03 | Calon Menteri
Kaniya pernah mengatakan, jika Jeno itu sama sepertinya. Kecewa dan lelah.
Kaniya terlalu kecewa dengan realita yang selalu menamparnnya. Begitupun, cewek itu sudah cukup lelah untuk menerima semuanya. Hingga akhirnya dia mati rasa. Mencoba untuk menutup diri dan menutup perasaannya kepada siapapun.
Hingga akhirnya kedatangan sosok Janaloka mengubah segalanya. Kaniya seakan-akan melihat pencerminannya sendiri. Jeno yang kesepian, itu adalah dirinya yang dia sembunyikan dari orang-orang. Jeno yang hancur, sudah jelas betul, itu pun terjadi padanya. Sehingga apa yang ada di dalam diri Jeno adalah perwakilan dari seorang Kaniya.
Membuat Gadis itu berpikir, bahwa sebenanya di dunia ini dia tidak sendiri. Jeno ada bersamanya.
Tapi terkadang, Kaniya selalu menutup matanya kala mendapatkan perlakuan kasar dari cowok itu. Kaniya seakan buta, bisu, dan gagu. Menerimanya begtu saja. Alasannya memang klise. Sebab Kaniya sayang sama Jeno.
Pria itu baik, Kaniya berani bersumpah. Tapi yang namanya manusia, pasti meiliki dua sisi di dalam hidupnya. Satu sisi, Jeno si pria yang lembut. Namun di sisi satunya lagi, Jeno si pria yang kejam.
Jeno itu seperti almarhum kakaknya. Cowok yang semasa hidupnya adalah orang pertama yang selalu melindunginya dari sosok pria yang dia panggil 'Ayah'. Ada banyak kenangan pilu yang Kaniya serta kakaknya punya dengan pria itu. Saat di mana seorang ayah melindungi anak-anaknya, beliau justru malah melakukan hal yang sebaliknya.
Sebenarnya, menurut cewek itu semuanya akan baik-baik saja selama kakaknya ada. Tapi sayang, takdir seseorang tidak ada yang tahu. Kakanya meninggal, bertepatan dengan ulang tahun Kaniya yang ke-16 tahun. Itu adalah waktu di mana hidupnya berada di titik paling bawah. Tidak ada lagi kakaknya yang selalu melindunginya dari kekerasan fisik sang ayah yang kerjaannya hanya bisa marah-marah dan mencurahkan semua kekesalannya kepada Kaniya.
Ibunya pun sudah lama pergi. Tidak ada satu orang pun yang bisa Kaniya minta untuk melindunginya. Alhasil, Kaniya mengambil kuliah jauh dari kota tempatnya tinggal, dan memilih untuk tinggal di kota eyangnya berada. Jadi, minimal kalau ada apa-apa, entah itu sejenis hal yang mendesak, Kaniya akan langsung menghubungi eyang putrinya—yang sudah dianggap sebagai pengganti ibunya.
"Lamunin apa sih, Yank?"
Pertanyaan Jeno sukses membuat Kaniya tersadar dari acara daydream-nya di siang bolong kala mobil—kata Jeno, motornya sedang ganti accu, jadi dia menggunakan mobil ke kampus kali ini—sampai di parkiran supermarket Lotte-mart.
"Hah? Nggak kok."
"Jangan ngelamun terus, nanti kesibat."
Kaniya terkekeh. Kemudian menoyor bahu milik cowok yang sedang mengatur setir kemudi.
"Gue tuh bukan ngelamun, Jana."
Seperti biasa, Jeno mendengkus seraya mencurutkan bibirnya. "Manggil gue begitu mulu!"
"Nama lo, kan Janaloka. Jeno itu gak nyambung."
Jeno tersenyum kecil. Lalu secara tiba-tiba pria itu mengecup pipi cewek itu tanpa permisi. Refleks membuat Kaniya terkejut dan mematung di tempat. "Kalo lo mau tau, Bunda gue dulu suka manggil gue begitu."
"Hah?"
