9: Kalau gitu, gue boleh nikung, ya?
♪♫
Kita terlena bersama dalam cinta
Mencoba lupa akan derita yang nyata
Hidup terlalu singkat untuk larut dalam penat
Mari genggam tanganku dan lari bersamaku
Bukannya kita kabur dari masalah
Hanya saja percuma hanyut dalam resah
Hati yang lelah hanya akan membuat kita lemah
Lepaskan dulu beban yang menekan
Baru nanti kita coba bicarakan
Mari kita nikmati hidup walau sejenak
Jika diri sudah cukup kuat beranjak
Baru kita hadapi tantangan yang menghadang
Jangan khawatir, aku menjagamu di belakang
Bersama akan kita menangkan pertarungan
Bersama, kau dan aku tak terkalahkan
♪♫
Vio ikut menyanyikan lirik lagu berjudul Kabur Sejenak itu keras-keras. Selain bersuara merdu, Lembah Jiwa juga berbakat mencipta lagu. Lirik-liriknya selalu puitis dan bermakna dalam, bukan sekadar romantis sesuai selera pasar.
Saking asyiknya bernyanyi, Vio tak juga menyadari bahwa Pandu tidak melepas pandangan sedikit pun darinya. Lelaki itu seolah terhipnotis oleh Vio, sampai tidak menghiraukan Ale yang sempat beberapa kali melirik ke arahnya. Kedua mata Pandu lebih tertarik memandangi Vio.
Pandu bisa saja menyalahkan lampu kafe yang remang-remang, atau alunan lagu berirama syahdu yang Ale lantunkan. Namun Pandu rasa, bukan semua itu yang membuat Vio tampak bersinar. Sejak awal, Vio memang telah mencuri perhatiannya. Pandu selalu suka melihat cara Vio berinteraksi dengan Yudhis. Gadis itu sangat memahami Yudhis, jauh lebih baik dari Pandu maupun Maharani.
Biasanya, Pandu tidak dapat mengamati Vio dengan leluasa. Sekarang, dia dapat menyusuri setiap lekuk wajah Vio tanpa khawatir ketahuan. Semua orang terlalu fokus pada penampilan Ale di panggung, termasuk gadis berambut ikal itu.
Dada Pandu berdentum seirama dengan suara drum yang menghentak telinga. Pandu tidak bisa menafsirkan perasaan apa yang tengah membuncah di dadanya sekarang. Ketika sedang jatuh cinta pada Maharani, pun perempuan-perempuan yang pernah singgah di masa lalunya, bukan rasa seperti ini sensasi yang dia rasakan.
Sejak bercerai dengan Maharani dua tahun lalu, Pandu memilih mencurahkan waktunya untuk Yudhis. Menjalin hubungan baru bukan menjadi prioritasnya. Dia khawatir wanita yang kelak dekat dengannya tidak bisa menerima kehadiran Yudhis dengan hati lapang.
Vio berbeda. Gadis itu datang justru karena Yudhis, baru kemudian kedekatannya dengan Pandu mulai terjalin, lalu seiring waktu keduanya mulai terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Seperti ada sesuatu yang mengikat mereka. Tak terlihat, tetapi membuat mereka merasa begitu dekat.
"Terima kasih semuanya. Jangan lupa lihat-lihat merchandise yang dipajang di depan atau langsung ke ruang VIP. Kalau ada yang menarik hati kalian silakan dibeli," pesan Ale sebelum turun dari panggung. Sebagai penyanyi indie, dia juga mengandalkan hasil penjualan merchandise sebagai sumber pemasukan.
Sebelum Ale menghilang ke belakang panggung, Pandu melambaikan tangan tinggi-tinggi untuk menarik perhatian Ale. Pemuda berambut gondrong itu balas mengayunkan tangan di udara, memberi kode agar Pandu menyusul ke ruang VIP di bagian belakang kafe.
"Yuk, kita ke belakang. Katanya kamu pingin kenalan sama Ale." Pandu mencolek tangan Vio. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tak pernah pudar jika Vio sedang bersamanya.
"Memangnya boleh, Mas?" Vio terlihat ragu. Tadi, dia begitu bersemangat saat membayangkan akan bertemu Ale secara langsung. Namun entah kenapa, kini dia merasa gugup.
"Tenang saja. Ale ramah, kok." Pandu kembali menarik tangan Vio ke dalam genggamannya, khawatir gadis itu hilang dalam keramaian. Dia tidak menyangka kafe akan sepenuh itu. Jika melihat antrian pengunjung yang sedang bertransaksi di stan merchandise, tampaknya popularitas Ale sedang naik.
