1. to him who i finally met again
Sejak tadi, Nina berulang kali menatap dan meraba seragamnya, tak percaya kalau kini ia telah berseragam putih abu-abu. Meski harus membiasakan diri untuk bangun pagi lagi, perempuan itu benar-benar tak sabar menanti hari ini. Konon katanya, masa SMA adalah masa-masa terindah bagi banyak orang. Nina berharap hal itu juga berlaku untuk dirinya.
Kontras dengan antusiasme di pagi ini, di malam hari Nina justru termenung, menatap langit-langit kamarnya yang dipenuhi hiasan glow in the dark. Pikirannya kembali terlempar ke masa lalu, cemas apakah ia bisa menemukan teman sefrekuensi di SMA seperti di taman kanak-kanak dulu.
Waktu itu usianya masih hampir genap empat tahun. Ekspresi Nina berubah kontras secerah mentari kala melihat taman bermain yang dipenuhi kawan-kawan sebayanya, seolah lupa kalau sedetik yang lalu dia masih tantrum karena dibangunkan pagi oleh mamanya untuk pertama kali. Gadis kecil itu berlari riang kala menghampiri taman bermain itu.
Di taman bermain itu, terlihat sekali ada satu anak cowok yang berkuasa. Pokoknya semua wahana itu miliknya. Kalau dia mau main ayunan, yang di ayunan harus minggir. Kalau dia bosan, dia akan cari anak lain untuk digusur. Tangisan dari beberapa anak pun tak terelakkan. Nina yang sedang bermain di gelas putar juga tak luput dari penggusuran itu.
"Aku mau naik, kamu minggir dong!" lantang anak yang dipanggil Yuki oleh ibunya itu.
Nina menggeser tubuhnya. "Masuk!" Ia menepuk-nepuk sebelahnya.
"Nggak, kamu turun, aku sekarang mau naik!" Ia bertolak pinggang, kesal karena Nina tak segera mengerti maksudnya.
Gadis yang rambutnya dikucir dua itu akhirnya menurut. Saat Yuki naik, Nina memegang besi pegangannya, lalu berlari memutar, membuat lelaki itu tersentak dan berpegangan pada setirnya.
"Heh! Kenapa diputer?!" tanyanya histeris.
Sambil masih memutar-mutar mainan itu, Nina berucap, "'Kan main bareng!"
Seluruh anak di taman bermain itu menonton mereka. Anak-anak yang kehilangan tempat setelah direcoki Yuki pun mendukung Nina. Akhirnya, aksi Nina dihentikan oleh bundanya, anak lelaki yang menangis setelah dibuat mutar-mutar itu juga dimarahi mamanya atas kekacauan yang ia sebabkan di hari pertama sekolahnya.
Karena sang penguasa taman bermain merasa dipermalukan, ia menjadikan Nina sasaran empuk untuk kenakalannya, berniat balas dendam. Dijoroki di prosotan, didorong di ayunan, bahkan dilempari pasir. Namun, Nina selalu menganggap anak itu mengajaknya bermain dan membalas aksinya dengan senang hati.
Hingga suatu saat, Yuki berhasil membuat Nina menangis. Ia diam-diam memasukkan jangkrik ke baju Nina. Nina yang ketakutan karena serangga itu lompat-lompat di punggungnya pun menggeliat panik, lalu menangis. Yuki malah tertawa terbahak-bahak, ia sukses.
Misi balas dendam telah berakhir, tapi inilah permulaan dari persahabatan mereka. Setelah guru mereka turun tangan untuk mendamaikan, Nina mengajak Yuki untuk berteman dan bermain lagi.
Semenjak hari itu, mereka bagai duo trouble maker yang siap memporak-porandakan seisi TK setiap saat. Meski tak jarang terjadi perkelahian di antara mereka, hal itu tak pernah berlangsung lama. Selalu ada petualangan baru yang menanti di esok harinya.
Setelah lulus TK, mereka masuk ke SD yang sama dan kembali ditempatkan di kelas yang sama. Mereka kembali mengukir banyak kenangan bersama. Namun, untaian memori itu berhenti bertambah saat Deva--nama panggilan barunya karena ia merasa Yuki terlalu kekanakan--pindah sekolah di semester dua kelas tiga. Kata bundanya Nina, Deva harus pindah sekolah karena mamanya pindah kerja.
Sebelum itu, Deva memang sudah sering tak masuk sekolah. Nina terakhir kali bertemu dengannya untuk memberi kado ulang tahunnya. Tak seperti biasanya, Deva hanya menerima kado tanpa berbicara sepatah kata pun dan langsung masuk ke rumah.
Meski sedih karena ditinggal sahabatnya, Nina yang pada dasarnya memang mudah bergaul tetap berteman dengan siapa saja di kelasnya. Namun, ketika tiba waktunya membentuk kelompok, ia selalu tersisih seolah tak ada lagi tempat baginya di mana pun. Semua orang di sekelilingnya sudah punya kelompok pertemanan, sementara ia tak punya tempat untuk menetap. Dia cuma bisa menunggu hingga detik terakhir untuk mengetahui kelompok manakah yang kekurangan orang. Situasi itu terus ia hadapi hingga SMP. Ia takut hal itu terjadi lagi di SMA.
