02 | Lionfish
Jegger Kitty : yank
Jegger Kitty : udh selese blm?
Kaniya : blm. bntr lg
Jegger Kitty : kok singkat banget?
Kaniya : ngtk pk tgn kr
Kaniya : mengirim audio. "Lagi ribet mindahin barang. nanti aku telpon kalo udah selesai. dadah!"
Jegger Kitty : gue udh di parkiran ☹
Jegger Kitty : yank, masih lama gak?
Jegger Kitty : katanya mau nyari benih ikan lele?
Jegger Kitty : yank
Jegger Kitty : 😢😢
Jeno mencurutkan bibirnya sembari menatap layar ponselnya yang menampilkan chat-room antara dirinya dengan Kaniya. Cowok itu akhirnya melepas helm-nya dan turun dari motornya untuk duduk di pos satpam.
"Eh? Mas Jeno? Mau jemput si Eneng, bukan?" Seorang satpam yang Jeno kenal itu datang menghampirinya dan duduk di samping cowok itu.
"Iya, Pak Wawan. Tapi masih belom kelar."
Yang dipanggil pak Wawan itu mangut-mangut. "Iya sih, Mas. Anak-anak himpunan kelautan lagi pada sibuk akhir-akhir ini. Katanya lagi ngurus proker sama sosialisasi di Pangandaran."
Kening Jeno mengkerut. "Pangandaran? Kapan?" tanyanya. Kaniya belum cerita apa-apa soal itu.
"Loh? Si Eneng emang gak cerita?"
Jeno terdiam. Beberapa detik kemudian dia mendengkus lalu menggeleng. Pak Wawan yang mengerti dengan ekspresi cowok itu tiba-tiba langsung mengelus punggung Jeno. Cowok itu langsung menoleh.
"Si Enengnya lagi sibuk kali, Mas. Lupa cerita. Jangan berantem."
Merasa diberi nasihat oleh pak Wawan—yang sebenarnya cukup akrab dengannya sejak setahun yang lalu dia pacaran dengan Kaniya—dia hanya tersenyum kecil.
Dengerin iya. Tapi kesal, tentu saja.
Terbukti saat Kaniya datang bersama teman-teman sedepartemannya. Entah kenapa Jeno tiba-tiba gak suka, kala dua teman laki-laki Kaniya berjalan mengapit cewek itu sambil berbincang-bincang. Terlihat jelas di wajah ketiganya sangat antusias.
Well, sebenarnya Jeno tahu Kaniya ini salah satu cewek yang humble. Berteman dengan siapa saja, mau itu cewek atau cowok, selama nyaman dia akan ramah. Berbanding terbalik dengan Jeno yang membatasi dirinya dalam berteman. Dia tidak akan berteman dengan sebarang orang. Kenalan dia cukup banyak, tapi yang benar-benar dekat dan pantas dijadikan teman hanya beberapa.
"Jana?"
Jeno mendengkus kala Kaniya memanggilnya dengan nama itu. Cewek itu segera pamit kepada dua temannya dan berlari menghampiri Jeno.
"Jeno. Bukan Jana." Cowok itu meralat.
Kaniya berdecak. "Ck! Sama aja."
Jeno memutar bola matanya kemudian menatap dua teman pacarnya itu dengan tatapan tajam. Mereka berdua yang ditatap hanya tersenyum canggung dan segera melipir dari area parkiran.
"Jangan judes gitu, dong, Jen!" Kaniya memegang lengan atas Jeno. "Mereka kan, cuma temen gue."
"Temen tapi matanya jelalatan gitu!"
Kaniya mencurutkan bibirnya. Jeno kumat lagi. Selama setahun Kaniya kenal dengan cowok itu, dia bisa menyimpulkan jika Jeno ini adalah tipe cowok yang loyal. Tapi yang namanya manusia, pasti selalu ada kekurangannya.
Jeno ini possessive. Skala posesifnya ini kalau bisa dinilai, Kaniya beri nilai 9 dari 10. Kadang, itu yang membuat Kaniya jenuh pacaran sama Jeno. Padahal cewek itu tidak pernah melarang cowok itu untuk berteman dengan siapa saja. Memang kalau diperhatikan, Jeno ini gak begitu dekat dengan cewek manapun di kampus. Baik yang satu departemen maupun se-fakultas dengannya.
Tapi, yang namanya Libra itu gak suka dikekang.
Kaniya ini tipe orang yang bebas. Yang terpenting, satu kuncinya. Saling percaya. Kaniya walau orangnya bebas, bukan berarti dia ada niat main api. Soalnya kalo kayak gitu, yang ada dia jadi tranding topic di koran kampus. Karena telah beraninya main-main dengan pangeran es kampus.
Bisa habis Kaniya dibejek-bejek sama komunitas pencinta cogan di kampus.
"Kayak lo gak jelalatan aj—"
"Kaniya."
Jeno memotong kalimat Kaniya, memanggilnya dengan suaranya yang khas—serak-serak basah gimana gitu—serta menatapnya dengan tatapan intimidasi. Seakan-akan matanya itu memberi jawaban jika cowok itu hanya berpusat padanya seorang.
