• si manis michi

Dan di sinilah Runa. Berada di tempat yang kemarin dia gunakan untuk berteduh dari hujan. Tidak seperti kemarin, toko fotocopy itu cukup ramai oleh anak sekolah yang entah tengah mengerjakan apa. Mungkin tugas makalah? Runa tidak peduli. Dia hanya memperhatikan seorang perempuan yang tengah sibuk melayani pelanggan. Sepertinya orang itu karyawan yang Nevan maksud. Dia kira laki-laki.

Runa jadi tidak yakin mereka hanya sekadar karyawan dan majikan. Dia segera menggeleng, dengan cepat tersadar itu bukan urusannya.

"Ini kartunya." Nevan datang dengan sebuah kartu SIM. Runa segera menerimanya dan membayar.

"Gue pilihin nomor yang mudah buat diingat."

Runa hanya menatapnya sekilas. "Jangan bilang lo udah nyimpen nomor ini duluan?"

Nevan mengangguk. "Gue izin minta nomor lo, ya?"

Gadis itu mendelik. "Di mana-mana tuh izin dulu baru bertindak, dasar." Namun, dia tidak protes lagi. Malas berdebat lebih panjang.

"Jadi, ini toko milik lo sendiri?" Kali ini Runa mencoba tidak sungkan untuk bertanya, dia penasaran.

"Sekarang iya. Dulunya ini milik Pakdhe, tapi semenjak beliau wafat gue dipercayakan buat megang toko ini. Mungkin karena sejak pindah ke sini gue udah sering bantu dia jualan. Semua anak-anaknya juga pada merantau, jadi cuma gue satu-satunya pilihan yang dia punya. Budhe udah terlalu tua buat ngurus ginian," jawab Nevan panjang lebar.

Runa mengangguk, merasa sedikit kagum. Padahal mereka seumuran, tetapi Nevan sudah pintar dalam berbisnis. Dia sudah punya toko sendiri, meskipun ini peninggalan dari pamannya. Namun, tetap saja cowok itu bisa menjalankan dan mempertahankan bisnis ini dengan baik.

"Oh iya, kalau dilihat kemarin ada kamar di belakang, berarti lo tinggal di sini juga?"

Nevan mengangguk.

"Kenapa enggak tinggal bareng nyokap lo? Oh iya, gue sama sekali belum ketemu dia semenjak datang ke sini. Ketemunya lo mulu, sampe bosen."

Cowok itu tertawa. "Mama kerja, jadi jarang ada di rumah. Gue tinggal di sini karena lebih nyaman aja dari pada di rumah. Rasanya sepi, di sini gue bisa menyibukkan diri dengan berbagai kerjaan kalau lagi jenuh. Sebenernya ada Michi juga, sih, yang nemenin gue di sini. Jadi, gak yang terlalu kesepian juga."

Runa mengernyit. Michi itu ... dia spontan menatap pada karyawan wanita yang kini tengah sibuk dengan mesin fotocopy.

"Michi itu kucing gue."

Oh!

"Gue enggak liat dia kemarin."

"Kemarin dia dibawa sama ponakan gue ke rumahnya, baru dibalikin pas malamnya. Kenapa? Lo pengen ketemu dia? Lucu, loh."

Kucing? Runa sangat menyukai hewan lucu yang satu itu, makanya dia mengangguk dengan cepat dan cukup antusias tanpa sadar.

"Masuk aja kalau gitu."

"Kenapa enggak di sini aja?"

"Terlalu ramai, takutnya Michi malah gak nyaman dan kabur lagi ke kamar. Yah, itu, sih, kalau lo mau."

Benar juga. Lagi pula hanya melihat kucing, tidak ada salahnya, kan? Mereka lalu masuk ke dalam. Benar saja, ketika masuk ke ruangan itu untuk kedua kalinya, kali ini dia disambut dengan seekor kucing berbulu abu-abu yang ternyata masih sangat mungil. Runa tidak bisa menahan kegemasannya dan langsung membawa kucing tersebut ke dalam gendongannya. Senangnya, kucing itu sama sekali tidak memberontak dan tampak nyaman-nyaman saja.

"Lucu banget! Halow, Michi. Dia umur berapa?"

"Hampir tiga bulan. Gue adopsi dia dari jalanan. Waktu itu masih kecil banget, sendirian di pinggir jalan. Akhirnya gue jadiin temen, deh. Yah, lebih tepatnya majikan, sih, dan gue babunya."

Runa tertawa kecil, beralih menatap kucing itu dengan gemas. "Sering-sering, deh, ya kamu repotin dia Michi. Kalau perlu kuras semua duitnya buat kesejahteraan kamu."

Nevan hanya tersenyum. Dia masih diam memperhatikan Runa yang masih dengan keantusiasannya bermain bersama Michi. Perhatiannya teralihkan ketika sebuah pesan masuk. Dia hanya membacanya sekilas lalu melihat pada jam di ponsel. Tanpa membuka apalagi membalasnya, dia menyimpan ponsel itu kembali ke atas meja yang berada di samping ranjang.

