32: Kalau gue tahu, memangnya lo pikir gue bakal ngasih tahu?

♪♫

Rindu yang mengharu biru

Cinta yang merah jambu

Warnanya berbaur menjadi satu

Melukis selarik rona syahdu


Kau kuntum bunga yang rendah hati

Mekar di sudut lembah yang tersembunyi

Memupuk harap yang tak pernah mati

Membentuk cerita dalam bisikan sunyi


Di bawah teduh dan rindang pepohonan

Kau menebar seberkas wangi taman surga

Ingin kusimpan mekarmu dalam genggaman

Mengabadikanmu sampai hitungan tak hingga


Kau kuntum bunga yang rendah hati

Perlambang keteguhan cinta sejati

Memantik imajinasi dalam simpul misteri

Melarung kenangan dalam lautan memori

♪♫

Suara merdu Ale bergema di auditorium. Selain hadir sebagai nomine, dia juga menjadi salah satu pengisi acara. Lagu yang dia nyanyikan bercerita tentang kuntum bunga kecil yang sering dijadikan lambang cinta sejati. Kelopaknya berwarna ungu. Warna yang terbentuk dari gabungan biru dan merah. Warna yang dianggap melambangkan misteri dan imajinasi.

Terlalu banyak petunjuk untuk dapat Pandu abaikan. Jelas sekali lagu itu terinspirasi oleh siapa dan ditujukan kepada siapa. Violet. Gadis yang telah mencuri hati Pandu dan kini menghilang entah ke mana. Pandu tahu betul bahwa Ale pun menyukai gadis itu. Dia mengakui lagu yang diciptakan Ale sangatlah indah, membuatnya khawatir Vio akan terpesona oleh sahabatnya itu. Bagaimana jika Vio jatuh cinta kepada Ale? Apa Pandu benar-benar siap melepasnya seperti yang ia janjikan?

Setelah mendengar nasihat Ajeng tempo hari, Pandu langsung menuju apartemen Vio. Dia sudah menunggu cukup lama sebelum akhirnya kembali ke apartemennya sendiri di lantai sebelas. Setelah itu, tiap beberapa jam sekali, dia turun ke lantai lima untuk mengecek apakah Vio telah pulang atau belum. Sayangnya, segala usahanya itu belum membuahkan hasil. Vio tidak dapat dia temukan.

"Kamera dua. Pandu, siap-siap dalam hitungan ketiga!" Terdengar suara aba-aba dari in-ear monitor yang Pandu kenakan.

Buru-buru dia singkirkan lamunan yang sejak tadi sering menyusup ke kepalanya. Pandu melirik ke panggung. Ale terlihat membungkukkan badan ke arah tamu undangan yang rata-rata berdiri untuk memberikan tepuk tangan.

Seiring dengan hitungan mundur di telinga, cahaya panggung pelan-pelan meredup. Lampu sorot dan kamera kembali mengarah kepada Pandu yang berdiri di ministage sebelah timur auditorium. Untuk sementara dia menyisihkan resah dan gelisah yang membebani hatinya.

"Terima kasih Lembah Jiwa. Tolong berikan tepuk tangan yang meriah sekali lagi. Kita semua beruntung dapat mendengarkan lagu baru Lembah Jiwa untuk pertama kalinya," Pandu berbicara ke arah kamera. Tepuk tangan kembali membahana. Berbagai instruksi terus terdengar melalui in-ear monitor. Untuk sementara, dia berhasil melupakan rindunya kepada Vio.

* * *

Acara penghargaan telah usai. Ale gagal membawa pulang piala, tetapi penampilannya tadi mendapat puja-puji dari para kritikus musik dan warganet. Lagu barunya yang berjudul Viola Odorata tersebut digadang-gadang sebagai lagu terbaik Ale sepanjang karirnya. Pengikut akun media sosial pemuda itu bertambah nyaris dua kali lipat hanya dalam hitungan jam. Tahun ini dia memang kurang beruntung, tetapi bisa jadi tahun depan dia dapat memborong piala di berbagai acara penghargaan musik.

