6.1
Helaan napas meluncur dari mulut kala kaki yang berbalut sepatu bercumbu dengan putihnya pasir. Pada karees itu ia mengedarkan pandangan, air di depannya tampak begitu jernih hingga bebatuan yang terletak di dasar terlihat sangat jelas. Semakin ke tengah maka warna air akan semakin biru, walaupun begitu bagian sungai yang dijejakinya ini tak begitu dalam, tak sampai sebadan. Ia menatap tebing-tebing kokoh yang berdiri menjulang dengan beberapa aksen hijau dari pohon yang seakan tumbuh merayapinya dari kejauhan. Sungguh mempesona, tapi ia kemari bukan untuk menikmati keindahannya.
Tubuhnya perlahan-lahan masuk ke dalam air, menyusuri setiap jengkal bebatuan yang tertangkap oleh mata, bunyi kecipakan bersahut-sahutan kala ia semakin melangkah jauh dari tempatnya semula berdiri. Ia mengusap dahinya yang basah karena cipratan air, gurat lelah tampak menghiasi paras ayunya.
Diseretnya kedua kaki yang terendam air menuju tepian, ia duduk di atas sebongkah batu yang puncaknya menyembul ke permukaan, batu itu ia pilih karena dirinya enggan untuk duduk di atas pasir, tak mau pakaiannya belepotan dengan butiran-butiran putih. Matanya tak berhenti mencari-cari, barangkali ada sesuatu yang terlewati.
Ia mendongak pada birunya langit yang kini menampilkan guratan jingga, kuning, dan merah yang membentuk sandikala. Sudah seharian ini ia mencari di sepanjang sungai Acheron mengalir. Ia terbang melintasi Epirus, berputar-putar dari hulu ke hilir sungai, namun pencariannya tak kunjung usai.
Apa gerbang menuju dunia bawah yang dicarinya tidak ada di sini? Atau ada di sisi lain Yunani? Haruskah ia pergi ke Taenarum, seperti yang dilakukan Psyche dan juga Orpheus? Atau ke kawah Avernus yang ada di Italia? Jangan bilang kalau ia harus menyebrangi samudra sebagaimana Odisseus saat diberitahu oleh Circe. Tidak, terlalu lama dan sudah kepalang tanggung ia di sini. Ah, kepalanya terasa pening memikirkan hal itu. Terkutuklah pada otaknya yang tidak merekam bagaimana ia pernah masuk ke dunia itu, atau memang tak pernah ia lihat sedikitpun kiat-kiatnya? Ah, ya! Ia samar-samar mengingat peristiwa itu, dan ia memang tak pernah menyaksikannya secara langsung, tau-tau saja dirinya sudah terbangun di dunia lain. Semua tempat yang ia ketahui saat ini hanya berdasar pada cerita-cerita yang beredar, sangatlah pantas dipertanyakan perihal kredibilitasnya.
Ia sedang bersandar pada sebuah batang pohon kala telinganya mendengar langkah kaki di malam yang gelap. Ia bertanya-tanya siapa gerangan yang menghampirinya di sudut terpencil sungai yang tak terjamah manusia lain tempatnya beristirahat.
"Putri dari Hecate, sedang apa kau di sini?"
Ia bangkit dalam kegelapan, memasang sikap waspada, hampir-hampir ia keluarkan busur kesayangannya kalau saja ia tak mengenali sosok di hadapannya. Caranya berbusana cukup nyentrik-kalau tidak mau disebut norak, penuh aksen sayap putih kecil. Tubuhnya yang atletis dibalut dengan jubah merah dan chiton sewarna gading, puncak kepalanya tertutup oleh petasus-topi dengan hiasan sayap putih kecil di kanan-kiri, kakinya beralas talaria-sandal bersayap, tangannya menggenggam kadukeus-sebuah tongkat dengan dua ular kembar melilit berlawanan arah dan lagi-lagi sepasang sayap pada pangkalnya.
Maniak sayap, pikirnya.
"Aku, aku ingin pergi ke dunia bawah tapi tak tau harus bagaimana."
Sang dewa pengelana itu menatap dirinya lewat sorot mata tajam di bawah sinar bulan, sayap-sayap kecilnya berayun pelan. Mendadak ia gugup, harap-harap cemas jika sang dewa bisa membaca apa yang barusan ia pikirkan.
