4
"Keluar dari perpustakaan itu sekarang juga!"
"Tidak, ada dokumen penting yang ingin kuselamatkan. Kau pergilah duluan nanti kususul, aku berjanji." Suaranya semakin mengecil saat ia semakin terseret oleh lautan manusia. Kobaran api pada bangunan itu semakin menggila seiring dengan angin yang berembus kencang.
Ia menatap puing-puing bekas bangunan agung yang kini telah hancur, tak ubahnya perasaannya sekarang. Rekannya berdusta, janjinya tak terpenuhi, gulungan-gulungan papirus itu dianggapnya lebih penting dari nyawa sendiri. Tangannya terhenti di udara saat jemarinya tak kunjung merasakan sesuatu yang ia cari. Matanya terpaku pada tanah tempatnya berpijak, menatap pada guguran kelopak yang terkumpul di dekat kaki. Tangkai bunga yang ia pegang terjatuh, ia melangkah pergi menjauhi tempat itu.
"Kawanku, kau dimana? Kenapa semua gelap? Aku tak bisa melihatmu."
"Aku di sini." Ucapnya sambil menggenggam tangan yang kulitnya menghitam di beberapa tempat.
"Aku akan menyembuhkanmu, bertahanlah." Ia menarik napas mencium wewangian rempah, mint, mawar dan bahan penangkal bau lain yang terkumpul di ujung 'paruh burung' pada topeng yang ia kenakan. Melepas sarung tangan hitamnya tergesa, mulai mengeluarkan sihir penyembuhnya. Kostum yang ia pakai hanyalah kedok untuk menyembunyikan identitasnya sebagai setengah dewa yang kebal penyakit–karena ia bisa menyembuhkannya sendiri begitu terinfeksi. Berpura-pura menjadi manusia biasa.
Ia terlambat, Thanatos telah menunggunya di ujung tempat tidur.
Tubuhnya terduduk di samping pusara yang berhias bunga. Ingatan-ingatan akan waktu yang dihabiskan bersama berkelabatan dalam pikirannya. Tangannya terangkat meyentuh batu nisan, mengelusnya dengan sayang. Ia berdiri, mengepakkan sayapnya dalam wujud burung gagak ke angkasa.
Isak tangis bayi berkumandang pada ruangan bersalin di balik pintu tempatnya menunggu. Seorang wanita tua keluar, membawa bungkusan yang terlihat sedikit menggeliat. Ia menatap matanya dengan pandangan iba.
"Ibu, siapa ayahku?"
Ia terdiam mendengar bocah laki-laki kecil itu bertanya padanya. Ia membungkukkan diri, menyejajarkan pandangan pada mata si bocah lelaki yang memanggilnya 'ibu'.
"Ayahmu adalah orang baik, tapi Tuhan sangat menyayanginya lalu mengajaknya pergi ke belahan dunia lain."
Bohong.
Ia mengirimnya ke Tartarus. Saat itu amarah meliputi jiwanya kala mendengar rekan sejawatnya di setubuhi paksa oleh seseorang. Ia memburunya ke seluruh penjuru kota, mengotori tangannya dengan darah manusia biadab itu. Mencerai-beraikan tubuhnya laksana burung yang mencabik Prometheus sebelum Herakles, sang pahlawan, membebaskannya dari belenggu.
"Apakah jika aku jadi orang baik Tuhan akan mengajakku juga dan mempertemukanku dengan ayah?" matanya berbinar penuh pengharapan.
"Emm, iya, mungkin?" ia tersenyum kaku. Jangan sampai itu terjadi.
Netranya mengikuti gerakan bocah yang melompat kegirangan. Pandangannya terarah pada bangunan-bangunan yang berdiri di sekitar padang rumput tempatnya mengistirahatkan diri. Masyarakat di sini tak lagi percaya pada dewa-dewi Olympus.
"Jangan ikut berperang."
"Tidak, aku harus ikut, ibu. Aku akan membebaskan masyarakat kita dari penguasa tirani itu."
