• kilas balik
Koridor sekolah kini sudah sepenuhnya dipenuhi oleh murid-murid karena jam pulang sekolah baru saja tiba. Runa mendapat pesan dari seseorang yang sudah menunggunya di depan gerbang sekolah. Gadis yang masih memakai pakaian olahraga itu berlari kecil sepanjang koridor, tidak sabar bertemu dengan seseorang yang sudah dia rindukan sejak perpisahan mereka di jam istirahat. Ketika hampir sampai di gerbang sekolah, langkahnya semakin cepat.
"Gak usah lari-larian gitu, aku enggak akan kabur."
Seorang cowok dengan luka di bawah mata itu tersenyum dan menyodorkan es krim cup yang baru saja dia beli di warung depan sekolah. Hal yang sudah dia janjikan kemarin sore.
"Ih, makasih! Jadi, jalan-jalan, kan?" seru Runa antusias. Cowok itu mengangguk.
"Nevan tukeran tas, dong, berat banget tas-ku. Karena besok udah mulai liburan jadi paket yang kutinggal di kelas harus kubawa pulang hari ini," ucap Runa dengan wajah lesu. Kedua bahunya terasa pegal karena tas-nya berat sekali.
Cowok bernama Nevan itu menghela napas, mengacak gemas poni Runa. "Padahal udah kuingatin buat nyicil di bawa pulang." Tangannya beralih mengambil alih tas sang kekasih untuk ditukar tas miliknya.
"Lupa mulu," jawab Runa dengan cengiran manisnya.
"Eh, tapi makan aja, ya, habis itu pulang. Ada yang mau aku omongin juga ke kamu."
"Mau ngomong apa?"
"Nanti aja di sana."
"Ish, sekarang aja. Kenapa harus nunggu nanti."
"Enggak enaklah dibahas di jalan."
"Emang mau bahas apa?"
"Kita berangkat dulu, nanti juga tahu."
Runa mengalah. Mereka lalu berjalan menuju halte sekolah yang sudah penuh oleh murid yang menunggu jemputan dari orang tua atau menanti bus lewat. Ketika bus datang, Nevan segera menarik tangan Runa agar berada di depannya. Menjaga dari kerusuhan di belakang. Mereka pergi menuju kafe yang baru satu bulan beroperasi tapi sudah viral di kalangan anak remaja di daerah tempat mereka tinggal. Namun, kali ini tempat itu tidak seramai biasanya. Mereka segera memesan makanan. Menyantapnya dengan diselingi obrolan kecil seperti curhatan Runa soal berbagai hal tidak menyenangkan yang dia alami hari ini atau soal nilai ulangannya yang mengalami peningkatan.
Gadis itu suka bercerita, dan Nevan suka mendengarnya.
"Oh iya, kamu mau ngomongin apa?" tanya Runa yang baru teringat dengan obrolan mereka di depan gerbang sekolah tadi. Makanan mereka sudah habis. Hanya tersisa minuman yang sebenernya sudah hampir tandas juga.
"Aku mau bahas soal kita."
Runa mengernyit. "Kita kenapa?"
Nevan diam sejenak, wajahnya tampak lebih tenang seperti biasanya. Hal yang membuat gadis di depannya tidak berpikiran yang aneh-aneh.
"Maaf, ya, Runa, aku rasa hubungan kita enggak bisa lagi berlanjut."
Bagai tersambar petir di siang bolong, Runa membeku di tempatnya terduduk. Dia mengerjap dua kali, mencoba mencari tahu apakah dia salah mendengar atau tidak. Jantungnya mendadak berdetak dengan keras dengan cara yang tidak menyenangkan, sampai membuatnya sedikit sesak.
"Ke-kenapa?"
"Besok, aku bakalan pindah. Ke tempat yang jauh. Mama sama Papa udah resmi cerai jadi aku ikut Mama."
Runa tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba besok cowok itu pindah? Kenapa baru sekarang dia diberitahu. Kepindahan ini tidak mungkin tiba-tiba, kan, bagi Nevan?
"Kenapa tiba-tiba? Kamu gak pernah cerita soal ini sebelumnya. Besok, itu-" Runa kehabisan kata-kata. Napasnya sesak, tenggorokannya seperti terhimpit, rasanya sakit sekali. Dia mencoba menyusun kalimat yang tepat. Kalimat yang benar-benar ingin dia katakan. "Kenapa mendadak? Terus, kita masih bisa LDR-an, kan?"
Nevan masih setia menatap gadis di hadapannya itu dengan wajah tenang. Tidak ada kesedihan di sana, hal yang membuat rasa sesak di hati Runa semakin menjadi-jadi. Apakah hanya dia saja yang merasakan sesak di sini?
"Kayaknya enggak bisa."
"Kenapa?"
"Sulit buatku, Runa."
"Kan, belum dicoba. Kenapa udah bilang sulit? Aku enggak masalah, kok, kalau harus LDR-an. Gak harus mutusin hubungan ini, kan? Ini cuma masalah jarak, Van. Aku enggak masalah. Kita masih bisa chattan, telfonan kalau perlu video call. Pas libur nanti aku bisa datang ke rumah baru kamu, begitu sebaliknya. Lihat, seharusnya nggak ada masalah, kan?"
"Mungkin mudah buat kamu, tapi enggak buat aku, Runa."
"Ya, kenapa?" Nada bicara Runa terdengar bergetar. Sebuah keajaiban gadis itu masih bisa menahan air mata yang sebenernya sudah tidak tertahan.