"Aku bisa mengantarmu kalau kau mau, tapi tentu saja hanya sampai ke tempat Charon. Kebetulan aku ada urusan dengan Hades, bagaimana? Mau?" tawarnya dengan tangan terbuka.
Tentu saja ia mau! Setelah seharian kebingungan mencari akhirnya datang juga bantuan. Ia mengangguk mengiyakan.
"Baiklah, ikuti aku!" ucapnya sembari melangkahkan kaki memasuki air hingga ke tengah-tengah. Ia mengikutinya tanpa curiga, kembali mencelupkan diri pada dinginnya air.
"Nah, sekarang," tangannya terulur ke bagian belakang tubuhnya yang setengah basah. "Tenggelamlah!"
Kurang ajar! Punggungnya didorong keras-keras hingga ia terperosok ke dalam air. Matanya tak bisa melihat cahaya, gelap, gelap dan gelap, hanya itu yang dapat ia tangkap. Ia merasakan pergelangan tangannya dicengkeram erat-erat, ditarik semakin dalam. Sesak! Tak bisa bernapas! Waktu terasa sangat lambat saat ia menyelam, padahal ketinggian airnya tak seberapa, dangkal-dangkal saja.
Ia terbatuk-batuk saat merasakan air masuk dari lubang hidungnya, dihirupnya udara rakus-rakus, ia merindukan benda tak berwujud itu setelah terendam air yang tak ia ketahui seberapa lama. Kesedihan tiba-tiba menyeruak dari dalam jiwanya, otaknya memutar-mutar ingatan tak mengenakkan. Tak salah lagi, sungai ini adalah sungai Acheron yang ia cari, sungai kesedihan. Ia melangkah ke tepi berpasir, Hermes sudah berdiri di sana, tubuhnya sama sekali tak basah.
"Mulai dari sini kau lanjutkan sendiri."
Ia mendongak, Hermes jauh lebih tinggi darinya. Pakaiannya telah selesai ia keringkan-dengan sihir tentunya, ia menunduk, membungkukkan badan sebagai rasa hormat.
"Terima kasih."
Ditatapnya kepergian sang Psikhopompos dalam keremangan, sosok yang melayang itu terlihat semakin kecil sebelum akhirnya hilang dari penglihatan.
•••
Ditelusurinya bebatuan dan pasir yang berserakan di tepi sungai dengan hati-hati, ia mengedarkan pandangan pada gua yang melingkupi langit-langit tempatnya berpijak. Stalaktit-stalaktit menggantung tak beraturan, besar, kecil, tajam, tumpul, apapun bentuknya tetap saja menyakitkan jika menjatuhi kepala secara tiba-tiba. Sebersit rasa ngilu terkumpul saat ia membayangkan.
Jemarinya menyetuh stalakmit pada kanan-kiri tubuhnya, meraba permukannya yang tak rata, ia mulai mempercepat langkahnya di gua yang teramat sangat besar itu, dirinya perlu bergegas. Dari kejauhan ia bisa melihat sebuah perahu terdampar di sisi sungai, warnanya gelap, senada dengan busana sosok yang berdiri di atasnya. Ia melewati kumpulan manusia, tidak, mereka sudah mati, yang ada di sini tak lain dan tak bukan adalah roh mereka. Roh-roh itu bermuram durja di pinggiran sungai, tangan-tangan mereka menggapai-gapai, berusaha mencekal dirinya, barangkali mereka sadar jika ia masih hidup.
Ia sampai di depan perahu, sang pengemudi menoleh padanya, jubah gelapnya melambai kala kakinya melangkah turun dengan pelan. Sosok itu membuka tudungnya, helaian putih mencuat dari balik kain hitam yang terangkat. Wajahnya penuh kerutan, dihiasi rambut-rambut dengan warna serupa di sekitar rahang bawah dan dagu, jenggotnya tak panjang tapi kumisnya lebat, sorot matanya tajam di bawah kelopak mata yang kusam.
"Nona muda kau masih hidup, nyawa masih melekat pada tubuhmu. Kau tidak diperbolehkan melangkah lebih jauh." Ucapnya sembari menghujamkan ujung galah yang sedari tadi ia genggam ke tanah berpasir.
