29: Mas Pandu seriusan baik-baik saja?

Pandu menyusul Maharani ke ruang tamu setelah memindahkan Yudhis ke tempat tidur. Dia tidak banyak bicara sejak tadi, hanya sesekali menanggapi pertanyaan Yudhis, itu pun terkadang tidak nyambung dengan apa yang sedang dibicarakan.

Maharani kini yakin bahwa mantan suaminya itu sedang ada masalah dengan Vio. Sudah beberapa kali dia memergoki Pandu melamun, terutama saat nama gadis itu disebut. Maharani bertanya-tanya, apakah semua itu ada kaitannya dengan foto yang ditunjukkan manajernya kemarin. Meski sudah sering meminta para penggemarnya mengerti tentang keputusannya bercerai dengan Pandu, tetap ada segelintir orang yang menginginkan mereka rujuk.

"Diminum, Mas, kopinya." Maharani menyilakan Pandu sekali lagi. Yang pertama tadi hanya ditanggapi Pandu dengan anggukan kepala, lalu pria itu kembali melamun.

"Oh iya, Thanks, Ran," ucap Pandu dengan sedikit tersentak. Dia meraih cangkir dan menyesap isinya. Rasa pahit kopi yang menyentuh lidahnya membuat Pandu sedikit tersadar dari lamunannya.

"Mas Pandu seriusan baik-baik saja?" Entah untuk ke berapa kalinya wanita itu bertanya.

"Aku baik-baik sa-."

"Please, Mas. Nggak usah bohong ke aku. Gimanapun juga, aku ini sudah kenal Mas Pandu lama. Aku tahu ada yang sedang Mas pikirkan dari tadi," sela Maharani.

Pandu terdiam. Dia sedang mempertimbangkan apakah akan jujur pada Maharani atau tidak.

Perkenalannya dengan Vio baru sekitar lima bulan Akan tetapi, kehadiran gadis itu telah membuat warna sendiri dalam hari-hari Pandu. Bahkan ketika mereka tidak bertemu, Pandu tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Entah apakah Vio merasakan hal yang sama. Mungkin tidak, mengingat sampai saat ini gadis itu belum juga menghubunginya. Mungkin Vio memang sudah tidak ingin bertemu dengannya lagi.

"Apa ada hubungannya dengan Vio?" tanya Maharani dengan nada mendesak, "Soalnya kulihat Mas selalu melamun setiap namanya disebut."

Pandu menyandarkan tubuh ke belakang. Bingung dengan situasi yang sedang ia hadapi. Apakah pantas menceritakan masalah hatinya kepada mantan istri?

"Kalian sedang berantem?" Maharani terus memancing Pandu bercerita. Dia tahu, Pandu bukan tipe orang yang akan langsung mencurahkan hatinya jika hanya ditanya satu atau dua kali.

"Kami nggak berantem. Hanya saja ...," Pandu menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan cepat. "Vio minta waktu untuk sendiri. Dia nggak mau aku ganggu untuk sementara, supaya dia bisa memikirkan baik-baik, mau dibawa ke mana hubungan kami."

Maharani menatap Pandu dengan iba. Dia senang Pandu akhirnya menemukan pengganti dirinya. Dengan begitu, rasa bersalah Maharani sedikit terobati. Selama beberapa tahun terakhir, dia masih kerap khawatir pengkhianatan yang dilakukannya akan membuat Pandu susah mempercayai orang lain. Hanya saja, kenapa Pandu justru jatuh cinta kepada gadis yang juga takut menjalin hubungan? Padahal, banyak sekali perempuan yang ingin mendekat ke pria itu.

"Kalau Mas Pandu sendiri gimana? Hubungan kalian mau Mas bawa ke mana?"

Pandu terperangah mendengar pertanyaan Maharani yang sebenarnya juga terus berputar-putar di kepalanya sejak seminggu lalu. Pria itu terdiam selama beberapa saat. Mungkin terdengar nekat, tetapi Pandu ingin mencoba peruntungan sekali lagi. It's all or nothing. Jika Vio menolak, dia akan mundur dengan sikap kesatria.

