2

            Ketiga pasang mata itu memandangi sosok mungilnya tanpa berkedip. Mengerjap heran, antara geli dan takjub pada apa yang terjadi pada guru mereka.

"Kalian tahu? Memandangiku seperti itu sama sekali tidak membantu."

"Kataknya bisa bicara." Ucap Panda.

"Shake shake." Inumaki mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Bahkan kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu sekarang, Satoru, lucu sekali. Seseorang yang dikenal sangat kuat sekarang berubah menjadi makhluk tak berdaya." Sahut Maki sambil menjawil-jawilnya menggunakan ujung tongkat yang ia pegang hingga makhluk mungil itu terdorong-dorong.

"Hentikan, Maki. Kau jahat sekali." Makhluk malang itu merengek saat tubuhnya tersungkur ke depan.

Mari kita mundur beberapa waktu yang lalu.

Dikibaskannya tombak yang ia genggam erat selama beberapa kali sebelum menghilangkannya dari pandangan. Ia mengulurkan tangan pada gadis yang jatuh terduduk dengan napas terengah-engah, peluh membanjiri leher dan pelipisnya. Gadis itu kemudian menerima handuk yang diulurkan seekor panda yang melintas setelah berhasil bendiri dengan bantuannya. Disekanya tetes-tetes keringat yang terasa lengket. Tak lama kemudian sang panda beranjak pergi.

Maki menatap wanita yang sekarang mengangkat busur, membidik target yang ia tuju dan melepaskan anak panahnya tepat pada lingkaran hitam di tengah papan bundar. Wanita itu bahkan hanya berkeringat sedikit, tak seperti dirinya. Anak panah kedua tercipta dari tangan yang menarik busur itu, begitu mudahnya seperti membalik telapak tangan. Sejenak ia teringat pada saudari kembarnya yang memiliki kemampuan serupa. Andai saja ia ada di sini untuk melihat, Maki yakin seratus persen kalau adiknya akan berjingkat senang.

"Sensei, menurutmu apa yang membuatku kalah tadi?" tanyanya.

"Gerakanmu, gerakanmu terlalu melebar hingga menciptakan celah bagiku untuk menyerang." Wanita itu menjawab tanpa menoleh sedikitpun, anak panah ketiganya melesat, membelah kayu dari anak panah yang lebih dulu tertancap menjadi dua bagian.

Ia mengangguk paham, mengiyakan pernyataan yang keluar dari mulut gurunya. Matanya menangkap sekelebat jambul putih di lorong samping tempatnya berlatih. Pria berpenutup mata itu berjalan mendekati mereka tanpa suara, mengendap-endap menuju wanita yang sibuk memanah. Pria itu menempatkan telunjuknya di depan bibir, seakan mengisyaratkan padanya untuk tetap diam. Ia memutar bola matanya malas, sekarang apa lagi yang akan guru sintingnya itu lakukan. Tak henti-hentinya mengganggu mereka setiap sesi latihan hampir berakhir.

Seringai puas terpampang di wajahnya saat pria itu gagal menjalankan aksinya. Tangan yang terjulur hendak mengambil rangkaian laurel emas di atas kepala si wanita terhenti, mengambang bebas di udara.

"Mau apa kau?" ucapnya sambil menodongkan mata anak panah.

"Hehe~"

Matanya tak lepas memandang keduanya. Satoru terus mengikuti guru wanitanya kemanapun ia pergi layaknya anak ayam yang takut kehilangan induk. Tangan yang tidak bisa diam itu selalu terulur seakan ingin mengambil sesuatu di atas kepala. Dan benar saja, beberapa detik kemudian saat sang wanita mengambil sebotol air dan menenggak isinya, pria itu dengan gesit mengambil laurel emasnya. Mengangkatnya tinggi-tinggi dari jangkauan si wanita. Perbedaan tinggi yang signifikan itu membuatnya kesusahan untuk merebutnya kembali.

Terkadang ia heran pada guru wanitanya itu, ia bisa saja menggunakan kekuatannya tiap kali pria itu menjahili. Namun diakukannya, seakan diam-diam ikut menikmati aksi jahil pria itu.

"Gojo!" ia memekik.

Laurel itu sekarang terlempar tinggi di udara sebab pria itu tersandung saat melangkah mundur. Tongkat panjang tercipta di tangan, ia melangkah secepat kilat meraih laurel emas itu sebelum terhempas ke tanah.

