Tenth Attempt
Tenth Attempt
"Kamu nggak kemana-mana hari ini, Day?"
Pertanyaan mama menyambut Daisy di ambang pintu dapur. Daisy baru saja hendak menuju ke dapur untuk membantu mama menyiapkan sarapan. Tapi, ternyata mama sudah selesai menyiapkan sarapan nasi goreng.
Pasti Daisy menghabiskan banyak waktu di kamar untuk mengutak-atik naskah sejak Subuh, kemudian dilanjutkan mengintai bayangan Giras di rumah sebelah sehingga tidak menyadari bahwa pagi itu seharusnya dia membantu mama menyiapkan sarapan. Lily mungkin tengah berada di kamar nenek, untuk mengurus keperluan nenek di pagi hari. Biasanya, papa juga ada di situ, membantu nenek semisal ingin buang air kecil.
"Nggak tau, Ma. Pengennya di rumah aja seharian, tapi kayaknya aku perlu keluar rumah sebentar."
Mama tidak pernah begitu mau tahu kemana rute bepergian Daisy setiap hari. Asalkan tidak pergi ke destinasi jauh tanpa bilang-bilang. Ada saat di mana mama memerlakukannya seperti perempuan dewasa pada umumnya, kendati dalam soal pekerjaan, mama masih juga menyayangkan pilihan karir Daisy.
"Urusan novel kamu, gimana?"
Pertanyaan mama membuat Daisy mengerutkan kening. Tumben mama nanya.
"Baik-baik aja, Ma. Besok Day mau ke kantor penerbit buat bawa revisian." Daisy mengurungkan pertanyaan tentang mengapa mama tiba-tiba bertanya soal itu.
"Oh, gitu." Mama kemudian masuk lagi ke dapur tanpa ingin memperpanjang topik itu. Sebaliknya, mama bertanya apakah Daisy mau menemani nenek ke panti jompo pagi itu, karena Lily harus berangkat kuliah dan papa juga akan pergi membuka toko. Mama terkadang tidak ingin membiarkan rumah dalam keadaan kosong karena khawatir terjadi sesuatu. Kecuali mereka berlibur bersama. Itupun, mama setidaknya memeriksa ulang keadaan seluruh rumah hingga berkali-kali sampai yakin tidak ada lagi kompor yang sedang menyala, keran air yang sedang terbuka, pintu yang belum terkunci dan lain sebagainya.
"Iya, nanti aku temenin. Nanti juga bisa sambil sekalian nyelesain revisian di panti."
Halaman panti Kasih Terang terbilang cukup luas. Sebuah tempat yang sebenarnya sangat cocok untuk menulis karena terasa tenang dan damai. Daisy selalu betah di sana karena panti itu memiliki halaman yang luas. Selain itu, di kebun belakang juga banyak jenis tanaman buah, yang bisa dinikmati langsung oleh pengunjung. Mungkin itu alasan lain yang membuat nenek Ami ingin tinggal di sana selain mengobrol dengan sesama penghuni panti. Dia merasa memiliki teman sebaya yang lebih banyak, dengan obrolan yang lebih nyambung.
"Nenek udah kepingin dari kemarin-kemarin sejak nganterin makanan ke sana." Ternyata mama masih membahas soal panti. Tangan kanannya memegang sendok nasi sementara tangan kirinya memegang wadah nasi goreng yang disodorkan kepada Daisy.
Daisy mengerti maksud mama.
"Mmh, nenek masih kepingin tinggal di sana?" tanya Daisy.
Mama mengangguk pelan.
"Tapi kan nenek betah di sini?"
"Siapa bilang? Kamu pasti tau, kalau nenek bosen di rumah terus."
Daisy membuang napas. Akhir-akhir ini, mereka semua memang sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga nenek agak terabaikan. Lily sibuk dengan tugas-tugasnya, meski masih selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu dengan nenek. Papa juga sibuk dengan urusan toko. Mama sibuk dengan pekerjaan rumah ditambah ikut kursus online wirausaha dan belajar menjahit pakaian. Sementara Daisy...
