Sixteenth Planting

Sixteenth Planting


Rencana liburan ke pulau Pramuka telah mendapat persetujuan dari mama. Daisy tidak perlu repot-repot meminta ijin karena Gita yang melakukannya sendiri. Mama tentu tidak bisa menolak permintaan Gita, apalagi mereka tidak hanya pergi berdua, tetapi juga ditemani oleh Giras. Jadi, bisa dibilang aman. Lagipula, mama memang mengatakan kalau sesekali Daisy perlu liburan.

Jam tangan yang kemarin tertinggal di apartemen Giras, juga telah dikembalikan. Bukan Gita yang mengambilnya karena Giras berbaik hati mengantarkan jam tangan ke rumah, saat menjemput Gita untuk menginap di apartemennya.

"Nanti besok aja kita packing bareng."

Daisy sebetulnya telah menyiapkan sebagian besar barang yang akan dibawa. Jadi, soal packing, dia tidak terlalu memikirkan.

"Gue tinggal ngatur pakaian yang mau dibawa aja sih," balas Daisy. Dia lalu bertanya mengenai barang apa saja yang masih harus dia persiapkan.

"Lo emang udah berapa lama nggak liburan sih?" tanya Gita, seperti sedang meledek, tapi memang terlihat sedang penasaran.

"Lumayan lama. Gue lupa kapan terakhir kali liburan sampai nginap gitu. Mungkin sekitar lima tahunan." Kata Daisy. Untuk orang yang memiliki pekerjaan tidak terikat waktu sampai harus duduk seharian di kantor, Daisy merasa dia tidak perlu-perlu amat sama yang namanya liburan. Setiap hari bisa jadi hari libur baginya.

"Wah. Ini sih definisi, lo butuh piknik." Gita tertawa.

Mereka kini telah berjalan masuk ke dalam kamar Daisy. Tadinya mereka hanya ingin mengobrol di teras, menunggu sampai Giras menjemput Gita. Giras sedang berada di rumah sebelah. Kata Gita, biasanya Giras juga mengobrol bersama Om Ferry. Atau bisa jadi malah sedang asyik tidur. Kamar yang ditempati Giras di rumah sebelah memang sangat nyaman.

Gita berjalan menuju jendela yang sedang terbuka. Dia melongok ke rumah sebelah.

"Gue curiga deh Mas Giras lagi tidur. Lagian, dia mau ngobrolin apa, siang-siang begini? Tadi, gue lihat Om Ferry lagi selonjoran di depan TV, siap-siap mau tidur siang. Sementara Tante Elis juga bilang lagi ngantuk."

"Biarin aja." Cegah Daisy sebelum Gita meneriaki Giras dari balik jendela.

"Iya deh."

Gita menghela napas lalu berbalik menghadap ke arah kamar sambil tetap duduk di dekat jendela.

"Dia tuh lagi pusing."

"Siapa?"

"Mas Giras." Jawab Gita pelan. "Helen mau nyusul ke sini."

"Trus? Kan bagus disamperin sama...pacar?"

Iya kan? Helen pacar Giras? Atau...bukan?

"Iya sih. Tapi, dia kan katanya lagi sibuk. Trus, sebenarnya gue tuh bingung sama hubungan mereka." Gita juga terlihat sama dengan ucapannya. "Harusnya gue nggak ikut campur, karena ini urusan Mas Giras."

Daisy mendengarkan dengan awas. Dia tidak mau sampai melewati batasan. Urusan semacam ini, bukan urusan yang perlu urun saran darinya. Dia saja sampai sekarang masih jomlo.

"Harusnya sih, lo memang nggak ikut campur." Kata Daisy.

Gita meringis. "Gue kepo banget sih, sama kehidupan asmara kakak gue. Gemes banget deh, sebenarnya dia maunya gimana. Katanya punya pacar, tapi nggak ada yang benar-benar diseriusin. Gue nggak mau aja, dia sampai ngapa-ngapain anak orang."

Daisy tersenyum tipis. "Jadi lo nggak percaya sama kakak lo sendiri?"

