3. her, who wants to escape the reality
Sejak kali terakhir Nina bertemu Deva di alam mimpi, ia tak pernah muncul lagi baik di sekolah maupun di alam mimpi. Gadis itu semakin khawatir. Apakah ia sudah menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan?
Merasa pikirannya runyam, ia ingin berkonsultasi pada teman sebangkunya."Jovi, kamu pernah lost contact sama temen masa kecil nggak?"
Mendengar nada bicara serius dari gadis yang poninya dijepit dengan jepitan gambar beruang itu, Jovita langsung menoleh. Kedua matanya langsung bersirobok dengan mata belo milik gadis di sampingnya yang kini kelihatan seperti sedang mengintimidasi. Saban hari Nina memang banyak bercerita hingga hal-hal tak penting. Namun, saat ini ekspresinya seolah menyiratkan bahwa ia akan membicarakan sesuatu yang penting.
Jovita menelan sesuap bekalnya sebelum menjawab, "Pernah."
Sebenarnya, Jovita lost contact dengan banyak teman sekolahnya setelah lulus.
"Kalo kayak gitu kamu berusaha nyari dia nggak?" tanya Nina lagi.
"Nggak, sih. Paling nanti ketemu kalo satu sekolah lagi, beberapa masih follow-follow-an di IG, jadi meskipun nggak pernah ngobrol tetep tau kabarnya." Ia bodo amat jika dinilai menyedihkan. Dari awal gadis itu sudah tahu dunianya dan Nina berbeda jauh.
Nina mulai bercerita, "Aku sebenernya dari dulu pengen nyari temenku yang udah lost contact lima tahun. Dulu kita sedeket itu. Aku nggak pernah tau kabarnya dari dia pindah sekolah, dia juga udah pindah rumah, dan aku nggak pernah nemu nama sosmednya."
"Tiba-tiba aku ketemu dia lagi pas SMA. Tapi, pas aku ajak ngobrol dia nggak mau jawab sama sekali, kayak ... aku dicuekin aja gitu. Padahal dulu dia nggak gitu ...." lanjutnya.
"Anak kelas mana?" timpal Jovita.
"Oh iya, dia sekelas sama kita. Absen terakhir, namanya Deva. Dia nggak masuk-masuk sekolah sih."
Kala hal itu terucap, Jovita menegakkan punggungnya. Jovita mengingat namanya. Yuki Sadeva. Orang yang cuma masuk di hari pertama sekolah--ralat, itu pun cuma setengah hari--dan tidak ada yang tahu alasannya. Mulanya ia terheran-heran, masa ada anak baru hari-hari pertama masuk sekolah sudah nggak masuk. Namun, kini ia mulai bisa menghubungkan benang merahnya, mulai dari Deva yang pindah sekolah dengan alasan yang tidak diketahui Nina hingga Nina yang kehilangan kontak total dengan Deva, Jovita berpikir bahwa pasti ada suatu peristiwa besar yang membuat Deva berubah sedemikian rupa.
"Aku nggak tau ya. Mungkin saking aku kepikiran dia aku sampe mimpiin dia dua kali berturut-turut." Nina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
Jovita percaya bahwa mimpi adalah manifestasi dari apa yang dipikirkan seseorang, bisa jadi karena kekhawatiran atau keinginan akan sesuatu. Namun, dalam hal ini, ia dapat menyimpulkan bahwa Nina sangat mengkhawatirkan Deva.
Melihat senyum tipis Jovita, Nina mengguncang bahu gadis berkacamata itu. "Bukan karena aku suka!" klarifikasinya.
Setelah melepas kekehan kecil, Jovita menimpali, "Iya, iya, Nin, percaya."
"Tapi ... mimpi itu kayak nyata banget. Aku bisa ngomong, bergerak ke mana-mana," ungkapnya lebih lanjut.
"Lucid dream?" tebak Jovita.
Nina mengacungkan telunjuknya. "Iya! Kayak gitu. Kamu pernah?"
Jovita meneguk ludah. Ia antara suka dan tak suka dengan topik ini.
"Pernah ...--"
"Di mimpi itu kamu bisa ngajak ngobrol orang lain nggak?" potong Nina antusias. Wajahnya kembali berseri, merasa telah bercerita ke orang yang tepat.
Jovita berpikir sejenak, ia bimbang untuk mengatakan pada teman sebangkunya yang baru ia kenal seminggu ini. Selama ini Nina yang selalu bercerita padanya. Apakah saat ini waktunya Jovita untuk bercerita?
Jovita menarik napas. "Bisa. Waktu itu aku pernah ngajak mereka jalan-jalan, tapi mereka nggak mau ikut."
Tidak, dia tidak akan menjelaskan lebih jauh.
Nyatanya, ia mengingat tiap mimpi yang pernah ia dapat. Semuanya tercatat dalam jurnal mimpi sejak dua tahun lalu. Setiap bangun tidur, hal pertama yang ia lakukan adalah menulis mimpinya dengan seluruh detail yang mampu ia ingat. Dengan begitu, ia mampu mempelajari pola-pola yang terjadi di mimpinya sehingga ia bisa sadar selama bermimpi. Dia bersusah payah melakukannya demi lari dari realita yang terus mengekangnya. Tekanan sebagai anak pertama dari keluarga kurang mampu, harus mempertahankan prestasi akademiknya, mengurus adik-adiknya, belum lagi perundungan yang ia terima pada saat SD yang membuatnya semakin takut untuk membuka diri pada orang lain. Tak ada waktu baginya untuk merasakan euforia masa muda seperti yang dikisahkan orang-orang.
