3 : Nggak apa-apa, Mas. Kita nggak buru-buru juga, kan?
Pandu sedang membantu Yudhis mengikat tali sepatu ketika ponselnya berdenting. Setelah memastikan kaki anak lelakinya telah sempurna terbungkus sepatu, pria itu meraih ponsel yang ia letakkan di atas rak. Bibirnya mengulas senyum saat membaca pesan yang ia terima dari Vio.
Bagi Pandu, pertemuan keduanya dengan Vio ini adalah sebuah keajaiban. Takdir seperti sedang bermain-main dengan mereka. Selama beberapa hari setelah nada dering Vio menarik perhatiannya, Pandu selalu kepikiran, sedikit menyesal tidak mencari tahu siapa nama pemilik ponsel dengan casing ungu itu. Ternyata, mereka justru dipertemukan kembali dalam sebuah kejadian konyol yang entah kenapa justru membuat mereka harus menghabiskan akhir pekan bersama.
"Ayo, Yudhis. Tante Vio sudah nunggu di lobi," ajak Pandu usai membalas pesan Vio.
Yudhis melonjak gembira dan justru berlari lebih dulu menuju lift. Semalam, Pandu berhasil mengorek informasi dari Yudhis. Ternyata bocah itu memang sudah cukup lama mengenal Vio. Kadang-kadang, wanita paruh baya yang bertugas menjaga Yudhis saat Pandu bekerja mengajak ke taman depan apartemen. Di sanalah, Yudhis bertemu dengan Vio. Gadis itu sering membacakan cerita untuk Yudhis dan anak-anak lain. Berdasarkan penuturan Yudhis, Vio juga sering mengajarinya membuat origami.
"Ayo, Pa!"
Lamunan Pandu seketika buyar saat Yudhis menyeretnya masuk lift. Mereka terus bergandengan tangan hingga saat mereka keluar dari lift di lantai dasar. Begitu melihat Vio yang sedang duduk di kursi lobi, Yudhis segera melepas genggaman tangan Pandu.
"Tante Vioooo!" pekik Yudhis kegirangan. Kakinya berderap menuju gadis itu.
"Maaf sudah buat kamu nunggu lama, Vio," ucap Pandu begitu jarak mereka tinggal beberapa langkah saja.
"Santai saja, Mas. Saya juga baru turun kok." Vio tersenyum tidak kalah ramah. Pagi itu, dia mengikat rambut cokelatnya tinggi-tinggi. Bagian bawah rambutnya yang ikal jatuh dengan menggemaskan di sekitar bahu, berayun-ayun pelan setiap kali gadis itu menggerakkan kepala.
Selama beberapa detik, Pandu dan Vio saling berpandangan. Kemarin, mereka tidak membicarakan kostum yang akan mereka kenakan. Saat Vio bertanya, Pandu hanya berkata bahwa tidak ada dress code khusus, cukup gunakan pakaian kasual supaya lebih mudah beraktivitas. Tanpa direncanakan sebelumnya, penampilan mereka hari itu tampak serasi. Pandu mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung dan celana denim abu-abu, sedangkan Vio tampak santai dengan dengan kaos oversized abu-abu yang dipadu dengan celana denim hitam.
Saat menyadari bahwa mereka terlihat seperti pasangan dari katalog pakaian ready to wear, Pandu dan Vio kompak tertawa. Lagi-lagi sebuah kebetulan yang tidak terduga. Tidak ada yang menyangka mereka juga memiliki selera berpakaian yang sama, bahkan tone warna yang serupa untuk menghadiri acara hari itu.
Setelah berbasa-basi sedikit, mereka bertiga akhirnya kembali masuk lift. Kali ini untuk turun ke parkiran bawah tanah, tempat mobil Pandu berada. Sejak tadi Yudhis tak melepaskan tangan Vio. Anak itu terus saja berceloteh riang dan bercerita tentang teman-temannya di sekolah.
"Tante duduk di back seat saja sama Yudhis," ajak bocah tujuh tahun itu sambil menarik tangan Vio.