Vio bersyukur pencahayaan di kafe tidak terlalu terang. Sekarang, dia hanya berdoa semoga Pandu tidak menyadari telapak tangannya yang berkeringat dingin. Entah apa yang membuat Vio begitu tegang. Kenyataan bahwa malam itu dua kali Pandu menggenggam tangannya, atau karena sebentar lagi dia akan berkenalan dengan penyanyi yang telah lama diidolakan.
Manajer Ale yang telah mengenal Pandu, mengizinkan Pandu dan Vio menerobos antrian. Beberapa orang melayangkan protes, tetapi wanita berkacamata itu dapat mengatasinya dengan baik. "Ale sudah nunggu di dalam," bisiknya kepada Pandu.
Pandu mengucapkan terima kasih, lalu menarik Vio masuk ke ruang VIP. Di dalam, Ale sedang beramah-tamah dengan beberapa penggemar.
Sebenarnya, bisa saja Vio menemui Ale sejak lama. Penyanyi indie seperti Ale memang sering menyapa langsung para penggemarnya, terutama yang berbelanja merchandise di atas nilai tertentu. Hanya saja, Vio tidak pernah berhasil mengumpulkan keberanian. Dia takut tidak dapat berbaur dengan kerumunan penggemar Ale, lalu melakukan hal konyol yang akan mempermalukan dirinya sendiri.
"Hai, Bro!" Pandu menyapa Ale. Mereka kemudian berpelukan sekilas dan saling menepuk punggung.
Ale mengerling ke arah Vio yang berdiri kaku di belakang Pandu. "Tumben ada yang nemenin?" tanya Ale kepada Pandu dengan nada menggoda.
Pertanyaan Ale membuat pipi Vio bersemu merah. Kali ini, Vio tidak bisa menyembunyikan rona wajahnya karena pencahayaan di ruang VIP cukup terang.
"Kenalin. Ini tetangga gue. Vio. Dia juga suka sama lagu-lagu Lo." Pandu mengayunkan tangan sebagai kode agar Vio mendekat kepada mereka.
Vio bergerak dengan kikuk. Bahkan ketika pertama kali bertemu Pandu, dia tidak merasa segugup itu.
"Vio, ini Ale atau biasa dikenal sebagai Lembah Jiwa," ujar Pandu berusaha mencairkan suasana.
Biasanya para penggemarnya yang akan menngambil inisiatif untuk mengajak Ale bersalaman. Namun, melihat gelagat Vio yang masih malu-malu, Ale akhirnya mengulurkan tangan lebih dahulu. Vio menyambutnya dengan ragu.
"Ale," lelaki bersuara merdu itu menyebutkan namanya kembali, meski tadi Pandu telah memperkenalkannya.
"Violet." Akhirnya Vio berhasil mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Panggil saja Vio."
"Nice to meet you, Vio. Ada yang gue perlu tanda tangani?" tanya Ale dengan alis terangkat. Gaya khasnya ketika sedang berusaha tebar pesona.
"Udah kasih aja merch lo satu. Tadi gue ngajaknya dadakan. Ntar gue bayar," pinta Pandu setengah berbisik. Tidak terpikirkan olehnya untuk mengambil salah satu merchandise dari stan yang dijaga oleh manajer Ale di depan.
"Eh, nggak usah, Mas. Biar saya yang bayar sendiri." Vio buru-buru mencegah. Dia mengambil salah satu kaos bertuliskan potongan lirik salah satu lagu Ale dari meja pajangan.
"Yakin mau ngambil yang itu? Itu ukuran triple XL lho." Ale bertanya untuk memastikan.
"Nggak masalah. Saya lebih suka pakai oversized shirt buat santai-santai di rumah," jawab Vio mantap, Sambil menunggu kaosnya selesai ditandatangani, Vio mendatangi manajer Ale untuk membayar kaos tersebut.
"Well. Nice choice. Menurut gue cewek yang pakai kaos kedodoran sebagai dress itu sexy," gumam Ale lirih sambil menandatangani kaos yang diserahkan Vio.
Pandu meninju pelan lengan sahabatnya itu. Wajahnya memberengut tak suka saat mendegar celetukan Ale yang dirasanya tidak sopan itu.
"Jangan mikir macam-macam, Le! Vio itu beda dengan groupies yang biasa ngejar-ngejar lo selama ini!" desis Pandu.
