34: Kalau begitu biar saya saja yang ngomong.


Pandu meremas surat keenam yang awalnya akan dia selipkan di bawah pintu apartemen Vio. Dilemparkannya surat itu ke atas dashboard mobil. Pikirann Pandu sungguh kalut, membutakan akal sehatnya. Yang dia tahu sekarang hanyalah pergi sejauh mungkin dari apartemen itu agar tidak melakukan hal-hal yang akan merusak pertemanannya dengan Vio maupun Ale.

Ban mobil Pandu berdecit keras saat mendaki jalur menuju pintu keluar. Biasanya Pandu selalu berhati-hati saat menyetir, tetapi sekarang rasa cemburu tengah membakar habis hatinya. Bahkan, dia sampai tidak sempat merasa lega saat melihat Vio baik-baik saja.

Saat melihat Vio berbincang dengan Ale, kepercayaan diri Pandu langsung runtuh. Dia merasa seperti ada yang menghantam dadanya keras-keras dan menyadarkannya bahwa Vio telah memilih Ale. Begitu pulang, gadis itu langsung mengabari Ale, tetapi tidak menghubungi dirinya. Kini, Pandu merasa sudah tidak ada kesempatan lagi baginya. Sudah saatnya mundur dan mengaku kalah. Vio memang pantas mendapatkan yang lebih baik darinya.

Lagi-lagi ponsel Pandu terus berdering. Pria itu menolak panggilan untuk kesekian kalinya. Sejak tadi, Ale tidak berhenti menelepon. Sifat pantang menyerah pemuda itu adalah salah satu hal yang membuat Pandu iri sekaligus sebal. Bahkan setelah berkali-kali panggilannya di-reject, Ale terus mencoba menghubunginya.

"Ngapain, sih, dia telepon terus? Mau pamer?" gerutu Pandu sembari menekan pedal gas lebih dalam. Memikirkan Ale membuat Pandu semakin kesal.

Pandu sadar dia pernah berjanji kepada Vio bahwa tidak akan marah jika gadis itu memilih Ale daripada dirinya, tetapi tidak sekarang. Untuk saat ini, dia ingin menikmati rasa marah dan cemburu yang kini membakar dada. Dia perlu menenangkan diri lebih dulu. Dia akan menerima keputusan Vio, tetapi tidak sekarang. Nanti. Nanti jika dia sudah berhasil menyembuhkan patah hatinya, dia akan menemui Vio untuk mengucapkan selamat dengan jantan.

Lagu terbaru Ale kembali mengalun di udara. Pandu mendengkus, teringat niatnya untuk tidak akan menggunakan lagu Ale lagi sebagai nada dering, tetapi niat itu goyah ketika mendengar lagu yang diciptakan pemuda itu untuk Vio. Lagu itu terlalu indah untuk dilupakan begitu saja.

Karena bosan mendengar suara nyanyian Ale yang penuh penghayatan, akhirnya Pandu mengusap layar ponselnya dan memasang mode pelantang. "Ada apa, Le?" tanyanya tanpa mau repot-repot menyembunyikan rasa cemburunya.

"Sudah ketemu Vio?"

"Kan, dia lagi sama elo!" jawab Pandu dengan nada sinis yang tajam.

"Dia ngejar lo ke parkiran, Ndu. Jangan bilang, lo dah keburu cabut."

Kaki Pandu refleks menekan pedal lem. Seorang pengendara motor yang menyalip barusan terlihat memaki-maki karena hampir menabrak mobil Pandu yang tiba-tiba mengerem. Pandu tidak memedulikan ketika pengendara itu mengacungkan jari tengah ke arahnya. Sekarang, seluruh perhatian Pandu tersita pada suara Ale.

"Ngapain Vio ngejar gue, Le?" Pandu terdengar ragu. Dia tidak ingin berharap terlalu tinggi, khawatir jika Ale hanya sedang mempermainkan.

"Vio sudah menentukan pilihan, Bro. Sayangnya yang dia pilih bukan gue."

Tanpa pikir panjang, Pandu membanting setir dan berbalik arah. Caci-maki para pengendara yang terimbas ulahnya sama sekali tidak dia pedulikan. Sekarang, yang Pandu pikirkan hanyalah menemui Vio sesegera mungkin.

* * *

Vio termenung di depan lift. Gadis itu bahkan tidak sadar bahwa dia belum menekan tombol untuk memanggil lift. Jiwa dan raganya seolah tidak berada di tempat yang sama. Pikirannya melayang-layang entah ke mana.

