06 | Teh Apel

Satu kata yang bisa mewakili Jeno saat ini adalah panik.

Dia tidak bisa berpikir jernih kala melihat kondisi Kaniya. Cewek itu segera dilarikan ke rumah sakit. Darah di kepala serta lengannya tidak mau berhenti. Kata dokter, cewek itu kehilangan banyak darah. Ditambah dia sedang mengidap anemia.

Kaniya ini mudah kelelahan, ditambah cewek itu suka begadang. Dan lagi, ini makin membuat Jeno pusing kala gadis itu membutuhkan transfusi darah secepatnya minimal hingga nanti malam. Kalau tidak—Jeno tidak mau menjelaskannya lebih lanjut.

"Jeno!"

Cowok itu mendongak, mendapati teman-teman Kaniya yang datang menghampirinya. Haikal berjalan dengan tergesa-gesa, kemudian tanpa aba-aba, cowok itu dengan mulus melayangkan bogem mentahnya kepada Jeno.

"Itu buat lo yang suka gak ngotak sama temen gue!!"

Jeno terdiam. Cowok itu mengeraskan rahangnya seraya menundukkan kepalanya. Cowok itu tidak membalas apa-apa. Entah, mungkin karena dia menerima kenyataan bahwa dia memang brengsek atau mungkin dia sadar jika tamparan itu tidak sebanding dengan apa yang sudah dialami oleh Kaniya.

"Seharusnya lo udah putus sama Kaniya! Lo terlalu brengsek buat dia!!" lanjut Haikal. Cowok itu hendak menampar Jeno lagi, tapi keburu ditahan oleh Windi.
"Kal, ini di rumah sakit! Tahan dulu emosinya!" kata Windi.

Akhirnya Haikal hanya menatap Jeno dengan tatapan bengis. "Gue belom selesai sama lo! Kalo temen gue sampe kenapa-kenapa, gue gak bakal segan-segan sama lo!" ucap cowok itu seraya mendorong dada Jeno

Windi menarik Haikal dari hadapan Jeno. "Gimana kabar Kaniya?"

Jeno menghela napas kasar. "Cukup parah."

Haikal mendengkus. Merasa dongkol dengan pacar sahabatnya itu. "Udah semaput gini lo baru nyesel!"

"Haikal!" Windi melotot.

"Iya, gue tau gue salah!" Jeno mengacak-acak rambutnya. "Kaniya butuh tranfusi darah. Darah dia O dan rumah sakit lagi gak ada stock!"

"Kampret!" Haikal mengumpat.

Windi meneguk ludahnya. "Oke. Gue coba cari bantuan di grup fakultas," katanya. Kemudian cewek itu sibuk mengutak-mengutik ponselnya. Membuat pengumuman di berbagai grup besar seangkatannya. Mulai dari BEM, hima, UKM, dan teman-teman se-kost-annya.

"Lo udah kabarain keluarganya, belom?" tanya Windi di sela kesibukannya mengetik sesuatu di ponselnya.

Jeno mengangguk. "Gue udah nelpon Eyang-nya. Dia lagi di jalan."

Haikal maupun Windi menghela napasnya sejenak, hingga tiba-tiba seseorang datang dan mengatakan,

"I think I can help her."

Semua kepala menoleh. Mendapati Ajun yang berjalan menghampiri mereka bertiga. "What the hell you think you doing?!" sembur Jeno.

"I just want to help!" balas Ajun. "Darah gue O."

Jeno terkekeh sarkas. "Masih banyak orang yang darah O selain lo!"

Mendegar jawaban Jeno, Haikal melengos seraya tertawa meledek. "Gini nih, si Kampret egois!"

"Lo mending diem aja—"

Karena kesal, Haikal lagi-lagi menampar Jeno dengan penuh khidmat. "Lebih cepat lebih baik, Bangsat!"

Windi mengangguk menyetujui. "Haikal bener. Lebih cepat lebih baik."

"..."

Jeno terdiam. Cowok itu mengepalkan tangannya seraya menatap Ajun dengan tatapan yang sulit dirtikan. Antara marah, tidak terima, dan sedih bercampur aduk.