"Bukan gitu. Tapi, gimana ya? Mas Giras lumayan tertutup sih soal itu. Dia hanya bilang, kalau dia sama Helen tuh nggak punya hubungan apa-apa. Tapi, gue nggak yakin karena bisa aja kan itu hanya alasan dia aja buat ngehindarin Helen." Gita mengerutkan kening sambil meletakkan telunjuk untuk menopang pipinya. "Gini nih, kalau nggak punya cowok. Akhirnya malah sibuk mikirin hubungan kakak gue sendiri."

Daisy tidak tahu harus tertawa atau tersenyum miris. Dia hanya orang lain. Posisinya di sini hanya sebagai pendengar setia.

Melihat Daisy hanya diam dan duduk, Gita menghampirinya, ikut duduk di tepi tempat tidur.

"Lo sendiri, ngeliat Mas Giras itu seperti apa?"

Daisy menatap Gita, bingung.

"Maksudnya?"

"Lo ngeliat dia seperti figur seorang kakak, teman, atau malah orang asing?"

Daisy berpikir sejenak, lalu menjawab. "Yang terakhir, mungkin."

Gita berseru. "Kok bisa?" Tapi kemudian dia tertawa. "Iya juga sih. Kalian kan memang jarang ngobrol dari dulu." Gita lalu duduk bersila. "Menurut lo, Mas Giras, ganteng nggak?"

Eh? Pertanyaan macam apa ini?

"Ini pertanyaan yang random banget, sumpah." Senyum Daisy mendadak lenyap. Kok bisa-bisanya pertanyaan semacam itu muncul?

"Jawab aja, kenapa sih?"

Daisy menghela napas. "Ganteng."

Dia malas mikir mau menjawab apa.

"Sifatnya gimana?"

Daisy langsung memukul lengan Gita, pelan.

"Lo mau ngomong apa sih, sebenarnya?" Daisy hanya menemukan wajah Gita yang sedang tersenyum sambil menatap layar ponselnya yang berkedip. "Jemputan gue udah ada di bawah."

Astaga. Pertanyaannya bahkan belum dijawab, Gita sudah melesat pergi.

"Hei, Gita!"

"Sampai ketemu besok!"

***

-Giras-

Pulau Pramuka yang mereka datangi ini, tergolong sebagai obyek wisata yang sangat populer di kepulauan Seribu. Giras sendiri belum pernah ke sana, begitupun Gita dan Daisy. Tapi hal itu bukan masalah, karena pulau tersebut juga bukan pulau kecil yang terasing sampai mereka tidak tahu harus bagaimana untuk bisa sampai ke sana, apalagi terpikir bagaimana cara bertahan hidup. Semuanya terasa mudah dan menyenangkan sejak berangkat dari rumah.

Gita pasti sudah gila dengan omongannya semalam.

Bisa-bisanya dia mengajukan pertanyaan untuk mengetes Daisy.

Wait.

Pertanyaannya, mengapa sekarang dia jadi penasaran dengan jawaban Daisy?

"Ngelamun, Bang!" Gita datang tiba-tiba dari arah belakangnya, sambil menepuk punggungnya. Agak keras.

"Dari mana?" tanya Giras sambil menoleh ke belakang. Gita dan Daisy itu selalu menempel satu sama lain sejak berangkat dari Jakarta. Jadi sudah pasti, di mana ada Gita, di situ ada Daisy.

"Ya, dari kamarlah. Mau dari mana lagi?" Gita lalu ikut berdiri di sampingnya, menikmati pemandangan malam yang gemerlap dengan lampu-lampu. "Gimana? Udah berhasil ngomongnya?"

Giras memberi isyarat kepada Gita untuk memelankan suaranya.

"Nggak ada kesempatan."

Gita berdecak. "Ya ampun. Nggak ada kesempatan gimana?"

"Kamu kayak nggak tau aja dia gimana."

Gita bersedekap sambil memandangnya. "Kalau Mas nggak ngomong, nggak akan ada penyelesaian, lho." Gita membuang napas. "Salah Mas juga, kenapa ngasih harapan kalau memang nggak ada niat buat serius?"

"Dari awal, Mas nggak pernah ngasih harapan ke Helen. Mas kan hanya bilang, dijalanin aja dulu. Tapi kemudian dia jadi makin posesif."

"Trus gimana kalau dia beneran dateng?"

"Ya, mau nggak mau, Mas harus hadepin."

