3
Ia membidik di balik tembok yang tengah ia jadikan tameng akan lemparan cairan-cairan berlendir nan menjijikkan. Tembok abu-abu berlumut itu mulai menipis oleh gempuran cairan asam yang tengah ia hindari. Ia menggeser tubuh dengan gesit kala tembok itu runtuh, hampir menimpa tubuh yang dibalut seragam hitam khas sekolah menegah atas jujutsu.
Panah hitamnya melesat di antara liukan-liukan makhluk astral yang tidak sembarang orang bisa melihat. Meledakkan gumpalan-gumpalan daging dalam kepingan hitam. Angin bertiup semakin kencang, prajurit spartoi miliknya dengan beringas membabat habis kutukan-kutukan yang lebih lemah. Sudut bibirnya tertarik ke atas, menggunakan mereka sebagai pion merupakan sebuah taruhan. Beruntunglah ia bahwa kutukan-kutukan itu tak mengetahui kelemahan pasukannya yang-kalau dipikir-pikir lumayan konyol. Cukup lemparkan batu di antara meraka, dan prajurit spartoi itu akan bertarung satu sama lain.
Misi yang diembannya kali ini merupakan titah dari para petinggi, ia dikirim ke sarang kutukan. Tempat di mana kebencian meluap-luap. Ironisnya, tempat itu semestinya mencetak orang-orang berbudi luhur, bukannya kutukan-kutukan penghancur. Tombaknya menebas daging dengan mata yang bertebaran. Ia mengernyit jijik, bau anyir memenuhi indera penciuman.
Untuk sebuah misi yang dilimpahkan padanya seorang diri, bukannya ini terlalu brutal? Ia kehilangan hitungan saat menusuk mata kutukan yang paling besar tadi. Dan sekarang ia berhadapan dengan kutukan yang pernah membuat Yuji dirundung pilu selama beberapa hari. Kulit yang penuh tambalan dan juga seringaian nakal. Ia mendengus tak suka saat sosok dengan pakaian compang-camping itu mencoba menyentuh tubuhnya.
"Ohoho, seorang wanita rupanya." Ucapnya girang, bak seorang bocah yang berhasil mendapatkan mainan kesukaannya.
Ia mengernyitkan dahi, Ijichi barangkali tidak mengetahui kehadiran makhuk yang satu ini. Kutukan itu meledak, tidak, lebih tepatnya mentransformasikan tubuhnya menjadi bulu babi raksasa. Ia benci bulu babi, rasanya sakit sekali saat menancap di kaki. Merepotkan, pikirnya. Ia tak ingin berurusan dengan makhluk itu lebih lama lagi.
Tabir tersingkap tak lama setelah tombaknya menancap kuat di batang pohon berkerak, kutukan itu berhasil melarikan diri untuk yang kesekian kali. Ia memutar badan, Ijichi tak sendirian, ada sosok tambahan yang tak diundang berjalan di sisinya. Spartoinya lenyap, mereka melaksanakan tugasnya dengan baik.
"Kukira kau tidak akan bisa mengatasinya sendirian." Ucap pria dengan penutup mata.
"Kau terlalu meremehkanku, Gojo. Apa kau lupa kalau aku pernah sekali menembus mugenmu? Kurasa kau ingin aku melakukannya sekali lagi."
"Heh, kenapa kau suka sekali menusukku dengan kata-kata tajammu."
Ia mengerlingkan mata, "Kenapa? Apa kau lebih suka ditusuk dengan pisau?"
Ijichi menatap keduanya dengan cemas. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, lelaki itu hanya ingin segera pulang lalu bercumbu dengan kasur empuknya jika ia tidak ingat bahwa ada satu dua laporan yang menanti dan juga dua orang dewasa yang sulit dimengerti.
"Setidaknya tusuk aku dengan panah asmaramu." Gojo mengedipkan mata kanannya, tak lama kemudian seringai jahilpun menyusul.
Ia menghela napas. "Aku bukan Eros, tapi kalau kau mau aku bisa memberimu panah beracun secara cuma-cuma." Tangan terlipat di depan dada, dagunya terangkat, balas menatap sengit.
Pria itu merasa tertantang, "Aku tidak yakin jika panahmu itu bisa menggores kulitku."
"Oh, benarkah?"
Kilatan imajiner tercipta ketika Ijichi mendengar wanita itu menuturkan kata untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya pergelangan sang wanita ditarik paksa dan kedua orang dewasa itu menghilang dari pandangan, meninggalkannya sendirian di tengah gelapnya malam. Ijichi menghela napas, satu lagi beban pikiran bertambah di kepala. Entah apa yang akan ia laporkan pada kepala sekolah nantinya.
•••
Ia bangkit dari rasa keterkejutan selepas tangannya ditarik paksa dan dibawa mengudara. Bukannya ia takut ketinggian, namun siapa juga yang tidak harap-harap cemas jika dibawa ke puncak bangunan tertinggi di Tokyo secara tiba-tiba dan hanya dalam kedipan mata. Ia tidak mengerti maksud pria itu membawanya kemari. Ia tidak mengerti kenapa tangan kekar itu melingkar di pinggangnya. Ia juga tidak mengerti kenapa ia bisa merasakan tatapan penuh kasih dari balik penutup mata hitamnya. Tidak baik, sungguh tidak baik untuk jantungnya yang berdegup kencang.
Ia menjauh selangkah saat pria itu melepaskan pegangan tangan. Canggung merayapi keduanya yang saling memalingkan wajah berlawanan arah.
"Kenapa kau membawaku kemari? Bukankah sebaiknya kita kembali? Ijichi pasti kebingungan mencari."