Setiap hari Pandu selalu memutar kembali percakapan-percakapannya dengan Vio. Hal itu membuatnya menyadari kesalahan yang telah ia buat. Pandu pikir, jawabannya waktu itu adalah jawaban paling tepat. Bahwa Pandu akan melepas Vio dengan penuh kerelaan jika gadis itu memilih pergi. Jika hal itu membuat Vio bahagia, Pandu rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Namun setelah Pandu pikirkan baik-baik, tampaknya bukan itu jawaban yang Vio inginkan. Mungkin gadis itu justru mengharapkan jawaban lain, jawaban yang menawarkan kepastian.

"Kalau aku menikah lagi, bagaimana menurut kamu, Ran?" tanya Pandu ragu-ragu.

Bukan berarti dia akan melamar Vio saat itu juga. Dia tidak ingin tergesa-gesa. Namun, rasanya topik ini perlu dibahas dengan Maharani. Pandu memang tidak perlu meminta izin kepada Maharani jika memang berniat menikah lagi, tetapi mereka berdua berbagi hak asuh Yudhis. Maharani perlu tahu jika Pandu memutuskan mengajak orang lain bergabung bersama mereka dalam membesarkan Yudhis.

Tanpa Pandu sangka, Maharani justru tergelak saat mendengar pertanyaannya. "Nggak gimana-gimana, Mas. Itu pilihan hidup kamu. Kita, kan, sudah nggak terikat, jadi Mas bisa menikah lagi dengan atau tanpa persetujuanku."

"Tapi ... Ran, apa kamu baca komentar-komentar di internet? Aku nggak mau Vio nanti dijelek-jelekkan sama orang-orang yang nggak kenal dia."

Maharani menatap Pandu dengan ekspresi serius. "Kalau Mas Pandu bisa bantu aku ngehadapin semua bully-an yang kuterima padahal aku memang pantas mendapatkannya, aku rasa Mas Pandu juga bisa membantu Vio menghadapi itu semua. Mas Pandu sendiri yang pernah bilang ke aku 'buat apa kita memedulikan omongan orang yang nggak ngasih kontribusi apa-apa ke kehidupan kita'. Kurasa, Mas Pandu juga bisa mengatakan hal itu ke diri Mas sekarang."

Pandu mendongakkan kepala dan menatap langit-langit. Pikirannya sibuk berkelana.

Pandu memang tidak bisa mengontrol apa yang akan dikatakan orang lain, tetapi dia punya kendali akan apa yang bisa dia katakan dan pikirkan. Seharusnya, kemarin dia lebih gigih meyakinkan Vio.

"Dan, by the way, Mas. Sebenarnya, sebelum aku balik ke Indonesia, Keith melamarku," kata Maharani dengan suara yang lebih lirih, nyaris tidak terdengar.

Pandu pikir, dia sudah memaafkan Maharani dan pria itu. Namun saat mendengar nama pria itu disebut, tetap saja hati Pandu terasa sedikit nyeri. "I am happy for you, Ran. Jadi, kapan kalian akan mengumumkannya?"

"Aku menolaknya."

"Ha? Apa maksud kamu? Kenapa?" Pandu menegakkan tubuhnya. Dia tidak memprediksi akan mendengar hal itu dari Maharani.

"Well, aku cuma menolak lamarannya. Dia sedikit kesal, tapi kami baik-baik saja." Maharani kembali tersenyum. "Mana mungkin aku memikirkan menikah lagi kalau Mas Pandu masih terluka karena perbuatanku. Makanya, kalau Mas Pandu tanya apa pendapatku jika Mas menikah lagi, jawabanku sudah pasti, aku akan sangat senang dan lega. Apalagi kalau Mas menikah dengan Vio. Walau cuma ketemu dua kali dengan dia, aku bisa melihat bahwa dia sangat menyayangi Yudhis."

"Itu kalau dia mau jadi istriku. Aku baru bilang menyukainya saja dia sudah buru-buru menjauh begini. Kalau aku langsung melamarnya bisa jadi dia benar-benar menghilang. Aku belum sanggup membayangkan hal itu."

"Aku bisa melihat dari tatapannya ke Mas Pandu. Dia juga mencintai Mas Pandu. Mungkin dia hanya perlu diyakinkan sedikit lagi."

Pandu tidak menyesali keputusannya meminta nasihat Maharani. Apa pun yang telah terjadi di masa lalu, wanita itu adalah satu dari sedikit orang yang memahami dirinya.

"Aku masih belum ada jadwal ke luar negeri lagi. Biar Yudhis di sini dulu sama aku, biar Mas Pandu bisa fokus beresin masalah Mas dulu."

