1. Dilema
Nadia mendesah sembari melucuti pakaian kerja yang terasa lengket. Hanya dengan berbalut handuk, tubuhnya yang semampai terempas di ranjang berpegas hingga memantul beberapa kali. Rasa lelah yang melolosi setiap inci tulang tak begitu dirasa. Kebahagiaan yang kini mendominasi suasana hatinya. Penyebabnya adalah kejadian yang berlangsung beberapa jam lalu.
Kalung emas berbandul hati dengan inisial namanya melingkari leher jenjang Nadia. Hadiah ulang tahun yang ke-25 dari sang pujaan hati. Firman, kekasih yang telah dipacarinya sejak 5 tahun lalu membuat kejutan sederhana. Pelukan hangat, aroma citrus dari parfum lelaki itu hingga ciuman yang tersemat di bibirnya sampai saat ini masih terasa. Jiwanya melambung, angan liar berlarian memenuhi benak. Deru dan desah napas yang saling berkejaran bagai alunan musik, terus terngiang di rongga pendengarannya.
Nadia meraba bibir yang terasa menebal dengan telunjuknya yang lentik. Rasa bibir Firman yang beraroma tembakau masih membekas di sana. Tanpa terasa, kedua pipinya merona. Wajahnya kini dihiasi senyum, jiwanya benar-benar dilambungkan bahagia.
"Nadia ... sudah tidur, Nak?" Suara lembut sang ayah terdengar dari balik pintu. Suara ketukan sebanyak tiga kali menyusul. "Nadia?"
Perlahan senyum Nadia memudar diganti gusar dan kegelisahan. Teringat pembicaraan dengan sang ayah semalam, Nadia seperti berada di tepian jurang.
Nadia tidak menyahut. Dia memilih menghindari panggilan ayahnya. Dia merasa hal itu lebih baik untuk dilakukan saat ini. Hingga beberapa menit berlalu, akhirnya suara langkah kaki menjauh terdengar. Ayahnya pergi, pasti karena mengira dirinya sudah tertidur.
Nadia mengembuskan napas lega. Untuk sesaat tadi rongga dadanya bagai terimpit beban ribuan ton. Meskipun dia yakin malam ini tidak bisa tidur dengan nyenyak, tetapi setidaknya sepanjang malam ini bisa digunakan untuk berpikir.
Nadia mulai berguling menuju tengah ranjang. Nadia menelungkup memeluk bantal, mulai memainkan ponsel.
Nama Firman menjadi fokus Nadia. Untuk beberapa saat—yang terasa begitu lama—yang dilakukannya hanya menatap layar ponsel. Dia gamang. Untuk memulai pembicaraan seserius itu rasanya tidak bijak jika dilakukan melalui sambungan telepon, apalagi pesan singkat. Sedangkan saat bertemu tadi, keberaniannya bersembunyi di dasar hati. Lidahnya kelu untuk mengurai kegelisahan yang mendera. Dia tidak menemukan awal yang baik untuk memulai cerita. Pelik. Baginya, ini terlalu rumit.
Ponsel yang berada dalam genggaman, Nadia lempar ke sudut ranjang hingga melesak ke bawah selimut. Nadia tahu, Firman tidak akan senang dengan permasalahan yang akan dia bicarakan. Nadia harus mencari jalan keluar sendirian.
Nadia memutar otak dengan keras mencari jawaban atas pertanyaan sang ayah semalam, sembari menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan perihal pernikahan dengan Firman. Ada baiknya untuk terus menghindari ayah dan juga kakak-kakaknya. Entah sampai kapan. Nadia berharap, semoga cukup banyak waktu yang dia miliki.
Nadia bingung, hingga saat ini Firman belum juga mau menemui seluruh keluarganya. Jangankan untuk mengukuhkan hubungan mereka dalam ikatan suci, memperkenalkan diri saja seolah enggan. Selalu saja ada alasan yang dilontarkan setiap kali Nadia mengajaknya untuk sekadar mampir. Bahkan selama lima tahun terlewati, Nadia selalu diantar-jemput di pinggir jalan. Miris.
Sering kali hatinya menyuarakan protes. Tidak jarang dia merasa seperti perempuan panggilan yang menunggu jemputan om-om hidung belang. Namun, Firman begitu pandai beralasan, membuat Nadia bungkam dan memilih untuk menerima keadaan.
"Apa yang harus kulakukan?" gumamnya menatap langit-langit kamar. Pendar kekuningan dari lampu tidur perlahan menyeretnya pada rasa kantuk. Dia terlelap, sejenak melupakan masalah yang memenuhi otaknya.
-***-
"Wih, kalung baru! Hasil malak siapa?" Yulita memekik usai makan siang bersama Nadia. Sebenarnya sedari tadi dia telah melihat benda berkilau yang tersembunyi di balik kerah blouse itu. Tidak luput juga dari pandangannya, jejak dosa yang tersenyum malu-malu.
"Enak aja! Ini, tuh, bukan jatah preman." Nadia memajukan bibir mendengar tudingan sahabatnya.
"So?" Tidak benar-benar ada nada keingintahuan dalam pertanyaan singkat itu.
Nadia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari perempuan berbadan tambun di hadapannya.