Mungkin di antara mereka semua, dia yang cenderung lebih santai. Tapi akhir-akhir ini juga Daisy kan juga sibuk menulis? Mungkin kelihatannya dia tidak sedang bekerja, tetapi pekerjaan menulis selalu menuntut otak untuk berpikir, jadi secara teknis, dia juga sibuk.
"Nanti deh, aku ajak nenek keliling-keliling." Daisy mengucapkannya sebagai bentuk perasaan bersalah. Nenek pasti senang.
"Nah, begitu. Kemarin-kemarin Mama pengen minta tolong ke kamu untuk lebih merhatiin nenek kamu, tapi Mama lihat kamu juga sibuk. Kadang seharian ngurung diri di kamar, sampai-sampai Mama mesti sering-sering ngecek kamu ngapain aja di kamar seharian. Bisa betah gitu ya kamu, Day?"
Daisy tersenyum malu. Mama terdengar sudah tidak komplain lagi soal itu. Padahal di awal-awal karir menulis Daisy, mama yang kerap menunjukkan sikap antipati. Mama pernah membuat Daisy tersinggung dengan mengatakan kalau pekerjaan menulis memiliki penghasilan tidak pasti. Belakangan Daisy menyadari, bahwa mama pasti punya alasan kuat mengapa mama menginginkannya mencari pekerjaan tetap. Daisy bisa tetap menjadikan menulis sebagai pekerjaan sampingan, sekadar berjaga-jaga saja. Kalau sudah punya pekerjaan tetap bergaji bulanan, Daisy tidak perlu lagi khawatir soal gaji.
Daisy bertanya dalam hati apakah masih ada pekerjaan yang bisa dilamarnya saat ini.
"Betah aja sih, Ma. Namanya juga pekerjaan yang disukai. Kalau nggak suka, aku sudah berhenti sejak kemarin-kemarin. Menulis itu bisa bikin stress juga lho, Ma." Daisy curhat sedikit.
"Ah, iya. Nulis skripsi aja susah ya, apalagi buku yang tebal. Apa novel juga susahnya seperti nulis skripsi?"
"Beda susahnya. Kalo skripsi kan ribet, mesti penelitian. Tulisan ilmiah yang harus sesuai kenyataan. Kalo novel kan bisa ngarang. Tapi karena novel juga nggak bisa ditulis asal-asalan, mesti riset juga."
Mama pasti bisa paham ketika Daisy menceritakan kesulitan saat proses pra terbit. Apalagi kalau editornya sekelas Mbak Reski.
"Kemarin Mama sempat ngobrol lagi sama Tante Elis. Ada temen Tante Elis yang buka lowongan pekerjaan. Siapa tau kamu berminat." Mama kembali lagi ke dapur untuk mengambil piring berisi tempe goreng sementara Daisy menyiapkan meja.
"Nanti aku tanyain lagi." Daisy menjawab cepat. Dia tidak mau mengecewakan mama yang masih terus berusaha mencarikan pekerjaan kantoran untuknya.
***
"Lowongannya udah keisi, Day. Orangnya butuhnya cepat. Kamu sih, telat ngomongnya."
Daisy tidak kecewa mendengar jawaban Tante Elis saat Daisy bertanya.
"Tante nggak ke toko?" tanya Daisy. Sesiang ini, Tante Elis malah masih berada di rumah.
"Besok aja. Lagian, tadi udah teleponan dengan manajer toko." Tante Elis mengerutkan kening. "Eh, Day. Kamu mau bantu-bantu Tante di toko?"
"Bantu apa, Tan?"
