7
Deru napas berkumandang, derap langkah beradu dengan gesekan dedaunan. Di pagi buta itu ia berlari menyusuri permukaan yang tertutup dedaunan, pada rimbunnya pepohonan di bukit-bukit. Selimut tebal yang menghalangnya dari dingin berkibar-kibar kala kaki beralas sandal yang talinya membelit hingga pergelangan kaki berlari semakin kencang. Lebatnya hutan pohon zaitun ia jejaki tanpa rasa takut sedikitpun. Ibunya bilang ia tak perlu takut pada gelap, orang-orang hanya takut pada sesuatu yang akan muncul dalam gelap, bukan pada kegelapan itu sendiri dan ia mengamininya. Kegelapan yang saat ini menyelimutinya seakan menuntunnya menuju jalan keluar, ia seolah mendapat bisikan 'kemari' atau 'lewat sini'.
Tangannya meraih-raih dedaunan dan butiran-butiran zaitun yang bergelayut rendah, ia tertawa kegirangan. Entah sudah berapa lama kakinya tak menjejak lebatnya hutan, ia rindu berpetualang seperti yang biasa ayahnya ajak saat sedang senggang. Ia pernah diajak bepergian ke pegunungan, melewati jalan-jalan setapak yang penuh dengan pohon yarrow, ia masih ingat warna-warnanya, putih, kuning, merah, dan ungu.
Saat itu ayahnya sedang berburu kijang, kemudian ketika sudah selesai mereka akan beristirahat di bantaran sungai. Pamannya akan mulai menyebutkan nama-nama dari ikan yang berenang santai, kadang juga gesit saat ia melemparinya dengan kerikil. Kalau sudah begitu sepupunya akan menggerutu sebab ujung runcing sebatang kayu yang ia lemparkan meleset dari sasaran-dia sedang belajar menangkap ikan-ikan.
Pamannya akan menunjuk ikan yang bersisik belang, lalu menyebutnya ikan loach. Kemudian yang berwarna keperakan namanya ikan perch, yang satunya lagi vimba. Ah, vimba, ada kejadian menjengkelkan sehubungan dengan ikan itu. Sepupunya yang luar biasa jahil pernah membuatnya hampir berciuman dengan mulut ikan itu, ia masih ingat bau amisnya yang menguar pada jarak yang sedemikian dekat.
Saat perjalanan pulang ia akan melihat trewelu berlari-larian, cepat dan gesit di balik pohon-pohon cypress. Bulunya yang coklat kelabu akan terlihat seperti kelabatan hitam saat mereka melarikan diri. Kantong-kantong yang mereka bawa akan penuh dengan buah pir dan ara yang sudah masak, dipetik sebelum naik ke kuda-kuda dengan tali kekang. Dan ia akan duduk di depan ayahnya sambil memegang kelinci yang baru saja ditarik keluar dari liang persembunyian.
Diciumnya bau garam dari laut yang bergejolak, semilir angin semakin menerpa kulitnya yang tertutup tunik putih selutut. Rambutnya yang sekelam malam ia ikat tinggi-tinggi hingga menyisakan anak-anak rambut yang bergelantungan di sisi kanan kiri pipi. Ia sampai di pesisir saat fajar menyingsing, kemudian mendaratkan diri pada batang pohon zaitun yang telah tumbang, duduk tenang sembari melahap roti dan keju yang ia kemas dengan kain-dicurinya dari dapur saat semua orang terlelap, juga beberapa butir zaitun dan buah ara.
•••
Air laut di hadapannya berkilau-kilau ditimpa cahaya mentari, ia bersembunyi di balik bebatuan karang. Dipandanginya para anak laki-laki yang telapak kakinya sibuk bergulat dengan pasir putih. Matahari mulai meninggi dan anak-anak itu terus saja melempar lembing. Matanya menangkap kelabatan merah di antara helaian hitam dan coklat, segera saja ia memanggil sosok itu.
