"Saya permisi dulu," pamit Firman, lekas berdiri usai melesakkan ponsel ke dalam saku jaket kulit yang dia kenakan.
Nadia mengikuti langkah lebar Firman seolah takut tertinggal, mengantarkan kepergian lelaki itu hingga pintu depan.
"Masuk, sana!" titah Firman menunjuk pintu yang terbuka lebar dengan dagunya. Dia sudah duduk nyaman di atas sepeda motor dengan helm terpasang melindungi kepala. Bukan sepeda motor keluaran baru, kuda besinya hasilnya bekerja bertahun-tahun sebelum adanya Nadia dalam hidupnya.
"Apa memang harus pergi sekarang? Gak bisa tunggu sebentar lagi? Setengah jam aja. Aku janji gak akan lebih dari itu," lirih Nadia memandangi Firman penuh harap.
Firman menggeleng. "Aku buru-buru, Na. Mereka sudah nungguin aku. Nanti kita bicara lagi." Lelaki itu membelai pipi Nadia, memberi tepukan pelan pada bagian itu. "Masuk, gih! Nanti dicariin."
Nadia mengantarkan kepergian Firman dengan tatapan sedih. Dipandanginya punggung lelaki itu hingga menghilang di telan kegelapan. Hatinya teremas. Dirinya kini bagai disodorkan simalakama, bimbang menentukan pilihan. Antara keluarga atau lelaki pujaan, keduanya tidak mudah untuk dipilih.
Karena mereka bukan pilihan.
-***-
Jamuan makan malam sebagai acara pengenalan Firman baru saja usai. Lelaki itu undur diri dengan meninggalkan kesan tidak baik. Selama acara berlangsung, Firman selalu disibukkan dengan ponselnya. Bisa dibilang juga menyibukkan diri dengan benda elektronik pipih tersebut.
Ada saja yang menyita perhatian Firman. Entah itu untuk menerima telepon—yang sebenarnya masih bisa diabaikan karena tidak menyangkut hal yang penting, berbalas pesan dengan teman-temannya hingga bermain game online.
Yang paling membuat kesal adalah lelaki itu berpamitan tepat sebelum jamuan makan malam memasuki acara inti. Alasan harus menghadiri reuni SMU—padahal teman-teman semasa dia bersekolah dulu masih bisa dijumpai hampir dalam setiap kesempatan, terdengar sangat tidak masuk akal sebenarnya. Tanpa ada yang tahu, itu memang alasannya saja.
"Dia niat, gak, sih?" Abhyan, si sulung dari empat bersaudara melemparkan pertanyaan dengan nada keras. Kedua tangan yang dilipat di depan dada dan pandangan yang menghunus bagai pedang menunjukkan seberapa besar emosi yang terkumpul di dalam dada. Amarahnya menggelegak. Kekecewaan menyeruak. "Apa laki-laki seperti itu yang kamu harapkan untuk jadi suami? Gak punya etika. Sama sekali gak bisa menghargai keluarga kita," katanya putus asa.
Nadia ingin menangis, tetapi sekuat hati menahan kaca-kaca di matanya agar tidak bertransformasi menjadi bulir air. Yang dia lakukan terus menunduk, bungkam sambil menggigit bagian dalam bibir. Dia bergeming, tidak ingin mendebat kakak tertua yang dikenal keras dan tegas.
Abhyan mendengkus kesal karena Nadia sama sekali tidak memberi tanggapan. Tubuh besar yang menjulang di depan Nadia itu berbalik, perlahan menjauh dan berakhir terempas di samping sang istri—Ghaniya.
"Kamu punya mulut, kan, untuk ngasih jawaban?" Lagi, Abhyan bertanya seakan masih belum puas karena Nadia yang terbiasa berkicau malah membisu saat suaranya diharapkan mengudara.
Nadia mengerut, nyalinya kian ciut. "Dia cuma belum terbiasa aja berada di tengah-tengah kita," kilahnya membela sikap Firman yang oleh seluruh keluarga dianggap tidak beretika. Jawaban yang terlontar dipenuhi rasa takut dan kalut. "Tapi hubungan kami serius," sambungnya lirih. Jemarinya bertaut di atas pangkuan. Gelisah. Tatapan semua mata di ruangan itu menghunjam, membuat hatinya ketar-ketir tak nyaman.
"Kalau dia serius sama kamu, dia harusnya belajar untuk tenggelam dalam lingkunganmu juga. Masuk ke dalam kehidupan kamu, sama artinya menerima orang-orang yang berada di sekitarmu, Na. Harusnya dia belajar mengakrabkan diri dengan keluarga kita." Kali ini Heru yang angkat suara. Kakak kedua yang paling dekat dan erat hubungannya dengan Nadia pun menyuarakan penolakan. Tidak secara gamblang mengatakan demikian, tetapi jelas tersirat dari apa yang dia katakan.
"Gayanya gitu. Omongannya sengak pula. Sudah kayak laki-laki paling ganteng sedunia aja. Memang dia anak orang kaya? Punya gunung emas sama tambang berlian? Atau punya harta warisan dari Fir'aun yang gak bakal habis sampai hari kiamat?" cerca Wali, anak ketiga Khairil yang sebenarnya memiliki sifat paling santai. Namun, kali ini kalimat pedas yang diucapkan merupakan buah pikiran yang tidak lagi bisa ditahan. "Tampang pas-pasan, pengangguran, rumah ngontrak, tapi lagaknya sudah kayak orang paling penting aja."