Ditatapnya tajam pria yang terkekeh-kekeh tanpa dosa. Kesal, ia sungguh kesal. Tak tahukah pria itu seberapa berharganya rangkaian laurel yang kini dipontang-pantingkannya ke udara . Perlu waktu puluhan tahun untuk mendapatkannya. Ia menggeram, menyebut marga pria itu dengan suara rendah. Matanya berkilat, memancarkan amarah. Aura hitam menguar di belakang tubuhnya.

"FROG!" teriaknya kesal. Lalu meninggalkannya sendiri.

"Hei, tunggu."

Seketika itu kegelapan menerkam, menyelimutinya dengan kabut hitam.

Maki membenahi posisi kacamatanya yang melorot, ia mencari-cari keberadaan pria yang menghilang di tengah gelungan asap hitam. Tadi ia dengar wanita itu berteriak 'Frog' pada sang pria. Tunggu, apa dia benar-benar mengubahnya menjadi katak?

Ia melirik ujung kakinya, katak albino itu memberinya tatapan memelas, seolah memohon padanya untuk mengembalikannya ke wujud semula.

"Maki, tolong aku."

Maki selesai memberi penjelasan pada tiga junior dan juga dua rekannya yang berlatih terpisah saat peristiwa itu terjadi. Tiga sekawan itu melintas tepat sebelum mereka beranjak pergi, ikut keheranan melihat guru mereka berubah menjadi seekor katak.

"Jadi Hana-sensei menyihirnya menjadi katak karena membuatnya marah?" tanya Yuji sekali lagi untuk menegaskan bahwa ia tidak salah dengar.

"Ya, seperti itu." Jawab Maki.

"Hei, siapa yang menusuk pantatku?" protes si katak yang bisa bicara.

"Lebih terdengar seperti kutukan, dan entah mengapa aku merasa senang." Sahut Fushiguro kemudian membuang ranting pohon yang ia pegang.

Katak albino itu mencoba untuk berdiri dengan kedua kaki, sedikit bergetar saat percobaan pertamanya berhasil. Tak lama kemudian ia mengerakkan kakinya hendak berjalan layaknya manusia. Langkahnya limbung ke sana kemari, setelah beberapa menit berlalu ia berhasil membiasakan diri, bahkan melompat-lompatkan kedua kaki yang jarinya diselimuti selaput tipis.

Kilatan lampu ponsel menyilaukan pandangannya, ia berkacak pinggang.

"Nobara, apa yang kau lakukan? Hapus sekarang juga."

"Tidak, tidak akan. Foto ini akan kusimpan selamanya." Nobara bersikukuh. Ia kemudian mengembalikan ponselnya ke dalam saku.

Tangannya terlipat di depan dada, "Anak-anak, bantulah senseimu ini kembali ke wujud tampannya."

"Gojo-sensei kau sangat tidak keren saat menjadi katak."

"Diamlah, Yuji. Aku tahu itu." Ucapnya sambil menunjuk-nunjukkan jari ke arah Yuji.

"Aku punya ide, kalian tahu cerita pangeran kodok 'kan, bagaimana jika kita mengikuti jalan ceritanya. Kutukannya akan hilang dengan ciuman. Ciuman!" Yuji mengucapkannya dengan nada menggebu-gebu, agaknya sangat bersemangat untuk menyaksikan adegan itu terwujud dalam kehidupan nyata.

"Masalahnya siapa yang mau mencium katak albino ini, kalau aku jelas tidak." Tolak Nobara.

"Okaka." Ucap Inumaki sambil menyilangkan tangannya.

"Inumaki-senpai, kau jelas tidak masuk hitungan." Fushiguro seakan mengingatkan jika ia dan si katak albino masih dalam satu gender yang sama.

Mereka menatap satu-satunya perempuan yang tersisa dalam kelompok.

Maki memasang wajah masam saat perhatian mereka mendadak tertuju padanya, "Apa wajahku ini mengatakan 'iya'?"

•••

Kakinya melangkah semakin cepat tatkala merasakan kehadiran beberapa manusia yang menguntit di belakang. Ia berbelok, setengah berlari ketika merasa harus cepat-cepat sampai ke kamar. Firasatnya mengatakan jika hal buruk akan terjadi.