Anak yang selama ini ia rawat itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda tangguh, rambut pirang kotornya yang sedikit ikal membingkai apik parasnya yang rupawan. Pemuda itu menggenggam jari-jemari sang ibu, mengusapnya perlahan.
"Aku akan pulang dengan selamat, aku janji." Tatapnya memohon restu.
Helaan napas keluar dari mulutnya. Ia kalah, kalah akan kekeras kepalaan anak yang ia asuh, "Semoga kemenangan membersamaimu."
Pemuda itu menunduk kala sang ibu hendak mencium keningnya. Ia memberi anggukan mantap pada sang ibunda.
Mereka menang, gema revolusi berkumandang, namun pemuda yang ditunggunya tak kunjung datang. Seorang prajurit menghampirinya, memberinya kabar duka yang menusuk jiwa raganya. Air matanya meleleh, tangannya menggenggam erat selimut yang pernah membungkus putranya sesaat setelah ia dilahirkan. Tangisnya pecah, ia jatuh terduduk, meraung di bawah langit mendung.
•••
"Aku benar-benar merasa jika kita pernah bertemu sebelumnya."
Pria pemilik rambut putih yang kedua netranya sedang fokus memperhatikan jalanan itu bersiap memutar kemudinya saat melihat persimpangan.
"Maksudnya, sebelum pertemuan pertama kita terjadi." Sambungnya guna menghindari miskonsepsi.
Wanita yang duduk di sampingnya terdiam sejenak sebelum ia membuka mulut, menuturkan negasi.
"Kita tidak pernah bertemu sebelumnya, Gojo." Ia mafhum akan apa yang dimaksudkan sang pria.
Keempat roda mobil itu berputar semakin cepat kala melewati jalan satu arah yang panjang. Membawa keduanya dalam perjalanan yang lumayan lama untuk menjemput anak didik mereka yang tengah menjalankan misi. Sang raja langit kala itu kian turun ke peraduannya, menorehkan semburat jingga pada langit sore hari yang berhiaskan gumpalan-gumpalan awan kelabu, siap menumpahkan ribuan kuintal air yang ia tampung. Mengguyur permukaan bumi laksana air bah.
"Jangan berkilah, aku sangat-sangat yakin kalau kita pernah bertemu dulu. Aku sudah tanyakan pada murid kelas dua dan mereka menjawab sama." Tegasnya.
Helaan napas keluar dari mulutnya, "Aku tak pernah dengar mereka berkata begitu, dimana dan kapan kau pernah menemuiku?"
Kerutan muncul pada kening pria itu saat ia mencoba mengingat lebih jelas, "Di tepi jalan, musim gugur tahun lalu kurasa. Aku melihatmu berjalan ke arah taman."
"Sayangnya itu tak pernah terjadi, aku jarang keluar rumah saat musim gugur. Jikalau aku keluar rumah, itupun hanya untuk ke minimarket. Mungkin yang kau lihat itu adalah diriku yang sedang menemani murid-murid kelas dua berjalan di taman selepas menjalankan misi." Pria itu diam, menggumamkan sesuatu yang tak bisa ia dengar jelas.
"Kau juga ikut dengan kami waktu itu. Mungkin kau mengiranya di musim gugur karena saat itu aku berdiri dekat dengan tumpukan daun kering." Imbuhnya. Pria itu mengangguk mengiyakan.
"Tunggu, kau punya rumah?" tanyanya dengan terkejut.
Ia sedikit tersinggung mendengar pertanyaan konyol yang barusan dilontarkannya, "Tentu saja, bodoh. Kau kira di mana selama ini aku tinggal sebelum bertemu denganmu, hutan belantara, huh?"
"Yah, melihat dari pakaianmu saat itu ku kira kau adalah seorang time traveler yang terdampar di jaman moderen." Ada keraguan yang terselip saat pria itu mengucapkannya.