"Pyrrhus." Panggilnya pelan.
"Pyrrhus."
Ia sedikit memperkerasnya.
"Pyrrhus."
Nadanya naik satu oktaf.
Pelipisnya berdenyut kesal, ia yakin sepupunya itu tidak tuli, lantas kenapa ia pura-pura tak dengar? Bahkan pemuda di sebelahnya hampir saja memergokinya. Digenggamnya sebutir zaitun yang ia sisakan karena kekenyangan, ia mulai membidik dan melemparkannya ke surai merah menyala yang berantakan ditiup angin.
Kena, batinnya senang. Hampir-hampir memekik gembira.
Lembing yang digenggamnya diacungkan tepat ke arah bebatuan karang tempatnya bersembunyi. Ia membidik lagi, mengarahkannya ke kaki-kaki yang tumitnya merah muda merekah. Buah zaitun yang mengenai kakinya itu ia ambil, sepupunya kemudian berbincang dengan anak laki-laki yang mengerumuninya lalu melangkah ke arahnya seorang diri.
"Keluar, perlihatkan dirimu!" tukasnya.
Helaian hitamnya perlahan menyembul dari balik batu, manik coklat terang milik lawan jenis terpaku dengan kelopak mata membuka lebar.
"Pyrrha!"
Pyrrhus menolehkan kepala ke kanan dan kiri, pergelangan tangannya dicekal erat. Ia terhuyung ke depan, nyaris terjerembap saat ditarik menuju pepohonan rindang. Tempat yang terkucilkan karena dikelilingi bebatuan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" bisiknya.
"Aku merindukanmu, kak." Balasnya dengan nada mendayu.
Ia tergelak saat kakak sepupunya memasang raut jijik, tak percaya dengan apa yang barusan ia ucapkan.
"Berhenti bercanda, katakan tujuanmu sebenarnya." lembingnya ia hujamkan ke dalam pasir, menancap di sela-sela dedaunan yang berguguran, tangannya terlipat di depan dada, bibirnya mencebik kesal.
"Ajak aku jalan-jalan ke istana karang." Pintanya dengan mata berbinar.
Ia sebut begitu karena letaknya dekat dengan bebatuan karang, berbeda dengan istana tampatnya berdiam diri yang di kelilingi barisan-barisan pepohonan-letaknya di balik bukit-bukit yang dilaluinya tadi.
"Tidak mau, kalau kakek tahu kau ada di sini, dia akan memarahiku habis-habisan. Kembali ke istanamu sekarang juga! Mereka pasti kebingungan mencarimu."
"Oh, Ayolah! Aku ingin melihat kalian memanah." Tangannya terangkat menirukan prajurit yang tengah melepaskan anak panah dari busurnya.
Sepupunya menghela napas, "Tidak boleh, bagaimana jika-"
"Pangeran Pyrrhus, kau berbicara dengan siapa?"
Ucapannya terpotong, dua kepala yang di atasnya bertahta helaian cokelat menyembul dari balik bebatuan karang. Dua pasang mata itu menatapnya penasaran.
"Aku tidak pernah melihatnya, apa dia pendatang baru? Kudengar kemarin ada beberapa orang yang dibawa kemari." Tanya seorang yang rambutnya lebih panjang, menjuntai melewati tengkuk.
Sepupunya mengetuk-ngetukkan jemari pada lembing yang tertancap, menimang-nimang jawaban yang akan ia keluarkan. Ia tidak boleh salah langkah, seorang putri yang melarikan diri dari istananya dan menyusup ke tempat penampungan akan dianggap sebagai aib jika rumornya menyebar.
Tangan kirinya menarik lembing, "Ya, dia orang baru."
"Wah, kalau begitu ayo bergabung dengan kami, jangan malah bersembunyi! Kami sedang belajar melempar lembing." Ucap seorang lagi, kali ini helaian ikalnya hanya sebatas kuping. Pergelangan tangannya digenggam, telapak tangannya terasa kasar karena jaringan kulit yang menebal.
