Seventeenth Planting
Seventeenth Planting
-Daisy-
"Jadi ada keperluannya baru dideketin dulu." Giras mengangguk-angguk. "Noted."
Gita mencibir. "Sok-sokan baru tau."
"Biasanya juga gitu. Dan seharusnya memang gitu. Sinyal itu penting. Cewek ngasih sinyal buat dideketin, trus cowok harus bisa peka menangkap sinyal yang dikasih itu."
Gita menatap kakaknya semakin serius. Seakan kalimat yang Giras ucapkan adalah sebuah pengetahuan maha penting. "Trus gimana caranya cowok bisa nangkep sinyal yang dikasih sama si cewek?"
Giras tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia memilih menghabiskan waktu semenit lebih, menikmati minumannya.
"Coba tebak dulu, baru aku kasih tau jawabannya."
Gita menjawab lebih dulu. "Pake feeling-lah. Memangnya pake apalagi? "
"Kalau menurut kamu, Day?" Giras menuding ke arahnya.
Daisy hanya mengikuti jawaban Gita. "Sama. Pake feeling juga."
"Gampang banget ya jawabannya? Tapi, buat ngandelin feeling, jam terbang juga diperlukan. Cowok yang punya feeling bagus, kemungkinan besar, jam terbangnya juga udah tinggi."
Gita terlihat makin penasaran. Kalau sudah begitu, biasanya pertanyaannya akan semakin banyak.
"Trus, cara cewek ngasih sinyal, gimana?" tanya Gita.
"Tergantung karakter ceweknya." Jawab Giras. "Kalau orangnya terbuka, sinyal yang diberikan lebih mudah terbaca. Misalnya, jadi lebih sering ngasih perhatian lebih, bersikap lebih manis, selalu ingin menghabiskan waktu bersama dengan cowok yang ditaksir. Biasanya juga langsung ngomong aja."
"Trus, kalau ceweknya tertutup? Gimana?"
Giras malah menudingnya lagi. "Coba tanya Daisy."
Kenapa sih, pertanyaan itu harus dilemparkan kepadanya?
"Mana mungkin Daisy mau jawab. Ada-ada aja deh." Gita berbaik hati menjawabkan untuk Daisy. Bagus, Daisy merasa tidak perlu capek-capek mencari jawaban untuk pertanyaan aneh.
Giras meletakkan botol di sampingnya.
"Salah tingkah dan menjaga jarak, mungkin?" Kata Giras yang kebetulan memberi tatapan lurus ke arahnya. Sebelum Daisy memalingkan pandang, dia sempat menangkap seulas senyum di wajah laki-laki itu.
Seringai, lebih tepatnya.
"Sering ngelamun, juga termasuk ya? Aku suka gitu, soalnya." Gita menunjuk dirinya. Tidak lama, Giras sudah mengacak-acak rambut Gita, mendengar jawaban sarat candaan.
"Kalau kamu, nggak mungkin diam. Kemarin, ngasih sinyal ke Doni kencang banget."
Gita langsung menutup mulut kakaknya menggunakan telapak tangan.
"Doni siapa, Git?" Daisy jadi penasaran.
"Bukan siapa-siapa." Gita memukul-mukul Giras dengan botol kosong. "Udah jangan ember, makanya!"
Daisy masih tertawa saat tatapan Giras kembali terarah kepadanya. Jarang-jarang Giras memberi tatapan dalam waktu cukup lama.
Mau ngetes apa gimana?
"Makanya jangan kebanyakan sinyal...,"
Gita kembali mencubit Giras. Sementara Giras sudah tertawa-tawa sendiri.
"Diem nggak?" Ancam Gita kesal.
Masih sambil tertawa, Giras beranjak dari duduknya.
"Udahan ah. Udah ngantuk. Aku balik duluan." Giras segera pamit, sepertinya karena khawatir terkena serangan cubitan bertubi-tubi dari Gita.
"Tuh kan. Emang ngeselin." Gita berbicara sambil bersungut-sungut. Sementara Daisy masih menunggu penjelasan tentang Doni yang dimaksud Giras tadi. Dia tidak akan kaget kalau Gita mengakui kalau si Doni itu adalah sosok spesial.
"Nah, jadi gimana soal si Doni?" tanya Daisy penasaran.
***
-Giras-
Sepeda yang dikendarainya melaju santai menyusuri jalan tidak beraspal. Melakukan tur keliling pulau menggunakan sepeda adalah salah satu kegiatan yang bisa dilakukan di pagi hari. Sehabis berkeliling, mereka akan mengunjungi Taman Nasional kepulauan seribu kemudian dilanjutkan makan siang.
Daisy sudah mengiyakan akan menambah satu malam lagi menginap di sana. Kata Gita, tidak ada masalah. Daisy sudah meminta ijin dan orangtuanya mengijinkan. Malah, semisal Daisy mau menambah beberapa malam lagi, juga bisa. Memang benar, sehari libur, rasanya seperti tidak liburan.