Ia mendengus geli. Apa yang barusan ia katakan tadi? Time traveler? Jangan konyol. Jika memang ia punya mesin untuk memutar waktu, ia akan menentukan destinasinya pada masa sebelum ia dilahirkan, melarang kedua orang tuanya untuk bertemu hingga tubuh yang sedang berpikir ini tidak pernah ada dalam sejarah manusia. Tapi begitu ia melakukannya, paradoks temporal akan duduk manis menunggunya, mematahkan asa yang ia pegang, lalu menguburnya dengan tumpukan kekecewaan.
Apapun bentuk paradoks temporal yang ada, hasilnya juga akan sama. Tidak pasti atau bahkan malah membawa petaka. Mungkin akan berbeda hasilnya apabila Kronos, sang waktu berkenan mengijinkan, tapi ingat, Zeus sudah menjatuhkannya ke dalam Tartarus. Dan perlu diketahui, jika takdir sudah digariskan maka tak ada satu upayapun yang bisa mengubahnya.
"Mungkin kau sedang terkena efek Mandela." Ujarnya sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas paha.
"Efek Mandela? Apa itu?" mata yang tertutup itu berkilat penasaran.
Ia berdehem saat merasakan tenggorokannya tiba-tiba gatal minta digaruk, "Pertama kita bahas asal istilah ini dulu. Efek Mandela dipopulerkan tahun 2009 oleh seseorang yang mengambil nama Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela untuk penyebutannya. Orang itu percaya jika Nelson Mandela meninggal saat di penjara pada era 1980-an. Padahal, kenyatannya Nelson Mandela masih hidup, dan baru meninggal pada 2013 yang lalu."
Diraihnya sebotol air yang ia beli sebelum berangkat tadi, kemudian menenggak isinya, mengaliri kerongkongan yang masih terasa gatal. Sang pria dengan sabar menunggu kelanjutan dari penjelasannya yang tertunda.
"Jadi efek Mandela ini semacam gangguan ingatan yang erat kaitannya dengan konfabulasi. Konfabulasi sendiri adalah keadaan dimana ingatan yang kosong diisi dengan cerita yang setengah benar setengah salah. Ada juga yang menyebutnya sebagai 'kebohongan yang jujur', seseorang mengingat sesuatu yang pernah terjadi tapi ditempatkan pada waktu yang salah."
"Contoh yang terkenal adalah, emm, kau pernah nonton Pikachu?"
"Yang hobinya menyetrum itu'kan? Ya, aku pernah nonton." Ujarnya tanpa menoleh.
"Seingatmu Pikachu punya garis hitam di ekornya tidak?" tanyanya lagi sembari menatap pria di sampingnya.
Pria pemilik rambut putih itu memegang dagunya sebentar sebelum kembali menempelkan tangannya pada kemudi, "Punya 'kan?"
"Tidak, Gojo. Pikachu tidak punya garis hitam di ekornya." Ia memasang senyuman puas.
"He?"
Ia mengubah posisi duduknya, "Bagaimana kalau Curious George, pernah nonton?"
"Si monyet itu'kan? Iya, kenapa?"
"Coba ingat-ingat lagi, George punya ekor atau tidak?" matanya berbinar antusias.
"Sebentar, sepertinya tidak. Seingatku pantatnya coklat mulus."
"Oh, kali ini kau benar." Tawa kecil lolos dari bibirnya, ia kemudian mengalihkan pandangannya ke depan, pada jalan tempat kendaraan berlalu lalang.
Keadaan hening sejenak, tak lama kemudian pria itu terkekeh.
"Apa?"
Sang pria tersenyum, "Tidak ada, aku hanya senang bicara panjang lebar denganmu."
"Hmmm."
Diam-diam ia mengulas senyum kecil.
•••
Isak tangis santer memekakan indra pendengaran keduanya yang baru saja turun dari kendaraan beroda empat. Keduanya dikejutkan oleh sesosok makhluk mungil yang berada pada gendongan pemuda pemilik rambut merah jambu, meronta, menggeliat tak nyaman. Pemuda itu semakin panik kala semua usaha yang dilakukan untuk menenangkan makhluk mungil itu tak membuahkan hasil, ia mengerang pasrah.