Nona muda, ia mendengus kemudian tersenyum geli.
"Charon, kau tau aku tak lagi muda 'kan?"
Bibirnya melengkungkan senyuman, kerutan-kerutan pada wajahnya ikut tertarik.
"Aku tidak tahu apa yang akan putri dari Hecate lakukan di tempat ini, tapi kau tetap tidak bisa melanjutkan perjalananmu."
"Bagaimana kalau ini?" ia menyodorkan sekantong penuh obolos dengan tangan kanannya. "Aku harus membayar 'kan?"
Charon menggelengkan kepalanya, "Peraturan tetaplah peraturan"
"Kalau ditambah ini?"
Digoncangkannya kantong yang lebih besar dan berat pada tangan kirinya, menimbulkan bunyi gemerincing di antara derasnya air mengalir dan juga semilir angin. Ia membuka simpul yang mengikat ujungnya, kilauan cahaya emas terpancar dari dalam, ia menyodorkannya di hadapan Charon yang menatap penasaran.
"Bagaimana? Setuju?" tawarnya
Charon terlihat menimang-nimang jawaban, sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk mengelus dagu yang tertutup rambut.
Ia semakin gencar menggoyangkan kedua kantongnya sekaligus, gemerincing dari koin di dalamnya semakin mengeras, sengaja ia lakukan untuk menggoyahkan keteguhan sosok di depannya.
"Baiklah, setuju. Kau akan naik seorang diri."
Ia tersenyum puas menyerahkan kedua kantong itu lalu naik ke atas perahu kayu.
•••
"Tunggu."
Baru sebentar mereka berlayar dan ia sudah dikejutkan dengan helaian merah jambu serta tubuh dengan hiasan tanda hitam sedang mengawasinya dalam kesunyian. Charon menoleh padanya sebentar, namun permintaannya tak digubris, galahnya terus saja bergerak mendorong air. Mereka melewati sosoknya yang bergeming, tatapannya bertemu pandang, namun sosok yang menjadi sebab keterkejutannya tetap membisu hingga mereka menjauh dari ceruk gua menuju tempat terbuka.
"Roh yang rambutnya merah jambu tadi-"
"Dia tidak bisa membayar, jadi dia harus menunggu. Tapi aku dengar kabar kalau dia itu 'tamu istimewa', jemputannya akan datang tak lama lagi." Selanya.
Tamu istimewa. Itu artinya kaki tangan Hades sedang dalam perjalanan untuk menyeretnya ke pengadilan, atau mungkin langsung diceburkan ke dalam Tartarus? Apapun itu, Sukuna akan segera berhadapan dengan Erinyes. Beruntungnya, Sukuna tak perlu menunggu seratus tahun untuk diantar oleh Charon.
Erinyes. Ia ingat saat pertama kali datang ke sini ia ketakutan setngah mati dengan dewi-dewi itu. Penampilan mereka menakutkan, sorot mata mereka menakutkan, pekerjaan mereka juga sangat menakutkan. Mereka selalu terlibat dalam penyiksaan roh yang dijatuhi hukuman oleh sang hakim.
Air di bawahnya mulai mengeruh, dari hijau pirus menjadi hitam legam seakan tercemar oleh polutan. Perahunya mulai mengarungi perairan sungai Styx, sungai yang sering diatasnamakan ketika para dewa bersumpah, dan juga tempat dimana Thetis mencelupkan putranya, Achilles, untuk mendapatkan kekebalan. Namun nahas, sang ibu memegang tumitnya erat-erat sehingga bagian tubuh itu tidak tercelup dan menjadi kelemahan Achilles.
Perahu yang ditumpanginya berderak, membentur bebatuan kala Chiron mengayunkan galahnya ke tepian. Ia turun setelah mengucapkan terimakasih pada sang pemandu arwah yang kemudian meninggalkannya sendirian. Ia berdiri di depan gerbang mahabesar yang terbuat dari kuningan, berkilat-kilat di antara kelamnya Erebos-wilayah yang ia pijak. Tak jauh dari gerbang peliharaan milik Hades tengah berjalan menghampirinya. Ketiga kepala dengan mulut terbuka yang menampilkan gigi-gigi runcing itu kompak menatap tajam dirinya, hidung mereka mengendus-endus, mencium bau dari makhluk yang tak seharusnya mampir ke daerah kekuasaan sang majikan.
