Restoran yang Tasya dan Vio kunjungi malam itu menjadi makin ramai. Bukan tempat yang tepat untuk bercerita hal rahasia. Mereka cepat-cepat menghabiskan makanan untuk menghindari tatapan-tatapan sinis yang sedang menunggu antrian meja.
"Gue pernah janji buat ngajak lo karaokean, kan? Sekarang saja, yuk!" ajak Tasya ketika mereka selesai membayar di kasir.
Tanpa menunggu jawaban Vio, Tasya menarik gadis itu ke tempat karaoke yang berada di lantai empat. Sesampainya di sana, Tasya langsung membayar dua jam untuk bilik karaoke ukuran paling kecil.
"Kalau lo sudah kelar cerita, kita bisa karaoke beneran," kilah Tasya ketika Vio menyarankan untuk membayar satu jam saja.
"Suami dan anak kamu gimana? Nggak apa-apa kamu pulang malam?"
Tasya mengayunkan tangan di udara, membuat gerakan seperti menepis angin. "Bang Riki lagi dinas ke luar kota. Ada nyokap gue yang jagain Robbie dan Lani. Sekali-kali gue juga butuh me time kali. Lagian pulangnya kita bisa sharing taksi nanti."
Vio tertawa geli saat mendengar ide me time versi Tasya. "Me time kamu dihabiskan dengan dengerin curhatku?" tanyanya sambil melemparkan bokong ke sofa berwarna fuschia tepat di sebelah Tasya.
"Lo tahu sendiri gosip artis itu hiburan gue. Sekarang gue bahkan bisa mendengar gosip yang orang lain nggak tahu." Tasya tertawa senang seperti anak kecil yang baru dapat mainan,
Melihat wajah Vio yang memberengut, dia buru-buru menambahkan, "Tapi tenang aja Vio. Lo nggak perlu khawatir. Gue bisa jaga rahasia kok. Nggak bakal gue spill cerita lo ke akun Lambe-Lambean itu."
Tasya meraih remote mesin karaoke yang tergeletak di meja lalu sibuk memilih lagu untuk mengiringi sesi curhat mereka. Jemarinya begitu lincah mengetikkan nama penyanyi atau judul lagu sendu pilihannya.
"Ale itu nama panggungnya siapa?" tanya Tasya sambil terus memencet-mencet remote seukuran kertas A5 itu.
"Lembah Jiwa. Tapi kayaknya nggak bakal ada di list deh. Kan, dia penyanyi indie."
Tasya mengetik Lembah Jiwa menggunakan remote. Ternyata Vio keliru. Lagu Ale yang menjadi soundtrack Cinta di Seberang Rumah muncul di layar. Lagu itulah yang dinominasikan sebagai original soundtrack terbaik dalam Karunia Musik Award. Tasya langsung memasukkan lagu itu ke dalam daftar putar. Tidak lama kemudian suara Ale mengalun di udara.
♪♫
Api tak pernah sadar pada bara yang mendampingi
Namun ketika padam maka dia pun turut mati
Air tak pernah sadar pada gelombang yang mengiringi
Tapi saat tiada riak maka dia pun merasa sepi
Kadang kita terlalu terbiasa hingga menjadi buta
Waktu dia telah tiada, baru mata kita terbuka
Kadang sesuatu yang berharga terlihat biasa
Bila dia tak lagi di sisi, baru kita merasa hampa
Penyesalan selalu datang di akhir cerita
Tak pernah di awal saat baru memulai
Meratapi yang hilang tak kan mengubah kisah kita
Tak usah ada sesal dan cobalah untuk berdamai
Yang pergi mungkin tak akan pernah kembali
Yang hilang mungkin tak akan pernah pulang
Sesungguhnya manusia lahir dalam keadaan sendiri
Dan ketika mati pun akan kembali sendiri
Tak usah ada sesal dan cobalah untuk berdamai
* * *
"Maafin gue, ya, Vi. Gue nggak tahu kalau lo dekat sama Pandu Satria yang itu. Lo pasti makin insecure gara-gara gue terus ngoceh tentang Maharani," ucap Tasya penuh rasa bersalah.
"Nggak apa-apa, kok, Tasy. Lo kan nggak tahu." Vio menyimpul senyum. Perasannya menjadi lebih lega setelah menceritakan semuanya kepada Tasya. Vio merasa senang akhirnya dapat berbagi kegelisahannya kepada sang sahabat.
"Terus hati lo lebih condong ke siapa, Vi?"
"Aku nggak tahu, Tasy. Semua ini belum pernah akualami sebelumnya. Kamu, kan, tahu pendapatku tentang hubungan percintaan dan pernikahan. Aku anggap semua itu omong kosong. Nggak ada yang bisa menjamin kalau perasaanku sekarang dan bertahun-tahun kemudian akan tetap sama."