Si rambut panjang berkacak pinggang, "Tunggu dulu, kami belum tahu namamu."
Pyrrhus melirik ke samping, dahinya berkerut mendengar perkataan itu.
Ia mendongak, langit di atasnya cerah, matahari bersinar terik. Sekelabat bayangan hitam tertangkap matanya saat sedang terbang di antara gulungan awan.
"Aeëtes, namaku Aeëtes." Ucapnya, ia mengulas senyum. Rajawali.
•••
Ia duduk di aula panjang yang merangkap sebagai ruang makan. Bangku-bangku yang terbuat dari kayu ek dipadati oleh anak-anak lain. Tangan ia letakkan di atas meja yang penuh dengan hidangan berlimpah, tidak ada makanan mewah yang disajikan karena kebanyakan dari mereka adalah orang buangan. Ikan asin, keju, dan roti mulai mengisi piring-piring yang sebelumnya disodorkan. Tentu saja tanpa daging kambing maupun lembu, keduanya merupakan makanan para bangsawan, atau untuk hari-hari perayaan. Pyrrhus duduk di sampingnya, makan tanpa suara.
"Dia siapa?" tunjuknya dengan dagu pada seorang pemuda yang duduk di bangku meja seberang.
"Oh, itu. Pangeran dari timur dan pendampingnya."
Pendamping, saudara seperjuangan, orang yang bersumpah setia pada pangeran dengan segenap jiwa raganya. Orang yang kelak menjadi pengawal kehormatan atau penasihat kepercayaan, tergantung pada masa apa yang dilaluinya, masa-masa perang atau damai.
"Kerajaan dari seberang lautan?"
"Ya." Jemarinya memasukkan sepotong keju ke dalam mulut.
"Kenapa bisa sampai di sini?"
Sepupunya berdehem, "Mereka bilang untuk mempererat hubungan antar dua kerajaan, lagipula daerah kita terkenal sebagai pencetak prajurit tangguh"
Dipandanginya pemuda yang bermata biru cemerlang itu dalam diam, rambutnya seperti gumpalan awan di angkasa, ujungnya menusuk-nusuk udara, dan saat helaian putih itu bergoyang, sontak mengingatkannya akan ilalang yang tertiup angin. Kulit dari sebagian tubuhnya yang tak tertutup tunik berwarna agak kecoklatan, mengilap oleh keringat yang belum diusap.
Diputarnya buah ara yang ia ambil dari keranjang, makanan di atas piringnya telah tandas. Putaran buah ara tergelincir saat bersinggungan dengan kulit licin dari lengan sepupunya, ia bergegas menadahkan tangan saat buah yang masak itu terjatuh. Sarinya yang manis dan melimpah memenuhi setiap sudut rongga mulut, menyapa indra pengecap yang bersarang di dalamnya.
Ia mengangkat kepala, pandangannya bertemu dengan mata sebiru lautan. Deburan ombak dari luar istana seakan bersaing dengan jantungnya yang bertalu-talu. Ia hampir tersedak, wajahnya memanas. Kepalanya tertunduk, pura-pura sibuk dengan buah dalam genggamannya, ia tak menyangka akan kepergok secepat itu, sungguh memalukan.
Pyrrhus berdiri, menyentakkannya dari lamunan. Ia menolehkan kepala ke tempat pemuda yang ia pandangi tadi. Kosong, begitu juga meja tempat piring-piring semula tertata rapi, keduanya tak berlama-lama di sana saat gadis-gadis pelayan mulai bersliweran di antara mereka.
•••
Ia dibawa melintasi koridor-koridor yang berkelok-kelok, kakinya dipaksa melangkah cepat-cepat mengikuti pergerakan bocah sebelas tahun di depannya. Ditapakinya setiap inchi permukaan lantai yang berlapis pualam dengan tergesa. Ia tidak mengerti mengapa mereka begitu terburu-buru. Pyrrhus mendorong pintu kayu ek yang berpinggiran besi lalu menariknya masuk.