Ia dengan cepat menyelinap masuk ke dalam gerbang, meniti setiap jengkal tanah hitam dengan hati-hati, demi mencegah timbulnya suara berlebih yang nantinya akan mengalihkan perhatian sang penjaga gerbang. Cerberus di belakangnya sedang sibuk dengan makanan yang barusan ia suguhkan, ekornya berayun-ayun naik turun. Setelah dirasa cukup jauh jarak yang tercipta ia menghentikan aksi lari-larinya, berganti dengan langkah santai namun tidak terlalu lambat.
Sebagian dari kekuatannya tak bisa ia gunakan, ia menduga jika Hades mengetahui perihal kunjungannya ini dan sengaja membuat dirinya bersusah payah mencapai kediamannya. Entah sang dewa menggunakan penglihatannya akan masa depan atau dapat kabar dari si maniak sayap, ia tidak tahu dan tak mau tahu. Ia mengira-ngira jika alasan sang dewa melakukannya adalah karena saat ini ia bukanlah penghuni tidak tetap dunia bawah lagi. Masa berlaku free passnya sudah habis, kedaluwarsa sejak jaman bahela, akan diperbaharui jikalau dirinya sudah tiada.
Kakinya melewati gerombolan pohon poplar hitam yang tumbuh subur, kumpulan pohon hitam itu tumbuh tersebar di mana-mana bagaikan oasis, namun tanpa air jernih di tengah-tengahnya, melainkan sebongkah tanah sehitam jelaga. Ditariknya ke bawah tudung yang bertengger di atas kepala, siluman-siluman yang berlalu-lalang di sana mengenalinya, puluhan pasang mata itu selalu menatap padanya walau sekilas. Langkahnya semakin cepat, enggan menjadi pusat perhatian. Ia yakin kedatangannya akan segera menjadi buah bibir di antara para penghuni dunia bawah.
Ia sampai di ujung padang Asphodel, di depannya sekarang adalah jalan setapak menuju balairung penghakiman. Tempat di mana tiga hakim agung, yakni; Minos, Radhamantis, dan Aiakhos, mengetuk palu-palu mereka, menentukan keputusan bagi para roh-roh apakah mereka layak menuju Elisian-tempat para roh pahlawan bersemayam, atau terdampar di padang Asphodel, atau bahkan lebih pantas dijatuhkan ke Tartarus. Matanya melirik pada jurang yang menganga lebar nun jauh di seberang, gelap dan sunyi. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana, tempat yang sangat, sangat dalam. Saking dalamnya perlu waktu sembilan hari untuk sekeping perunggu menyentuh pemukaan Tartarus.
Ibundanya pernah bercerita jika di bawah sana ada bukit yang menjulang tinggi tempat di mana Sisyphus menjalani hukumannya, memikul sebongkah batu raksasa menyusuri jalan perbukitan yang sulit nan terjal, yang kemudian batu tersebut akan menggelinding setelah ia sampai di puncak, begitu seterusnya, berulang-ulang tanpa henti-mungkin sampai sang dewa berbaik hati, tapi ia tahu hal itu tidak akan pernah terjadi. Ada juga Tantalus, si ayah biadab, demi memuaskan egonya ia bahkan sampai hati mencabut nyawa putranya, kemudian menyajikan potongan-potongan dagingnya yang telah diolah kepada para dewa-dewi, manusia keji itu-bahkan iblispun kalah kejamnya. Sepertinya Prometheus lupa menyelipkan akal budi saat proses penciptaannya.
Ditatapnya bunga asphodel yang berayun pelan, seolah mengundangnya bergabung bersama gerombolan roh di kejauhan. Asphodel adalah makanan kesukaan para roh, dan ia bukan orang mati, lebih tepatnya belum, ia tidak boleh mati untuk saat ini. Lamunannya terhenti, ditendangnya kerikil kecil yang tergeletak hinga mengenai bungga asphodel yang tadinya melambai-lambai, menggugurkan kelopak-kelopak putih yang semula tersusun apik. Ia berbalik, menjejaki jalan setapak.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top