Ale hanya terkekeh mendengar omelan pria yang lebih tua darinya itu. "Kenapa jadi lo yang sewot, sih, Ndu? Cemburu? Lo naksir cewek itu?"
Pandu melotot dan memberi isyarat agar Ale menjaga omongannya. Dia khawatir Vio salah paham jika mendengar perkataan Ale. Gadis itu sudah menyelesaikan transaksi dan kini sedang berjalan ke arah mereka.
"Jadi lo satu apartemen sama Pandu?" tanya Ale sambil mengembalikan kaos yang telah ia tandatangani pada Vio.
"Iya. Saya di lantai lima."
"Okay. Kapan-kapan kalau gue lagi main ke tempat Pandu. Gue sekalian mampir, ya?" Ale melemparkan senyum andalannya. "Boleh kan?"
"Boleh," jawab Vio sambil tersenyum kikuk. Di sampingnya, Pandu memutar bola mata, mendadak menyesal telah memperkenalkan Vio kepada Ale.
* * *
Hal yang tidak Pandu suka jika Yudhis sedang menginap di tempat lain adalah keadaan apartemen yang begitu sunyi. Tanpa kehadiran Yudhis yang selalu menyita perhatiannya, Pandu tidak bisa melupakan pesan Ale yang telah mengacaukan suasana hatinya malam itu. Membuatnya makin menyesal telah memperkenalkan Vio kepada lelaki itu.
Ale - LJ:
Ndu, lo beneran nggak lagi pedekate sama Vio, kan?
Kalau gitu, gue boleh nikung, ya?
Pesan itu belum Pandu balas, malahan ingin langsung dia hapus dan pura-pura tidak pernah membacanya. Dia tahu Ale tidak sedang bercanda. Lelaki itu selalu serius jika menyangkut urusan wanita.
Ale memang terkenal sering tebar pesona, tetapi dia tidak pernah menjalin hubungan dengan lebih dari satu wanita di saat yang bersamaan. Hanya saja, dia terlalu cepat bosan, sehingga terlihat sering bergonta-ganti pasangan. Satu-satunya wanita yang dapat bertahan cukup lama dengannya adalah Arumi, adik Pandu.
Hubungan Ale dan Arumi berakhir enam tahun lalu, tidak lama setelah Yudhis lahir. Pandu tidak pernah tahu alasan mereka berpisah. Baik Ale maupun Arumi tidak ada yang bercerita kepadanya, malahan mereka berdua selalu menghindar setiap kali nama yang lainnya disebut. Meski begitu, Pandu tetap berteman dekat dengan Ale. Baginya, masalah Ale dan Arumi tidak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Terkadang, Pandu berpikir, wanita-wanita yang dekat dengan Ale setelah Arumi hanyalah pelarian. Pandu mengenal Ale cukup lama untuk tahu bahwa beberapa lagu yang diciptakan Ale sebenarnya ditujukan untuk Arumi. Bukan hanya sekali atau dua kali Pandu menyarankan Ale dan Arumi berbaikan, tetapi kedua orang itu terlalu angkuh dan keras kepala untuk saling meminta maaf.
Jangan jadiin Vio pelarian.
Lebih baik lo cari cewek lain buat lo gombalin.
Pandu akhirnya mengirimkan pesan balasan. Ternyata Ale juga sedang online. Tanggapan darinya masuk ke ponsel Pandu hanya dalam hitungan detik.
Ale - LJ:
Gue nggak pernah lari, kok.
Gue cuma belum ketemu orang yang tepat saja.
Bisa jadi Vio orang yang tepat buat gue.
Nggak ada salahnya gue coba, kan?
Pandu mengetikkan balasan dengan penuh emosi. Ada perasaan tidak rela yang menyelinap di hatinya saat membayangkan Ale mendekati Vio.
Bullshit!
Lo cuma nggak bisa jomlo kelamaan.
Lagi-lagi, Ale membalas dalam hitungan detik.
Ale - LJ:
Kalau lo cemburu, bilang saja.
Gue bakal mundur kalau lo memang suka sama cewek itu.
Tapi, kalau lo nggak ada apa-apa sama dia,
Lo sama sekali nggak berhak ngelarang gue, Ndu.
Usai membaca pesan Ale, Pandu mematikan ponsel dan melemparkannya ke atas kasur. Sindiran Ale benar-benar tepat sasaran. Dia sama sekali tidak berhak melarang Ale mendekati Vio. Bukankah dia hanya berstatus sebagai tetangga Vio? Seorang tetangga yang kebetulan menghabiskan waktu terlalu banyak bersama gadis itu.
=========
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top