"Gue tau lo sebenci apa sama gue, tapi Kaniya butuh darah secepatnya."

Lima detik Jeno masih dengan ekspresinya, hingga akhirnya dengan berat hati dia menghembuskan napas dan mengangguk singkat. "Ikut gue."

* * *

Jauh di lubuk hatinya, Jeno berterima kasih kepada Ajun karena akhirnya Kaniya bisa melewati masa kritisnya sebab Ajun yang bersedia mendonorkan darahnya secara percuma. Jeno kini terduduk di samping bangkar saat setelah Ajun, beserta teman-teman Kaniya yang datang untuk menjenguk akhirnya pulang satu-persatu.

Kaniya pun masih tertidur. Keningnya ditutupi oleh perban. Luka-luka memar dan lecet masih terlihat kontras di pipi, hidung dan bibirnya. Tangannya pun diperban. Kata dokter, ada paku berukuran besar yang merobek lengan atasnya. Dan karena itu—entah kenapa—Jeno merasa itu semua adalah salahnya.

Tok tok tok!

Jeno menoleh kala pintu kamar inap diketuk. Nana datang yang sebelumnya dia izin keluar karena ingin merokok di taman.

"Jen." Nana memanggil temannya itu yang kembali memandang wajah pacarnya itu.

"Hm?" responnya tanpa menoleh kearahnya.

"Kalo udah kayak gini, lo mau gimana?"

Jeno mengernyit. "Maksud lo, Na?"

Nana menghela napasnya. "Ini waktu yang tepat buat lo lepasin Kaniya."

"..."

"Lo sakit Jen. Jangan sebar penyakit hati lo ke Kaniya."

Jeno terdiam. Perlahan tangan cowok itu terulur untuk menggenggam tangan Kaniya yang begitu pucat.

"Gue tau lo sayang sama dia. Tapi rasa sayang lo salah. Justru malah melukai cewek lo," lanjut Nana. Cowok itu bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Jeno.

"Kalo anak-anak senja bilang, mencintai dan menyayangi gak harus juga memiliki."

Jeno menghela napasnya. "Gue lagi males denger omong kosong lo, Na."

"Gue lagi gak guyon, Jir."

"..."

"Pikirin baik-baik nasehat gue." Nana menepuk bahu temannya itu, kemudian pergi meninggalkan Jeno berdua dengan Kaniya yang masih belum sadarkan diri.

Jeno terdiam. Cowok itu lagi-lagi menatap wajah Kaniya. Mengingat-ingat lagi kejadian yang selama ini selalu dia tolak untuk diingat. Betapa kejamnya Jeno sebagai seorang laki-laki, dan betapa brengseknya Jeno yang masih terus berharap dan memaksa cewek itu untuk terus menjadi miliknya. Nyatanya, Selama cewek itu menjadi miliknya, justru dia malah semakin merusaknya dan menyakitinya tanpa dia sadari.

Benar kata orang-orang ... kuncinya adalah berpisah.

Tapi Jeno tidak tahu, kenapa ini sangat berat baginya.

"Jana ..."

Jeno mendongak. Terkejut saat melihat Kaniya yang telah membuka matanya dan menatap dirinya.

"Yank?"

"Maaf."

"No, My Boo. Ini semua salah gue."

Kaniya tersenyum lemah. Yang entah kenapa malah terasa mencubit hati Jeno. "Jana ..."

"Iya?"

"Gue denger semuanya tadi."

"..."

"Let's break up."

* * *

Ini rekor bagi Kaniya.

Dia tidak pingsan setelah jalan kaki—kalau dihitung-hitung ada mungkin satu kilo dari kontrakan menuju terminal MRT dan lanjut jalan dari gerbang kampus menuju gedung fakultasnya, karena dia tidak punya banyak waktu untuk menunggu bus antar jemput yang kata satpam setempat akan datang 15 menit lagi, akhirnya cewek itu memutuskan berjalan dengan langkah kebar menuju gedung fakultasnya.