Tasya memicingkan mata dan mendekatkan wajah kepada Vio. Dia mengamati wajah Vio dengan serius sampai-sampai gadis itu merasa risih dan menarik badan menjauh. Dengan tampang cuek, Tasya mengedikkan bahunya, seolah telah mendapat kesimpulan atas apapun yang tadi dia pikirkan.
"Lo benar, Vio. Perasaan gue ke Bang Riki sekarang jauh berbeda dari saat kami baru pacaran. Kadang rasanya gue sebal banget sama dia, tetapi kadang gue juga jatuh cinta lebih dalam ke dia. Rumah tangga itu kayak naik roller coaster, Vi. Banyak banget naik turunnya. Itu wajar. Yang penting, kedua pihak sepakat untuk saling bantu menghadapi semua masalah bersama," papar Tasya dengan nada bijaksana.
"Nggak ada manusia yang sempurna, Vi. Kita semua punya kekurangan. Kalau lo mau denger saran gue, pilih cowok yang ketika sama dia, lo merasa bisa jadi versi terbaik diri lo." Tasya memeluk Vio. Ditepuk-tepuknya punggung gadis itu dengan lembut. "Gue pernah nemu quotes bagus, nih, bentar gue googling dulu."
Tasya kemudian sibuk mengetik di ponselnya. Saat berhasil menemukan yang dia cari, bibirnya tersenyum lebar. Dia pun membacakan quotes yang dimaksudnya keras-keras, "Everyone come with baggage from their past. Find someone who loves you enough to help you unpack. Jadi, pilih cowok yang bisa bantuin beresin isi koper lo yang berantakan itu tanpa ngerasa ilfeel sama lo."
Vio terkekeh kala mendengar penafsiran Tasya yang ngawur. Suasana hatinya berangsur membaik. Sayangnya, malam itu Vio harus menghadapi masalah baru. Sebelum dia sempat mengucapkan terima kasih kepada Tasya, ponselnya berbunyi. Vio terkesiap saat melihat nama penelepon. Sudah sangat lama Vio tidak berbicara kepada orang itu. Sebuah firasat buruk menyelinap ke hatinya.
* * *
Sebenarnya hari ini belum saatnya dia berbelanja. Namun, saat berusaha mengisi kegiatan sabtu paginya di luar, Pandu justru mengarahkan mobil ke supermarket. Dan sekarang, pria itu mengitari supermarket sendirian tanpa tahu harus membeli apa.
Lorong di antara rak-rak barang justru mengingatkan Pandu pada Vio. Aneh memang, mengingat kesempatannya berbelanja bersama Vio bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi, pertemanan singkatnya dengan gadis itu telah meninggalkan kenangan yang sedemikian banyak, sampai-sampai apa pun yang Pandu lakukan, wajah Vio akan terbayang.
Bagi Pandu, hubungannya dengan Vio begitu lucu. Gadis itu memutus tali yang belum sempurna mengikat mereka. Harusnya dia dapat kembali ke rutinitasnya sebelum bertemu Vio, tetapi ternyata tidak semudah itu. Pandu telanjur patah hati, bahkan sebelum hubungannya dimulai. Hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Vio telah meninggalkan terlalu banyak jejak dalam ingatannya.
Merasa tidak ada yang bisa dia lakukan lagi di tempat itu, Pandu memutuskan keluar. Dia lanjut menyetir ke rumah Maharani untuk menemui Yudhis. Tawa anak semata wayangnya itu merupakan satu-satunya penghibur bagi Pandu saat ini. Jika sedang bersama Yudhis, untuk sejenak Pandu dapat mengusir bayangan Vio dari kepalanya.
"Kok kamu kerjain sendiri. Yang lain ke mana?" tanya Pandu begitu menemui Maharani yang sedang merapikan ruang bermain. Asisten pribadi Maharani maupun pengasuh Yudhis tidak terlihat di mana-mana.
"Prita lagi ngurusin kontrak-kontrak yang kubatalkan selama Yudhis sakit. Imah akhirnya kemarin resign. Dia nggak tahan dihujat penggemarku karena dianggap lalai jagain Yudhis. Penggantinya baru nanti sore datang. Bi Parti lagi belanja ke pasar," papar Maharani mengabsen satu per satu pegawainya.
Pandu duduk di salah satu sofa, sementara Maharani menyelesaikan tugasnya.
"Ngomong-ngomong. Mas datang sendiri? Kenapa nggak ajak Vio? Sekarang kan weekend, harusnya dia nggak kerja, kan? Yudhis dari kemarin nanyain dia." tanya Maharani sembari menata boneka di salah satu lemari kaca.