"Kalau lo masih mau main sama dia, bawa pulang aja enggak papa. Gue jemput nanti malam kalau enggak sore."

"Serius?"

Nevan mengangguk. "Gue mau bantuin Jihan. Biasanya hari senin gini rame banget. Biar Michi juga punya temen buat main. Sekalian biar lo enggak ngerasa bosen sendirian di rumah."

Tentu saja Runa tidak menolak. Dia segera membawa kucing itu pulang bersamanya setelah memasukkannya ke dalam pet cargo berwarna biru muda yang tampak cantik.

Sesampainya di rumah, dia melepaskan Michi. Kucing itu tampak jauh lebih aktif membuat Runa senang. Sambil membiarkan makhluk mungil itu bermain sendirian, Runa kembali fokus pada ponselnya. Dia memasang kartu SIM-nya yang terbaru setelah mencatat nomor milik Nilam. Setelah selesai, dia langsung menghubungi wanita itu. Biasanya dipagi hari semacam ini Nilam masih tidur karena jam kerjanya sore sampai malam. Biarkan saja, Runa ingin cepat-cepat melepas rindu. Bersyukur, wanita itu menjawab telfonnya meskipun diawali dengan omelan. Mereka kini beralih video call.

"Baru juga dua hari udah mungut kucing aja lo," ucap Nilam ketika Runa memperkenalkan Michi.

"Biar ada temen. Sebenernya bukan punya aku, sih."

"Lo nyolong?"

"Enggaklah. Punya tetangga sebelah. Dia pergi terus aku jagain kucingnya, deh," ucapnya memilih untuk tidak berkata jujur.

Nilam mengernyit. "Lo jauh-jauh ke situ cuma mau jadi babu doang?"

Runa memutar mata. "Ish, enggaklah. Lagian apa salahnya saling bantu? Lagi pula lucu, kan? Namanya Michi."

"Cowok apa cewek?"

"Cewek. Dari namanya aja udah keliatan kalau cewek."

"Bukan kucingnya, tapi tetangga lo."

Runa tidak langsung menjawab. Sialnya, hal itu bisa langsung dipahami oleh Nilam yang langsung berdecak. Dari sini dia bisa melihat wanita itu mengambil rokok dan membakar bagian ujungnya dengan korek.

"Awas aja kalau lo kepincut sama sembarang jantan di sana."

"Ish, enggak. Dia temen sekolahku dulu."

"Yah, terserahlah. Suka-suka lo yang penting udah gue ingetin, tapi jangan mau dimanfaatin terus."

Percakapan keduanya berjalan dengan cukup lama dan harus berakhir ketika tiba-tiba Liam datang ke rumah. Dia sempat menyapa Runa sebentar karena Nilam langsung memutuskan sambungan. Jadi, Runa kembali bermain bersama Michi. Namun, setelah beberapa lama dia baru ingat tidak memiliki makanan kucing ketika hewan tampak mencari-cari sesuatu di dapur dan tidak berminat bermain dengannya lagi. Ketika dia memberinya sepotong roti, Michi menolak. Akhirnya, Runa memilih untuk kembali ke tempat Nevan untuk meminta makanan.

Namun, sesampainya di sana nanya ada Jihan-karyawan Nevan.

"Jihan, kan?"

Gadis berambut pendek itu tersenyum dan mengangguk. "Iya, Teh. Nyari Bang Nevan, ya?"

"Iya, dia ke mana, ya?"

"Bang Nevan pergi tadi. Biasa, setiap senin dia pergi ke kota."

Runa mengernyit. "Ngapain?" tanyanya keheranan, pasalnya tadi cowok itu berkata akan membantu gadis itu, tetapi kenapa justru malah pergi ke kota?

Jihan tidak langsung menjawab, tetapi akhirnya gadis itu menggeleng. "Kurang tau, Teh. Bang Nevan gak pernah cerita soal itu. Biasanya dia pulang agak siangan gitu dan paling lambat sore baru pulang. Teh Runa ada perlu apa? Siapa tau aku bisa bantu."

"Itu—aku mau minta makanan kucing buat Michi. Dia lapar kayaknya, tapi aku enggak punya makanan kucing. Soalnya kukasih roti enggak mau."

"Oalah, kalau gitu ambil sendiri aja gimana, Teh? Soalnya aku enggak berani kalau masuk ke kamarnya Bang Nevan. Belum pernah juga, apalagi orangnya enggak ada, jadi kurang sopan aja gitu."

Runa menggaruk rambutnya dan mengangguk. Dia melangkah ke dalam dengan sedikit ragu. Dia kira Jihan sering masuk ke kamar itu, ternyata belum pernah.

Tunggu, kenapa Runa harus merasa lega? Gadis itu menggeleng dan dengan cepat mencari benda yang dicarinya, beruntung benda itu bisa ditemukan dengan mudah. Dia lalu segera keluar dan mengucapkan terima kasih kepada Jihan. Namun, baru beberapa langkah berjalan menjauh, dia berhenti dan berbalik.

"Jihan, gue boleh minta nomornya Nevan?"

•••

Michi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top