"Hadiah ultah, dong! Dari Ayang." Nadia berbisik, tersenyum jemawa.
"Pantas kemarin tetiba ngilang. Tau-taunya udah diculik sama Kafir." Yulita mengerling menggoda.
"Kalau nyebut nama itu yang jelas. Kafir? Seriously? Konotasinya buruk banget! Kak Firman, it sounds better." sahut Nadia merengut.
Yulita terkekeh menanggapi protesan Nadia. Satu lagi tembakan akan dia keluarkan. Pertanyaan mematikan yang mampu membunuh segala keceriaan si gadis manja berwajah bulat bernama Nadia Prameswari. Membayangkannya saja sudah mampu membuat Yulita tersenyum geli.
"Yah ... cuma kalung?" tanya Yulita meremehkan. "Gak sekalian cincin? Sudah lima tahun, kemajuannya memprihatinkan banget," lanjutnya tak berperasaan.
Seketika air muka Nadia berubah keruh. Dongkol rasanya jika harus diingatkan perihal itu lagi. Setelah berhasil menghindari ayahnya semalam dan pagi tadi, kenapa Yulita harus kembali mengungkit hal itu?
Nadia menghela napas dalam untuk mengusir sesak yang bercokol di dalam dada. Yulita tahu ada yang tidak beres begitu melihat perubahan ekspresi Nadia, tetapi pantang baginya untuk meminta maaf. Alih-alih menenangkan hati sahabatnya, dia justru tergelitik rasa penasaran untuk mengulik lebih jauh.
"Ada yang salah, Beb?" tanya Yulita setelah keheningan yang cukup lama mengisi kebersamaan mereka.
Tidak biasanya Nadia bungkam. Yulita tahu betul itu bukan sifat Nadia. Perempuan itu mempunyai ribuan kosakata yang harus dilontarkan per menitnya.
"Ayah minta aku bawa calon suami ke rumah. Karena alasan umur, ayah mau aku nikah secepatnya," jelas Nadia akhirnya. Dia harus memuntahkan segala keresahannya pada seseorang. Dia merasa, Yulita adalah orang yang tepat. Selalu tepat.
"So? Aku rasa permintaan Ayah adalah hal yang wajar. Memang sudah saatnya, kok!" sahut Yulita seraya mengaduk bongkahan es batu di dasar gelas sisa dari es jeruknya.
"Itu tandanya aku harus bawa Kak Firman," keluh Nadia dengan wajah semakin murung.
"Loh? Gak ada yang salah, kan? Kalian sudah pacaran lima tahun. Bahkan kegilaan kalian sudah berlangsung lama, dua atau tiga tahun, hah? Jangan dikira aku nggak tau. Kalau selama ini aku diam, semata gak mau mencampuri privasi kamu. Kalian sepasang manusia dewasa. Sekali dulu sudah kebablasan, jangan sampai terulang. Ini saatnya kamu minta ketegasan." Yulita memandang Nadia dengan raut serius. Jika selama ini dia bungkam, mungkin sudah saatnya dia menyuarakan teguran. Peringatan sebagai wujud rasa sayang.
Nadia tercenung, dengan gerakan pelan dia memperbaiki kerah blouse. Pipinya merona, tidak menyangka aib yang selama ini tersimpan rapat kembali diungkit. Dia mencoba menutupi jejak keunguan yang ditinggalkan Firman semalam.
"Gak usah ditutupin, sudah sering liat, kok! Bahkan dosa terbesar kamu juga aku yang nyimpan." Yulita menekankan kata 'dosa' dalam ucapannya. Nadia terdiam seribu bahasa.
"Sudah sampai sejauh itu, apa masih mau menunda?"
"Tapi Kak Firman kerjaannya masih gak jelas. Serabutan. Tau sendiri kerjaannya Senin-Kamis gitu. Mana mau ayah ngelepas aku buat nikah sama dia," dalih Nadia lesu.
"Lebih gak rela lagi kalau tau anak gadis satu-satunya sudah lecek sama itu cowok labil." Yulita meraih kedua tangan Nadia di atas meja kemudian menangkupnya dengan jari-jari besarnya.
"Na, sudah cukup kalian bikin dosa. Kalau dia gak bisa kasih masa depan, mungkin ini saatnya untuk melepaskan. Seenggaknya, masa depan kamu lebih pasti, gak akan terus-terusan berharap sama janji yang entah kapan ditepati," ujar Yulita menasihati.
Nadia merenung. Dia semakin tenggelam dalam dilema. Haruskah dia melepaskan Firman seperti saran Yulita?
Tapi ... aku gak siap nikah dengan laki-laki lain.
.
.
.
Hai, mulai hari ini sampai akhir Oktober nanti, Nadia-Firman akan hadir menemani hari-hari kalian.
Buat yang sudah baca, boleh banget mampir lagi buat nostalgia. Mana tau, kan, masih pada belum bisa move on dari Firman 🤭 Semoga nggak pada bosan dan enek, ya...
Pssst.. akan ada scene dan bab tambahan yang nggak ada di versi sebelumnya.
Buat semua pendatang baru di lapak ini, aku ucapkan selamat datang. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian, tap bintang di pojokan dan ramaikan kolom komentar.
See you, Guys...
Samarinda, 01 September 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top