Derap langkahnya terhenti saat Panda dan Inumaki menghadang di ujung jalan. Ia berbalik, kumpulan manusia itu menampakkan jati diri dengan pemuda berambut merah jambu cepak memegang erat katak albino yang setengah tercekik, katak itu menepuk-nepuk jari sang pemuda, memintanya melonggarkan genggaman. Sayangnya, pemuda yang dimaksud terlalu lama menyadarinya, mungkin katak itu sudah mati kehabisan napas jika saja pemuda berambut landak tak menyikutnya dan memberikan kode.

Sementara itu, gadis di samping pemuda berambut landak berdiri memegang ponselnya dengan siap siaga, entah apa yang akan ia potret. Tapi jika dilihat dari posisi mereka sepertinya ia bisa menebak dengan sangat-sangat jelas dan tepat sasaran. Pastinya, dan tentu saja hanya satu cara itulah yang terlintas di kepala mereka.

Ia dan katak albino itu harus berciuman.

Jangankan menciumnya secara langsung, memikirkannya saja sudah membuatnya bergidik geli. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kulit yang tampak basah, licin dan berlendir itu menyentuh bibirnya, apalagi jika jari-jemari yang berselimut selaput tipis itu meraba-raba wajahnya. Oh, Zeus! Tidak, ia tak sudi melakukannya!

Angin yang berembus kencang itu membawa sehelai-dua helai daun yang terbang memutar bersamaan. Menambah dramatis suasana di lorong yang sunyi itu. Ia memasang ancang-ancang guna melarikan diri.

"Apa yang ingin kalian lakukan?" tanyanya basa-basi.

"Sensei, ini demi kepentingan bersama. Tolong jangan kabur." Pinta Yuji dengan wajah serius.

"Sangat mustahil untuk dilakukan, Yuji." Balasnya dengan raut wajah tak kalah serius.

Sedetik setelah mendengar jawaban darinya, pemuda itu melemparkan katak albino yang ia genggam. Ia tak tahu seberapa kuat ia melempar, yang ia tahu si katak albino melesat dengan kecepatan penuh. Yang sayangnya menabrak tiang di sampingnya dengan suara gedebuk keras–lemparannya meleset karena ia bergeser beberapa senti. Ia meringis ngilu saat mendengar gemeretak tulang.

"Aku ada pertemuan dengan para petinggi besok pagi, kau harus mengembalikanku sekarang juga!" ucap katak albino itu–yang ajaibnya masih hidup, walaupun sekarang terlihat seperti sekarat menahan rasa sakit.

Persetan, batinnya tak acuh.

Sesaat kemudian ia merubah tubuhnya menjadi gagak hitam, tak tanggung-tanggung dalam melarikan diri. Tak lama kemudian siluet coklat melesat ke arahnya, mencoba menyambarnya secepat kilat. Ia menukik tajam, menghindar dari cakar-cakar tajam yang berusaha menangkapnya.

Fushiguro!

Ia melotot ke arah pemuda berambut landak itu. Oh, sekarang ia punya ide untuk menembakkan laser dari matanya. Baru saja ia berniat benar-benar melancarkan serangan lasernya jika saja ia tidak bergerak menghindar dari paku yang melesat cepat ke arah sayapnya. Ia merutuk dalam hati saat gadis berambut sebahu itu ikut-ikutan aksi konyol ini.

Kepakkan sayapnya melambat saat ia sampai pada atap bangunan bergaya tradisional. Diulurkannya tangan ke udara, mengurung burung siluman yang mengejar dalam kekangan sulur hitam. Sekumpulan pasukan kelinci kemudian menyerbunya dari berbagai sisi. Oh, astaga, sesungguhnya ia tak tega menyerang makhluk-makhluk menggemaskan itu. Ia menghempaskan kumpulan bola putih itu dalam satu tebasan tombak, kemudian merubah diri menjadi merpati dan bersembunyi.

Ia berjalan mengendap-endap di lorong kelas yang sepi, mengamati keadaan di sekitar. Jemarinya meraba-raba dinding, berharap segera menemukan gagang pintu yang dicari. Tiba-tiba tepukan mendarat pada pundak, ia menoleh dengan cepat–hanya untuk mendapati bibirnya bersinggungan dengan bibir si katak albino.

Matanya terbuka lebar, ia tak bisa berkata-kata, dirinya dilanda keterkejutan selama beberapa detik sebelum teriakannya yang melengking memenuhi lorong yang mulanya sunyi.