Nevan menunduk sebentar sebelum kembali menatap Runa. "Aku rasa kita nggak bakalan bisa ketemu lagi."
Bukan itu kalimat yang ingin Runa dengar. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, mengusap mata dan melihat ke luar jendela kafe. Mencoba mengontrol perasaannya yang tidak baik-baik saja.
"Aku enggak ada niatan buat balik lagi ke sini. Aku bakalan tinggal di sana sampai dewasa atau mungkin tua nanti bahkan kemungkinan besar sampai aku mati. Aku enggak akan pernah kembali lagi ke sini."
Suara kursi bergeser terdengar dengan cukup keras. Cukup menarik perhatian beberapa orang, tetapi hanya sebentar. Mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing setelanya. Runa mengambil tas sekolah miliknya yang berada di samping kursi yang di duduki Nevan.
"Oke, kalau memang itu keputusan kamu, aku hargai. Nggak ada yang bisa aku lakuin, kan, kalau kamu enggak mau lanjut? Betah-betah, ya, di tempat baru kamu."
Setelahnya, Runa melangkah pergi. Nevan langsung mengejarnya.
"Biar aku antar pulang."
"Enggak perlu."
"Buat yang ter-"
"Nevan, please." Runa mengumpat dalam hati ketika dia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya. Gadis itu mengusapnya dengan kasar. Dia tidak berani menatap pada cowok di sampingnya itu. "Kita udah bukan siapa-siapa, jadi hargai juga keputusanku. Aku mau pulang sendiri."
"Runa, maaf."
Itu adalah kalimat dan suara terakhir yang Runa dengar sebelum akhirnya mereka benar-benar berpisah karena gadis itu langsung melambaikan tangan menghentikan sebuah taksi. Sepanjang perjalanan pulang, Runa menangis sejadi-jadinya di dalam mobil. Tidak peduli pada supir taksi yang ikutan panik dan mencoba menenangkannya. Gadis itu menutup mulut, mencoba menahan isakan, tetapi tidak berhasil karena obrolan tadi terus berputar di kepala membuat dadanya semakin sesak dan sakit.
Sesampainya di rumah, Runa langsung menuju kamarnya dan mengunci diri agar tidak ada yang mengganggu. Dia sedang butuh ketenangan, tapi sepertinya Nilam tidak bisa menangkap maksud tindakannya itu. Wanita tersebut terus-terusan menggedor pintu dengan keras memaksa Runa agar membukanya. Dia bahkan mengancam akan merusak pintu itu jika tidak kunjung di buka.
Alhasil, Runa membuka pintu kamarnya. Wajahnya sudah penuh dengan air mata. Tanpa kata gadis itu langsung menghambur ke pelukan sang ibu lalu menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semuanya lewat air mata di dalam pelukan yang hangat.
Itu adalah kali pertama seseorang mematahkan hatinya.
"Runa!"
Seruan itu membuat Runa terlonjak kaget dan kembali pada kesadarannya. Gadis itu mengerjap dan menoleh ke samping. Menatap pada seorang cowok yang masih betah duduk di depan komputer, tetapi kali ini tatapannya tertuju padanya.
"Ngelamunin apa, sih, sampai dipanggil beberapa kali enggak nyahut?"
Mendapat pertanyaan itu membuat Runa berdeham. Dia hanya menggeleng dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Tidak mungkin, kan, dia mengatakan secara terang-terangan jika mengingat kembali mengenai masa lalu mereka yang berpisah dengan cara mengenaskan. Mungkin Nevan akan tertawa terbahak-bahak jika mengetahuinya.
"Ada yang bisa gue bantu, nggak? Sambil nunggu hujan reda. Enggak enak kalau gue cuma diem aja setelah ngerusak vas bunga tadi."
Nevan berpikir sebentar. "Ada, sih. Sebentar." Cowok itu berdiri dan berjalan mengambil sebuah buku yang cukup tebal untuk diserahkan kepada Runa.
"Tahu caranya fotocopy, kan?"
Runa mengangguk. Di tempatnya kerja dulu, dia sering menggunakan mesin fotocopy meskipun tidak terlalu sering, tetapi dia tahu betul cara mengoperasikannya.
"Minta tolong fotocopy buku ini 120 kali, ya?"
Runa melotot. "Banyak banget. Tebel gini juga."
"Jadi, enggak mau nih? Katanya mau bantu. Ya udah kalau enggak bisa, sini, biar gue kerjain nanti malam. Duh, lembur deh," ucap Nevan dengan wajah lesu yang ketara sekali dibuat-buat.
Melihat itu membuat Runa menghela napas kasar. "Biar gue aja."
Sialnya, dia memakan waktu sampai sore sampai buku itu benar-benar selesai di fotocopy. Untuk urusan cover, tetap Nevan yang mengambil alih.
"Udah sore. Pulang, gih."
"Dih, ngusir?"
"Ya, terus? Lo mau nginep di sini? Ya, enggak pa-pa, sih, kalau gue mah. Lumayan ada temen."
Runa melotot. "Dih, ogah amat!" Perempuan itu mengambil plastik berisi pakaiannya yang basah dan kotor. "Dah, ya, semoga kita enggak ketemu lagi."
Nevan tersenyum, lalu bergumam. "Semoga Tuhan enggak dengerin omongannya."
•••
Kira-kira seperti ini perawakan dan vibe-nya si Nevan 👀 buat dia, aku enggak akan pakai visualisasi khusus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top