"Tisya, bagian pembukuan toko sedang cuti seminggu. Ayahnya masuk rumah sakit. Jadi, untuk sementara karyawan Tante kurang satu orang. Hanya seminggu aja. Sambil nunggu ada lowongan pekerjaan dari langganan toko Tante, kalau kamu minat, bisa. Dulu kan kamu udah pernah juga gantiin kerja di toko selama tiga hari, ya?"
Daisy tidak bisa menjanjikan. Untuk gaji, jumlahnya lumayan besar. Tiga hari kerja saja, dia dibayar satu juta lima ratus ribu. Ya, mungkin gaji sebenarnya tidak sebesar itu, tapi Tante Elis memang super royal. Selama tiga hari kerja itu juga, Daisy selalu membawa pulang sekotak besar kue. Bukan kue sisa, karena stok di toko selalu habis. Pokoknya, amat sangat menyenangkan bisa bekerja dengan Tante Elis.
"Kamu bilang aja ya kalau mau. Tante tunggu jawabannya besok pagi."
"Iya, Tan. Makasih buat tawarannya." Daisy berpikir cepat. Khawatir kelupaan besok pagi, dia pun akhirnya mengiyakan.
***
Nenek Ami mendadak jadi super girang ketika taksi yang mereka tumpangi sudah sampai di depan pintu pagar panti Kasih Terang. Seorang relawan panti yang melihat kedatangan mereka begitu sigap membantu nenek Ami turun dari taksi kemudian duduk di kursi roda. Supir taksi yang semula hendak membantu hanya kebagian menurunkan kursi roda dari bagasi.
Mas Toto, nama relawan tersebut. Usianya sekitar beberapa tahun di atas Daisy. Tugas Mas Toto di panti sehari-hari adalah bersih-bersih dan mengurusi taman. Awalnya Mas Toto bekerja di sana secara sukarela karena ibu mertuanya dirawat di sana. Tahun demi tahun berlalu, dia pun menetap bekerja di sana dengan mendapatkan gaji. Istrinya, Mbak Tuti juga bekerja di panti di bagian dapur. Daisy cukup mengenal sepasang suami istri yang sangat ramah itu.
"Day, kamu kalau bosen, pulang aja duluan." Nenek Ami mengatakan hal itu setelah turun dari taksi. Khawatir Daisy ingin cepat-cepat pulang.
"Nggak bakal bosen kok. Day mau ngetik aja di sini." Daisy menunjukkan Macbook 2015 silver dari dalam ransel.
Daisy kemudian mendorong kursi roda nenek Ami mulai dari halaman sampai menuju ruangan tempat penghuni panti tengah berkumpul. Jam segini, biasanya setelah sarapan, mereka beristirahat sebentar di ruangan yang dilengkapi deretan sofa dan televisi. Sebagian penghuni panti lainnya juga ada yang bersantai di halaman. Atau kalau si penghuni sudah terlalu uzur, mereka hanya berbaring di kamar, di mana sarapannya pun diantarkan ke sana.
Ruangan yang mirip ruang keluarga tersebut, tertata apik dan beraroma pewangi ruangan. Tidak ada aroma pesing, kotoran, atau bau minyak gosok yang mungkin bisa ditemui pada manula. Para relawan selalu sigap bertugas merawat setiap penghuni panti satu per satu. Memerhatikan kebersihan dan kesehatan mereka. Dapat terlihat dari wajah berseri setiap penghuni. Mereka dipakaikan pakaian bagus dan terlihat baru. Tubuh mereka juga wangi sabun, tidak jarang ada yang memakai parfum. Salah satu penghuni bernama nenek Liska, malah berpakaian sedikit nyentrik. Blus merah dipadu rok berwarna hijau bermotif kuning. Lengkap dengan kacamata yang dicantolkan di kepala. Saat mereka datang, nenek Liska tengah mengobrol bersama penghuni lain. Merasa telah menemukan teman ngobrol yang seru, nenek Ami menyuruh Daisy mengerjakan revisiannya.