"Ini, ambil!" ucapnya sembari mengulurkan lira dari dalam peti.
Diterimanya alat musik itu dengan senang hati kemudian mendudukkan diri di salah satu bangku-bangku berlapis kulit yang berjajar rapi. Kayu kenari gelap yang teramplas dengan baik terasa halus saat tangannya meraba. Ia memetik dawai-dawai yang diikat kencang, nada bergaung di seantero ruangan. Sepupunya mengambil satu lagi untuk dirinya sendiri.
"Siapa dia?"
Pria berjanggut tebal itu mengernyitkan dahi pada sudut ruangan yang lebih minim cahaya, liranya diletakkan di atas paha.
"Dia temanku, Aeëtes. Dia akan ikut belajar hari ini."
"Dan tolong jangan bertanya lebih lanjut. Aku tidak mau membuat rekan kita dari seberang lautan menunggu lebih lama." Tambahnya saat pria berjanggut tebal itu-yang sepertinya tidak lebih tua dari pamannya-membuka mulut hendak menyela ucapannya. Pyrrhus tersenyum ramah pada dua manusia yang duduk berhadapan dengan mereka berdua. Kedua matanya menyipit saat menarik segaris senyum. Dua orang itu balas menyapa.
Ia tahu kalau pria itu kesal, kedutan di pelipis dengan beberapa rambut menjuntai itu dapat dilihatnya dengan jelas. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Diam dan patuh selama permintaan muridnya tidak kelewat batas walau diminta dengan cara yang tidak sopan. Mungkin saat pelajaran berakhir akan diberinya wejangan secara personal, begitu pikirnya.
"Baiklah, mulai!" ujarnya.
Sesungguhnya ia cukup mahir dalam memetik dawai-dawai bersinar kepucatan itu, terimakasih pada ibunya yang mengenalkan alat musik itu padanya dulu. Ia melirik ke arah jendela, udara asin masuk menerpa kulit-kulit berbalut tunik. Guratan jingga menghiasi angkasa, senja telah tiba saat guru mereka meninggalkan ruangan.
"Permainanmu bagus sekali, bisakah kita berteman?" Pemuda pemilik rambut putih yang otot-ototnya belum terbentuk sempurna membuka suara.
Pyrrhus menyikut lengannya, "Tentu saja, suatu kehormatan bagiku untuk menjalin pertemanan denganmu, Pangeran."
Ia hendak melanjutkan perkataan tatkala matanya menangkap kelabatan dari sosok tinggi nan besar berdiri di ambang pintu. Diteguknya kasar ludah yang mendadak terkumpul tanpa diminta, sesaat ia membeku mengenali wajah dengan gurat-gurat penuaan yang tersebar, helai rambut yang penuh uban dan juga rahang bawah dengan jenggot senada menjuntai-juntai bebas. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah kakeknya, habislah ia jika penyamaran ini terbongkar.
"Oh, Pyrrhus. Aku tidak tahu jika kau sudah memilih pendamping."
Kepalanya tertunduk, langkah-langkah lebar beradu dengan lantai, semakin mendekat ke arah mereka. Pyrrhus tetap bungkam, tak sepatah katapun terucap, sama-sama gusar. Ia bertaruh dua pasang mata yang tersisa kini memandangnya penasaran.
Kaki itu berhenti tepat di hadapannya, udara di sekitarnya menjadi berat, menyesakkan tenggorokan.
"Angkat kepalamu anak muda, aku ingin melihat wajahmu." Titahnya.
Ia patuh, diangkatnya kepala pelan-pelan, pandangannya bersitatap dengan netra coklat gelap. Setiap gerakannya penuh keraguan, ia takut dengan murka yang akan datang. Canggung sekali rasanya saat kelopak mata itu membuka lebar dan kata-kata tergantung di ujung lidah, tertunda oleh keterkejutan.