"Di sana!"

Derap langkah berbagai macam sepatu itu terhenti saat mata mereka menangkap tiga sosok dengan berbagai ekspresi. Maki dengan wajah datarnya, si katak albino yang tengah keheranan memandangi tubuhnya sendiri, dan seorang wanita yang sibuk mengusap-usap bibirnya dengan raut jijik.

"Kenapa aku tidak berubah?"

"Tentu saja tidak, Gojo sialan!"

Seketika itu juga ia merubah wujudnya menjadi seekor gagak, terbang tergesa meninggalkan mereka.

"Hana-sensei."

"Sensei."

"Kurasa ia semakin marah padamu, Satoru." Ucap Panda, menambah suram aura yang katak albino itu keluarkan.

Keesokan harinya di pagi buta, tubuhnya telah kembali seperti semula. Pada dasarnya kegiatan yang mereka lakukan kemarin memang tak ada gunanya sama sekali, hanya membuang-buang waktu. Ia mengerjapkan kelopak mata, sepertinya ia berhutang permintaan maaf pada seseorang yang kemarin ia buat marah.

•••

Wajah dengan bekas luka melintang di sekitar hidung itu menghilang dari jangkauan pandangannya. Ia beralih pada pintu yang tebuka, sosok itu kembali memunculkan diri dengan setumpuk berkas yang diampu oleh kedua tangan. Kakinya melangkah menyusuri lorong sunyi dengan hati-hati agar apa yang ia bawa tidak jatuh berserakan. Seorang gadis dengan rambut pirang bekuncir dua kemudian datang menghampiri, mengulurkan tangan menawarkan bantuan.

Matanya tak lepas dari dua manusia itu hingga keduanya memasuki sebuah ruangan. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Umur wanita itu barulah sepertiga abad, sangat kecil jika dibandingkan dengannya. Tapi walaupun umurnya selalu lebih pendek darinya, Tikhe–atau yang lebih dikenal dengan Fortuna, terlihat selalu berada di pihaknya. Ia kemudian tergelak dalam hati, sadar akan asumsi konyol yang baru saja ia cetuskan dalam pikirannya. Sebegitu putus asanya ia hingga menyalahkan figur sang pembawa keberuntungan.

Ia mengepakkan sayapnya, tujuannya kemari adalah untuk melepas murka, bukan menambah duka.

•••

Lantunan biola itu menggetarkan gendang telinganya, meneruskannya ke tulang pendengaran yang kemudian diperkuat hingga mencapai telinga bagian dalam. Merubahnya menjadi impuls listrik untuk dikirim ke saraf pendengaran pada otak. Hingga akhirnya otak menerjemahkannya sebagai suara. Singkat cerita, kakinya melangkah lebar-lebar menuju sumber suara yang berkumandang.

Ia mengintip pada pintu kelas yang sedikit terbuka, matanya menangkap sosok wanita yang akhir-akhir ini menghiasi hari-harinya, memercikkan berbagai macam warna ke dalam kehidupannya. Tangannya bergerak menyentuh kusen lalu mendorong daun pintunya perlahan, mendudukkan diri pada bangku di barisan depan.

Alunan sendu yang memilukan kalbu itu berhenti, tangan yang memegang busur terangkat ke udara sebelum terkulai kuyu di samping tubuhnya. Tak lama kemudian suara tepuk tangan terdengar, bergema di seantero ruangan.

"Bravo!"

Wanita itu menoleh pada sang pria, sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai ucapan terima kasih, kemudian menghilangkan alat musiknya dalam kepulan asap hitam.

"Aku tidak tahu kalau kau begitu piawai memainkan biola." Mata di balik penutup hitam itu menatap ingin tahu.

Ia berjalan mendekati jendela, menyibak tirai yang berayun pelan hingga berkas-berkas cahaya menimpa tubuhnya. Menikmati pemandangan yang tersuguh di hadapannya.

"Memainkannya adalah satu di antara banyak hal yang kulakukan untuk mengisi waktu luang yang teramat panjang." Manik coklat itu tak menoleh kala menjawab.

"Kau mengatakannya seolah-olah telah hidup selama beratus-ratus tahun."