"Iya. Gak jadi." Cewek itu melengos. Memilih untuk mengalah. Lagi pula, gak baik juga lama-lama beratatapan sama cowok chakrabirawa macam Janaloka Digjaya ini. Bisa tewas di tempat yang ada.
Walau Kaniya sudah setahun ini pacaran dengan Jeno, bukan berarti Kaniya makin kebal dengan pancaran kharisma milik cowok itu. Kaniya malah makin letoy. Apalagi kalau—
"Yaudah. Ayo cari benih lele, keburu sore." Jeno mendekatkan wajahnya dan tiba-tiba saja mengecup kening cewek itu tanpa permisi.
Kaniya tahu, itu bukan pertama kalinya. Tapi, ya ... Kaniya masih belom terbiasa. Untung dia strong menghadapi ini semua. Kalo nggak, Kaniya udah ngegoler di aspal sejak tadi.
* * *
Bagaimana, ya? Menjelaskan kepribadian Jeno setelah setahun dia mengenalnya?
Jeno itu kalo diibaratkan seperti Lionfish. Indah secara fisik, namun nyatanya sangat berbahaya. Yang Kaniya maksud bahaya ini, memang benar-benar bahaya. Dan sepertinya hanya Kaniya seorang yang tahu rahasia cowok itu.
Jeno ini terlahir dari keluarga yang kurang harmonis. Ayahnya seorang politikus. Adik perempuannya sudah meninggal sejak dia usia 15 tahun. Kemudian disusul dengan bundanya dua tahun yang lalu. Saat di mana jabatan ayahnya semakin naik. Yang secara tidak langsung menjadikan sosok Jeno menjadi anak yang sangat kesepian. Semua yang dia punya perlahan hilang. Meninggalkan dirinya sendiri dalam duka.
Jeno itu hancur. Hanya saja dia pandai menutupinya kehancurannya dengan racun yang dia miliki. Yang mungkin sekarang Kaniya sendiri merasakan racun itu. menggerogoti dirinya tanpa ampun dan tidak memberi celah untuk sembuh atau pun bebas dari racun tersebut.
Jeno itu berbahaya. Sialnya Kaniya baru tersadar sekarang-sekarang ini. Tapi tetap saja, Kaniya tidak bisa meninggalkan Jeno begitu saja. Kaniya mengerti, untuk sekarang, Jeno itu hanya memiliki dirinya. Hanya memiliki dirinya untuk berekspresi.
Semuanya sudah pergi. Ayahnya sudah seperti musuh bebuyutannya. Dan apabila Jeno naik pitam—entah karena Kaniya sendiri atau hal lainnya—maka semua kekesalan cowok itu akan terlampiaskan kepada Kaniya.
"Yank."
Jeno memanggilnya kala mereka sebentar lagi sampai di kontrakan Kaniya. "Kenapa?"
"Kata Pak Wawan himpunan kamu mau sosialisai ke Pangandaran."
"... oh, iya. Tapi belum—"
"Kenapa gak cerita?" Jeno memotong. Bersamaan dengan motornya yang kini sudah berhenti di depan kontrakan.
Kaniya terdiam. Nada bicara cowok itu sudah rada berbeda. Yang pasti, kini Jeno sedang menahan emosinya. Kaniya menghela napasnya. "Jen, kita ngobrolnya di dalem aja."
Cewek itu segara turun seraya menenteng plastik berisi benih lele yang mereka beli barusan, kemudian membuka gerbang kecil untuk membiarkan motor pria itu masuk. Jeno mendengkus, mengeraskan rahangnya dan akhirnya memarkirkan motornya di dalam.
"Kaniya."
"Iya?"
Cewek itu menoleh. Menatap Jeno yang telah membuka helm-nya dan berjalan mendekatinya. Sorot matanya menajam, rahangnya mengeras bersamaan dengan tangannya yang terkepal kuat-kuat. Kaniya sukses mundur selangkah sembari meneguk ludahnya susah payah.
"Jeno—"
"Sampai kapan, hah?"
"..."
"Sampai kapan lo mau nyimpen semuanya dari gue?"
Kaniya mengerjapkan matanya. Kini punggung cewek itu sudah membentur tembok, dan Jeno pun sudah tepat 15 centi berdiri di hadapannya. "Lo tau siapa gue, lo tau apa kekurangan gue. Tapi gue gak tau siapa lo yang sebenarnya."
"Jeno."
"Lo nganggep gue apa, sih?"
"..."
"Gue udah mencoba untuk terbuka sama lo. Tapi lo nggak!"
Jeno tiba-tiba saja memegang bahu Kaniya. Menekannya dengan kuat—sukses membuat cewek itu terkejut bukan main. Walau ini bukan pertama kalinya, tapi tetap saja Kaniya ketakutan.
"Maaf."
Jeno menyeringai. Jenis seringaian mematikan, yang mungkin bisa saja membuat kaki Kaniya lemas seketika. "Selalu jawaban yang sama."
BRAK!
* * *
"Tumben lo pake masker?"
