2. to him who i tryna reach in my dream

Entah apakah ada bintang jatuh yang melintas ketika Nina mengucapkan permohonannya, Nina tak hanya kembali sekelas dengan Deva di SMA, tapi juga bertemu dengannya di mimpi!

Mereka berada di taman bermain TK mereka, di bawah naungan semburat jingga langit sore, hanya ada mereka berdua duduk bersisian di ayunan dan permainan-permainan lainnya tanpa distraksi lain. Mimpi itu terasa amat nyata. Nina bisa menggerakkan tubuhnya sesuka hati. Namun, ketika Nina mencubit pipinya, rasanya tidak sakit, membuktikan bahwa itu benar-benar mimpi dan bukannya ia diculik saat tidur dan ditelantarkan di TK-nya.

Nina merasa seperti mendapat kesempatan kedua. Setelah membuntuti Deva sampai ke kamar mandi, Nina berpikir hendak mencoba berbicara lagi dengannya di kelas. Namun, hingga waktu pulang sekolah lelaki itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya lagi. Merasa waktu yang diberikan di sini tidak banyak, Nina harus segera berbicara dengannya. Ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan kedua ini.

Nina turun dari ayunan yang ia naiki, lantas berjalan ke depan sahabatnya itu. Ia bertepuk di depan jidat cowok itu. Mata lelaki yang tengah tertunduk itu tak terpejam sedikit pun. Setelah itu, Nina melambai-lambaikan tangan persis di depan wajahnya. Ketika ia melihat mata sayu cowok itu berkedip, Nina langsung menggenggam lengan kurus Deva.

"Kita di sini cuma berdua. Kalo kamu malu ngomong sama aku di sekolah kita bisa ngomong di sini. Mau sambil bikin istana pasir kayak dulu?"

Meski tangan Deva terkulai lemah, Nina tetap tak mampu menarik tangannya walau telah mengerahkan seluruh tenaganya. Deva seolah terpaku pada ayunan yang didudukinya, sebelah tangannya makin kuat meremas rantai ayunan. Setelah mencoba cukup lama, Nina akhirnya melepas tangannya, membuatnya tersaruk mundur.

Gadis itu lantas menghela napas panjang. Ia berjalan sendiri ke bak pasir di mana sudah disediakan sekop dan cetakannya. Sembari terduduk di hamparan pasir itu, Nina menatap kawannya lamat-lamat. Kepalanya terus tertunduk, matanya kosong, dan ekspresi wajahnya murung. Sekarang, Nina baru menyadari tubuh Deva yang semakin kurus seolah kulitnya hanya membalut tulang. Kulitnya memang putih sejak dulu--serupa mamanya--tetapi kini pucatnya terlihat seperti orang yang tak pernah disentuh sinar matahari. Kantung mata itu berbicara seolah Deva sudah tak tidur berminggu-minggu. Cahaya jingga menerpa punggungnya sehingga wajahnya berada di sisi gelap, membuat auranya terlihat makin suram. Deva jelas sekali tak terlihat baik-baik saja. 

Nina telah menunggu pertemuan ini selama lima tahun lamanya. Betapa bahagianya dia ketika mendengar nama yang begitu familier itu, terlebih ketika melihat wujudnya yang kini sudah bertumbuh dewasa. Ia pikir, semesta mempertemukan mereka kembali agar Nina bisa kembali merajut kenangan indah bersama di masa SMA. Namun, jika yang hadir kali ini bukanlah Deva yang ia kenal, bagaimana ia bisa merasa familier di dekatnya?

Ia sedih melihat keadaan Deva yang sekarang. Akan tetapi, ia sama sekali tak tahu-menahu apa yang telah Deva alami, bagaimana perasaannya, apa alasannya menolak keberadaan semua orang. Jika yang ia alami teramat sakit, Nina bersedia untuk dilimpahkan sebagian bebannya demi membantunya agar merasa lebih baik.

Sambil mulai menyekop pasir ke dalam cetakan, Nina bercerita, berusaha menghibur dirinya sendiri dan juga Deva. "Kamu dulu sering ngajak aku lomba bikin istana pasir. Temen-temen, guru kita, semuanya suruh milih bagusan punya siapa."

"Pertama kali aku yang menang, terus abis itu kamu ngumpetin cetakanku, jadinya istana punya kamu bagus tapi kutendang karena kamu curang. Akhirnya nggak ada yang menang." Gadis yang rambutnya kemerahan karena sering terpapar sinar matahari itu tertawa mengingatnya. Demi melihat respons cowok itu, matanya melirik. Namun, nihil, sudut bibirnya tak naik sedikit pun. Nina menghela napas lagi. 

Nina yang sudah bingung mau mengungkit cerita apa lagi berusaha untuk langsung menanyakan unek-uneknya.

"Kamu kenapa sih, di sekolah diem-diem aja? Padahal kamu kenal aku, 'kan kita bisa temenan lagi." Meski nada bicaranya agak naik, ia berusaha tetap tenang.

"Dulu padahal kamu duluan yang ngajak ngomong aku--meskipun jatohnya ngerecokin sih." Seraya berbicara, tangannya terus membentuk istana pasir itu hingga kokoh.

