7: Bukan teman juga nggak apa-apa kali, Vi.
Ketika pintu lift terbuka di lantai dasar, Vio melihat Pandu dan Yudhis telah menunggunya. Tawa Vio langsung pecah saat menyadari pakaian yang dikenakan Pandu pagi itu. Seperti yang sering Vio lihat di televisi, Pandu tampak rapi dengan jas berpotongan pas badan dan celana yang sewarna dengan jasnya. Yang membuat Vio tertawa adalah warna kemeja Pandu yang berwarna biru terang, nyaris sama persis dengan blus polkadot yang dikenakannya. Warna jas dan celana Pandu pun senada dengan rok lipit yang membungkus kaki Vio.
Tawa Vio seakan menular. Kedua sudut bibir Pandu pun tertarik ke atas seiring dengan renyah suara tawanya yang menyapa Vio. "Selera kita apa memang sama ya, Vio? Masak dua hari berturut-turut tone warna pakaian kita sama terus," bisik Pandu ketika mereka berdiri bersisian menunggu lift datang.
"Jangan-jangan memang Mas Pandu sengaja nyama-nyamain aku." Vio balas berbisik, sementara Yudhis masih sibuk bermain game di ponsel.
"Nyama-nyamain gimana? Saya, kan, nggak tahu kamu bakal pakai baju apa."
Semakin sering didengarkan, suara tawa Pandu terdengar semakin merdu di telinga Vio. Sebagai seorang news anchor, Pandu punya suara yang dalam dan berat, membuat orang betah lama-lama mendengarkan. Namun, Vio tidak pernah mengira akan terpesona dengan suara tawa pria itu.
Begitu lift tiba, Pandu mempersilakan Vio masuk lebih dulu. Dia menahan pintu lift dengan tangan untuk mencegahnya menutup tiba-tiba.
"Kita lihat saja nanti. Kalau besok sama lagi, aku perlu curiga Mas Pandu pasang kamera tersembunyi di apartemenku," gurau Vio saat lift mulai bergerak ke bawah.
"Kalau sampai sama tiga hari berturut-turut, mungkin kita memang jodoh," celetuk Pandu tanpa beban. Dia tidak berniat menggoda Vio, kalimat itu spontan saja terucap olehnya.
Jantung Vio seakan kehilangan ritme. Setelah melewatkan beberapa degup, kini jantungnya berpacu kencang. Diperhatikannya Pandu dengan saksama, tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu menyadari bahwa ucapannya barusan membuat Vio salah tingkah.
Vio berusaha bersikap wajar, coba melupakan apa yang baru saja terjadi. Dia yakin Pandu hanya bercanda, tidak ada maksud selain itu.
"Jodoh itu apa, Pa?" tanya Yudhis tiba-tiba. Kepalanya terangkat, tidak lagi menekuri layar ponsel. Sorot matanya penuh rasa ingin tahu menatap Pandu dan Vio bergantian, menuntut jawaban. Baik Pandu maupun Vio tidak menyangka bocah itu menyimak pembicaraan mereka. Sejak tadi, Yudhis tampak serius memainkan ponsel.
"Hm ... Apa ya?" Pandu mencoba merangkai jawaban yang pas. "Jodoh itu sesuatu yang tepat untuk kita, cocok atau pas, semacam itu," jawab pria itu santai.
"Jadi ... maksudnya Papa cocok gitu sama Tante Vio? Jodoh?"
Kali ini, pertanyaan Yudhis tidak hanya menghantam Vio. Pandu juga dibuat gelagapan oleh pertanyaan itu. Telinganya memerah saat dia baru menyadari bahwa lagi-lagi dia melontarkan kalimat-kalimat ambigu yang dapat membuat Vio salah paham.
Untung saja, pintu lift bergeser membuka. Pandu memanfaatkan kesempatan itu untuk mengalihkan pembicaraan. "Ayo cepat masuk mobil. Kalau kebanyakan ngobrol nanti kita terlambat. Bukannya pagi ini kamu ada jadwal piket?"