"Yuji, anak siapa yang kau bawa?" ia mendengar pria di sampingnya bertanya.
"Tidak tahu, Sensei. Kami menemukannya di antara tumpukan mayat, warga sekitar tak mau menerimanya saat kami serahkan, jadi kami memutuskan untuk membawanya." Kali ini giliran Nobara yang mencoba menenangkan makhluk mungil itu, mengubah wajahnya sekonyol mungkin, berharap agar tangisannya segera berhenti–yang berakhir dengan kesia-siaan.
Langit di atas tempatnya bernaung menghitam, membawa kegelapan ke seluruh penjuru bumi. Matahari menghilang usai merampungkan tugasnya, menanti sang rembulan untuk naik ke permukaan. Gelapnya malam datang dengan angin yang berembus kencang, suhu di sekitarnya turun beberapa derajat. Ia mengangkat tangan, menghadirkan secarik kain tebal dalam genggaman.
"Yuji, biarkan aku menggendongnya."
Pemuda itu menyerahkan sang bayi ke dalam gendongannya kemudian membantunya merapikan kain yang sedang ia coba selimutkan, membungkus rapat tubuh mungilnya yang kedinginan. Ia membawanya ke dalam dekapan hangat, menimang-nimang seraya memberi tepukan lembut pada tubuh ringkihnya. Perlahan-lahan tangisnya mereda, berganti dengan dengkuran halus tanda terlelap.
"Jadi, kau mau merawatnya?"
"Ya."
Mobil yang ditumpanginya berhenti di persimpangan kala lampu lalu lintas menyala merah. Kelima–tidak, keenamnya kini berada dalam perjalanan pulang. Tiga sekawan yang tadinya asik berceloteh ria di kursi belakang kini terdiam, ketiganya jatuh ke pelukan Morpheus, terbuai oleh mimpi indah. Ia tersenyum saat mengingat posisi tidur Yuji dengan mulut terbuka, ia berharap agar lelehan air yang ditampungnya tidak menetes ke bahu si pemuda berambut landak yang menjadi tampatnya bersandar.
"Kau tahu, bayi yang sekarang kau peluk itu bukanlah mainan."
"Aku tahu itu, Gojo."
"Kenapa kau mau mau merawatnya?" tanyanya.
Ia terdiam mendengar pertanyaan itu, netra coklatnya masih sibuk mengamati bayi mungil dalam dekapannya, tangannya terangkat mengelus helaian hitam lebatnya. Belaian tangannya berhenti ketika ia merasakan pergerakan kecil, terperangah tatkala jari telunjuknya digenggam dengan erat oleh jari-jemari kecil itu.
Sangat kecil–
–dan tak berdaya.
Seperti seorang anak laki-laki yang ia kenal, senyum cerahnya masih tertanam kuat dalam ingatannya.
"Ia mengingatkanku pada diriku sendiri." Jawabnya sembari memberi usapan lembut pada jari-jemari kecilnya dengan ibu jari.
Bayi mungil itu mengingatkannya pada dirinya sendiri. Sendirian di dalam keheningan, di tengah tubuh-tubuh tanpa nyawa yang bergelimpangan. Bagi dirinya yang berumur panjang, tak seharusnya ia ikut campur dalam urusan mereka, karena itu sama saja dengan menyakiti dirinya. Ia tahu, sangat tahu betul tentang hal itu. Tapi tetap saja ia melakukannya, berulang-ulang, hingga pada akhirnya ia kembali pada keadaan semula. Sendirian.
Kenapa?–ia mengurungkan niatnya. "Baiklah, kalau begitu kau harus segera memberinya nama, butuh saran?" imbuhnya, tak ingin bertanya lebih dalam mengenai kehidupannya, ia tahu jika wanita itu tak akan menjawab pertanyan yang akan ia ajukan. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa wanita itu begitu tertutup.
"Aku sudah menyiapkannya, dia akan kuberi nama Hikari."
"Nama yang bagus."