Sebagian besar undangan dan pengisi acara lanjut mengikuti after party yang diadakan penyelenggara, sekalian menghabiskan sisa hari mereka dengan menambah koneksi di industri musik. Pandu bersyukur Ale tidak langsung pulang. Pemuda itu terlihat sedang mengobrol dengan beberapa penyanyi pendatang baru.

"Ale. Bisa bicara sebentar?" tanya Pandu kala menghampiri sahabatnya itu.

Ale berpamitan kepada rekan bicaranya dan mengikuti Pandu keluar ballroom yang menjadi lokasi pesta. Mereka menepi ke salah satu sudut yang agak tersembunyi agar lebih leluasa mengobrol.

"Lo tahu Vio di mana? Gue nggak bisa ngehubungin dia sama sekali." Pandu langsung mengutarakan maksudnya mengajak Ale bicara. Tanpa basa-basi bertukar kabar ataupun mengucap selamat atas lagu barunya yang langsung viral.

Ale menggeleng. "Terakhir gue coba kontak dia dua minggu lalu. Itu pun cuma tanya kabar saja sih. Pesan yang gue kirim minggu lalu belum dia balas sama sekali."

Kedua pria itu sama-sama membuang napas. Terlihat jelas bahwa keduanya sedang mengkhawatirkan kondisi gadis yang sedang mereka bicarakan.

Walau sempat ragu, Pandu akhirnya memutuskan bertanya, "Dua minggu terakhir lo masih rutin komunikasi sama Vio?"

"Nggak rutin sih. Soalnya Vio minta gue jaga jarak. Kalau gue keseringan kontak, dia nggak balas pesan. Kalau cuma say hi sekali-kali kadang masih dibalas." Ale menatap tajam pada lawan bicaranya. "Emang lo beneran nggak kontak dia sama sekali?"

"She said she needs some time alone. So, I give her what she wants."

Ale tertawa mendengar jawaban Pandu. "Thanks, Bro. Ketidakpekaan lo sudah membuat peluang gue lebih besar," ledeknya.

"Maksud lo, Le?"

"Ya ketika cewek minta waktu sendiri, bukan berarti dia benar-benar pingin ditinggal sendiri. Sesekali lo tetap mesti nunjukin perhatian, biar dia tahu kalau lo masih peduli," ujar Ale mirip dengan apa yang pernah dikatakan Ajeng kepada Pandu.

Melihat Pandu yang hanya diam mendengar sindirannya, tawa Ale kembali merebak. "Ah, gue lupa kalau terakhir lo pedekatein cewek itu lebih dari delapan tahun lalu, Right?"

Pandu tersenyum kecut mendengar sindiran Ale. Dia sedang tidak minat berdebat. Yang saat ini dia butuhkan hanyalah kepastian bahwa Vio baik-baik saja.

"Lo beneran nggak tahu Vio di mana?" Pandu bertanya sekali lagi.

"Kalau gue tahu, memangnya lo pikir gue bakal ngasih tahu?" Ale balik bertanya.

"Please, let me know kalau lo dapat kabar dari dia. Setidaknya biar gue tahu kalau Vio baik-baik saja," pinta Pandu.

Ale menepuk bahu Pandu. "We'll see, Ndu," ujarnya sambil berjalan meninggalkan sahabat sekaligus saingannya itu.

Pandu menyugar rambutnya dengan frustasi. Dia tidak tahu lagi harus mencari Vio ke mana. Haruskah dia datang ke kantor Vio untuk mencari tahu ke mana gadis itu pergi? Haruskah dia minta nomor kontak darurat Vio kepada pengelola apartemen? Apakah dia terlalu berlebihan jika melakukan semua itu?

Duda satu anak itu kehilangan minat berbaur dalam pesta. Dia memutuskan pulang lebih awal. Toh tugasnya juga sudah selesai begitu acara penghargaan tadi ditutup. Pandu melangkah gontai menuju parkiran. Dia melajukan mobil dengan pikiran bercabang. Dirinya menyesali ketidakpekaannya selama ini. Tidak peka ketika memberi peluang bagi Ale mendekati Vio. Tidak peka ketika Vio merasa minder bertemu Rani. Tidak peka ketika Vio membutuhkan kepastian atas hubungan mereka.