"Vio!"

Mulanya, Vio pikir dia sedang berhalusinasi. Diabaikannya suara itu. Dia justru tersadar dari lamunan dan menekan tombol untuk memanggil lift turun.

"Violet!"

Suara itu kini terdengar lebih nyata dan dekat, membuat Vio akhirnya menoleh. Mata Vio mengerjap tidak percaya saat melihat sosok Pandu berlari ke arahnya. Gadis itu sampai mengucek mata untuk memastikan bahwa dia tidak sedang berkhayal.

Beberapa detik kemudian, Pandu telah berdiri di hadapannya. Senyum khas pria itu berpendar menyilaukan. Vio merasa dadanya seperti akan meledak karena terlalu penuh dengan beragam emosi. Dia sampai tidak bisa menafsirkan jenis emosi apa yang tengah memenuhinya.

Meski matanya berkaca-kaca, kedua sudut bibir Vio secara otomatis terangkat tinggi, membentuk senyuman yang begitu lebar. Hatinya terasa begitu hangat saat dia sadar Pandu telah kembali untuknya.

"Kamu ke mana saja selama ini?" tanya Pandu dengan napas terengah-engah.

Jarak mereka begitu dekat sampai-sampai Vio takut Pandu dapat mendengar dentuman di dadanya yang tidak terkendali.

"Pulang ke Cirebon. Ayahku sakit, Mas."

"Tapi ... kenapa nomormu nggak bi-"

Vio segera memotong kalimat Pandu, "Hapeku hilang, Mas. Aku belum sempat urus nomornya," jelasnya disusul dengan suara tawa yang mengisi kekosongan di antara mereka.

Sebelah alis Pandu terangkat, membentuk ekspresi heran atas tawa Vio yang tiba-tiba lepas di udara.

"Tadi rasanya banyak banget yang mau kuomongin, tetapi sekarang malah lupa semua," lanjut Vio begitu berhasil mengontrol tawa.

Pandu ikut tertawa dan memamerkan deretan geliginya yang sempurna. "Kalau begitu biar saya saja yang ngomong," pintanya.

Kepala Vio mengangguk pelan. Mungkin memang lebih baik begitu. Saat ini, Vio benar-benar kehabisan kosakata.

"Setelah saya pikirkan lagi, akhirnya saya yakin dan memutuskan untuk menarik kalimat sudah saya ucapkan tempo hari."

Senyum Vio memudar. Gadis itu menatap Pandu lekat-lekat untuk meminta penjelasan. "Kalimat yang mana, Mas?"

Pandu menyimpul senyum. Ditatapnya Vio dengan penuh kelembutan."Kalau seandainya kita benar terikat, dan kamu merasa nggak betah, saya nggak akan membiarkan kamu pergi begitu saja. Saya akan berusaha untuk membuat kamu kembali nyaman bersama saya. Saya akan menahan kamu selama yang saya mampu, jadi kamu jangan harap bisa meninggalkan saya dengan mudah."

Tatapan mata Pandu seolah membelenggu Vio, membuat gadis itu terbius dan semakin hanyut dalam gelombang emosi yang dahsyat.

"Akan ada banyak tahapan yang harus kamu lalui kalau ingin meninggalkan saya," lanjut Pandu, "Salah satunya kamu harus meyakinkan saya kalau akan lebih bahagia tanpa saya. Hal itu akan sangat sulit, karena saya akan membuat kamu sangat-sangat-sangat bahagia bersama saya sampai-sampai nggak akan sempat berpikir tentang kebahagiaan lain di luar sana."

"Kalau Mas yang ingin pergi gimana?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Vio. Menggambarkan sumber segala ketakutannya yang membuatnya selalu ragu mengambil keputusan.

"Saya pernah berada di posisi memaksakan diri bertahan meski tahu bahwa saya sedang menyakiti diri sendiri. Masalah rumah tangga saya dan Rani memang nggak terendus media, tapi sebenarnya bayang-bayang perceraian itu sudah terpikirkan di tahun pernikahan kelima. Saya akhirnya menyerah karena memang sudah nggak ada lagi yang bisa diperbaiki. Perlu tiga tahun bagi saya untuk memutuskan pergi. Jika hal itu terjadi lagi, kurasa kamu punya waktu yang cukup banyak untuk meyakinkan saya agar tetap tinggal."