Nadia bergeming, telinganya memanas, mulutnya sedari tadi hanya membuka lalu menutup tanpa sanggup mengeluarkan sepatah kata. Setiap rangkaian kalimat yang akan dia keluarkan karam bersama ludah yang tertelan, enggan dikeluarkan.
"Jangan salah sangka, apalagi sampai menduga-duga. Na, kami begini karena kami sayang sama kamu. Kamu itu tanggung jawab kami. Masa depan dan kebahagiaan kamu, itu yang kami harapkan." Heru melunak, tidak tega melihat adik tersayang yang duduk tertunduk bagai pesakitan menunggu putusan peradilan. "Kami gak akan menghalangi andai memang laki-laki itu menunjukkan itikad baik. Beretika dan berbudi, bukan kayak preman kampung yang gak tau diri."
Khairil menghela napas panjang. Menghimpun oksigen sebanyak-banyaknya agar sesak yang menghantam dada perlahan menghilang. Mata tuanya menyorot sayu. Sendu melihat si bungsu yang biasanya ceria mendadak gagu.
Ghaniya mencegah Abhyan yang ingin kembali membuka mulut. Jemari lentiknya menyisip di antara jemari besar sang suami. Dia menggeleng lalu mengedikkan dagu pada ayah mertua yang bersandar lesu di sisi Heru, memberi isyarat agar lelaki itu bisa lebih menahan diri. Bagaimanapun, keputusan tetap berada di tangan Khairil selaku wali.
"Jadi, gimana? Masih mau lanjut, Na?" Heru memecahkan keheningan yang sempat menjeda acara rapat keluarga. Lelaki yang berprofesi sebagai polisi kehutanan itu membungkuk dengan kedua tangan menyangga di lutut. "Saran Kakak, tinggalkan dia. Putuskan hubungan kalian. Laki-laki seperti itu gak akan becus jadi imam. Masih banyak laki-laki baik di luar sana. Yang pastinya, lebih bisa menghargai keluarga kita."
Nadia mendongak dengan cepat. Tidak pernah terpikirkan bahwa kakak yang biasanya melindungi dan pengertian kini justru menyarankan dirinya mengambil jalan perpisahan. Dia menggeleng pelan menjawab saran yang Heru ajukan. Memang sebegitu cintanya dia pada lelaki bernama Firman.
"Kenapa gak coba jalani dengan temanku saja? Dia orang yang sopan. Usianya matang. Secara finansial, dia jelas lebih mapan dari Firman. Walaupun usianya lebih tua sepuluh tahun, dia tepat untuk membimbing kamu yang masih suka bersikap kekanakan dan semaunya. Dari segi tampang, dia gak beda jauh kalau dibandingkan Firman. Nanti Kakak kenalkan. Kalian bisa pendekatan pelan-pelan," ujar Wali. Penuturannya sukses membuat air mata yang susah payah dihalau sang adik mengalir deras dalam hitungan detik.
Nadia tercekat, menatap satu per satu anggota keluarganya. Berawal pada Abhyan dan Ghaniya, lalu beralih pada Wali, berakhir pada Heru dan Khairil. "Kasih Nadia waktu untuk bicara sama Kak Firman," pintanya memelas.
"Dasar keras kepala," gerutu Wali sembari membuang muka.
Isakan tak dapat lagi ditahan, keluar mengimbangi air mata yang mengalir kian deras. "Lagipula kalian gak bisa maksa aku buat putusin Kak Firman. Gimanapun, Ayah yang punya hak penuh memutuskan masa depanku," ucap Nadia dengan suara parau bergelombang, timbul tenggelam.
"Ayah setuju dengan pendapat kakak-kakakmu." Khairil yang sedari tadi diam akhirnya bicara. Helaan napas panjang kembali dilakukan melihat putri kesayangannya tertekan memendam luka.
Nadia kehilangan daya. Punggungnya terempas berat ke sandaran sofa. Napasnya terengah memburu seiring dada yang mengembang dan mengempis karena emosi yang memuncak. "Kalian semua jahat!" pekiknya menancapkan tatapan kebencian pada semua yang berada di hadapannya.
Ghaniya selaku ipar ikut terluka. Sesama perempuan, dia bisa mengerti dan seolah merasakan kekalutan Nadia. Namun, andai dimintai pendapat, dia akan satu suara dengan yang lainnya.
Cinta seperti apakah yang sudah membuat seseorang kehilangan logika? Sepertinya ... bukan cinta namanya bila sampai membuat kita kehilangan kewarasan. Cinta sejatinya menjaga dan bisa dipertanggungjawabkan. Cinta seharusnya mendewasakan, bukannya membuat kekanak-kanakan.
.
.
.
Dukung Let's Get a Divorce di event Grassmedia Branding Challenge 2023, yuk!
Follow IG, FB, Tiktok BrinaBear88 juga ya.. jangan lupa tap love untuk semua postinganku terkait naskah ini di sana.
Thank youuuu.. love you all 🥰🥰🥰
Samarinda, 3 September 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top