"Pyrrha!"
Dan sekali lagi, ia hampir terjerembap saat lengannya ditarik kasar oleh jemari yang berkekuatan besar.
•••
Ia kembali menyusuri gelapnya deretan pepohonan. Rumput-rumput berselimut titik-titik embun menggesek alas kaki, dingin dan basah merayapi kulit. Matanya berkilat-kilat tak sabar, seseorang menunggunya di tepi padang rumput yang ditumbuhi lilac dan juga thyme, tempat biasanya mereka mengucap janji temu. Ia berseru girang, memanggil-manggil saat kepala dengan puncak putih terbit di ujung pandang.
Jari-jemari itu dibawanya dalam genggaman, menariknya pada tempat-tempat tersembunyi yang mereka jelajahi. Sebuah pertemuan rahasia di pagi buta, pada setiap hari-hari yang sudah ditentukan dan disepakati bersama. Kejadian tak terduga yang telah lalu menyatukan dua kepribadian berbeda. Langkah-langkah kecil dan ringan berderap-derap pada tanah yang tertutup guguran dedaunan. Candaan, obrolan, umpatan dan tawa-tawa riang saling terlempar ke udara, bebaur di antara embusan angin, hewan kecil, dan ranting-ranting. Berharap waktu dapat berhenti pada masa-masa menyenangkan yang dihabiskan, dan semoga saja kenikmatan itu tetap bertahan selama yang ia bisa.
Tetapi tetap saja, tidak ada yang tahu bagaimana masa depan akan bertamu.
•••
"Katakan, sudah berapa banyak gadis-gadis pelayan yang kau bawa ke atas ranjang?"
Pemuda itu tersedak oleh daging-daging merah dari ara yang tengah ia kunyah, pertanyaan mengejutkan di waktu yang kurang tepat. Ia dua belas tahun kala itu, si pemuda setahun lebih tua, sepantaran dengan sepupunya.
"Kenapa?"
"Seharusnya aku yang tanya, kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?"
"Pyrrhus memberitahuku kalau banyak gadis-gadis pelayan yang perutnya sudah membuncit."
Wajahnya seolah berkata Pyrrhus memberitahukannya padamu?. Ia menghela napas, Pyrrhus sialan.
"Aku tidak pernah membawa satupun dari mereka naik ke pembaringan."
"Benarkah? Pyrrhus bilang ia mendengar erangan di setiap bilik anak-anak asuh paman."
"Pyrrhus memberitahumu juga?'
"Tidak, kalau yang itu aku mengupingnya saat Pyrrhus dan paman sedang berbincang."
Mereka, para anak asuh pamannya, adalah orang buangan. Orang-orang yang melakukan kesalahan, kekejaman, kecacatan dalam bertindak. Para ayah membayar harga senilai dengan putra-putra mereka yang sebentar lagi akan dianggap tak pernah ada. Tumpukan-tumpukan barang berharga itu adalah upah untuk sang penguasa yang bersedia menerima anak-anak yang telah mengecewakan orang tua mereka.
Merekalah yang kelak akan menggantikan prajurit-prajurit yang gugur dari medan laga. Pun dengan keturunan yang terlahir dari rahim-rahim para pelayan, jumlah mereka akan bertambah, para budak akan bertambah.
"Lain kali jangan menguping lagi"
•••
Tuniknya berganti dengan chiton dan para utusan membawa panggilan dari ayahnya untuk segera pulang. Ia ingin ikut bersamanya dan sang pemuda juga bersedia membawa, namun mereka masih sangat muda, belum banyak mencecap asam garam kehidupan. Lagipula, belum saatnya ia dipersunting. Jangan bodoh, begitu kata Pyrrhus saat ia mengutarakan niatnya.
Jadi selama ini Pyrrhus mengetahui pertemuan mereka? Mungkin sudah sejak dulu ia tahu, sepupunya punya mata yang tajam ketika melihat gelagat orang-orangnya. Pengamat yang baik, kata ayahnya dulu.
