• kebohongan yang tak direncanakan
Ternyata memutuskan untuk tidak menggunakan ponsel adalah hal yang sulit dilakukan. Bukan karena Runa mati kebosanan karena tidak bisa scroll sosial media, dia rindu Nilam, tetapi malas membuka ponsel. Dia takut mendapat pesan menyebalkan seperti yang kemarin dia terima. Yah, dia yakin ibunya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Runa sudah bangun sejak satu jam yang lalu. Setelah kepulangannya dari toko tempat Nevan bekerja, dia segera mandi lalu tidur di bawah gulungan selimut hangat. Gadis itu bahkan lupa mengunci pintu rumah, untung saja tidak terjadi hal mengerikan. Misal, ada maling atau parahnya manusia mesum. Namun, jika diingat kembali sepanjang dia bertemu dengan orang-orang daerah ini, mereka semua begitu ramah dan terbuka akan kedatangannya.
Haruskah Runa tinggal di sini saja sampai tua nanti? Dia bisa mengajak Nilam untuk tinggal bersama. Itu lebih baik dari pada di kota yang kelewat ramai dan berisik.
Tidak, tidak. Dia tidak ingin tinggal di tempat yang sama dengan Nevan. Baiklah, mulai saat ini dia akan berhati-hati agar tidak bertemu cowok itu.
"Cih, apanya yang gak bakalan ketemu lagi. Nyatanya, dia ada di depan mata gue tadi," ucapnya mengingat obrolan mereka enam tahun silam.
Yah, Runa tidak bisa berbohong jika itu adalah memori yang mungkin tidak akan pernah bisa dia lupakan. Saat itu terlalu menyakitkan hingga sangat membekas. Dia tidak membenci Nevan, dia hanya kecewa saat itu. Memangnya harus berpisah, ya?
Kira-kira apa jadinya jika saat itu mereka memutuskan untuk tetap berhubungan dalam jarak yang jauh? Runa tidak bisa membayangkannya. Mungkin mereka masih bersama jadi dia tidak perlu merasakan berbagai fase patah hati yang sering dialaminya. Namun, entahlah. Lagi pula itu sudah berlalu. Untuk apa dipikirkan?
Runa kembali termenung. Dia menatap ponselnya yang masih belum dinyalakan. Dia tidak mengantuk dan sedang butuh teman bicara. Nilam pasti tidak akan menjawab panggilannya jika dia menelepon. Wanita itu juga pasti kelelahan setelah seharian bekerja. Dia tidak ingin mengganggu. Namun, tangannya bergerak mengambil benda pipih itu dan menyalakannya. Ada berbagai pesan masuk, ada dari Nilam termasuk juga dari beberapa nomor tak dikenal. Lagi-lagi dia mendapat kiriman foto yang tidak berani dibuka. Runa langsung memblokir nomor itu.
Kabur, ya, Run? Yah, gak seru dong gue jadi gak bisa ngundang lo buat ngerayain tujuh bulan kehamilan gue. Anaknya cowok, kayaknya bakalan mirip banget sama Kevin.
Seharusnya Runa tidak membaca pesan itu. Dia langsung memblokir nomor tersebut. Sepertinya dia harus mengganti nomor ponselnya. Dia akan membelinya besok. Untuk sementara dia matikan kembali ponselnya. Dia akan menghubungi Nilam besok ketika sudah membeli nomor baru.
Runa memutuskan untuk bersih-bersih rumah—yang sebenernya tidak terlalu kotor atau berantakan—sampai pagi tiba. Dia juga lari pagi di sekitar rumahnya. Tidak ingin jauh-jauh, takut bertemu dengan Nevan di tengah jalan. Saat ini mereka berada di lingkungan yang sama. Dia harus lebih berhati-hati.
"Gue sekalian nyari konter aja kali, ya."
Runa membawa ponsel bersamanya dan mulai mencari konter. Namun, sudah hampir setengah jam berjalan, dia tidak menemukan toko tersebut.
"Dek, di sini ada toko yang jual pulsa nggak?" tanya Runa pada seorang anak kecil yang memakai seragam Sekolah Dasar. Laki-laki kecil itu menuntun sepedanya.
"Ada, Teh. Tokonya dekat sama kebun Teh di ujung jalan sana. Mau aku antar, Teh?" ucapnya menawarkan bantuan.