"Tapi, Senin besok Yudhis sudah mulai masuk sekolah lagi." Pandu sedikit keberatan.

"Aku bisa sewa sopir buat antar-jemput dia tiap hari. Semua itu bisa diatur," timpal Maharani. "Maaf sebelumnya, tapi serius, akhir-akhir ini kamu kelihatan kacau Mas, banyak bengong. Daripada Yudhis nanti justru membuat kamu tambah pusing, biar di sini dulu sama aku.

Pandu termenung. Kata-kata Maharani merasuki pikirannya. Wanita itu ada benarnya juga. Pandu juga perlu waktu sendiri untuk memikirkan langkah apa yang selanjutnya akan dia ambil.

"Terima kasih, Ran. Besok aku akan bawain seragam dan keperluan sekolah Yudhis." Pria itu akhirnya menyetujui.

* * *

Kepala Vio terantuk-antuk ke jendela, membuat gadis itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Kereta api yang ditumpanginya sedang melintasi areal persawahan, membawanya menuju Cirebon, tempat tinggal sang ayah dan keluarga barunya.

Dua hari lalu, ibu tiri Vio menelepon dan mengabari bahwa ayah Vio harus dilarikan ke rumah sakit. Wanita itu meminta Vio menyempatkan diri pulang. Setelah membereskan pekerjaan utamanya, Vio pun mengajukan cuti. Entah apakah pulang adalah kata yang tepat, mengingat sudah sangat lama sejak terakhir kalinya dia mengunjungi sang ayah dan keluarganya.

Perjalanan pulang selalu membuat Vio merasa melankolis. Namun kali ini, kesedihan yang menyergapnya terasa lebih pekat. Tidak Vio sangka, selama ini ayahnya menyimpan rahasia. Kurang lebih setahun yang lalu, dokter mendiagnosis ayah Vio dengan kanker getah bening stadium tiga. Tidak ada yang memberi tahu Vio tentang hal itu.

Vio menjadi teringat betapa selama ini dia sering bersikap dingin kepada ayahnya. Setiap kali pria itu menanyakan kapan Vio dapat mengunjunginya, Vio selalu saja menjawab sedang sibuk.

Gadis itu mencoba segala cara untuk menghindari pulang. Dia selalu merasa janggal setiap kali berkumpul dengan keluarga ayahnya. Bukan berarti ibu tiri maupun adik-adiknya bersikap jahat. Mereka justru sungguh-sungguh sangat baik, selalu bersikap ramah kepada Vio. Sumber masalah sebenarnya ada di dalam diri Vio sendiri. Dia sendiri yang membangun tembok tinggi, memisahkan dirinya dari keluarga barunya itu.

Pengeras suara mengumumkan bahwa kereta telah tiba di Stasiun Cirebon. Vio buru-buru turun dengan memanggul ransel dan mencangking sebuah tas tangan. Sepupunya mengabari bahwa telah menunggu Vio di area depan stasiun. Saat Vio tengah berjalan melewati barisan supir taksi dan tukang ojek yang menawarkan jasa, seseorang menabraknya dari belakang. Gadis itu refleks menoleh dan memasang raut kesal.

"Duh, punten, Teh. Punten," pemuda yang menabraknya berulang kali meminta maaf.

Tidak ingin membuat keributan, Vio menganggukkan kepala dan kembali berjalan keluar stasiun. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri untuk mencari sosok Mima, sepupunya.

Seorang gadis dengan rambut berpotongan pixie mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika melihat Vio. "Vio! Ya ampun, lama banget kita nggak ketemu, sih."

Vio menyeberang jalan dan menjabat tangan Mima.

Gadis itu langsung merangkul Vio erat-erat. Ketika pelukannya terurai, tangan Mima memindahkan ransel Vio ke celah di antara setir dan jok motor.

"Mau kuantar ke rumah uwak dulu apa langsung rumah sakit?" tanya Mima ketika motornya telah turun ke jalanan, berbaur dengan kendaraan-kendaraan lain.

"Rumah sakit dulu saja, Teh," jawab Vio sambil membongkar isi tas tangan untuk mencari ponselnya. Benda itu belum juga berhasil dia temukan, padahal beberapa waktu lalu dia yakin sempat menggenggamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top