Pagi itu mereka bertemu, bersama Pyrrhus yang berdiri bersebelahan.
"Tunggu aku. Aku akan kemari lagi di saat yang tepat."
"Berapa lama?"
"Delapan tahun lagi mungkin." Jawabnya.
Hampir satu dasawarsa. Namun tak mengapa, rindu bisa ditahannya selama yang ia bisa.
"Ingat, kau harus memenuhinya. Aku memegang kata-katamu." Timpal sepupunya. Matanya berkilat jenaka, ia mengulum senyum.
"Tentu saja, kawan."
Mereka berpelukan seraya memberi tepukan di punggung masing-masing, tanda akrab persahabatan.
•••
Sudah berapa tahun semenjak ia mengucap sumpah bahwa tidak akan menikah kecuali dengan sang pangeran dari seberang lautan? Sudah berapa lama? Ingatannya memudar, ia tak bisa mengingat tahun ke berapa yang ia lewati saat ini. Kakeknya mangkat tak lama setelah ia menginjak usia delapan belas tahun. Pamannya naik tahta, seorang raja yang bijaksana, namun tidak dengan anggota dewannya. Mereka sering berselisih paham, saat ia tak mau dipinang mereka menatap rendah, menghinakan. Apa gunanya perempuan jika tak bisa memberi keturunan? Tak bisa mengangkat harkat martabat rumah tempat ia bersemayam? Begitu pikir mereka.
Ia dibuang, diasingkan di sudut terpencil istana, sebuah bangunan yang didirikan terpisah jauh dari bangunan utama. Tiada seorangpun yang boleh berjumpa, kecuali para pelayan dan orang terdekat. Ia adalah aib yang mestinya disembunyikan.
Mereka berharap keriput-keriput akan memenuhi tubuhnya, namun realita mengatakan sebaliknya. Keanehan terjadi dan tubuhnya tetap pada usia seperempat abad, mereka akhirnya tau jika ia putri seorang dewi tapi tak pernah disangkanya akan terberkati seperti ini. Keawet mudaan, tubuh yang abadi. Mungkin juga karena ibunya seorang dewi ia masih diberi tempat untuk beristirahat. Jika saja ia manusia biasa sudah pasti ia akan dinikah paksa, tapi apa daya mereka takut sang dewi murka.
Pyrrhus mempersunting putri raja, mereka dikaruniai satu putri dan dua putra. Seorang anak perempuan terapit di antara dua saudara, yang satu lebih muda dan yang satu lebih tua. Yang paling muda masih dalam gendongan sang bunda, yang perempuan sering datang ke rumah kecilnya. Dan yang paling tua, ia tak pernah melihatnya.
Usianya sekarang menginjak kepala empat. Banyak huru-hara yang terjadi di lima tahun terakhir. Pamannya yang tewas di negeri orang, entah siapa yang tega mencabut nyawanya. Orang-orang selalu mengira bahwa penguasa seberang lautan telah meniupkan genderang perang. Pyrrhus menjadi raja, ia dibutakan amarah. Mulanya amarah sebab janji yang di ingkari, kemudian masalah-masalah kecil yang kian lama kian membesar, memupuk rasa dengki yang tumbuh subur di dalam hati.
Puncaknya adalah ketika sang ayah tiada. Pyrrhus tak lagi menahan diri, ia dan pasukan dari sekutu-sekutu yang sudah lama ia himpun mulai membersiapkan diri ke medan laga. Kapal-kapal berjajar di bibir pantai, jangkar-jangkar menggerus butiran pasir dan batu karang.
Ia melewati mangkuk-magkuk kuarsa di atas meja, terus berjalan lurus hingga melewati pintu. Seorang pelayan memberinya kabar, putri raja telah dikorbankan sebagai persembahan.