Sayangnya Runa harus menolak. Dia sudah tahu toko yang dimaksud oleh anak kecil itu. Dia tidak ingin pergi ke sana lagi. Setelah mengucapkan terima kasih, Runa membiarkan anak kecil itu melanjutkan perjalanannya menuju sekolah. Kali ini dia menaikinya dengan laju yang cukup pelan.
"Kok balik? Gak jadi beli pulsa?"
Runa berbalik, mendapati Nevan yang entah datang dari mana kenapa tiba-tiba bisa berada di belakangnya.
"Lo ada di mana-mana, ya," ucap Runa memasang wajah jutek.
Nevan mengangkat kedua bahunya. "Ini namanya kebetulan, gak bisa diatur-atur sendiri, kan? Lo kehabisan pulsa? Bisa langsung gue kirim sekarang, sih, kalau mau."
"Gak perlu. Gue mau beli di tepat lain."
"Yah, sayang banget dong, lo harus ke pusat kota kalau mau. Jauh banget lagi, mau jalan kaki ke sana? Ada, sih, tukang ojek di sini tapi biayanya mahal. Atau mau yang gratis? Diantar gue misalnya."
"Enggak. Lagian, gak diurusin tuh toko fotocopy lo?"
"Tenang, gak usah khawatir. Udah ada yang urus, kok. Gue ada karyawan. Kebetulan aja kemarin gak berangkat karena emang hari liburnya."
Karyawan? Perkataannya terdengar seakan Nevan-lah pemilik toko itu. Runa kira dia hanya bekerja di sana. Jadi, cowok itu sunguhan tinggal di tempat sempit semacam itu selama ini? Padahal dulu cowok itu terlahir dari keluarga berada. Tumbuh bergelimpang harta meskipun keluarganya tidak harmonis.
Tunggu, dulu Nevan berkata pindah bersama ibunya. Jadi, ke mana sekarang wanita itu? Tidak mungkin, kan, jika sudah meninggal? Lalu bagaimana dengan Ayah-nya? Apakah sejak dia pergi dari jakarta mereka tidak pernah bertemu lagi? Sesaat rasa penasaran itu hampir menggoyahkan perasaan Runa yang tidak ingin lagi terlibat dengan cowok itu.
"Bagus deh kalau ada yang ngurus." Pada akhirnya kalimat itulah yang keluar dari mulutnya. Runa langsung berbalik.
"Runa, gimana kehidupan lo selama ini? Baik-baik aja, kan? Lo bahagia, kan?"
Kalimat itu berhasil membuat langkah Runa terhenti. Dia tidak mengerti kenapa dadanya tiba-tiba terasa sesak. Kenapa? Mereka bahkan sudah tidak pernah bertemu enam tahun lamanya. Apa mungkin rasa kecewanya sebenarnya selama ini belum pernah padam?
Runa berbalik. "Gue bahagia. Bahagia banget malahan."
Nevan tersenyum. "Baguslah. Gue jadi enggak perlu merasa bersalah lagi, kan, karena udah ninggalin lo dulu?"
Apa-apaan itu?
"Yah, gue udah enggak peduli soal itu, sih. Lagipula gue udah dipertemukan sama seorang cowok yang mencintai dan memperlakukan gue jauh lebih baik dari yang pernah gue terima dari lo. Tiga bulan lagi, kami bakalan menikah."
Sial, Runa tidak mengerti kenapa dia bisa mengatakan hal sejauh ini. Yang pasti dia kesal sekali mendengar perkataan Nevan tadi.
"Wah, selamat ya kalau gitu. Jadi, lo datang ke sini bareng sama cowok itu?"
"Enggak. Dia ada kerjaan di luar kota. Gue cuma pengen liburan aja di sini."
Nevan mengangguk, "Gue harap dia sebaik yang lo katakan. Jadi, Runa, kita masih bisa jadi teman, kan? Rasanya enggak enak banget karena sejak kemarin lo mandang gue selayaknya gue ini musuh."
Teman? Entahlah, memangnya itu status yang pantas untuk mereka labeli setelah pernah menjalin hubungan sedekat nadi?
"Gue gak pernah menolak buat berteman dengan siapa pun, bahkan meskipun itu dengan mantan."
"Cowok lo gak bakalan marah, kan?"
"Dia sebaik itu. Dia pasti ngerti."
"Baguslah. Gue harap bisa bertemu dia secepatnya."
Sial. Runa benci dengan dirinya-sendiri. Kenapa dia harus mengatakan kebohongan ini?
Bodoh sekali.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top