"Mas benar sudah nggak ada perasaan lagi dengan mamanya Yudhis?"

Kedua telapak tangan Pandu membingkai pipi Vio. Membuat gadis itu tidak dapat mengelak dari tatapan matanya yang begitu hangat.

"Kalau saya masih menyimpan perasaan ke Rani, nggak mungkin saya jatuh cinta ke kamu, Vio. Saya bukan tipe laki-laki seperti itu. Sekarang pun, meski kamu belum memberi kejelasan tentang hubungan kita, saya nggak bisa mengalihkan pikiran dari kamu. Bahkan dua minggu terakhir, meski kita sama sekali nggak ketemu, pikiran saya tetap penuh dengan kamu. Saya nggak sempat untuk mencintai perempuan lain karena sudah terlalu sibuk mencintai kamu, Vio."

Vio menundukkan kepala dan menatap jari-jari kakinya. Baru gadis itu sadari bahwa dari tadi dia tak memakai alas kaki karena terburu-buru mengejar Pandu. Dipejamkannya mata dan dibiarkannya suara-suara di kepalanya ribut berdebat. Sampai akhirnya, dia sampai pada satu keputusan.

Kisah cintanya dengan Pandu bisa saja gagal di tengah jalan. Namun, untuk kali ini saja, Vio ingin hanya fokus pada masa kini. Untuk urusannya bersama Pandu ini, dia memilih tidak terlalu memikirkan masa lalu maupun masa depan.

"Violet Andriana. Apa kamu akan mengizinkan saya buat mencintai kamu?" Pertanyaan yang dibisikkan Pandu ke telinga Vio memecahkan keheningan yang bergelayut di udara.

Vio sengaja mengulur waktu. Dipuas-puaskannya memandangi wajah Pandu yang terlihat tegang sebelum akhirnya dia berkata, "Apa Mas pikir aku akan mengejar sampai parkiran kayak gini kalau aku nggak punya perasaan yang sama dengan Mas Pandu?"

"Kalau gitu ... kamu bersedia menikah dengan saya?"

Mulut Vio ternganga lebar. Vio berusaha mencari tanda-tanda bahwa Pandu sedang bercanda. Namun, bibir Pandu sama sekali tak mengumbar tawa. Sorot mata pria itu juga memancarkan keseriusan.

"Saya tahu kamu bertanya-tanya kenapa secepat ini saya melamar kamu, kenapa nggak ngajak pacaran dulu, baru nanti pelan-pelan melangkah ke tahap selanjutnya," kata Pandu seolah bisa membaca apa yang sedang Vio pikirkan.

Pandu meraih kedua telapak tangan Vio dan menggenggamnya erat-erat. "Ini adalah salah satu bentuk usaha saya untuk mengikat kamu, supaya kamu nggak gampang kabur lagi seperti kemarin. Kalau hanya pacaran, kamu masih akan menganggap enteng untuk tiba-tiba mengakhiri hubungan kita. Tapi kalau kita menikah, pasti akan lebih banyak pertimbangan bagi kamu dan saya. Lagi pula, setelah bertemu kamu lagi seperti ini, saya nggak bisa bayangin berpisah dengan kamu.

"Kamu adalah obat mujarab yang menyembuhkan luka hati saya. Dan saya ingin juga menjadi obat yang menyembuhkan trauma kamu. Saya tahu masa lalu saya nggak sempurna, Vio. Tapi, ketidaksempurnaan itu sudah mengajarkan saya banyak hal, salah satunya adalah untuk jujur pada perasaan sendiri dan memperjuangkan orang yang saya cintai sebisa mungkin."

Bagi Vio, mengiakan tawaran Pandu berarti memasrahkan diri pada segala kemungkinan di masa depan. Jika masa depan itu tidak sesuai harapan, dia belum sepenuhnya yakin dapat bertahan. Otak Vio menggaungkan beribu alasan untuk menolak tawaran Pandu, tetapi hatinya justru meneriakkan hal yang berlawanan.

"Ya, Mas. Aku mau." Sejak mengenal Pandu, hati Vio sering sekali tidak sepakat dengan otaknya. Kali ini, Vio memutuskan untuk mengikuti kata hatinya.

==========

Ceritamela:

Akhirnya ya, no more salah paham lagi.

Turut berbahagia buat Mbak Vio dan Mas Pandu.

Bang Ale sini sama saya saja. hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top