5: Sebenarnya, saya juga senang kalau ada kamu.

Pandu meletakkan serbet berisi es batu yang digunakan untuk mengompres kaki Vio ke atas bangku. Dia kemudian bergegas menghampiri seorang wanita muda yang coba menyembunyikan diri di balik pohon tak jauh dari mereka.

"Mohon maaf, Mbak. Boleh saya lihat handphone-nya?" pinta Pandu dengan nada sopan tetapi tegas.

Wanita berseragam babysitter itu terlihat salah tingkah. "Sa-saya nggak sengaja, kok, Mas," jawabnya dengan terbata-bata.

"Tadi sepertinya Mbak memotret kami. Lampu flash-nya tepat mengarah ke kami." Pandu tetap berbicara dengan tenang, tetapi kini dia memberikan penekanan dalam kalimatnya.

"Sa-saya nge-fans sama sampeyan, Mas. Ma-makanya saya foto." Wanita itu akhirnya mengaku, tetapi masih enggan menyerahkan ponselnya kepada Pandu.

Pandu berusaha menahan emosi. Biasanya, para wali murid dan pengasuh telah mengerti pentingnya menjaga privasi masing-masing. Namun, tampaknya wanita itu belum memahami peraturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama tersebut.

"Kalau begitu Mbak boleh foto lagi. Kalau mau foto bareng saya juga nggak apa-apa. Saya nggak keberatan, kok. Tapi, tolong untuk hapus foto sebelumnya. Teman saya itu bukan artis, kurang nyaman jika difoto diam-diam seperti tadi." Tangan Pandu terulur ke depan untuk meminta ponsel wanita itu.

Tidak bisa mengelak lagi, wanita itu akhirnya menyerahkan ponsel pintarnya. Pandu segera memeriksa foto terakhir yang diambil wanita itu. Kecurigaan Pandu terbukti, wanita itu diam-diam mengabadikan fotonya saat sedang mengompres kaki Vio. Foto itu sebenarnya bukan foto yang memalukan, tetapi jika jatuh ke tangan yang salah dapat menimbulkan kabar burung yang merugikannya dan Vio.

Setelah menghapus foto itu, sesuai janjinya, Pandu berfoto bersama dengan wanita itu. Beberapa wanita lain bahkan sempat bergabung dengan mereka. Pandu melayani setiap permintaan foto bersama dengan ramah.

Vio yang mengamati kejadian itu dari tempatnya duduk tidak dapat membayangkan repotnya menjadi seorang figur publik. Ke mana-mana harus siap menghadapi todongan penggemar. Salah merespons sedikit, bisa jadi bahan gunjingan di internet. Vio tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan Pandu saat dikejar-kejar media terkait masalah perceraiannya dengan Maharani. Pasti sangat berat harus bersikap tegar di hadapan para juru kamera, padahal mau selancar apa pun prosesnya, perpisahan pastilah akan menorehkan luka.

"Maaf, ya. Mungkin saya memang agak berlebihan, tapi saya khawatir foto-foto yang diambil diam-diam seperti itu akan membuat orang salah paham. Kasihan kamu kalau jadi ikutan kena gosip. Kamu tahu sendiri netizen negara ini, mudah sekali tergiring opini," jelas Pandu begitu kembali berada di sisi Vio.

"Saya paham, kok, Mas."

"Nanti saya juga akan minta tolong agensi untuk memastikan nggak ada foto kita yang tersebar ke luar. Saya nggak mau menyulitkan kamu dengan gosip-gosip nggak penting. Trust me! Netizen Indonesia kadang bisa jadi sangat fanatis dan berlebihan. Kalau belum terbiasa, kita bisa stres sendiri menyimak komentar di internet." imbuh Pandu. Dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa dia tidak ingin Vio menilainya sebagai sosok yang sombong dan angkuh.

"Makasih banyak, Mas. Maaf malah jadi merepotkan, Mas Pandu," kata Vio sambil tersenyum.

"Sama sekali nggak repot, kok. Kamu sudah banyak bantu saya, jadi memang sudah seharusnya saya memastikan kamu tetap merasa nyaman."

Vio mengangguk-anggukkan kepalanya. Jujur saja, dia merasa terkesan dengan sifat Pandu yang penuh pertimbangan. Padahal dia hanya menemani Pandu dan Yudhis siang itu, tetapi Pandu bersikap seolah telah berutang budi kepadanya.

Pembawa acara mengumumkan acara foto bersama akan segera dilakukan. Tidak lama kemudian, Yudhis berlari menghampiri mereka.

"Papa, Tante Vio! Diajakin foto bareng sama Miss Selena," teriak Yudhis dengan napas sedikit terengah-engah. Matanya membulat saat melihat kaki Vio yang telanjang. "Lho, kok Tante Vio nggak pakai sepatu?" tanyanya dengan raut penasaran.