Ia rindu memiliki kepingan lain dari dirinya yang jika mereka terpisah, orang-orang akan bertanya ke mana yang satunya.
Matanya nyalang menghadap jendela. Pada langit bertabur bintang, dia seolah menerawang mencari kepingannya yang telah hilang sejak lama.
Dia pun membuat permohonan pada bintang-bintang untuk dapat segera menemukan kepingan itu, yang rupanya langsung direstui oleh semesta.
"Yuki Sadeva."
Ketika nama tersebut dilantangkan oleh kakak OSIS di depan, mata Nina yang semula hampir sempurna terpejam langsung melotot. Kepalanya menoleh ke segala arah, pandangannya menyapu seisi kelas, mencoba mencari sosok yang berucap hadir.
Rupanya sumber suara bariton itu berasal dari belakang pojok dekat jendela. Nina seakan tak percaya apa yang ia lihat. Selain suaranya yang berat dan tubuhnya yang tinggi, jelas itu adalah Deva. Kulit putih pucatnya, alis tebalnya yang membuatnya terlihat seperti marah permanen, rambut hitam legam yang seperti dicukur asal, serta sedikit jerawat yang menghiasi pipinya. Nina tak yakin apakah itu glow up atau glow down, dia hanya bertumbuh.
Begitu memasuki jam istirahat, gadis berkulit sawo matang itu bergegas mengejar cowok yang berjalan ke luar kelas itu. Ketika jaraknya tak sampai setengah meter di depan, Nina menepuk pundak pemuda itu dengan jemari kurusnya, lalu berjengit menyadari tubuh tinggi cowok itu. Bahkan Nina yang tingginya di atas rata-rata perempuan di sekitarnya saja tingginya hanya setelinga sahabat masa kecilnya itu.
Meski ia tak menengok sedikit pun, Nina tetap bertanya, "Kamu Deva 'kan?"
Cowok itu tak menggubrisnya. Langkahnya tetap mantap menyusuri pinggir lapangan sekolah, mengabaikan gerombolan siswa yang berlalu lalang. Gerombolan siswa yang larut dalam euforia hari pertama sekolah itu seolah terintimidasi oleh aura suram yang dipancarkan cowok yang sedang bersungut-sungut itu sehingga mereka menjauh dan memberi jalan.
Nina yang pantang menyerah terus membuntutinya. "Yuki Sadeva? Yuki? Deva?" Ia hanya ingin kepastian dari mulut lelaki itu langsung meski ia telah yakin seratus persen. Cowok itu hanya merespons dengan dengkusan.
"Dulu kita sering main bareng 'kan?" Sang perempuan menyejajarkan langkahnya. Tak dijawab lagi.
Nina mendecak, ia mulai kehabisan pertanyaan, dia butuh mengatakan sesuatu yang bisa memantik percakapan panjang. Mungkin seperti mengingatkan Deva akan kenangan di masa lalu?
"Kamu dulu yang pernah naro jangkrik di punggungku. Ya 'kan?" Ketika mendengarnya, ekspresi wajah sang lelaki sempat berubah masam, utamanya karena kalimat itu diucapkan lantang-lantang.
Ketika melihat perubahan ekspresi itu, Nina langsung tersenyum, merasa dia sudah selangkah maju. Namun, harapan itu kembali dipatahkan karena Deva tak kunjung bersuara. Di detik itu, Nina ingin menjedotkan kepalanya ke tembok untuk membantunya berpikir.
"Deva, titip salam buat mama papamu ya!" Yah, hal klasik untuk diucapkan di pertemuan pertama setelah sekian lama 'kan?
Nina tak sadar telah dituntun hingga ke depan kamar mandi laki-laki, dia pun langsung berhenti mendadak kala menyadarinya.
Kamar mandi bukanlah tujuan awal dari cowok bertubuh jangkung itu, mulanya itu ia lakukan hanya agar Nina berhenti membuntutinya. Namun, kini ia ingin bersembunyi di bilik kamar mandi untuk sesaat demi menata hati.
Ia bertanya-tanya. Kenapa di setiap detik sebelum ia akan melancarkan rencananya selalu ada saja yang menggagalkan? Dia harusnya sudah menghilang sebelum hari pertama SMA, tetapi digagalkan oleh kedatangan mamanya. Kini, seseorang yang dulu ia hargai sebagai satu-satunya temannya hadir lagi di kehidupannya. Apa maksud semesta mempertemukan mereka lagi?
Deva mendengkus kesal, kepalan tangan ia layangkan ke tembok bilik kamar mandi. Kenapa ia masih peduli pada kehadiran orang lain? Apakah orang-orang yang ia pedulikan mampu memberikan kebahagiaan baginya? Bukankah saat ini hanya ada dirinya sendiri di dunianya?
ᯓ★
Sabtu, 15 Februari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top