Jeno tersenyum lagi. Cowok itu mengusap kepala Kaniya kemudian mengangguk mengiyakan. "Iya. Dan hobi gue dulu, suka nyium pipi Bunda."
"..."
"Kek gini—" Jeno mencondongkan tubuhnya mendekati Kaniya kemudian mengecup pipinya sekali lagi.
"JENO, IH!" Kaniya memekik. Sedangkan cowok itu tertawa lepas. Kaniya tiba-tiba terdiam, sedikit speechless kala melihat cowok itu yang menampilkan sisi cerahnya. Padahal kemarin dia baru saja bertranformasi menjadi iblis bermuka malaikat.
"Jeno."
"Hm?"
Kaniya menatap Jeno. "Kalo nanti ketemu ayah gue ... lo ..."
Jeno menghela napasnya. Merasa paham dengan ucapan pacarnya itu. Pasalnya, cewek itu banyak cerita soal keluargaya tadi siang. Memberi tahu Jeno hampir semuanya.
"Don't need to ask 'bout it."
"Ngh ..."
"I'm gonna kick his face before he saw you. Really."
Kaniya menundukan kepalanya seraya meremas tangannya. Jeno menghentikan mobilnya setelah selesai memarkirkannya. Kemudian meraih tangan cewek itu.
"Kaniya, lo jangan khawatir. Lo punya gue. Gue punya lo."
Kaniya mendongak, dan menatap wajah cowok itu dan tersenyum kecil.
"Jeno."
"Kenapa, Sayang?"
"Ck!" Kaniya berdecak. "Ajarin naik mobil, dong."
"Boleh. Sekarang aja, mumpung masih sore."
Kaniya menggigit bibir bawahnya. "Kalo nanti mobil lo lecet gimana? Motor lo aja sampe dibawa ke bengkel gara-gara gue."
Jeno tertawa untuk yang kedua kalinya. "Gak apa-apa kali. Tinggal dibawa ke bengkel aja."
"Jen ..."
"Gak apa-apa, Yank. Itung-itung gue ngabisin duit bokap gue."
* * *
Pernah sekali—bahkan berkali-kali—Kaniya mendapati Jeno sangat hancur di hadapannya.
Bahkan sampai mematahkan asumsi cewek itu yang mengatakan jika laki-laki tidak pantas untuk menangis. Nyatanya, Kaniya melihat Jeno menangis. Cowok itu datang ke kontrakannya pagi-pagi buta. Cuaca sedang hujan, dicampur dengan angin lebat dan badai.
"Jeno?"
Kaniya terkejut, mendapati cowok itu yang berdiri di depan pintu dengan pakaian basah kuyup serta—lagi—wajah yang sangat lelah penuh dengan luka lebam.
"Kaniya."
Cewek itu dengan sigap menarik tubuh Jeno untuk masuk ke dalam rumah dan memeluknya. "Kenapa gak nelpon??"
"Gue ... kangen sama Bunda ...." lirih Jeno. Cowok itu menjatuhkan kepalanya di bahu Kaniya seraya terisak. Cewek itu membalas pelukan Jeno lebih erat, mengusap punggungya dan menenangkannya. Tanpa harus bertanya, 'apa alasan cowok itu menangis?'. Karena pada dasarnya, Kaniya sudah paham apa yang membuatnya seperti ini.
"Jadi mau pilih yang mana?"
Suara Jeno menginterupsi lamunan Kaniya. Cewek itu langsung menoleh dan menatap Jeno yang memegang dua bungkus mecin beda merek di tangannya. Yang satu bewarna kuning, yang satunya lagi berwarna merah.
"Yang itu aja."
Kaniya menunjuk barang yang bewarna merah. Jeno pun memasukannya ke dalam trolley.
"Yank."
"Kenapa?"
Jeno mendorong trolley dan berjalan sejajar dengan cewek itu. "Lo kenal sama yang namanya Januar?" tanyanya.
Kening Kaniya mengkerut. "Januar? Hmm ... kayaknya kenal."