"Hmm. Gitu ya?" Gita juga ikut dibuat pusing. Giras sudah menceritakan tentang Helen, menjelaskan mengapa selama ini Giras menjauh. Helen mungkin berpikir bahwa kepindahan Giras ke Jakarta karena menghindarinya. Padahal, Giras memang sudah berencana pindah karena urusan pekerjaan. Secara kebetulan saja, momen itu bertepatan dengan keinginannya menjauh sejenak dari jangkauan Helen.

"Ya udah. Mendingan sekarang, Mas nikmati aja liburan ini. Soal Helen, nanti aja dipikirin lagi."

Saran Gita diangguki Giras dengan cepat. Tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang hanya berpotensi menambah beban pikiran.

Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara Daisy memanggil Gita.

"Aku balik ke kamar dulu, Mas. Tuh anak memang nggak bisa ditinggalin lama-lama. Mana betah banget tinggal di dalam kamar. Ngapain liburan, kalau nggak mau jalan-jalan." Gita malah jadi menggerutu sendiri.

"Dia malu kali sama Mas."

Gita tersenyum. "Sepertinya."

Bukan tanpa alasan, Giras bicara seperti itu. Giras sendiri tanpa sengaja memerhatikan gerak-gerik Daisy. Gadis itu paling tidak bisa ditatap berlama-lama. Dia akan memalingkan wajah ketika secara kebetulan mata mereka tidak sengaja bertemu. Lalu, ketika Giras mengajaknya mengobrol, Daisy akan menjawab seadanya. Belum lagi, suaranya yang terdengar begitu pelan.

Ini, Giras mengira jika Daisy merasakan sesuatu kepadanya atau malah hanya dirinya yang kegeeran sendiri?

***

Seusai makan malam, mereka bertiga duduk-duduk di depan resort, menikmati pemandangan laut di sekitar dermaga dengan penerangan berasal dari lampu-lampu yang sengaja dipasang temaram. Pencahayaan sedikit lebih terang oleh cahaya rembulan. Setelah memanjakan perut dengan santapan berupa aneka seafood, saatnya bersantai sejenak sebelum beranjak kembali ke kamar.

Angin laut yang dingin menerpa wajah Daisy. Rasanya begitu segar.

"Ini serius nggak mau nambah semalam lagi?" tanya Gita. Entah bertanya kepadanya atau kepada Giras.

"Daisy nggak bisa lama-lama liburan, ya nggak?" Giras balik bertanya. Sepertinya kepada Gita.

"Iya. Nggak tenang aja, ninggalin rumah lama-lama." Daisy menjawab sambil memandangi laut. Sejak tadi, dia merasa Giras menoleh ke arahnya.

Atau hanya perasaannya saja ya?

"Lo segitu perhatian sama keluarga lo."

"Tepatnya karena gue anak rumahan." Daisy tersenyum sendiri.

"Sejak dulu sih, nggak pernah berubah." Timpal Gita.

"Nggak kayak kamu, Git. Berasa badan gatal-gatal kalau seharian tinggal di rumah." Kali ini Giras meledek kebiasaan Gita.

Kalau soal ini, Daisy setuju. Dalam arti, Gita memang tipe orang yang tidak bisa duduk diam di dalam rumah. Sangat berbeda dengannya.

"Itu namanya memanfaatkan waktu dengan baik. Kalau Daisy, memang selain betah di rumah, juga buat keperluan nulis kan? Nulis butuh konsentrasi tinggi, sedangkan jalan-jalan butuh kondisi fisik yang baik."

Ucapan Gita juga benar. Apapun yang mereka lakukan, selama mereka senang menjalaninya, semestinya tidak menjadi masalah besar. Malah dia senang, karena Gita punya banyak stok cerita. Dia senang-senang saja mendengarnya. Gita bisa menjadi narasumber buat materi tulisan, jadi risetnya bisa terbantu.

"Lo bilang mau bikin karakter cewek petualang. Gue bersedia jadi role model." Kata Gita bersemangat.

Daisy mengangguk, lalu tiba-tiba teringat bahwa dia juga sedang menggarap sebuah cerita yang memiliki karakter seperti "katakanlah" Giras.

Hmm, dua bersaudara ini bisa jadi bahan potensial untuk tulisannya.

