4. Permulaan Yang Salah

Nadia melamun hampir sepanjang hari. Pikiran yang kacau membuat perempuan kelahiran 25 Mei dua puluh lima tahun silam itu kehilangan fokus pada pekerjaan. Beberapa kali Nadia salah dalam meng-input data.

Angka-angka yang tertera pada faktur penjualan terbolak-balik, nama pembeli serta tanggal penjualan tertukar antara yang satu dengan lainnya. Tidak jarang pula dirinya hanya menatap nanar monitor yang menyala terang, seperti dua orang yang beradu pandang.

Tabel-tabel pada program akuntansi seakan menatap Nadia penuh ejekan karena konsentrasi yang tidak juga dapat diraih, padahal mata Nadia sudah terasa sangat perih. Bukan karena beradu pandang dengan layar monitor, tetapi karena sesuatu yang bersembunyi di dalam hati.

Geraman kesal diikuti embusan napas kasar lolos juga pada akhirnya. Tumpukan faktur yang sedari tadi meminta konsentrasi penuh selama proses input guna menyusun laporan penjualan—yang nantinya akan digunakan dalam pelaporan keuangan terpaksa disingkirkan untuk sementara waktu. Himpunan kertas yang dijepit menggunakan clip pada salah satu ujung atasnya diempaskan hingga menabrak layar monitor.

Yulita terperanjat. Perempuan bertubuh gempal itu langsung memutar kepalanya ke arah sumber suara. "Kamu kenapa, Na?"

Yulita yang duduk di sebelah Nadia mendekat dengan menggeser kursi beroda yang dia duduki. Tangannya terulur mengelus pundak Nadia yang melemas dengan mata berair.

Kedua bahu Nadia merosot lesu. Kedua tangannya berada di atas meja berkumpul di depan wajah, menyembunyikan tangis; yang berakhir sia-sia. Percuma saja, sebab satu-dua kali isakan lirih tertahan menyapa gendang telinga Yulita.

Yulita tidak dapat menyembunyikan tatapan prihatin pada sosok ramping di hadapannya. Berulang kali dia membujuk, menenangkan dengan kata-kata. Gerakan tangannya semakin intens mengimbangi goncangan punggung Nadia yang bergetar hebat.

"Na, jangan nangis gini. Ntar kalo ada yang liat, kamu bisa jadi bahan gibah." Yulita memperingatkan. Dia tidak ingin sahabatnya menjadi santapan orang-orang bermulut besar yang selalu lapar akan bahan gunjingan.

Yulita setengah berdiri, mengedarkan pandangan, mengintip dari atas bilik kubikel, menyapu seluruh ruangan dengan matanya selama kurang lebih satu menit. Embusan napas lega lolos dari mulutnya saat mendapati semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Deadline laporan keuangan memang menjadi momok menakutkan sekaligus menguras emosi dan tenaga di setiap akhir bulan.

Beberapa menit berlalu, Nadia kembali menegakkan punggung, menyambar cepat beberapa lembar tisu di ujung meja kerja. Tidak sepatah kata pun keluar, saat matanya bersirobok dengan kedua mata Yulita yang menyiratkan banyak pertanyaan.

Nadia menggeleng lemah seolah berkata bahwa dirinya baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya dia masih tidak bisa mengontrol emosi. Air mata masih saja jatuh, walaupun dia sudah menghapus jejak basah di pipi berulang kali.

"Tuh, Lida sama Erin kayaknya mau lewat. Nunduk dulu. Telungkup di atas meja biar mereka gak liat mata kamu yang basah!" Jari-jari Yulita masuk di antara helaian rambut belakang Nadia, menekan kepala bagian belakang perempuan itu ke arah meja.

"Aduh! Sakit, Yul!"  protes Nadia karena keningnya mencium kasar salah satu klip kecil di atas meja. Nadia memberontak melepaskan kepalanya dari telapak tangan Yulita.

Lida dan Erin menghentikan langkah di depan kubikel Nadia tepat saat Nadia mengaduh kesakitan. Keduanya menengok ke dalam kubikel dan melihat Nadia bersungut-sungut dengan bibir mengerucut.

"Nadia kenapa?" Lida bertanya dengan ekspresi keingintahuan yang besar. Seolah ada tanda tanya besar menyala di atas kepalanya. "Mata kamu bengkak, Na," ujarnya mengacungkan telunjuk ke arah mata Nadia yang sembap.

"Mag Nadia kambuh. Jadi migrain, deh!" kilah Yulita tanpa memutus pandangan sedikit pun pada sosok Nadia yang sibuk mengelus kening yang tertutup poni. "Mana lagi flu juga. Tuh, hidung sama matanya sampai merah gitu. Rada bengkak juga kayak abis nangis."

Yulita membangun alibi dengan lancar, melindungi Nadia dari mulut jail Lida yang terkenal tajam dalam menyebarkan berita. Bukan hanya berita yang terbukti nyata, tetapi juga gosip yang tidak jelas kebenarannya.

"Loh, kalo sakit mending izin aja dulu. Sehari ditinggal kerjaannya gak papa kali. Jangan dipaksa kerja, deh! Ntar tambah parah." Erin menasihati.

"Dia takut kerjaan gak selesai. Kan, laporannya mau dipake buat nyusun laporan keuangan." Lagi, bukan Nadia yang menjawab. Yulita lebih dulu berkicau saat melihat Nadia mulai membuka mulut.

Nadia merengut, memelototi Yulita yang tampak acuh menampilkan wajah tenang tak berdosa. Tangannya sudah berhenti bergerak, berganti menyambar selembar tisu untuk mengelap sudut matanya yang sedikit berair.