Vio melirik Pandu dengan perasaan sungkan. Jika dia duduk di kursi belakang bersama Yudhis, artinya kursi di sebelah Pandu akan kosong. Lelaki itu akan terlihat seperti sedang menyopiri mereka.
"Nggak apa-apa. Duduk saja di belakang. Biar Yudhis nggak banyak tingkah dan ganggu saya nyetir." Pandu mendukung saran Yudhis.
Vio menurut. Begitu masuk mobil, Yudhis kembali melanjutkan celotehannya. Kali ini, bocah itu bercerita tentang proyek sains yang dia kerjakan bulan lalu. Bibir Pandu tidak berhenti tersenyum. Perasaan bahagia membuncah di hatinya. Sudah lama dia tidak melihat putranya seriang itu. Mungkin karena Vio menanggapi segala perkataan Yudhis dengan antusias, bocah itu jadi semakin semangat bercerita.
Segores perasaan bersalah kembali menyelinap ke hati Pandu. Seberapa pun kerasnya Pandu berusaha, tetap saja dia tidak bisa menggantikan sosok ibu bagi Yudhis. Saat bercerita kepadanya, Yudhis tidak sesemangat sekarang. Mungkin karena dia tidak bisa memberikan respons yang diinginkan Yudhis.
Meski telah bercerai, Pandu dan Maharani memang telah sepakat untuk mengasuh Yudhis bersama. Jika Maharani sedang ada di Indonesia, Pandu merelakan Yudhis menginap di rumah perempuan itu. Namun beberapa bulan terakhir, Maharani tengah sibuk dengan berbagai jadwal pemotretan dan fashion show di kota-kota pusat mode dunia. Perbedaan waktu membuat Maharani tidak bisa sering-sering menelepon. Hal itu membuat, Yudhis lebih banyak menghabiskan waktu berdua dengan Pandu.
"Papa! Seharusnya, kan, turn right kalau mau ke sekolah Yudhis."
Peringatan Yudhis membuat Pandu refleks mengerem. Mereka beruntung, jalanan pagi itu tidak terlalu padat, sehingga mereka dapat terhindar dari kecelakaan. Pandu menahan diri untuk tidak mengumpat atas kebodohannya yang ke sekian kali. Bagaimana bisa dia melewatkan belokan yang nyaris tiap hari dia lewati.
"Iya, sorry. Kita putar balik dulu, ya." Pandu mengarahkan mobilnya ke kanan untuk mengambil ancang-ancang berbelok di area putar balik berikutnya.
"Nggak apa-apa, Mas. Kita nggak buru-buru juga, kan?"
Melalui spion tengah, kedua mata Pandu beradu dengan Vio. Pandu buru-buru mengalihkan pandangan. Dia tidak ingin Vio menyadari bahwa saat ini jantungnya sempat melewatkan satu detakan ketika melihat gadis itu tersenyum penuh pemakluman.
* * *
Begitu turun dari mobil, Yudhis langsung meraih tangan Vio dan Pandu. Bocah itu memosisikan dirinya di tengah, di antara Vio dan Pandu.
"Tante. Nanti, kalau ada temanku yang tanya, Tante bilang saja kalau Tante itu Mama aku, ya?" pinta Yudhis penuh harap dengan tatapan mata yang begitu polos.
Vio tertawa kikuk. Gadis itu tidak tahu harus menjawab apa. Dia tahu permintaan Yudhis barusan tidak memiliki maksud apa-apa, hanya sebuah permintaan polos dari seorang anak kecil yang merindukan keluarga yang lengkap. Vio sangat memahami hal itu. Setelah kedua orang tuanya bercerai, dia juga sempat berpikir untuk menukar keluarganya dengan keluarga lain yang hanya memiliki satu orang ayah dan satu orang ibu. Tidak ada sosok ibu tiri dan ayah tiri yang kerap membuat Vio bingung saat ada yang bertanya tentang keluarganya.
Sebelum suasana menjadi semakin canggung, Pandu menegur putranya,"Nggak boleh gitu juga, Yudhis! Semua orang juga tahu kalau Mama Yudhis itu Mama Rani."