"Orang bilang nama adalah doa, maka aku berdoa agar anak ini kelak bisa membawa cahaya bagi dirinya sendiri dan orang di sekitarnya, menuntun mereka keluar dari kegelapan pada jalan yang terang benderang." Dikecupnya kening sang bayi penuh kasih.
•••
Pada tanah yang lapang itu ratusan kupu-kupu terbang mengelilingi mereka, kerlipan birunya meramaikan suasana. Tawa bayi riuh terdengar ke segala arah, ia membawanya menari di antara kepakan sayap nan indah. Tangan mungilnya tak bisa diam, menggapai-gapai makhluk yang melayang rendah–yang kemudian pecah menjadi kepingan cahaya dengan warna serupa kala jemarinya berhasil menyentuh. Setiap tapak kakinya memijak, gugusan penuh warna akan merekah, tumbuh mengikutinya. Hatinya tengah berbunga.
Ia mendudukkan diri pada tikar yang tergelar, bernaung pada rimbunnya pepohonan. Bayi dalam pelukannnya menggeliat, ia mengaduh saat rambut yang tergelung rapi ditarik kencang oleh jari-jari. Tangan mungilnya mengenggam sehelai daun, lekas memasukkannya ke dalam mulut.
"Eiits, Hikari tidak boleh makan ini." Ia meraih daun yang hampir memasuki mulut kecil itu, melemparnya ke sembarang arah.
Celotehan tak jelas dikeluarkan, bayi itu seakan protes dengan apa yang barusan ia perbuat.
"Hikariii aku punya hadiah untukmu~" pria pemilik rambut putih melambaikan tangannya dari kejauhan, setengah berlari mendekati mereka.
Diciumnya pipi gempal yang menguarkan aroma khas itu. "Lihat, si uban sudah datang." Ucapnya.
Ia melirik ke dalam salah satu bingkisan di pangkuannya, menangkap mainan dengan berbagai macam corak dan warna. Matanya kemudian teralih pada dua sosok yang kini tertawa-tawa, menatap Hikari yang telah berpindah tangan dari pelukannya. Pria itu mengangkat sang bayi tinggi-tinggi, mengayunkannya di udara.
•••
"Dada, mbeeeek~"
Tangan mungil itu membalik lembaran kertas yang berhiaskan warna.
"Dada, ciit ciit ciit~"
Ia membaliknya sekali lagi.
"Dada, meow meow~"
Telapak tangannya menyentuh gambar hewan berkulit merah muda.
"Haruskah, aku menirukan suara hewan ini?" pria yang tengah berbaring dengan kepala bertumpu pada satu tangan itu menatap dirinya, sementara sebelah tangannya sibuk menampik pelan kedua tangan mungil yang mulai menampar-nampar wajahnya–yang bebas dari kacamata ataupun penutup mata, seakan meminta kembali perhatian yang hilang.
"Tentu saja, kau tidak bisa berhenti setengah jalan." Ucapnya tanpa menoleh, sibuk mengaduk makanan. Ia mengeluarkan ponselnya hati-hati, berharap agar tidak terpergoki, lalu menyiapkan kamera.
"Oke, iya, iya, sebentar... Aduh!" ia mengaduh saat helaian putihnya ditarik kasar.
"Dada..." ia termenung sejenak, kemudian membuka mulutnya menirukan suara hewan berdarah panas dengan empat kaki itu.
"Hei, kau merekamku, ya?!"
Buru-buru ia sembunyikan kepingan hitam itu di balik vas bunga di sebelah tubuhnya, bahunya bergetar menahan tawa.
"Tidak kok, kau salah lihat." Telunjuknya menekan tombol 'kirim' pada aplikasi bertukar pesan, membagikannya pada gadis pemilik rambut coklat sebahu dengan judul 'Gojopig'.
Manik sebiru lautan masih memandanginya curiga, kemudian berpaling saat merasakan tarikan kecil pada kaos hitam polosnya.
"Dada, kwek kwek kwek~" suaranya semakin teredam kala pria itu menenggelamkan bibirnya pada tumpukan lemak yang menggantung di pipi sang bayi. Hikari tertawa geli.
