangku, semoga kau tetap baik-baik saja.
Satoru, apakah aku menitipkan sebuah tombak padamu? Apa tombak itu masih ada padamu? Dimanapun tombak itu berada sekarang, kau harus segera mengembalikannya ke laut. Tombak itu senjata terkuat di alam semesta. Satu goresan cukup untuk membunuh manusia dan menyiksa dewa besar selama-lamanya, tombak itu mesti dikembalikan ke tempat semula. Jika kau bingung bagaimana caranya, cukup lemparkan saja tombak itu ke laut. Aku menulis ini untuk berjaga-jaga jika aku tak sempat mengembalikannya sendiri.
Satoru, bersama dengan isi dari kotak ini aku memberimu dua pilihan, kau cukup memilihnya salah satu. Apa kau masih ingin mengenalku, Satoru? Jika iya maka ambil botol dengan cairan yang lebih jernih dan tenggaklah isinya. Kau akan tahu siapa diriku, dari mana aku berasal, apakah kita pernah bertemu sebelumnya.
Jika kematianku meninggalkan luka yang cukup dalam bagimu, dan kau ingin melupakan segala hal tentang diriku, tentang kehadiranku dalam kehidupanmu ini, maka minumlah cairan dari botol yang lebih keruh. Kau tidak akan mengingatku sedikitpun setelah itu. Tidak perlu khawatir tentang Hikari, aku mengutus seseorang untuk merawatnya jika kau mengambil pilihan yang satu ini.
Aku titipkan bayi mungil itu padamu jika kau memilih untuk mengetahui siapa diriku atau jika kau memutuskan untuk tidak menenggak salah satu dari keduanya. Sebenarnya aku ingin menyampaikannya saja dalam bentuk pesan suara tapi aku khawatir jika Yuji akan mengupingnya.
Jadi, Satoru, hanya itu saja yang ingin kusampaikan. Jaga dirimu baik-baik. Jangan menyusulku terlalu cepat. Terimakasih banyak sudah menjadi bagian dari kisah hidupku. Selamat tinggal.
Lelaki itu memandang kosong surat yang telah ia baca, netra birunya bergulir mengintip dua botol kaca, gelembung-gelembung udara terperangkap di dalamnya. Botol-botol itu belum berpindah tempat, jemarinya bahkan enggan bergerak sekadar menyentuh penutupnya. Lembaran-lembaran kertas dari seseorang yang tengah menjadi tambatan hati diletakkannya kembali. Pria itu kemudian merebahkan diri di atas ranjang.
Tubuhnya berguling ke kanan dan kiri, ia mencoba memejamkan mata, berharap segera terlelap dalam buaian mimpi. Namun dua botol kaca itu mengobrak-abrik kedamaiannya, tak sedetikpun bayangan dari dua benda itu hilang dari pemikiran. Dengan segera ia mengambil salah satu di antara keduanya, tutup botol ia buka, dan cairan itu mengalir melewati kerongkongan.
Dua menit berlalu dan ia tak kujung merasakan efek apapun, baru ketika ia mencoba berdiri kaki-kakinya tak bisa menahan berat badan. Ia limbung lalu ambruk sembari mencengkeram tepian ranjang. Kepalanya berdenyut seperti ditarik paksa ke dalam. Pening menghantamnya bertubi-tubi, kepalanya serasa akan meledak. Teriakan meluncur bebas dari bibir yang kering. Lantai dingin kini menjadi alasnya berbaring, pria itu meringkuk dalam pelukan udara malam.
•••
Halo, para pembaca yang budiman. Tungguin terus ya kelanjutannya!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top