"Kaki Tante Vio lagi sakit, Yudhis," jelas Pandu.

"Kenapa?"

"Karena tadi main bakiak sama Yu–"

Vio buru-buru menyela ucapan Pandu, "Nggak apa-apa, kok. Tadi, tante cuma kurang hati-hati saja." Gadis itu menoleh ke arah Pandu dan lanjut berkata, "Mas Pandu temani Yudhis foto bareng saja! Saya tunggu di sini."

"Lho, Tante nggak ikut foto?"

"Tante tunggu sini saja ya. Kaki tante sakit kalau dibawa jalan," jawab Vio sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Yudhis.

Sebenarnya bukan hanya itu alasan Vio menolak foto bersama. Bagaimanapun juga, dia bukanlah anggota keluarga Yudhis. Tidak pantas rasanya jika ikut berfoto dengan Yudhis dan Pandu. Selain itu, dia teringat perkataan Pandu barusan. Akan sangat merepotkan apabila foto mereka tersebar di dunia maya. Orang-orang bisa salah paham dengan kehadirannya di sisi Pandu dan Yudhis.

Semalam, Vio sempat mencari tahu tentang Pandu dan mantan istrinya. Masih banyak penggemar Pandu yang berharap pria itu rujuk dengan Maharani. Vio tidak dapat membayangkan bagaimana respons penggemar Pandu jika melihat pria itu justru pergi bersama seorang gadis biasa sepertinya.

"Tunggu sebentar ya, Vio! Saya temani Yudhis dulu," pamit Pandu.

Vio menganggukkan kepala sebagai jawaban. Yudhis kemudian menyeret Pandu ke tempat teman-teman sekelasnya telah berkumpul didampingi wali murid masing-masing.

Dari kejauhan, Vio mengamati pasangan ayah dan anak itu. Pandu terlihat begitu telaten menghadapi Yudhis. Dapat Vio lihat, rasa cinta yang teramat besar tersirat dari mata Pandu setiap memandangi putranya itu. Ada setitik perasaan iri yang terselip di hati Vio.

Dia dan Yudhis sama-sama anak korban broken home. Namun, Yudhis sedikit lebih beruntung. Pandu begitu peduli dengan bocah itu dan berusaha keras untuk menjadi sosok ayah yang baik. Sementara itu, Vio tumbuh dengan perasaan bingung karena baik ayah ataupun ibunya tidak ada yang berusaha membantunya melewati masa-masa sulit itu. Sampai di suatu titik, Vio merasa bahwa dirinya adalah aib masa lalu bagi kedua orang tuanya.

* * *

Vio menoleh ke kursi belakang tempat Yudhis kini terlelap. Saat mobil yang dikemudikan Pandu meninggalkan kompleks sekolah Yudhis tadi, bocah itu masih heboh dengan segala tingkah polahnya. Vio pikir Yudhis tidak akan pernah kehabisan energi, tetapi ternyata lima belas menit kemudian celotehan Yudhis telah berganti dengkuran halus dengan irama teratur. Mungkin karena kelelahan dengan segala aktivitasnya hari ini, Yudhis langsung tertidur begitu saja.

"Saya, kok, lama nggak lihat Mbak yang biasa nemenin Yudhis, Mas?" Vio teringat pada wanita yang sering dilihatnya bersama Yudhis.

"Maksud kamu Mbak Ina? Saya memang cuma minta bantuan dia kalau lagi kepepet saja. Mbak Ina biasa bantu saya beres-beres apartemen, rumahnya nggak jauh dari kompleks apartemen kita," tutur Pandu sambil teta fokus menyetir. "Kadang sayang memang minta bantuan dia kalau saya dapat job pas weekend, tapi saya lebih suka nitipin Yudhis di tempat Kevin dan Ajeng. Atau kadang saya minta tolong Arumi kalau dia lagi nggak sibuk."

"Arumi Kinanti, adik Mas yang desainer itu, ya?"

"Iya," jawab Pandu singkat. "Kamu tahu dia?"

"Siapa yang nggak kenal Arumi Kinanti yang sudah bawa batik dan tenun Indonesia ke panggung-panggung internasional. Setiap kali Arumi keluarin koleksi terbaru, cewek-cewek di kantorku pasti sering bahas. Aku suka dengan koleksi ready to wear dia tahun lalu. Nggak neko-neko, tapi cantik." Saking bersemangatnya, Vio tidak sadar bahwa gaya bicaranya tidak lagi seformal tadi. Dia tidak lagi menggunakan 'saya' untuk menyebut dirinya di hadapan Pandu.