Maka dari itu, dia ingin menciptakan dunia di mana ia bisa mewujudkan semua keinginannya. Bukan keinginan fantastis macam dikirim ke isekai dan jadi pahlawan yang menyelamatkan dunia sihir dari kehancuran. Ia hanya ingin mempunyai kelompok pertemanan, membeli barang-barang yang tak bisa ia beli, pergi ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi, dan bahkan ... melakukan kencan dengan gebetannya yang bahkan tak pernah meliriknya sama sekali ketika SMP.
Namun, meski sudah bertahun-tahun mempelajari seluk-beluk dunia mimpi, betapa keras pun usahanya, keinginan-keinginan remeh itu masih belum terwujud. Ia masih belum bisa mengontrol mimpinya sepenuhnya.
Nina melirik ke atas, berpikir keras. "Kalo ini Deva nggak ngomong sama sekali, nggak bergerak sama sekali. Padahal aku udah ngajak ngomong, narik tangannya, tapi dia tetep diem aja. Tiba-tiba di akhir dia pergi, kabur, abis itu aku nggak pernah mimpi itu lagi," paparnya.
Hal itu sangat mungkin terjadi karena meski Nina punya kendali penuh atas dirinya, Deva di alam mimpi masih dikendalikan oleh alam bawah sadar Nina–sama seperti gebetannya yang punya kehendak sendiri saat diajak kencan oleh Jovita. Mengingatnya, Jovita jadi malu sendiri karena bahkan di mimpinya sendiri orang itu menolaknya.
"Aku nggak tau apa maksudnya tiba-tiba mimpi kayak gitu. Rasanya kayak dikasih misi, tapi aku gagal." Ia menopang kepala dengan tangannya, bibirnya ia majukan.
"Nina, boleh nggak kalo aku minta habis bangun kamu langsung catet mimpi kamu?" pinta Jovita mantap.
Nina yang semula terhanyut dalam pikirannya pun kembali tersadar akan lingkungan sekitarnya. Ia mengangkat kepalanya.
"Hah?" Alis tipisnya mengernyit.
"A- aku ... mau bantu kamu, buat temenan lagi sama Deva."
“Kamu serius?” Nina memastikan, matanya berbinar.
“Serius.” Ia mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk simbol peace.
“Jovi …,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.
Tak berapa lama kemudian, tangan Nina menyasar ke pipi bulat milik Jovita. Sambil mencubiti pipi lembut gadis itu, ia berkata, “Makasih, Jovii!!”
Jovita pun mengaduh kesakitan dan meronta di tempatnya.
“Tapi gimana maksudnya? Kenapa harus dicatet?”
Setelah Nina melepaskan cubitannya, Jovita mulai menceritakan tentang pengalaman lucid dream yang ia alami selama ini, tentu saja ia tak menyebutkan alasannya ingin menjadi oneironaut--penjelajah mimpi.
Sejak tadi, keduanya terhanyut ke dalam obrolan, mengabaikan suasana kelas yang ada di sekitar mereka meski topik yang mereka bicarakan mungkin terdengar seperti sesuatu yang mustahil bagi orang-orang lain. Namun, mereka tak peduli. Kini, keduanya telah disatukan oleh tujuan yang sama, yaitu menyelamatkan Deva. Bagi Nina, ia ingin mengembalikan Deva yang ia kenal agar mereka bisa melanjutkan kisah persahabatan mereka. Bagi Jovita, ia ingin menyelamatkan orang yang tengah berada di titik terendah hidupnya, sama sepertinya dulu yang sempat mogok masuk sekolah karena perundungan yang ia alami.
Sejak awal, ia memang merasakan ada hal yang aneh dengan si absen terakhir itu. Duduk di pojokan kelas sendiri tanpa membawa tas sama sekali lantas tak kunjung muncul setelah bel masuk berbunyi. Di tambah kini ia mengetahui bahwa orang itu adalah sahabat masa kecil dari Nina, seseorang yang ia kenal sebagai orang yang penuh kehidupan.
Meski baru mengenal Nina seminggu ini, Jovita sudah merasa bahwa Nina adalah teman dekatnya. Sejak dulu, ia pasti minimal menghabiskan satu bulan kesepian tanpa teman di sekolah barunya. Ia tak pandai memulai percakapan, ketika ditanya jawabannya hanya pendek dan canggung, serta terlalu takut tindakannya dianggap aneh oleh orang lain. Maka, Jovita begitu menghargain ketika Nina terus mengajaknya bicara dan menyeretnya ke mana pun ia pergi. Padahal menurutnya, Nina bisa saja berkawan dengan orang lain yang lebih asyik darinya di kelas. Oleh karena itu, Jovita merasa berutang budi pada Nina, yang harus ia bayar dengan menjadi pendengar yang baik dan mengulurkan bantuan ketika gadis itu membutuhkannya.
"Nin, aku baru kepikiran sesuatu lagi." Jovita teringat suatu artikel yang pernah ia baca.
"Gimana, Jov?"
"Kamu biasanya tidur jam berapa?"
Nina memutar bola matanya, mencoba mengingat-ingat waktu tidurnya. "Jam sembilan, atau sepuluh?"
Cih, masih ada anak SMA tidurnya teratur.
"Aku pernah baca kalo ada dua orang bilang mereka saling mimpi hal yang sama karena pola tidur mereka sama. Bisa nggak kalo kamu tetep tidur di jam sembilan sampe sepuluh?"
ᯓ★
Minggu, 16 Februari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top