"Pede banget kamu. Kalau kamu jadi inspirasi, ceritanya bakal membosankan. Mending aku saja. Gimana?" Giras tidak mau kalah.

Gita mendengus. "Mau dibikin apa ceritanya? Ala sinetron hidayah, di mana playboy jadi insyaf karena bertemu perempuan salehah."

Daisy terkikik sendiri. Imajinasi Gita boleh juga, tapi tidak. Daisy merasa belum punya kapasitas mumpuni untuk menulis cerita religi.

"Sebenarnya aku memang lagi mengembangkan karakter tokoh utama yang seperti Kak Giras." Daisy tidak tahu mendapat keberanian dari mana saat mengatakannya.

"Hah? Serius?" Gita berseru nyaring. "Jangan deh, mendingan."

"Kenapa? Ada yang salah? Malah bagus, nyari bahannya gampang." Giras menelengkan kepala untuk melihat Daisy. "Jadi kapan mau nanya-nanya? Aku siap kapan saja kamu mau."

Gita menggeleng-geleng. "Bisa-bisanya ya, Day? Nyesal kamu, ntar."

"Cuma jadi referensi karakter aja. Biar bayanginnya lebih gampang." Daisy menjawab diplomatis. Dia bahkan sudah lupa kalau dia seharusnya menghindari interaksi lebih jauh dengan Giras.

Daisy lalu mengobrol lagi berdua dengan Gita sementara Giras pamit sebentar untuk mengambilkan minuman untuk mereka bertiga. Rasanya duduk di sini, membuatnya betah. Padahal sejak tiba di resor, Daisy lebih senang bermalas-malasan di dalam kamar.

"Punya kakak laki-laki pasti seru banget ya? Ngeliat kalian berdua yang sering saling ledek tuh bikin gue iri." Daisy menghela napas.

"Seru apanya? Yang ada malah, gue dibikin kesal melulu sama dia. Kalau usilnya lagi kambuh, rasanya pengen gue tonjok beneran." Keluh Gita.

"Tapi kelihatannya Kak Giras usil hanya karena biar seru aja." Daisy tertawa kecil. "Gue baru menyadari hal itu sekarang."

"Maksudnya?" tanya Gita.

Daisy mengangkat alis. Apa dia salah ngomong?

"Aaah, nggak kok. Nggak apa-apa." Daisy menjawab, sedikit terbata.

"Kalian beneran nggak pernah ngomong berdua?" Gita malah bertanya lebih lanjut.

"Kan nggak akrab. Apa yang mau diomongin?"

Gita membuang napas panjang.

"Hmm. Bener juga."

"Bener apanya?"

Baik Daisy maupun Gita sama-sama berbalik ke belakang. Pertanyaan barusan berasal dari Giras yang sudah kembali dari mengambil minuman. Dia mengangsurkan sebotol minuman dingin rasa buah kepadanya sambil tersenyum. Daisy menerimanya kemudian mengucapkan terima kasih.

"Kalian berdua." Gita memutar tutup botol teh rasa buah di tangannya. "Dari dulu nggak bisa akrab, itu...kenapa?"

"Nggak kenapa-napa." Jawab Giras lebih dulu. "Iya kan, Day?"

Daisy merasa asing mendengar Giras memanggilnya seperti itu.

"Iya. Nggak ada apa-apa. Mungkin, susah nyambung kalau ngobrol?" Daisy tidak yakin akan jawabannya sendiri. Padahal dia seharusnya paham bahwa dialah yang selama ini terkesan menutup diri.

"Ya, biarin aja kayak gini. Lama-lama juga akrab." Giras meneguk cola dalam tegukan kecil. Mulutnya terdengar mengecap. "Cola botolan, beda ya sama kalengan?"

Ketika tidak ada yang bersuara karena sibuk minum, Giras melanjutkan ucapannya.

"Cewek kalau nggak ngasih sinyal buat dideketin, seharusnya memang nggak dipaksakan. Kalau berakhir si cewek malah ilfeel, yang rugi kan cowoknya?" Giras meneguk lagi minumannya. "Ya nggak?"

Gita mengangguk-angguk. "Alasan yang masuk akal. Selama nggak ada kepentingan, mungkin itu alasannya nggak dideketin dulu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top