Kakinya melangkah kemudian duduk bersila di hadapan keduanya, tangannya menopang semangkuk makanan yang telah dihaluskannya hingga lembut. Menghela napas ketika punggung kakinya menyentuh bulu-bulu karpet yang halus.
"Berikan dia padaku, Gojo. Kau bisa makan sekarang."
"Sebentar, sedikit lagi selesai." Ucap pria itu seraya meniup beberapa helai rambut yang menutupi penglihatan, enggan beranjak dari posisi tidurnya.
"Baiklah, cepat selesaikan."
Ia membalik lembaran itu lagi, "Dada, moo moo~"
Bayi perempuan itu tiba-tiba terdiam, menolehkan kepala pada sosok di sampingnya. Pria itu menaikkan sebelah alis keheranan membalas tatapan dari mata bulatnya.
"Mama."
Sang pria tergelak.
"Oh, sayang, kemari. Mendekatlah!" ia terkekeh saat bayi itu merangkak mendekatinya dengan tergesa, lengannya terangkat menjauhkan mangkuk yang ia pegang dari jangkauan tangan mungil itu. ia menyamankan posisi duduknya, bersiap menyuapi bayi di pangkuannya.
"Mama."
Adalah kata pertama yang terucap dari bibirnya.
•••
Pandangannya tak lepas dari dua insan yang tengah berbincang di tepi jalan. Sang pria mengakrabkan diri dengan guyonan yang terlontar, mengundang kesal pada wajah dengan bekas luka melintang. Wanita itu kemudian menutup pintu kendaraan beroda empat dengan kencang, mengucapkan kata-kata terakhir sebelum kaca jendela terangkat. Ia segera memalingkan wajahnya saat pria itu hendak berbalik, menatap pada kumpulan manusia dan juga panda yang beranjak mendekat. Bermain-main dengan seorang anak.
Ia meragu.
Meragu pada keputusan yang telah ia buat. Apakah keputusannya akan membawa bahagia atau justru lara? Hal itu masih abu-abu.
Beban tertumpu pada bahu, ia melirik pada tangan yang terangkul di pundaknya. Pria tinggi menjulang itu dengan sekejap berada di sampingnya.
"Besok ayo kita jalan-jalan. Kau, aku dan Hikari." Senyuman terpampang pada wajah dengan penutup mata.
Ia mengangguk mengiyakan.
•••
"When I was just a little girl
I ask my mother, what will I be
Will I be pretty? Will I be rich?
Here's what she said to me
Que sera, sera
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que sera, sera
What will be, will be~"
Senandung itu berkumandang pada sepetak kamar yang bukan miliknya, melainkan kamar milik pria pemilik rambut putih yang tengah terlelap pada empuknya ranjang. Helaian putihnya menyebar tak beraturan, hitamnya seprai dan selimut begitu kontras bersanding pemilik rambutnya. Pria itu sedikit mendengkur.
Telapak tangannya menepuk-nepuk pelan tubuh dalam dekapan. Menina bobokkan bayi yang saat ini ia asuh. Ah, perasaan nostalgia menyeruak dari relung hatinya, mencoba mengingat-ingat kembali sensasi lembut dari helai pirang kotor yang ia kenal saat mengelus rambut hitam legam dalam genggaman. Air mata terkumpul pada kelopak mata, manik coklatnya berkaca-kaca. Ia merindukan putranya. Merindukan senyumnya, tawanya, tangisan memanggil-manggil saat ia ketakutan akan petir yang menggelegar.
Ia menatap telapak tangannya yang kini kosong setelah meletakkan Hikari ke dalam box bayi. Hampir-hampir melupakan bagaimana jari-jemarinya menggengam erat kain gelap yang menempel pada tubuh putranya saat mereka berpelukan untuk yang terakhir kali. Ia ingin mendekapnya lagi, namun putranya tak kembali, tak pernah kembali lagi. Air matanya menetes, ia tak sanggup, tak sanggup lagi menahan perpisahan yang menyesakkan dada. Isakan pelan keluar dari mulut yang coba ia tahan, tak ingin membangunkan dua manusia yang tengah terlelap.