"Syukur deh, bisa nambah semalam lagi. Kebayang nggak, kita mesti buru-buru pulang, sementara masih banyak yang bisa dilakuin di sini. Kita bahkan belum sempat snorkeling." Kata Gita. Sejak memulai tur sepeda, Gita yang paling ingin duluan sampai ke pantai.
"Daisy nggak bisa berenang. Gimana mau diajak snorkeling?" tanya Giras. Mereka berhenti bersepeda sejenak. Berjalan sambil menuntun sepeda untuk mencari tempat duduk-duduk yang nyaman.
"Kalian aja yang snorkeling. Aku bisa jadi penonton."
"Yang pengen banget snorkeling tuh Mas Giras. Nanti kita duluan aja ke taman nasional. Ntar dia nyusul."
"Bukannya kamu yang pengen banget?" Giras mendudukkan bokongnya di atas pasir.
"Tapi Daisy nggak ada temennya?" Gita berpikir. "Atau gini aja. Gimana kalau snorkelingnya gantian?"
"Kalian snorkeling aja, aku nggak pa-pa sendirian. Udah gede ini." Kata Daisy.
"Snorkelingnya kapan-kapan aja. Kita ngikut aja Daisy maunya ke mana." Usul Giras. Jam di tangan menunjukkan pukul sembilan pagi. Mereka bisa duduk-duduk sejenak sebelum bersiap-siap ke taman nasional.
"Justru aku yang mau ngikut kalian." Daisy ikut melihat jam tangan yang pernah ketinggalan di apartemennya.
Giras berbalik menatap laut sambil memicingkan mata. "Jam segini, matahari udah lumayan terik ya?"
"Belum jalan, gue udah laper lagi. Gimana kalau kita makan dulu sebelum ke taman nasional?" Gita mengelus perut. "Padahal udah keisi penuh, masa baru dua jam, udah laper lagi?"
"Gampang kalau soal makan. Pertanyaannya, bisa muat nggak di perut kamu?" Giras mencari-cari kacamata yang tadi dia lepaskan.
"Nih, Kak, kacamatanya." Daisy mengambil kacamata yang sempat tertutup pasir dan menyerahkannya.
"Thanks."
Teringat teorinya semalam, Giras mencoba mencari tanda itu pada diri Daisy. Ketika tatapan mereka bertemu, Daisy selalu yang mengalihkan pandang lebih dulu.
Membuktikan teori tidak selalu mudah. Tapi yang pasti, dia malah jadi penasaran.
"Inspirasi kamu nulis, biasanya dari mana?"
Gita sedang asyik berjalan berkeliling sambil memotret, jadi Daisy pasti tahu kalau pertanyaan itu datang darinya.
"Dari mana saja. Dari buku, film, atau dari apa yang aku lihat dan dengar." Daisy nampak tidak yakin, Giras tengah bertanya padanya. Wajahnya bingung tapi Giras melihat jelas sikap salah tingkah gadis itu. Mungkin memang tidak ada apa-apa. Teorinya mungkin saja salah.
"Oh, gitu." Giras mengangguk-angguk. Dia tahu, obrolan itu tidak akan terjadi jika bukan dia yang memulai. Hening, belum lagi, Daisy yang sesekali melihat ke mana Gita pergi.
"Gita nggak bakalan hilang. Tenang aja." Giras mengatakan hal itu, saat Daisy terus menerus memerhatikan Gita yang masih asyik mengambil gambar dengan kamera.
Daisy tersenyum kikuk sambil membuka tas selempang yang sejak tadi tidak pernah lepas dari bahunya. Mengambil permen. Dia mengambil dua, dan memberikan satu.
"Ngapain makan permen?" tanya Giras, melihat bungkus permen karamel di tangannya. Dia tidak berniat makan permen. Sebaliknya, dia menunjuk botol air mineral milik Daisy. "Boleh minta minum?"
Daisy mengambil botol berukuran 600 ml, tapi tidak langsung memberikannya.
"Udah aku minum tadi. Bekas mulut aku."
"Nggak apa-apa."
Daisy masih ragu, tapi tetap mengulurkan botol tersebut. "Nggak usah dibalikin. Diabisin aja."
Giras tersenyum. Tingkah Daisy tadi, antara malu dan ketus. Dia mungkin berkata dalam hati.
'ngapain minta. Beli aja sendiri sono.'
"Gita udah bilang kapan mau balik Surabaya?" tanya Giras setelah puas membasahi kerongkongannya yang sejak tadi, terasa kering.
"Mm, belum."
"Sesekali main ke Surabaya." Giras tahu ucapannya ini terlampau "jauh". Dia punya hak apa menawarkan hal semacam itu?
Daisy yang sejak tadi menunduk, kini sedikit mengangkat wajahnya.
"Nggak bosen di Jakarta melulu?"
Daisy menggeleng pelan. "Bosen sih relatif. Namanya hidup, pasti ada bosennya. Tapi, kalau udah ngerasa nyaman, aku bakal tetap di situ aja."