"Memang." Ia memberi jeda. "Kau bisa menganggapnya begitu. Hidupku memang begitu panjang hingga kau merasa lelah dengan sendirinya." Ia menatap pria berpenutup mata yang tak jauh darinya.

"Benarkah?"

"Iya."

Bagus, informasi baru. Catatnya dalam hati.

"Bila memang sepanjang itu, apakah kau pernah berkeinginan untuk mengakhirinya?"

Ia mendengus geli, "Apa kau menyuruhku mati?"

"Aku hanya bertanya."

Lama ia termenung memikirkan pertanyaan yang barusan terlontar kepadanya.

"Pernah."

Ada kalanya engkau berada pada titik terendah, titik di mana segala eksistensi di alam semesta seakan bersatu padu menentang kehendak yang kau inginkan. Hal itu acap kali terjadi ketika engkau memasang harapanmu di antara bintang-bintang namun kenyataan datang menghempasnya ke dasar lautan. Berulang kali hal itu terjadi dan berulang kali juga ia melakukannya lagi.

Sungguh, mengapa ia tak memilih mengakhiri kehidupannya? Mengapa ia terus bertahan di dunia yang fana ini, menyaksikan kematian yang berkelanjutan, rasa sakit yang berkelanjutan, dan pilu yang seakan meremas kuat jiwanya? Kenapa? Untuk tujuan apa? Tujuan, yah, ia ingat tujuannya. Tujuannya hidup adalah untuk membahagiakan dirinya, lantas apakah kebahagiaan yang dimaksudnya telah tercapai? Tidak juga. Atau belum? Ia tidak terlalu menahu soal hal itu walaupun perasaan itu adalah miliknya. Sepertinya ia mulai gila.

Segudang mimpi sudah ia wujudkan dalam kurun waktu ratusan tahun, lantas apa lagi yang ia inginkan? Apa? Sekali lagi, ia ingin bahagia. Ada satu hal yang ingin ia wujudkan. Sesuatu yang tengah ia nantikan, tak pernah penat ia tunggu-tunggu.

Tapi sepertinya bukan hal yang mudah, ia selalu tahu itu. Jalannya tak pernah mulus, rasanya seperti ada suatu hal yang menjadi penghambat.

Kemelut dalam batinnya semakin berkecamuk, mungkin akan meledak jika pria itu tak bersuara.

"Hei, kau baik-baik saja?" nada khawatir terselip di antara kalimat yang diucapkannya.

Ia serasa ditarik lagi ke bumi, "Ya." Jawabnya pelan.

Pria itu menghela napas lelah, menyilangkan kakinya dan menumpukan jari-jemarinya yang bertaut di atas paha. Mengubah posisi duduknya dengan nyaman.

"Kurasa mengakhiri hidup bukanlah pilihan yang tepat. Aku masih belum mendapatkan sesuatu yang aku inginkan. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan, setidaknya sebelum ajal benar-benar menjemput."

"Begitukah?" Tanya sang pria.

"Ya." Ia menjeda. "Sebenarnya, aku sedang mencari seseorang. Dan juga ingin menagih janji yang pernah ia buat."

Janji? Manik gelap itu tak henti-henti menatapnya. Tapi tunggu, bukan ia yang sedang dia lihat. Tapi suatu hal yang jauh bersemayam dalam kepala, wanita itu terlihat seperti tengah menyelami kenangan-kenangan masa lalunya.

"Kau melamun lagi."

Wanita itu tersentak, "Maaf." Ucapnya. "Kebiasaan lama yang sulit hilang."

"Siapa orang itu?" ia mencondongkan badan. "Aku kah?" Tunjuknya pada diri sendiri sembari menarik sudut bibir, menyeringai jahil.

"Kau tidak perlu tahu, Gojo." Balasnya mencondongkan badan, kemudian menegakkannya kembali ketika tak kunjung mendapat respon.

"Selamat malam." Ucapnya sambil lalu.

Pria itu bangkit, ada jeda sejenak disertai helaan napas. Tatkala masih di tenggelamkan oleh rasa penasaran iapun membalas,

"Selamat malam."

Gojo menerka-nerka apakah ia sudah melangkah terlalu jauh saat bertanya. Karena perasaan tidak enak tiba-tiba saja datang menghampirinya.

•••







Halo, para pembaca yang budiman. Jangan lupa untuk selalu menjaga kesehatan ya!

Sampai jumpa di chapter selanjutnya🙂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top