Hangat ia rasakan dari balik tubuhnya, jemari yang lebih besar dan kokoh menyentuh jari-jemarinya, membawanya dalam genggaman dan mengusapnya pelan. Ia termangu sepersekian detik, pelukan itu tak meredakan tangisnya justru menambah deras air mata yang mengalir. Ia berbalik, meredam isakan pada dada bidang pria yang menawarkan tempat bersandar.
Mereka duduk bersampingan pada tepi ranjang. Matanya menatap kosong tirai cokelat di hadapan. Sisa air mata mengering tercetak jelas pada jejak yang ditinggalkan. Matanya sembap, ia beranjak membasuh wajah dengan air segar.
Mata pria itu mengikuti setiap pergerakan yang ia lakukan, ia menepuk ruang kosong di sebelah tubuhnya yang tengah berbalut selimut mengajaknya naik ke pembaringan. Wanita itu turut menyamankan diri di balik selimut, bersandar pada bantalan empuk di balik tubuh. Keduanya membisu dalam keheningan yang menyapu.
"Merasa lebih baik?" ia menjadi yang pertama memecah keheningan.
"Ya, terimakasih." Lirihnya.
"Kau bisa bercerita padaku kalau kau mau."
"Aku–" kata-kata yang menggantung pada ujung lidahnya lenyap, kelu. –tak bisa.
"Hei, tatap mataku." Tangan sang pria tergerak meraih kepalanya. Memaksanya bersitatap dengan manik biru cemerlangnya. "Aku di sini, tidak ada yang harus dikhawatirkan."
Justru pria itulah yang menjadi sumber kekhawatirannya saat ini. Ia menundukkan pandangan. Disentuhnya jari yang terasa kasar karena kulit yang menebal. Bukti kerja kerasnya selama bertahun-tahun.
Kala ia kembali mengangkat kepala, pria itu memangkas jarak yang memisahkan mereka. Deru napas beradu, kecupan singkat mendarat pada bibir yang sedikit mengering. Gojo menarik kepalanya, menatapnya dengan penuh kasih lalu kembali mengecupnya lagi. Satu kali, dua kali, pada kecupan ketiga ia membawanya dalam pagutan lembut. Disatukannya masing-masing kening tatkala pagutan berakhir, saling melempar tawa kecil.
"Apa maumu, Satoru?"
Matanya berkilat senang saat mendengar panggilan itu, ia menggenggam jari-jemari yang semula sibuk menekuk-nekuk selimut. "Aku–" ucapannya terpotong. Ia mengangkat kepala menyelami lubang hitam pada manik coklatnya.
"Kurasa aku menemukan seseorang yang tepat untuk dijadikan bagian dari keluarga Gojo."
Sang pria memberinya tatapan serius.
"Apa kau sedang melamarku?" tanyanya jenaka.
"Kau bisa menganggapnya begitu."
"Bodoh, kau ingin memperistri seseorang yang tidak kau ketahui dengan jelas asal-usulnya. Kau bahkan belum mengenalku lama. Kau juga bukan kekasihku."
"Kalau begitu biarkan aku mengenalmu lebih jauh. Jadilah kekasihku."
Ia tersenyum menyadari kesungguhan pria di hadapannya, mengangguk malu-malu sebagai balasan.
"Pastikan jika kau tidak akan menyesal nantinya."
"Tidak akan."
Senyum yang semula terkembang kini berubah menjadi tawa, tubuh keduanya terhempas pada empuknya ranjang.
"Tidurlah, malam masih panjang. Kau pasti lelah setelah berjalan-jalan tadi." Ucapnya lembut.
Dan ketika dahinya dikecup ketika itulah ia kelopak matanya tertutup sembari menantikan sang fajar datang menyingsing dari ufuk timur.
•••
Halo, pembaca yang budiman😁
Gimana pendapat kalian tentang chapter ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top