* * *

Pandu termenung di depan pintu apartemen Vio. Dari letak keset di depan pintu yang belum bergeser sejak terakhir dia mampir ke situ, Dia langsung tahu bahwa Vio masih belum pulang. Pandu mengeluarkan selembar kertas dari saku jas dan menyelipkannya ke bawah pintu. Surat keempat yang dia tinggalkan di sana dengan harapan jika Vio pulang, gadis itu akan menemukan dan membacanya.

Dengan langkah gontai, Pandu naik ke lantai sebelas, Senyap yang membekapnya begitu masuk apartemen membuat pikirannya kembali gemap. Dia merebahkan diri di sofa ruang tamu. Penat yang menyelimuti membuatnya lelap begitu saja, bahkan tanpa sempat berganti baju. Dia bermimpi tentang kuntum-kuntum mungil berwarna ungu yang bermekaran di lembah hijau. Sayang tiap kali ia hendak memetik bunga-bunga itu, jemarinya hangus terbakar.

* * *

Pandu menatap isi kulkasnya yang nyaris kosong. Hanya ada setengah kotak susu, beberapa tomat yang telah kisut, dan sebonggol selada yang hampir membusuk.

Pagi itu, dia tidak ada jadwal siaran. Jadwalnya ditukar dengan rekannya yang lain karena semalam dia harus memandu acara Karunia Music Award secara live. Namun, hal itu justru membuatnya terjebak dalam perasaan gelisah yang berkepanjangan. Kini, Pandu sedikit menyesal membiarkan Yudhis memperpanjang jadwal menginap di tempat Maharani. Jika putranya itu ada di sisinya, Pandu mungkin dapat mengenyahkan bayangan-bayangan buruk yang menghantuinya.

Saat sedang mempersiapkan acara penghargaan kemarin, Pandu dapat menenggelamkan diri dalam kesibukan sehingga dapat melupakan Vio sejenak. Dia perlu banyak bergerak dan memikirkan hal lain supaya tidak berlarut-larut dalam ketidakpastian. Ketika tidak memiliki hal lain untuk dikerjakan seperti sekarang, bayang-bayang Vio selalu muncul dan mengikutinya ke mana-mana. Membuatnya mempertanyakan nasib hubungan mereka.

Pandu berpikir, berkunjung ke rumah Kevin dan Ajeng mungkin menjadi pilihan terbaik baginya sekarang. Dia sedang butuh teman diskusi. Mungkin kedua sahabatnya itu punya nasihat lain untukknya. Diputuskannya untuk sarapan di luar saja pagi ini, sekalian menuju rumah Ajeng dan Kevin.

Pandu meraih jaket bomber cokelat dari gantungan. Ingatan kencan pertamanya dengan gadis itu kembali terbayang. Dia mengenakan jaket itu saat mengungkapkan perasaan kepada Vio. Jaket itu sengaja ia pilih agar pakaiannya terlihat serasi dengan dress yang dikenakan Vio. Diletakkannya kembali jaket itu dan memilih menggunakan kemeja flanel biru untuk melapisi kaos oblong yang dia kenakan.

Kemeja itu belum pernah dia kenakan saat pergi bersama Vio, tetapi saat bercermin Pandu teringat pada blus biru Vio yang mirip warna kemejanya. Entah sihir apa yang diembuskan gadis itu ke kepalanya. Segala sesuatu yang dia dengar, dia lihat, dan dia rasakan seperti selalu membawa kenangan akan sosok gadis yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu. Violet Andriana telah menjelma candu bagi Pandu.

Dengan tangan menutupi wajah, Pandu mentertawakan diri sendiri. Ini bukan kali pertama dia jatuh cinta, tetapi semua yang dia alami bersama Vio seperti baru pertama. Segala hal seolah dapat mengingatkannya pada Vio. Kenangan tentang gadis itu begitu lekat di kepalanya.

Dia segera meraih kertas dan pena. Hatinya tidak sanggup lagi menampung gejolak emosi yang mengganggunya sejak dia memulai hari. Dia harus menumpahkannya dalam bentuk kata-kata sebelum menjadi gila.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top