Keranjang penuh zaitun menghempas tanah, butirannya berceran kemana-mana. Rupa-rupanya seorang dewata ikut campur dalam pertikaian mereka, memberi pertolongan pada pihak lawan, pada hambanya yang paling setia. Angin tak kunjung bertiup dan para prajurit merasakan gusar, seseorang harus mengakhiri penantian mereka, dan orang itu adalah sang raja.
Pyrrhus mengambil kurban yang begitu besar, darah dagingnya sendiri. Gadis yang sering ia beri manisan dan minyak mawar. Keponakannya ditipu jika ia akan dinikahkan dengan seorang pangeran muda. Pernikahan atau kurban, dan mereka mengambil keduanya sekaligus. Sekarang Pyrrhus tak ubahnya dengan Tantalos, sama-sama kejam terhadap anak sendiri. Ia bergegas menuju tenda-tenda, hendak mendaratkan tamparan pada wajah sang saudara.
Para prajurit berbisik-bisik, puluhan pasang mata tertuju padanya. Siapakah gerangan wanita yang berjalan di antara tenda-tenda perang? Ia berhasil mencetakkan merah di pipi sang raja, seisi tenda bergeming, ketar-ketir dengan perangai raja yang hanya diam dan tak bersuara.
"Kenapa kau membunuh putrimu sendiri?"
Pyrrhus tak menjawab dan ialah yang mulai tersulut murka.
"Pyrrhus!"
"Bawa dia pergi!" titahnya dengan lantang.
Tangannya dicekal, tubuhnya ditarik ke belakang. Ditangkapnya kelabatan merah dari rambut sepupunya yang tengah balas menatap sebelum tirai-tirai putih menutup sempurna wujudnya yang berbalut jubah ungu.
•••
"Pyrrhus kau-"
Ia kehilangan kata-kata, tak kuasa menggambarkan perbuatannya yang semena-mena.
"Kau sungguh biadab!"
"Sudah menjadi kewajiban seorang putra untuk membalas kematian ayahnya, kau tahu itu."
"Bukan dia yang membunuhnya!"
"Memang bukan, tapi si pembunuh adalah orang-orangnya, mereka di bawah kepemimpinannya."
Mulutnya terbungkam saat gelindingan karung itu berhenti beberapa langkah di hadapannya, api menyala-nyala pada ujung obor yang teracung menghadap angkasa. Kemilau cairan membasahi helai-helai putih yang menyeruak, ia mundur selangkah. Tidak. Kobaran jingga menyulut ujung kain, asap membumbung, bau daging bergabung.
"Kau telah buta, Pyrrha." Ucapnya sembari mendekat.
"Kau pikir siapa yang memberimu makan? Siapa yang memberimu tempat berlindung? Tempatmu bernaung dan berteduh dengan nyaman. Siapa, Pyrrha? Siapa?" ia menggoncang tubuh sang saudari sekuat tenaga, sebelum kemudian melepaskannya.
"Kami! Kami yang memenuhi segala kebutuhanmu dan bukannya si bajingan yang telah membunuh ayah dari seseorang yang ia sebut teman." Ketopong yang ia pakai dilepasnya kasar, dilempar tepat ke arah tulang yang masih membara.
"Besok kau akan dipinang oleh seorang raja, bangsawan yang ringan tangan. Dia memberi kita banyak uluran tangan. Para pelayan akan membantumu mempersiapkan diri, aku tidak mau melihatmu dengan pakaian lusuh seperti itu."
Dia bukan bangsawan yang ringan tangan!
Dialah yang menghancurkanmu, membangun sekat di antara kita berdua, mengadu domba dua sahabat.
Betapa dungunya sang sepupu, tak kunjung sadar akan tipu daya yang ditiup berulang-ulang. Ia tahu, ia mendengar, ia mendengar mereka. Manakala tanaman-tanaman berbagi pendengaran, membisikkan kata pengkhianatan dari seorang bangsawan, utusan dan sang ajudan. Kalimat-kalimat itu diracik sedemikian rupa dengan campur tangan pihak ketiga si pembunuh raja. Mereka ingin menggulingkan tahta, menjadikan sang pewaris tak berdaya. Saat itulah sihirnya bangkit, pada saat yang teramat tepat.