"Kantor kamu ada di daerah SCBD, kan? Biasanya kamu naik apa ke kantor?" Pandu sedikit melirik ke arah kaki Vio yang kini mengenakan sandal jepit. Setelah sesi foto bersama tadi, dia berhasil membeli sandal jepit dari salah satu petugas kebersihan di sekolah Yudhis. Dia khawatir kaki Vio akan semakin bengkak jika dipaksa menggunakan sepatu.

"Biasanya naik commuter line atau MRT."

"Memangnya kamu bisa naik kereta dengan kaki bengkak begitu?" tanya Pandu tanpa menyamarkan nada khawatir dari suaranya. Dia tahu bagaimana padatnya kereta saat jam kerja. Kecuali berangkat pagi-pagi sekali, rasanya mustahil bagi Vio untuk memperoleh tempat duduk di kereta. Bangku-bangku prioritas di setiap gerbong kerap diduduki orang yang tidak termasuk golongan berkebutuhan khusus, dan dari cerita yang sering Pandu dengar, tidak semua orang cukup sadar untuk menyerahkan bangku yang telah diduduki kepada orang yang lebih berhak.

Vio menggerak-gerakkan kakinya. Masih sedikit ngilu, tapi sepertinya tidak terlalu parah. "Semoga Senin sudah sembuh. Masih ada sehari buat istirahat, kok."

"Tapi, jadinya besok kamu nggak bisa bebas jalan keluar. Biasanya seusia kamu gini kan lagi senang-senangnya nongkrong bareng teman."

Permintaan maaf Pandu justru memancing Vio tertawa. Bagi gadis itu, harus mendekam seharian di apartemen bukanlah masalah besar, tetapi Pandu terlihat merasa begitu bersalah. "Santai saja, Mas. Aku ini kaum rebahan sejati. Kalau weekend memang biasanya leyeh-leyeh doang di rumah sambil baca buku atau nonton film. Kalau bosan di apartemen, main-main ke taman depan juga sudah cukup buat aku."

"Kalau begitu terima kasih banyak ya, Vio. Yudhis terlihat sangat senang hari ini. It's really a wonderful day for us. Terima kasih banyak sudah meluangkan waktumu buat kami."

Ucapan Pandu terdengar begitu tulus di telinga Vio, bukan sekadar basa-basi yang diucapkan hanya untuk beramah tamah. Vio merasa tidak ada yang spesial dari apa yang dia lakukan hari itu, tetapi cara Pandu memperlakukannya berhasil membuatnya merasa telah melakukan hal yang sangat besar. Sebuah perasaan yang sangat jarang Vio rasakan karena dia lebih sering memikirkan kesalahan-kesalahan yang telanjur dia perbuat.

"Bukan hal besar, kok, Mas. Biasanya aku juga nggak ngapa-ngapain pas weekend. Meluangkan beberapa jam buat nemenin Mas Pandu dan Yudhis bukan hal yang merepotkan buatku. Nothing special with that!"

Bertepatan dengan mobil yang berhenti di lampu merah, Pandu menoleh ke samping dan menatap Vio lekat-lekat.

"Waktu adalah hal paling berharga yang bisa dihadiahkan seseorang kepada orang lain, Vio. Buktinya, Rani nggak bisa menyisihkan sebagian waktunya untuk Yudhis hari ini. Saya harap kamu nggak kapok meluangkan waktu untuk kami. Yudhis benar-benar terlihat ceria selama bersama kamu. Bahkan saat bersama Arumi, dia nggak sesenang tadi. Sepertinya, kamu benar-benar paham apa yang Yudhis inginkan."

"Aku juga senang, kok, main sama Yudhis. Kasih tahu saja kalau ada acara seru seperti ini lagi!" Vio berusaha menyembunyikan dentuman di dadanya dengan tertawa, tetapi suara tawanya justru terdengar aneh. Dia memalingkan wajah ke jendela. Dari pantulan di kaca jendela, dapat dia lihat bibir Pandu menyunggingkan senyum. Sebuah senyum yang memesona dan memantik perasaan hangat di dada Vio.

"Sebenarnya, saya juga senang kalau ada kamu." Pandu kembali melajukan mobil saat lampu lalu lintas berubah hijau. Dia pikir kalimat itu hanya bergaung di dalam kepalanya, tidak menyadari bahwa bibirnya pun turut menggumamkannya dengan keras.

Meski kata-kata Pandu membuatnya tersentuh, Vio memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengarnya. Cukuplah dirinya sendiri yang tahu bahwa kalimat Pandu barusan membuat perasaannya meletup-letup. Selama bertahun-tahun, Vio merasa kehadirannya tidak diharapkan. Sekarang, seseorang yang baru dia kenal justru berkata kehadirannya membuat senang. Vio tidak pernah merasa sebahagia itu sejak kedua orang tuanya berpisah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top