Jeno menghentikan langkahnya. Yang justru malah membuat Kaniya makin kebingungan. "Lo kenal sama dia??"
"Januar yang gue kenal itu, sepupu jauh gue di Subang. Kenapa?"
Jeno menghela napasnya. Merasa lega, kemudian cowok itu menggeleng. "Bukan apa-apa, kok. Nanya doang."
"Oh—eh, tapi kalo yang lo maksud Januar itu Ajun, temen sekelas gue, ya gue kenal."
Lagi-lagi langkah Jeno terhenti. Cowok itu menoleh ke arah Kaniya dengan tajanm. "Serius??"
"Ya ... serius. Dia temen sekelompok gue di matkul ikhtiologi, tapi jarang masuk. Jadi gue gak terlalu deket sama dia."
"..."
"Kenapa, Jen?"
"Oh ... begitu."
Jeno hanya membalas demikian. Cowok itu melanjutkan langkahnya dengan wajah yang ditekuk, meninggalkan Kaniya beberapa meter di belakangnya.
Kaniya berdecak. Jeno mah, kalau ngambek suka tiba-tiba. Kayak anak cewek aja!
"Jeno, tungguin, ih!" Kaniya melebarkan langkahnya. Hingga tiba-tiba Jeno berhenti secara mendadak. Alhasil, cewek itu menubruk punggung lebar cowok itu. "Aduh! Kenapa sih, Jen??"
Jeno tidak menjawab apa-apa. Hanya menatap lurus ke arah dua orang yang berada 5 meter di depan. Karena penasaran, alhasil Kaniya ikut menatap ke arah pandangan cowok itu. Dan seketika Kaniya terkejut.
"Jeno."
Cowok itu mengepalkan tangannya. Kemudian berbalik badan dan meninggalkan Kaniya beserta trolley-nya. "Jeno—" Kaniya menghela napas gusar. Cewek itu menatap seorang pria paruh baya bersama seorang wanita berpakaian cukup modis berumur sekitaran 40 menuju 50 tahunan.
Ayah Jeno dan ibu tiri-nya.
Kaniya akhirnya memilih untuk berlari menyusul Jeno. Langkah cowok itu tergesa-gesa, tangannya terkepal kuat. Kaniya dengan sigap menahan lengan kanan Jeno untuk berhenti sejenak.
"JENO!"
"APA, SIH?!"
Jeno menyentakan tangannya dengan kasar. Kontan membuat Kaniya terkejut, bahkan beberapa orang yang berlalu lalang sempat menoleh karena suara cowok itu yang cukup kencang.
"Maaf," cicit Kaniya. entah kenapa dia refleks mengatakan hal tersebut. Padahal Kaniya tahu, ini bukan salahnya.
Jeno menatap pacarnya lekat-lekat. Hingga kemudian menghela napas kasar seraya mengacak-acak rambut hitam legamnya. "Kita pindah aja. Jangan belanja di sini."
Cowok itu kemudian merangkul Kaniya dan kemudian mengecup keningnya sekilas. "Maaf tadi kasar," gumamnya di samping telinga Kaniya.
Cewek itu tersenyum samar. "Iya, gak apa-apa.
* * *
"Lo itu udah tau kasar, masih aja mertahanin!"
Ucapan Narendra tiba-tiba mencubit hati bagian terdalam milik Jeno. Cowok itu terlihat melamun, berpikir keras untuk menyaring ucapan satu-satunya sahabat terdekatnya di kampus.
"Gue udah sayang sama dia ... bilang aja lo sirik!"
Nana—nama panggilannya—mendengkus. "Yaelah, si Kucrut! Ngapain gue sirik??"
Jeno menaikkan salah satu alisnya. "Excusme? Lo sendiri yang bilang pas awal ospek, kalo lo demen sama cewek gue waktu itu."
Nana tersenyum masam. "Waktu itu." Dia menekankan. "Sekarang mah, ogah!"
Jeno mencibir. "Intiya lo ngiri sama gue karena lo baru aja putus sama pacar lo kemaren!" katanya. Kemudian lanjut mengatakan, "makanya jadi laki itu setia! Jangan kegatelan mulu kerjaan lo!"