Pria itu menoleh, "Ijichi tidak akan mencari. Tenang saja."
Tokyo terlihat bercahaya dari atas tempatnya memandang, tentu saja karena jumlah lampu yang terlampau banyak untuk sekadar dihitung jari. Angin menerpa, hiruk pikuk kota tiada terasa. Ia menerka-nerka apa yang sedang sang lawan bicara pikirkan.
"Aku selalu menyukai pemandangan yang kulihat dari atas seperti ini." Sambungnya.
Tentu saja ia menyukainya, manusia selalu menyukai hal-hal yang sekiranya indah untuk dipandang. Coba saja yang dilihatnya saat ini adalah kota yang luluh lantak, apakah ia masih bisa berkata seperti itu?
"Ulurkan tanganmu." Pintanya.
Ia mengernyitkan dahi, "Untuk apa?"
Gojo mengulum senyum. "Temani aku jalan-jalan."
Ia tak kuasa menolak saat pria itu membuka penutup mata dan memperlihatkan manik biru yang membuatnya merasakan iba. Mungkin ada sesuatu yang sedang mengusik ketenteraman jiwanya, mungkin ia sedang tidak mau sendirian. Atau mungkin kenangan tak mengenakkan tengah menyambangi pikirannya kala itu. Apapun itu, ia hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Kenapa harus dirinya yang menemani?
"Baiklah."
•••
"Dahulu kala, Apollo jatuh cinta pada manusia. Seorang pemuda dari Sparta, sebegitu rupawannya hingga dua orang dewa jatuh hati."
Tangkai-tangkai bunga dari genus yang sama itu digenggamnya erat, bunga berbentuk lonceng dengan kelopak melengkung berlawanan dari arah mekar memikat perhatian dari sang lawan jenis. Sebelah kakinya terangkat, menyilangkannya pada yang lain. Sore hari yang tersisa sehabis melatih anak didiknya ia habiskan dengan leyeh-leyeh di kursi malas.
Ditatapnya wanita yang berdiri di dekat pintu geser, tampilannya agak berantakan. Rambut yang biasanya tergelung rapi kini helaiannya mencuat ke sana kemari, seberti habis diterpa badai. Ia tak tahu apa-apa saja yang telah wanita itu lakukan hingga penampilannya sedemikian rupa. Lihat saja kedua matanya, tatapannya, seakan jiwa yang bersemayam tengah berkelana, rona kehitaman menghiasi kelopak mata.
"Perasaan Apollo berbalas dan mereka menjadi sepasang kekasih. Hubungan keduanya harmonis-harmonis saja, tapi sepertinya hal itu memicu kecemburuan pada pihak lain." Ucapnya seraya melintasi kursi yang tengah ia duduki.
"Lalu?"
Tatapannya menyendu, namun tetap tak beralih dari kegiatan menjelajah pemikiran lain. "Suatu hari, saat Apollo mengajaknya bermain cakram, sang penguasa angin barat membelokkan arah lemparannya. Cakram menghantam kepala kekasihnya, darah mengalir ke berbagai sisi dan menewaskan si pemuda."
Jari-jemarinya menyentuh lengkungan ungu, putih, dan merah muda. "Apollo sangat berduka, mengira bahwa itu salahnya. Ia mengemis-ngemis pada Hades agar jiwanya tak terbawa ke dunia bawah, kemudian dari darah yang membasahi tanah tumbuhlah kerumunan makhluk bernyawa. Apollo mengubahnya menjadi bunga, mengabadikannya dalam nama sang kekasih."
Ia mengerjap, "Dan namanya?"
"Hyacinth, dari nama Hyacinthus, pangeran Sparta." Diserahkannya bunga-bunga itu ke pangkuan si pria, kemudian mendudukkan diri di sofa seberang.
Ia mengambil setangkai lalu diciumnya. Harum.
"Aku tidak mengira hidupnya akan berakhir seperti itu." Tragis.
"Tidak ada yang tahu bagaimana maut akan menjemput." Timpalnya sembari menyandarkan punggung pada bantalan empuk.
"Kau mungkin akan terheran-heran saat mengetahui penyebab kematian tokoh-tokoh terkenal dari peradaban kuno. Ada yang mati tertimpa kura-kura, mati karena tertawa, tertumpuk pakaian atau kotoran. Dan yang paling mengerikan adalah seorang wanita yang dikuliti dengan kerang."
Bulu kuduknya meremang, tenggelam dalam kengerian. Wanita di hadapannya mulai memejamkan mata.
"Ngomong-ngomong kau habis dari mana?" tanyanya.
"Mengunjungi teman lama, Gojo."
Ia terpaku sejenak. Bagaimana bisa dia berkeliaran di luar sana sesuka hati? Baiklah, lupakan, masalah itu akan diurusnya lain kali. Saat ini ia sedang asik mengamati wajah damai dari kening yang senantiasa berkerut tanpa sang pemilik sadari. Ia bangkit dari kursi, beranjak mendekati tubuh yang tidur terduduk. Diraihnya tubuh yang kepalanya terdongak, membenahi posisinya agar lebih nyaman.
Netranya bergulir pada bunga-bunga yang tertinggal di kursi, ia seperti pernah melihat bunga-bunga itu sebelumnya, tapi ia tidak ingat di mana. Langkah kakinya melewati lorong-lorong kosong, wangi dari kelopak-kelopak melengkung itu menempel pada pakaiannya, menyerbak lembut di sepanjang perjalanan.
•••
Halo, para pembaca yang budiman. Kolom komentar selalu terbuka untuk menampung pendapat-pendapat kalian. Jadi, jangan ragu untuk menyampaikan komentar.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top