Pasalnya Kaniya tidak bisa menunggu barang 15 menit, sedangkan dosbim skripsinya di depan sana sudah menunggu untuk membunuh otaknya. Sialnya lagi, Kaniya belum menyiapkan alasan-alasan berbobot jikalau dosennya itu melempar pertanyaan yang membuat Kaniya nyesel udah kuliah selama 6 semester.

Akhirnya setelah dicecar habis oleh pertanyaan mengenai solusi, metode, dan jurnal terkait. Akhirnya Kaniya berencana untuk istirahat seharian—setelah dia menolak untuk hadir di rapat Himatanri (Himpunan Mahasisawa Kelautan dan Perikanan) dengan alasan sumbilangen. Ya ... kenyataannya dia memang sedang datang bulan. Makanya, dia mampir dulu ke minimarket untuk membeli pereda nyeri haid dan cemilan untuk menemai rebahan ria di kasur nanti.

Tapi tanpa dia sengaja, tangannya secara otomatis membuka lemari es dan mengambil minuman tel botol rasa apel.

Seketika Kaniya terdiam di tempat.

Lagi. dan lagi.

Rasanya ini sudah menjadi kebiasaan yang mungkin akan sulit untuk dihilangkan. Dulu, Kaniya terbiasa membelikan mantan pacarnya minuman ini. Sudah seperti refleks baginya melakukan hal tersebut.

Kaniya menghela napasnya. Kemudian tersenyum menatap botol teh yang dia pegang. Bohong kalau Kaniya bilang dia tidak rindu dengan sosok cowok tampan yang menjadi iconic di departemen arsitek. Cowok yang sejak setahun yang lalu melepas status taken-nya menjadi jomblo. Membuat para cewek-cewek seantero kampus bersorak-sorai karena pangeran kulkas telah putus dengan cewek biasa dari departemen kalutan dan perikanan.

Haha. Lucu.

Tapi Kaniya kangen banget sama mantannya itu. Dia juga gengsi buat ketemu cowok itu—soalnya kan, yang duluan minta putus Kaniya. Mau taruh di mana wajah Kaniya nanti.

"Semuanya jadi 57.650 rupiah, ada member card-nya?"

Kaniya mengernyit. Dia mengecek barang belanjaannya sekali lagi. 'Kenapa bisa sampe gocap??' bantinnya. Kaniya mengecek dompet utamanya. Cewek itu suka memisahkan uang recehan pecahan gope sampai sepuluh ribu di dompet yang berbeda.

"Anjir!" umpatnya. Tidak ada uang cash di dompetnya. "Ngh ... Mbak, Chitato sama—"

"Pake uang gue dulu aja."

Deg!

Badan Kaniya tiba-tiba menegang. Suara itu. suara yang sudah lama tidak dia dengar selama kurang lebih setahun lamanya sejak dia memutuskan untuk mengakhiri segalanya.

"Jeno??"

"Pake uang gue dulu aja." Cowok itu mengulangi perkataannya.

"Tapi—"

"Santai aja. Sekalian ... biar gue ada alasan buat ngobrol sama lo."

"..."

* * *

bonus : jenguk anak-anak lele untuk terakhir kali

setelah cewek kesayangannya minta putus, jeno akhirnya malam-malam dateng ke kontrakan kaniya. buat apa? buat jenguk anak-anak lele yang dia asuh bersama cewek itu.

karena para warga penghuni petakan kontrakan sudah terbiasa dengan kehadiran jeno, jadi mereka take it easy aja ada perjaka tampan dateng ke kontrakan gadis. mereka gak bakal nethink, soalnya ya, jeno ini udah dinilai baik dan budiman oleh para warga.

"hello, kids. papi minta maap, udah gak bisa ngurus kalian lagi bareng mami. sehat-sehat ya, jangan ada yang mati lagi. nanti mami sedih. makan yang banyak. nanti kalo udah gede jangan bandel sampe matil mami, oke."

anehnya, para anak lele segede jari telunjuk itu pada muncul ke permukaan. jeno dengan senang hati menaikkan lengan jaketnya dan mencelupkan tangannya ke dalam ember 50 liter berisi 30 benih lele tersebut.

"papi sayang kalian. titip mami buat papi ya?"

* * *

roomsky | march, 04th 2021

#rosebang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top