"Aku belom pernah punya sahabat lagi setelah kamu pindah, jadi di SMA ini mumpung kita sekelas aku pingin kita bareng-bareng lagi kayak dulu." Ia tersenyum teduh, sorot mata bulatnya ia arahkan ke cowok itu.

Tanpa ia sadari, matahari telah tenggelam sepenuhnya di ufuk barat. Semburat jingga telah digantikan oleh biru tua bertabur bintang. Baru sejenak Nina mengagumi keindahan hamparan gemintang itu, ia langsung disadarkan oleh alarm HP-nya. 

***

Keesokan malamnya Nina kembali mendapat mimpi yang sama. Mereka berdua duduk di ayunan, Nina yang bebas bergerak ke sana kemari, sementara Deva tetap terdiam murung. Nina mulai berpikiran kalau di mimpi itu hanya dia yang sadar. Apa istilahnya? Lucid dream?

Namun, kini Nina ingin mengabaikan apakah Deva yang ada di sini menyadari keberadaannya, bisa mendengarnya, atau bahkan bisa bicara padanya. Dia hanya ingin mengingat-ingat memori indah di tempat ini karena sekarang semuanya telah berubah. Taman bermain itu tak lagi bisa dikunjungi di dunia nyata. Sejak meninggalnya sang pendiri sekolah, TK itu mendapat banyak masalah dan tak bisa beroperasi sebagaimana mestinya. Permainan-permainan yang ada di sana sudah reyot serta ditumbuhi lumut dan tanaman rambat.

Di mimpi itu, Nina mencoba satu per satu permainan yang ada. Ayunan, perosotan, gelas putar, panjat dinding, jembatan goyang, lompat-lompat di arena engklek, bahkan main jungkat-jungkit sendiri. Sembari menamatkan list permainan yang ia coba, Nina terus berkisah tentang cerita masa kecil mereka seolah sedang menyajikan dongeng pengantar tidur bagi Deva.

"Kamu kenapa tadi nggak masuk?" Nina kembali dengan pertanyaan yang mengusiknya sejak di sekolah. Meski tahu kemungkinan kecil cowok itu akan menjawab, Nina tetap mencobanya. Bukankah dunia mimpi ini tercipta karena permohonannya untuk bertemu lagi dengan Deva? Tak mungkin ia di sini hanya untuk bermain-main dengan pemandangan Deva yang bermuram durja.

"Padahal hari ini ada demonstrasi ekskul. Kamu nggak mau ikut futsal lagi?" 

Dulu waktu usianya tujuh tahun, Deva pernah terbangun pada dini hari dan mendapati papanya masih berada di depan televisi. Melihat antusiasme papanya kala menyokong klub sepak bola favoritnya, ia pun tertarik untuk bergabung. Sejak saat itu, tiap Real Madrid bertanding, mereka sering menonton bersama meski terkadang harus sembunyi-sembunyi ketika mamanya ada di rumah. Dengan mata berbinar, papanya terus menceritakan kehebatan seorang Cristiano Ronaldo hingga ia juga ikut mengidolakannya. Maka dari itu, ia mengikuti ekskul futsal saat SD karena ingin menjadi pemain sepakbola terkenal.

Namun, kini ambisi itu telah menghilang sepenuhnya. Orang yang terus berada di pinggir lapangan untuk menyemangatinya sudah tak ada di sisinya. Tak ada lagi papanya yang begitu antusias bersorak untuknya meski ia tak sebanding dengan Cristiano Ronaldo. Dalam diam, Deva mengembuskan napas berat. Rasa sesak di dada itu kembali menyerang.

Ketika langit mulai gelap, Nina yang tengah asyik mengayunkan tubuh di ayunan terkejut mendapati Deva telah berdiri dari tempatnya. Ia pun mengerem ayunan itu dan segera mengejar Deva yang pergi meninggalkan taman bermain itu.

Dahulu, Deva sering mengajak Nina untuk lomba lari. Nina hampir selalu kalah melawannya, hanya hitungan jari di mana ia bisa memenangkannya dari--mungkin--ratusan lomba lari di antara mereka. Mungkin waktu itu Deva tahu Nina tak akan menang melawannya dalam lomba lari. Kala itu jiwa kompetitifnya selalu menggebu-gebu meski tak ada hadiah yang ia dapat. Mungkin baginya kebanggaan diri adalah hadiah terbaik yang bisa ia terima. Kini, Deva tak sedang berlari, ambisi yang membara itu juga telah padam di jiwanya. Namun, Nina masih tak bisa mengejarnya.

Deva hanya ingin pulang. Ia tahu bahwa sekolah TK-nya kini sudah tak beroperasi lagi. Jika kali ini ia terlempar ke masa lalu, mungkin papanya masih ada di rumah. Sesampainya di rumah, ia ingin memeluk pria itu erat-erat, bercerita tentang apa saja yang terjadi selama ia pergi dari hidup anaknya, mungkin ia akan terduduk lemas sambil menangis tersedu-sedu setelah setahun belakangan air matanya seolah telah kering. Jika papanya ada di sana, Deva ingin terjebak selamanya di mimpi ini tanpa harus bangun lagi.

ᯓ★

Sabtu, 15 Februari 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top