Yudhis mengerucutkan bibirnya. "Tapi, teman-teman yang lain datang sama Papa dan Mamanya."
Raut sedih kembali membayang di wajah Yudhis. Lagi-lagi, Vio merasa berempati kepada bocah itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, Yudhis pasti tengah merawat luka. Vio juga memiliki luka yang sama, bahkan sampai sekarang luka itu belum sembuh dan masih terasa perih. Bertahun-tahun telah terlewati dan Vio telah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa, tetapi tetap saja ada sosok anak kecil yang tidak pernah terbebas dari masa lalu di dalam dirinya.
Gadis itu merunduk hingga wajahnya sejajar dengan Yudhis. "Teman-teman lain juga ada, tuh, yang hanya diantar suster. Nggak penting dengan siapa kita datang, Yudhis. Yang penting itu kita menikmati acara bersama. Nanti kita seru-seruan di dalam. Coba kita rebut juara satu pas lomba bakiak ya?" Vio berusaha mengalihkan perhatian Yudhis pada lomba yang akan mereka ikuti.
Perkataan Vio rupanya mampu membuat Yudhis melupakan kekecewaannya sejenak. Kemuraman bocah itu juga tak bertahan lama. Senyumnya langsung terkembang ketika melihat teman-temannya telah berkumpul di depan kelas. Dia langsung berlari untuk bergabung dengan teman-teman sekelasnya. Pandu dan Vio menahan tawa saat melihat tingkah Yudhis. Mereka mengamati bocah itu dari kejauhan.
"Mamanya Yudhis sibuk banget ya, Mas?" Vio keceplosan bertanya. Gadis itu teringat pada orang tuanya sendiri yang hampir tak punya waktu untuknya. Terlebih ketika ayah dan ibunya membangun keluarga baru mereka sendiri-sendiri, tanpa melibatkan Vio di dalamnya.
"Iya. Kemarin dia bilang masih ada jadwal fashion show di Milan dan nggak bisa pulang."
Kali ini, rasa perih itu tersirat dalam suara Pandu yang dalam dan berat. Vio tidak melanjutkan pertanyaannya. Sebagai orang asing yang baru saja saling kenal, Vio merasa tidak pantas untuk bertanya-tanya lebih jauh lagi. Dia sadar, Pandu pasti telah bosan ditanyai tentang perceraiannya.
Mereka mengawasi Yudhis yang berlarian kesana-kemari dalam hening. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Vio hanyut dalam kenangan pada masa-masa di mana kedua orang tuanya nyaris tidak pernah hadir dalam hidupnya.
"Vio."
Gadis itu menoleh ke arah Pandu. Pandangan mata Pandu masih terarah kepada Yudhis yang sedang bermain dengan bocah-bocah lain, tetapi Vio tahu senyuman Pandu ditujukan kepadanya.
"Terima kasih sudah mau menemani kami. Saya tahu, kejadian kemarin benar-benar absurd," ucap Pandu sambil menyimpul tawa, "Tapi, saya sama sekali nggak menyesal kita ditakdirkan bertemu dengan cara seperti itu. Awalnya, memang terasa sangat canggung, tapi jadinya saya nggak perlu malu menjelaskan kondisi Yudhis ke kamu. Kamu bisa lihat sendiri saya masih kesulitan memberi pengertian kepada Yudhis. Saya benar-benar terbantu dengan kehadiran kamu."
"Dengan senang hati, Mas," sahut Vio. Dia ikut mengamati Yudhis yang tengah tertawa lepas bersama teman-temannya.
Sebenarnya, Vio merasa dia tidak sebaik yang Pandu bayangkan. Niatnya membantu Yudhis bukan semata-mata demi kepentingan bocah itu. Vio seolah dapat menemukan sosok dirinya dulu pada Yudhis. Saat mengiakan permintaan Yudhis, sebenarnya dia tengah membantu dirinya sendiri untuk merelakan segala kekecewaan yang menghantuinya selama ini.
=======
ceritamela:
haihai. terima kasih sudah mampir.
tetap jaga kesehatan ya kalian semua..
:love
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top