"Sudah minum obat?" tanya Erin menunjukkan rasa simpati. Tidak sama seperti Lida, Erin dikenal sebagai perempuan yang pendiam, tetapi mudah tersentuh hatinya. Entah bagaimana dua orang berbeda karakter seperti mereka bisa berteman baik.

"Sudah. Untung aku sediaan obat-obatan dalam tas." Yulita masih tiada bosannya menyahut.

"Tapi, kan, belum makan. Ntar tambah parah lagi sakitnya." Lida memperingatkan.

"Makan siang dulu kalo gitu. Udah masuk jam istirahat juga. Abis itu bisa izin kalo memang masih gak ada perubahan." tukas Erin lagi dengan senyuman.

Nadia mengangguk kecil tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sebagai jawaban. Kedua sudut bibir Nadia sedikit terangkat mengulas sebuah senyum tipis membalas senyum Erin.

"Dengerin, tuh! Makanya kalo dikasih tau jangan ngeyel, Beb!" cetus Yulita ketus, tetapi matanya mengerling penuh makna ke arah Nadia.

"Iya, iya! Bawel banget, Yul," kata Nadia. "By the way, makasih sarannya."

"Kita mau pergi makan di warung Uda Dzaki. Kalian gak mau ikut sekalian?" tanya Erin seraya merapikan beberapa helai rambutnya yang menjulur keluar dari jepitan di bagian belakang leher.

"Enggak, deh, kayaknya. Kalo makan yang pedas dan bersantan, kan, gak baik buat lambung Nadia." Yulita membalas lagi. "Kita berdua makan di sini aja, kebetulan aku bawa bekal banyak," lanjut Yulita melanjutkan sandiwaranya.

"Kita pergi dulu." Lida menarik cepat—menyeret—tangan Erin agar segera pergi, membuat Erin sedikit kesulitan menyeimbangkan langkah dengan Lida. Erin tersenyum sambil melambaikan tangan sebelum pintu ruangan tertutup menghilangkan bayangan mereka.

"Tinggal kita berdua. Jadi, buruan cerita!" Yulita menodong tanpa basa-basi.

Nadia tersenyum getir, menahan diri agar tidak kembali dikuasai emosi. Terlalu banyak rasa yang memenuhi dadanya. "Mereka gak suka sama Kak Firman."

Tanpa harus mendapatkan penjelasan, Yulita tahu siapa yang dimaksud 'mereka' oleh Nadia. "Jadi?" Yulita merasa tidak perlu menanyakan alasannya, karena dia sendiri memiliki penilaian yang sama. Setidaknya, seperti itulah yang perempuan itu rasakan.

"Kak Wali minta aku kenalan dulu sama temannya, yang waktu itu aku ceritakan ke kamu."

"Kenapa gak dicoba? Mana tau lebih baik dari KaFir. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang."

Yulita gemas sendiri. Sudah sejak dulu dia menyarankan Nadia untuk belajar mengenal dan menjalin hubungan pertemanan dengan lelaki lain, mengesampingkan dulu perasaan pada Firman yang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam hubungan mereka.

Nadia menggeleng. "Aku harus nikah sama kak Firman."

Kali ini, emosi yang tadi sempat dikuasai kembali bergolak. Dadanya kian sesak. Air mata perlahan kembali jatuh mengaliri pipi hingga dagu, lalu terjun bebas menimpa punggung tangan Nadia yang saling remas di atas pangkuan. "Aku gak bisa coba jalanin sama laki-laki lain, Yul," ucap Nadia terbata di sela isakan.

"Kenapa? Karena terlalu cinta sama KaFir?" Nada suara Yulita meninggi. Emosinya tersulut melihat betapa keras kepalanya Nadia. Jawaban yang menembus rongga telinganya membuat murka.

"Bukan cuma karena itu. Tapi ..." Nadia diam, menelan ludah yang terasa begitu kental dan getir. "Tapi ...." Pandangannya beralih, melarikan diri menjauhi tatapan tajam Yulita. Hatinya nyeri. Bingung. Resah. Mendadak lidah Nadia kelu, tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

"Tapi, apa, Na?" desak Yulita tak sabar. Cukup lama dia membiarkan jeda mengisi obrolan.

Nadia menarik laci meja dengan tangan gemetar. Butuh beberapa detik—yang terasa beberapa menit—untuk mengeluarkan tas dari tempat tersebut. Ragu, Nadia tidak tahu apakah memberitahu Yulita adalah keputusan yang benar atau salah. Dia hanya ingin berbagi ketakutan dan kekalutan yang sejak semalam melanda dirinya.

Dengan gerakan lambat, Nadia meraba isi tas. Tangannya bergetar saat menemukan apa yang dicari. Kelopak mata Nadia tertutup, kembali menelurkan air mata yang langsung meluncur mulus melewati kedua pipi. "Ini," bisiknya seraya menunjukkan benda yang berada di atas telapak tangannya.

Yulita membeliak, memandang hampa benda pipih dengan dua garis merah di telapak tangan Nadia. Kekecewaan kembali menghantam, tetapi Yulita tahan, merasa tidak berhak memberi penghakiman.

Kedua tangan Yulita terulur, menarik tubuh Nadia ke dalam pelukan. Tangis keduanya pecah bersamaan. Ruangan yang semula sunyi, mendadak diisi dengan sedu sedan.

"Gimana bisa aku memulai dengan sesuatu yang salah seperti ini, Yul?" tanya Nadia di sela isakan dengan suara bergetar.
.
.
.
Samarinda, 04 September 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top