Yudhis tidak bertanya-tanya lagi. Langkah kaki mereka berderap menuju mobil, suaranya memantul-mantul di area parkir yang lengang itu. Sebelum masuk mobil, Yudhis mengembalikan ponsel yang dipegangnya kepada sang ayah. Sekolah Yudhis memang melarang para siswanya untuk membawa gadget. Jika ada urusan yang mendesak, para orang tua dapat menelepon melalui wali kelas masing-masing.
Tampaknya, Yudhis benar-benar telah lupa tentang pertanyaannya tadi. Sepanjang perjalanan ke sekolah, bocah lelaki itu justru sibuk bercerita tentang apa saja yang biasa dia lakukan saat bertugas piket.
"Sudah-sudah ceritanya. Ini kita sudah sampai. Cepat turun sebelum gerbangnya ditutup." Pandu sampai harus memotong cerita Yudhis dan mengingatkan putranya itu untuk segera bersiap-siap. Mereka telah masuk ke antrian menuju area drop off sekolah Yudhis.
"Ah, iya, sudah sampai," seru Yudhis sambil memasang ransel di punggungnya. Beberapa detik kemudian, dia menyembulkan kepala ke celah di antara kursi depan.
"Okay. Bye, Papa! Sampai jumpa nanti malam," pamit Yudhis sembari mengecup pipi sang ayah dari belakang. Dia menoleh ke arah Vio dan juga mengecup pipi gadis itu. "Bye, Tante Vio!"
Bahkan setelah mobil yang dikemudikan Pandu meninggalkan area sekolah Yudhis, Vio masih memegangi pipinya. Ada rasa hangat yang menjalar di bekas kecupan Yudhis. Vio tidak berhasil mengingat, kapan terakhir kalinya dia mencium pipi kedua orang tuanya. Kalaupun sedang pulang ke kampung halamannya, Vio hanya mencium tangan sebagai bentuk formalitas. Tidak ada ketulusan seperti yang diberikan Yudhis barusan.
Sadar bahwa Vio tidak berkata apa pun semenjak Yudhis turun, Pandu kembali meminta maaf untuk sekian kalinya. "Maaf kalau Yudhis bikin kamu nggak nyaman. Nanti, saya ingatkan dia untuk nggak sembarangan cium orang tanpa izin."
Vio menurunkan tangannya dari pipi. Jari-jemarinya kini berpilin di atas pangkuan. "Aku nggak masalah, kok, Mas. Tadi, cuma kaget saja." Gadis itu tertawa dengan canggung.
"Moga-moga pacarmu nggak marah, ya, kamu dicium cowok lain begitu. Walau cowoknya masih umur tujuh tahun, sih, takutnya dia cemburu." Pandu tahu candaannya kali ini lebih berisiko. Namun melihat perkembangan hubungan Vio dan Yudhis, Pandu merasa perlu memastikan apakah akan ada yang marah jika Vio terlalu sering menemaninya dan Yudhis.
"Aku belum punya pacar kok, Mas."
Pandu mengembuskan napas lega. "Syukurlah," katanya.
Vio menatap Pandu, tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Maksud, Mas, gimana?"
"Maaf kalau lancang, tapi saya bersyukur kamu belum punya pacar. Artinya nggak ada yang bakal cemburu kalau kamu sering-sering menemani kami berdua, kan?"
Seharusnya, Vio tidak perlu mengonfirmasi. Penjelasan Pandu justru membuatnya semakin salah tingkah, juga bingung. Selama ini, dia selalu membuat batas yang jelas terkait kehidupan pribadinya. Tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam benteng pertahanan yang telah dia bangun tinggi. Dengan begitu, dia tidak perlu mencecap pahitnya perpisahan.
Awal pertemuan mereka yang aneh dan begitu tiba-tiba membuat Vio tidak sempat membentengi diri. Belum sampai seminggu mereka bertemu, Pandu dan Yudhis telah mengisi ruang khusus dalam hidupnya.