"Setia, setia! Setai kali maksud lo!" Nana balas mencibir. "Urusin tuh, sifat toxic lo! Lama-lama gue kasian sama Kaniya. Jadi samsak portable lo terus!"
"..."
"Gue kasih tau nih, ya. Lama-lama kalo lo begitu terus sama cewek lo. Bisa gila itu cewek!"
"Gue gak ada maksud buat bikin dia gila!"
"Tapi secara gak sadar, lo udah otewe bikin dia stress. Marah, mukul, having sex, terus segampang itu minta maap! Gitu aja terus siklusnya, gue kalo jadi Kaniya udah selingkuh sejak lama!"
Jeno menatap Nana dengan tatapan tidak suka. "Lo gak cocok jadi transgender!" ucapnya dengan ketus. "Dan lagi, gue gak sampe ngotorin dia, Kampret! Itu kebiasaan lo! Bukan gue!"
Nana memutar bola matanya malas. "Ck! Intinya begitu! Mending lo putus aja udah! Masih banyak cowok yang lebih pantes buat dia daripada lo!"
"Lo ngeledek gue?"
"Kenyataannya begitu, No!"
"..."
"Menurut gue, Januar—adek tiri lo itu—lebih pantes buat Kaniya ketimbang sama lo!"
"Narendra! You've crossed the line!" Jeno tiba-tiba berucap dengan nada dingin. "I still love her. And I do."
Nana terdiam. Cowok itu melengos, kemudian menghembuskan napas kasar. "Terserah lo. Gue udah sering ngasih tau lo soal ini. Lebih baik lo berhenti, sebelum lo dipaksa berhenti dengan keadaan."
Drrt drrt drrt
Ponsel Jeno bergetar. Cowok itu melupakan sejenak ucapan menusuk dari sahabatnya itu, dan mengecek ponselnya yang ternyata ada pesan masuk dari Kaniya.
Calon Menteri : janaaaa
Calon Menteri : katanya bakal nunggu di dpn fakultas??
Calon Menteri : gue udh nunggu ini ... diliatin orang, maluuuu 😢😢
Janaloka : tuggu bentar, yank. tadi lagi ada urusan sama nana
Janaloka : loh? kenapa harus malu, yank?
Calon Menteri : malu, soalnya waktu it lo pernah ribut gara2 gue di fakultas teknik
Jeno terdiam. Batal mengetik balasan untuk pacarnya itu. Seketika ucapan Nana menampar dirinya lagi.
Calon Menteri : jenoooo ... ngetik apa sih??
Calon Menteri : buru ke sini!
Jeno menghela napasnya. Nana yang memperhatikan raut wajah cowok itu terkekeh. "Napa lo? Beneran ada niat buat putus?"
"Ck! Bacot lo!" balas Jeno. Pria itu mengenakan tasnya dan berjalan meninggalkan Nana untuk segera menghampiri Kaniya yang katanya menunggu di depan gedung fakultasnya.
Janaloka : iya, iya. ini otw ke sana.
* * *
hmmm, update lagi gengs. wkwkwk. see you next.
have a nice day.
jeno, bukan jana, yang boleh manggil gitu cuma bunda sama kaniya. anak arsi, nanti mau buat gedung pembangkit listrik tenaga cinta sama kaniya. anak salah jurusan. harusnya masuk teknik elektro. tapi gapapa, kata kaniya dia keren kok, jadi arsitek.
kaniya. niya. ani. sabeb. anak kelautan dan perikanan. tapi takut setengah mati sama ikan. jadi kalo disuruh praktek individu, yang turun ke lapangan itu jeno. kaniya cuma jadi tim 'hiphiphore' aja. anak salah jurusan juga. maunya jadi dokter hewan, mbikos suka kucing (tapi gak suka ikan). tapi kata jeno gapapa, Kania cocok jadi penerus ibu susi pudjiastuti nanti.
roomsky | february, 25th 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top