Dan mereka berhasil, Pyrrhus yang disulut murka dan jiwanya yang senantisa muda tak lekang oleh usia, menggebu ingin menaklukan dunia. Bergelora hingga akal sehatnya tergoncang, goyah, tak mau berpikir dengan kepala dingin.
Ditangkupkannya butiran-butiran sisa pembakaran, dikumpulkannya dalam balutan pakaian, ia menguburkannya di halaman belakang. Seorang pangeran dari seberang lautan tidak pantas diperlakukan seperti ini setelah mati, bahkan tidak jikalau ia hanyalah seorang rakyat jelata. Jasad manusia harus mendapatkan pemakaman yang layak, atau roh mereka tidak akan bisa melewati sungai-sungai dunia bawah. Darimana mereka mendapatkan obolos jika seperti itu?
Malam itu langit tak berbintang, bulan tak benderang, semua diselimuti kegelapan, gemuruh terdengar dari kejauhan. Besok ia akan dipinang, tidak ada yang tidak menginginkan keturunan dari seorang anak dewi. Pasti hanyalah darah dewata yang mereka incar. Pasti. Sekarang, kepada siapa ia akan mengadu? Kepada Ayah? Ayahnya telah tiada, gugur di medan laga. Kepada ibu? Lalu haruskah ia kembali menangis tersedu-sedu?
"Ibu." Lirihnya. Syukur-syukur kalau ibunya mendengar, bagaimana kalau tidak? Ia tak tau lagi harus bagaimana.
"Anakku."
Sosok itu berjalan melewati kegelapan, gaun merah darahnya menyapa tanah basah.
"Ibu."
Pada rintik hujan itu ia dibawa dalam rengkuhan, ia balas memeluk erat.
"Katakan, apa yang kau inginkan, putriku?"
"Bawa aku pergi."
•••
"Kau melihatnya?"
"Ya, Ibu." Jawabnya.
Di seberang sana, seorang pria tengah berada di atas kereta perang. Sesosok tubuh terseret-seret, terantuk-antuk bebatuan dan tanah. Pria itu adalah Achilles, Achilles yang tengah menggila. Ia menyeret jasad dari Hektor-sang pembunuh orang terkasih, Patroclus. Achilles tetap menyeret jasad Hector mengitari tembok-tembok kokoh Troy, tak peduli jika pertarungan hari itu telah berakhir dan para Myrmidon menarik diri, hengkang dari medan laga.
Keesokan harinya, Achilles masih melakukan hal yang sama hingga saat purnama naik ke singgasana, ketika kegelapan menyapa dunia. Dan pada akhirnya manakala seorang pria tua bertandang ke tendanya, Achilles menyerahkan kembali jasad Hector pada tangan-tangan keriput sang raja Priam. Seorang ayah yang mendamba agar jasad putranya mendapatkan penguburan yang layak.
Ia melepaskannya, ia merelakannya, pun ia merelakan api berkobar pada tubuh orang tercinta setelah sekian hari ia simpan di tenda, menemaninya yang dirundung duka. Achilles, sang Aristos Achaion, yang terbaik di antara orang-orang Yunani. Pahlawan besar, pahlawan agung yang namanya selalu terkenang. Ia bertanya-tanya apa yang terjadi bila dirinya menjadi seorang pahlawan. Apakah ia juga akan dipuja?
Seolah mengetahui apa yang tengah dipikirkan anaknya sang ibupun berkata,
"Kau tidak perlu menjadikan dirimu pahlawan. Tidak ada pahlawan yang bahagia."
Ia tertegun. Ibunya benar, tidak ada pahlawan yang bahagia.
•••
Halo, guys!
Jangan lupa jaga kesehatan ya😉
Sampai jumpa di chapter selanjutnya🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top