Pro.Logue
Nadia meringis saat bergeser membetulkan posisinya di tempat tidur. Matanya terpejam erat menahan sakit yang merajam sekujur tubuh. Namun, seolah kehabisan kata, tidak satu pun keluar dari mulutnya.
"Na?" Raihan yang kasihan berusaha membantu, tetapi gelengan Nadia memperjelas jika perempuan itu tidak menginginkan uluran tangannya.
"I'm okay, Mas." Kalimat itu memperjelas penolakannya.
"Sebentar lagi papamu dan Kak Niya ke sini." Raihan memberitahu. Menunduk sambil menatap layar ponsel, lelaki itu menambahkan, "Sudah di jalan. Kayaknya gak sampai setengah jam."
Senyum masam terbit di wajah Nadia. "Penampilanku buruk banget, ya?" tanyanya sambil meraba pipi yang drastis tembam dalam waktu semalam. Jemari lentiknya berhenti di pelipis, merasakan area itu membengkak
... dan mungkin sudah berubah kebiruan.
Raihan meneguk ludah. Getir. "Kamu cantik, Na. Selalu cantik. Di mataku akan selalu begitu." Dia harap ucapannya tidak ditangkap sebagai penghiburan penuh omong kosong. Lelaki itu hanya berusaha bicara jujur. Terlepas dari kondisi Nadia yang memang begitu memprihatinkan; seluruh wajah bengkak dan lebam disertai luka robek di ujung bibir.
"Mas Raihan ... bisa tinggalin aku sendiri?" Kalimat tanya itu melompat begitu saja.
Raihan tentu saja terkejut. Alih-alih mengiakan atau menolak, lelaki itu meneliti lawan bicaranya terlebih dahulu. Nadia telah memindahkan pandangannya ke arah jendela.
"Kamu ... yakin?"
"Mas Raihan harusnya pergi ke kantor, kan, pagi ini?" Nadia bicara sedikit terbata akibat menahan sesak di dadanya.
"Aku sudah izin gak ngantor hari ini," balas Raihan cepat. Dia tidak berbohong. "Gimana kalau kamu perlu sesuatu?" Kondisi Nadia yang jauh dari kata baik-baik saja membuat langkahnya berat terayun.
"Aku bisa sendiri," ucap Nadia menegaskan keinginannya.
"Oke." Tak lagi mendebat, Raihan menuruti permintaan Nadia. Lelaki itu bergegas mengemasi barang-barangnya; ponsel, pengisi daya, dompet, dan jaket. "Jangan segan hubungi aku kalau kamu perlu sesuatu. Aku usahakan segera datang," pesannya sebelum berlalu. Niat mengecup kening perempuan itu ditekan kuat-kuat dalam kalbu.
Lewat bayangan yang memantul di beningnya kaca jendela, Nadia mengiringi kepergian Raihan. Sebenarnya bukan pengusiran seperti tadi yang dia ingin ungkapkan, hanya saja lidahnya terlalu berat mengucap terima kasih. Lelaki itu tidak hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga harga dirinya.
"Kenapa harus dia yang selalu ada buatku, dan bukan kamu, Kak?" ucap perempuan itu lirih sambil menekan dadanya. Air mata yang sedari tadi ditahan berjatuhan. "Dan ... kenapa mencintai kamu harus sesakit ini?"
Firman, lelaki yang dia harapkan ada tidak terlihat batang hidungnya. Tidak lagi bertanya-tanya apa, di mana, dan bagaimana lelaki itu, Nadia telah mengetahui semua. Hanya saja, yang dia amat sesalkan adalah jalan berkelok yang harus dia tempuh dan jutaan duri yang melukai untuk membuatnya sadar.
"Ternyata memang ... cinta aja, tuh, gak cukup untuk membangun sebuah hubungan." Nadia nelangsa, meresapi segala luka yang dia ciptakan sendiri. Jauh sebelum ini, semua orang sudah memberi peringatan. Namun, dia terlalu angkuh hingga menulikan telinga dan mematikan rasa untuk melihat sinyal yang semesta berikan. Rasanya meratap tidaklah lagi berguna, karena semua akibat dari kekeraskepalaannya. Keangkuhannya.
.
.
.
Hai, semoga gak pada bosan sama cerita ini yang wara-wiri hilir-mudik memenuhi notifikasi kalian 🤣
Part ini sengaja aku berikan untuk mengawali kisah Nadia-Firman. Perkenalan tipis-tipis.
Gak banyak yang berubah, isinya tetap tentang Firman yang selalu bikin kesal sampai naik darah dan Nadia yang bucinnya gak ketulungan.
Buat pembaca baru, selamat datang.. semoga betah.
Untuk pembaca lama, yang bahkan sudah berulang kali baca dan masih gagal move on dari Firman, boleh banget ikut kembali meramaikan. Aku sayang banget sama kalian 🥰🥰🥰
Samarinda, 10 Agustus 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top