"Kalau udah nyaman, pasti bakal betah ya?" Giras mengatakan dengan suara datar. Hal itu terdengar sangat sederhana, tapi memiliki makna yang dalam.
Daisy menunjukkan anggukan. "Aku nyusul Gita dulu ya?"
Tanpa menunggu jawaban, Daisy sudah beranjak dan melesat pergi menyusul Gita.
***
-Daisy-
Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan sebuah taman nasional yang memiliki luas daratan sekitar 500 hektar. Berada di salah satu pulau di antara banyak pulau di gugusan kepulauan seribu, obyek wisata ini menjadi faktor penarik wisatawan yang datang berkunjung. Sejak mereka hendak bepergian ke pulau itu, Daisy sudah mencari referensi di internet. Setidaknya dia memiliki bayangan akan tempat tersebut sebelum benar-benar pergi ke sana.
"Bagus banget di sini." Entah sudah berapa kali Daisy menggumam. Dia memanfaatkan kamera ponselnya yang lumayan canggih untuk mengabadikan gambar. Sesekali, Daisy mengintip hasil foto Gita menggunakan kamera khusus fotografi. Kualitas kamera mahal tidak bisa bohong.
"Nanti jangan lupa bagi fotonya."
"Iya, iya." Gita melihat hasil fotonya. Melihat Daisy berdiri di jembatan, Gita memintanya berpose. "Lo bergaya deh, biar gue fotoin."
Daisy mengambil gaya foto yang sudah jadi kebiasaan. Tidak banyak yang bisa dia lakukan sebagai model amatiran.
"Pegangan di jembatan trus, badannya agak serong dikit." Gita mendekat, sembari memberi instruksi.
"Gue bukan model, Git." Daisy ragu, tapi mencoba mengikuti pose yang disuruhkan Gita.
"Biar fotonya bagus, Day. Udah nggak usah malu-malu. Pede aja." Gita mengambil aba-aba hendak memotret. "Ya, gitu. Senyumnya rileks dong. Jangan kaku."
Setelah selesai, Daisy berlari menuju Gita untuk melihat hasilnya.
"Keren banget." Kata Daisy senang.
Mereka masih mengamati hasil foto ketika Giras diam-diam memotret mereka dari jauh. Sebelum Daisy mencegah, Giras kembali memotret mereka.
Tadinya, mereka sempat berpencar. Giras pergi sendiri ke arah berlawanan. Sekitar setengah jam kemudian, dia menghampiri ke jembatan. Jumlah wisatawan tidak terlalu banyak, jadi mereka bisa leluasa berfoto.
"Day, fotoin gue sama Mas Giras dong." Gita menyerahkan kameranya, kemudian berdiri di dekat Giras yang sedang sibuk dengan ponselnya. Gita menyikut Giras, memberi isyarat supaya Giras melihat ke arah kamera. Giras tersenyum lebar dan Daisy memotret tepat ketika kedua bersaudara itu sama-sama tersenyum.
"Daisy belum pernah foto sama Mas Giras kan?" tanya Gita. Foto dirinya dan Gita, foto mereka bertiga sangat banyak sejak kemarin, tapi foto Daisy bersama Giras memang tidak ada satupun.
"Buat apa?" tanya Daisy setengah berbisik.
"Ya buat dokumentasi-lah, Day." Jawab Gita yang kini menyuruhnya Giras berdiri di sampingnya. Melihatnya berdiri mematung, Gita menggeleng-geleng sambil tersenyum.
"Kamu nggak mau foto sama saya?" tanya Giras saat mereka sudah berdiri berdampingan. Senyum Daisy seolah terpaku, tidak leluasa seperti foto-foto sebelumnya.
"Bukan begitu." Daisy merapikan tali tas selempang, kemudian memegang talinya dengan kedua tangan.
"Lalu, kenapa?"
Tanpa aba-aba, Gita sudah memotret mereka yang masih sedang mengobrol. Sampai di pose terakhir, di mana Daisy masih berdiri dengan pose sama, tapi dengan Giras yang berdiri menempel di sampingnya. Dia bisa merasakan pergesekan kulit lengan mereka satu sama lain. Aroma parfum Giras juga tercium jelas. Dia menoleh, sedikit mendongak untuk sekadar memastikan ekspresi wajah laki-laki itu.
"Nggak kenapa-napa." Jawaban itu rasanya sudah terlambat karena Giras sudah bergerak lebih dulu menuju ke arah lain. Sekadar melihat-lihat pemandangan.
Daisy mendesah, membuang napas.
Dia pikir, pernah naksir seseorang di masa lalu, hanya akan jadi sebuah cerita yang harus dilupakan.
Namun jika seseorang itu nyata, dan sialnya perasaan itu mungkin masih ada, mengapa rasanya jadi tidak nyaman?
Dia pernah naksir Giras. Tapi itu dulu.
Sekarang?
Mmh...mungkin tidak lagi.
Entahlah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top