* * *
"Kok gue nggak ketemu lo di KRL? Hari ini lo naik MRT?" Tasya langsung memberondong Vio dengan pertanyaan begitu mengempaskan bokong ke kursinya. Dia pikir Vio kesiangan, makanya mereka tidak bertemu di stasiun Sudirman. Biasanya, jadwal berangkat kantor mereka selalu sama.
"Tadi nebeng teman," jawab Vio sambil lalu. Dia sengaja tidak menoleh kepada Tasya karena tidak ingin wanita itu menyadari wajahnya yang memerah.
"Yakin cuma teman?" Tasya memicingkan mata. Diperhatikannya Vio dengan sorot menyelidik, berusaha menemukan petunjuk sekecil apa pun untuk menguak rahasia gadis itu.
"Iya. Te–man," tegas Vio sambil membalas tatapan Tasya dengan ekspresi datar. "Memangnya aneh kalau aku ke kantor nebeng teman?"
"Jelas aneh, lah. Soalnya selama gue kenal lo tiga tahun ini, nggak pernah sekali pun lo cerita tentang sosok 'teman' lo ini." Tasya membentuk tanda kutip dengan jarinya.
"Nggak semua juga harus ceritain ke kamu, kan?"
Tasya mengedikkan bahu. "Iya, sih. Tapi, gue tahu lo, Vi. Perlu waktu dua tahun lo buat bikin lo bisa santai ngobrol sama gue kayak gini. Lo sendiri juga yang bilang ke gue, kalau lo nggak punya teman dekat semasa sekolah ataupun kuliah. Wajar, dong, kalau gue penasaran dengan sosok teman lo ini."
Vio tidak menyahut, dia memutar kembali kursinya hingga menghadap ke komputer.
"Bukan teman juga nggak apa-apa kali, Vi." Tasya berbicara dengan intontasi lebih pelan, seolah sedang berbagi rahasia dengan Vio. "Tadi, gue habis beli nasi pecel di samping. Gue lihat, kok, lo turun dari mobil di lobi. Dianterin cowok, kan?"
Wajah Vio berubah pias. Tadi, dia sudah meminta Pandu menurunkannya di pinggir jalan saja. Setiap mobil yang masuk ke area gedung perkantorannya akan dikenakan tarif parkir, meski hanya sekadar menurunkan penumpang di lobi. Akan tetapi, pria itu memaksa dengan alasan tidak ingin Vio berjalan terlalu jauh.
"Iya. Temanku itu cowok. Tapi, dia beneran cuma teman, kok." Vio tidak bisa mengelak lagi.
Tasya menyimpul senyum penuh arti. "Iya, deh, gue percaya. Mau cuma teman atau bukan, yang jelas ini sudah sebuah perkembangan bagus di kehidupan sosial seorang Violet Andriana. Pingin gue salamin teman lo itu. Sayang tadi kaca mobilnya gelap. Gue nggak bisa lihat muka teman lo itu. Kenalin sama gue, dong, Vi," pinta ibu dua anak itu.
"Terserah kamu deh, Tasy!" Vio merajuk. Dia mengeluarkan headphone dari laci kubikelnya agar tidak perlu lagi mendengarkan ocehan Tasya.
Tasya malah kembali tergelak. "Nggak perlu sewot gitu juga kali, Vi. Gue kan cuma bercanda."
Untung saja bos Tasya memanggil. Vio dapat terbebas dari interogasi Tasya untuk sementara. Vio berusaha kembali fokus dengan pekerjaannya. Akhir bulan ini ada proses rekrutmen yang akan dilaksanakan kantornya. Sebagai staf HRD paling junior, Vio harus mempersiapkan segala urusan administrasinya.
Baru saja mengetik beberapa baris, sebuah notifikasi muncul di layar komputernya yang terkoneksi dengan ponsel. Pesan dari Pandu baru saja dia terima, dan isinya langsung membuat sebuah senyum semringah terbit di wajahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top