Pertanyaan Haikal tidak Kaniya gubris. Cewek itu memilih untuk menyibukan diri ke layar ponsel yang menampilkan ikon Instagram. Dan mencoba untuk tidak masuk ke dalam topik pembicaraan apapun. Kaniya takut orang-orang curiga dengan suara-nya yang agak mindeng.
Sebab, kemarin malam dia menangis di bawah kucuran shower hingga tengah malam. Untuk yang ke sekian kalinya. Jeno menamparnya. Dan Kaniya tahu itu di luar kontrolnya. Dia hanya bisa menerima segala caci maki yang terlontarkan oleh Jeno.
Paginya, cowok itu datang. Membawa sarapan dan meminta maaf dengan tulus. Seperti itu siklusnya. Marah, emosi, mukul, lalu meminta maaf. Lama-lama Kaniya merasa seperti psikiater yang menangani Jeno si bipolar.
"Jangan bilang lo abis baku hantam sama si preman kulkas itu?" Windi tiba-tiba berceletuk.
"... nggak, kok." Kaniya menggeleng. Lebih baik dia bohong. Ketimbang harus mendengar repetan dari Haikal dan Windi.
"Niya, lo itu ketauan banget bohongnya. Lo kalo udah pake topi sama masker, terus rambut diurai itu artinya lo abis ribut sama cowok lo!"
Kaniya mendengkus. "Kalo udah tau kenapa nanya?" sewotnya.
Windi mendengkus. "Lo mending putus aja, deh! Gak baek lo lama-lama sama Jeno."
"..."
Haikal mengangguk. "Windi bener. Hubungan kalian ini tuh udah toxic tau, gak?"
Kaniya mendesah. Membetulkan topinya dan menatap dua temannya itu satu persatu. "Win, Kal. Gue udah terlanjur sayang sama dia."
"Alesan sampis macem apa itu?" Windi langsung berkomentar. "Dianya sayang sama lo gak?"
"..."
Kayaknya ... lebih dari itu, jawabannya. Jeno tidak punya siapa-siapa. Begitupun Kaniya. Mereka saling melengkapi. Dan sepertinya sangat sulit bagi Kaniya untuk lepas dari Jeno.
Pernah suatu kala Kaniya benar-benar lelah menghadapi sifat Jeno yang sangat bipolar. Kaniya saat itu minta berhenti. Menghakhiri hubungan tidak sehatnya ini. Tapi kemudian bagaimana reaksi Jeno? Dia hampir kalap, akhirnya Kaniya tiga hari tidak masuk kuliah karena pergelangan tangannya retak. Jika saja saat itu—ketika Jeno menghajarnya habis-habisan—Kaniya tidak langsung berteriak kesakitan lalu disusul dengan isakan tangis, mungkin saja Jeno tidak akan berhenti.
"Panjang umur. Orangnya dateng."
Kaniya tersadar dari lamunannya. Cewek itu mendongak dan mendapati Jeno yang datang menghampiri meja tempatnya duduk. Haikal dan Windi—yang merasa, alangkah baiknya untuk segera menghindar dari si Preman Kulkas—memilih untuk segera bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Kaniya sendiri.
Jeno mengambil duduk di samping Kaniya. Membetulkan rambut cewek itu yang berantakan. "Udah makan?" tanyanya.
Kaniya mengangguk. "Udah."
"Masih sakit?"
Kali ini Kaniya menatap cowok itu lekat-lekat. Kemudian dengan pelan, cewek itu mengangguk.
Jeno menghela napasnya. Kemudian menarik tubuh pacarnya ke dalam dekapannya. Menaruh dagunya di atas kepala cewek itu seraya mengusap punggungnya. Kaniya hanya terdiam, menghirup aroma mint bercampur citrus—yang sudah menjadi ciri khas cowok itu.
"Gue minta maaf."
Tanpa Kaniya sadari dia tersenyum. "Iya. Udah gue maafin."
"Beneran?" Jeno melonggarkan pelukannya dan menatap Kaniya.
Kaniya mengangguk mengiyakan. "Iya. Beneran." Kemudian cewek itu melingkarkan tangannya ke perut cowok itu dan menghirup aroma khas miliknya lagi. "Gue seharusnya yang minta maap."
"Nah, bukan. Itu hak lo. Gue gak maksa," ucap Jeno.
Kaniya menghela napasnya sejenak. "Gue mau cerita," katanya.
Jeno mengernyit. "Gue gak maksa, kok, Yank."
"Nggak. Gue emang beneran mau cerita." Kaniya melepas pelukannya dan memegang kedua tangan Jeno. Cowok itu terdiam. Beberapa detik kemudian dia terkekeh. Wajahnya yang cerah justru semakin cerah.
"Jadi kepengen nyium."
Dasar. Jeno dan duality-nya.
* * *
tbc.
hmmmmmmmmmmm. gila yak? update lagi. cuma 4/5 part doang soalnya wkwkwk.
jeno kamu berdosa sekali. wkwkw. dah deh, segitu aja. have a nice day yak.
roomsky | february, 23rd 2021
#RoseBang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top