"Kamu kerjain aja yang mau dikerjain."
Daisy mengangguk. "Tapi nanti telepon ya Nek, kalo butuh apa-apa."
Nenek Ami memiliki ponselnya sendiri untuk berkomunikasi. Hanya sebuah ponsel kecil seharga lima ratus ribuan. Sekadar bisa dipakai untuk menelepon saja.
Setelah yakin nenek Ami tidak membutuhkan bantuan apa-apa lagi, Daisy segera keluar dari ruangan tersebut. Tujuannya ke taman. Ada satu tempat favoritnya yaitu sebuah bangku kayu panjang dilengkapi sandaran dan meja. Tidak ada orang yang duduk di sana, syukurnya. Jadi tanpa berlama-lama lagi, Daisy langsung mengeluarkan laptop.
Sambil menunggu laptop loading, Daisy mengecek ponsel.
Ada Whatsapp dari Mbak Reski.
Hmm, tumben.
Mb Reski editor : besok, saya ada urusan mendadak. Revisi dikirim saja ke e-mail saya, besok pagi. Terima kasih.
Jadi besok nggak jadi ke kantor penerbit?
Daisy mengetikkan balasan.
Day : Oke, Mbak. Sip. Makasih
Daisy tidak akan se-kepo itu menanyakan urusan apa yang membuat editornya membatalkan rencana konsultasi naskah di kantor penerbit. Hal terpenting adalah, tidak ada penambahan waktu untuk menyelesaikan revisi awal. Dia tetap harus menyetorkan naskah tersebut, besok.
Besok atau kapan pun, sama saja. Karena setelah revisian disetor, Daisy bersiap menerima catatan mengenai bagian mana yang harus diperbaiki. Dia hanya bisa berharap dia tidak perlu terlalu banyak melakukan revisi. Karena tiga naskah sebelumnya sudah cukup dibabat di masa revisi. Sial banget kalau naskah ini harus mengalami nasib serupa.
Hal mengesalkan muncul ketika Daisy kembali memeriksa Whatsapp.
Giras mengirimkan chat.
Giras : panjang umur. Org yg kerja di perusahaan operator seluler rekanan, teman kamu. Ingat si Roni?
Dia bukan teman. Apa bisa disebut teman kalau dia adalah salah satu siswa yang dulu kerap mem-bully-nya di sekolah?
Daisy menarik napas. Sudah berapa chat yang diabaikan. Tapi, laki-laki itu ternyata tidak kapok juga mengirimkan chat baru.
Giras : Dia mau minta maaf. Trus nanyain bisa ketemu kamu di mana
Daisy kembali menarik napas lebih panjang.
Pada akhirnya, jemarinya mengetikkan balasan.
Day : Nggak usah
Giras : Ok
Giras. : kalau aku? Dimaafin?
Auk!
Daisy cepat-cepat memasukkan ponsel ke dalam tas.
Kenapa sih dia harus membaca Whatsapp itu sekarang? Bikin buyar konsentrasi saja!
Tuh kan, jadi lupa mau nulis apa?
Daisy menarik notes untuk mencocokkan lagi setiap adegan juga timeline di dalam novel. Salah satu kesalahan fatal dari sebuah naskah adalah inkonsistensi, mulai dari penamaan karakter, waktu, sampai karakterisasi. Jangan sampai deh, karakter yang sama tapi namanya jadi berubah. Misalnya, di awal cerita, nama sidekick Siti, tiba-tiba di tengah berubah jadi Sari. Atau karakter yang semula di awal digambarkan tinggi langsing, di pertengahan malah berubah jadi pendek gemuk.
Butuh kesabaran tingkat tinggi untuk memeriksa kembali naskah itu dari awal sampai akhir. Setelah revisian dikirim, setidaknya Daisy masih punya waktu bersantai barang seminggu.
Hei! Bagaimana kalau dia mulai dengan membuat prolog untuk tulisan di platform?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top