Mendengar nama Vio disebut, Pandu mau tak mau jadi teringat lagi kepada gadis itu. Seminggu sudah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Sampai hari ini, Vio belum juga mengontaknya. Pandu berusaha menghargai keputusan gadis itu dengan tidak menghubungi lebih dulu, meski sebenarnya dia sangat ingin bertemu.
Benar kata Vio kemarin, menjalani hidup masing-masing tanpa saling berinteraksi selama beberapa waktu telah membuat Pandu lebih dapat memahami apa yang sebenarnya dia rasakan. Kini, dia yakin kalau perasaannya kepada Vio benar-benar nyata, bukan sekadar ilusi yang muncul akibat kedekatan mereka. Sayangnya, dia tidak tahu apakah gadis itu merasakan hal yang sama.
Pandu menghargai keputusan gadis itu. Dia berusaha sabar menunggu. Namun, sampai kapan? Sampai kapan Pandu harus diam dan menunggu?
"Dia lagi sibuk. Hanya bisa titip salam buat kamu dan Yudhis." Pandu berusaha mengelak dan memasang alasan. Untungnya Maharani tak bertanya lebih jauh. Wanita itu sibuk mengurutkan buku-buku Yudhis yang berserakan.
Tak enak berdiam diri, Pandu bantu mengumpulkan aneka mainan Yudhis yang tersebar di lantai. Terlihat beberapa mainan baru yang bahkan belum dikeluarkan dari bungkusnya. Sebagian merupakan hadiah dari orang-orang yang membesuk ke rumah sakit tempo hari, sebagian sengaja dibeli Rani untuk putranya. Rasa bersalah yang timbul karena sering meninggalkan Yudhis membuat Rani cenderung memanjakan bocah itu.
"Are you okay, Mas? Kamu kelihatan pucat, lho." Maharani menatap Pandu dengan khawatir. Beberapa hari terakhir, mantan suaminya itu terlihat tidak bersemangat.
Pandu tersenyum, tetapi tampak jelas bahwa ada keterpaksaan dalam senyumnya itu. "I'm okay, Ran. Mungkin hanya terlalu capek karena harus ikut meeting sampai malam untuk acara KMA. Sudah tinggal dua minggu lagi tapi rundown masih gonta-ganti terus."
"Ah, iya. Kudengar Ale masuk nominasi tahun ini ya? Apa dia akhirnya akan pindah ke major label?"
"Entah. Mungkin nggak. Mengingat dia keras kepala dan susah diatur. Terutama kalau terkait urusan cara bermusiknya. Sepertinya dia nggak bakal tahan kalau masuk jalur mainstream," jawab Pandu setengah hati. Membahas Ale mengingatkan Pandu pada keputusan-keputusan bodoh yang memperumit hubungannya dengan Vio.
"Hei, Papa. Good morning." Ternyata Yudhis telah bangun dan menyusul mereka ke ruang bermain. Bibirnya langsung menyimpul senyum begitu melihat ayahnya. Senyum yang mirip sekali dengan senyum Pandu.
"Hey, Kiddo. How are you today? Kepalamu masih sakit, nggak?" tanya Pandu sambil menggelitiki perut anaknya. Yudhis tertawa-tawa girang sambil berusaha menghindar dari serangan ayahnya.
"Mas. Jangan berlebihan! Yudhis belum benar-benar pulih." Teguran Rani membuat Pandu menghentikan aksinya.
"It's okay, Mama. Kepalaku sudah nggak pusing lagi, kok."
"Good. Nanti siang mau jalan-jalan sama Papa nggak?"
Yudhis menggeleng ketika mendengar tawaran ayahnya. "Enggak. Hari ini, Yudhis mau main di rumah saja sama Papa dan Mama. Papa nggak datang bareng Tante Vio? Katanya mau ngajakin Tante Vio."
Celetukan Yudhis membuat Pandu kembali teringat janjinya kemarin. Dia sempat bilang akan mengajak Vio mengunjungi Yudhis karena putranya itu terus bertanya. Akan tetapi, sampai pagi tadi, keberaniannya belum terkumpul. Dia takut gadis itu akan menolak ajakannya.
Pandu khawatir jarak yang tercipta di antara mereka justru membuat Vio sadar bahwa dirinya tak lebih dari sekadar teman dan tetangga apartemen.
"Papa. Could I play with the toys?" Mata Yudhis mengerjap-ngerjap. Tangannya terulur meminta mainan yang sedang dipegang Pandu.
Pertanyaan Yudhis membuat Pandu terkesiap. Dia menyerahkan mainan berbentuk robot yang sedang dia pegang kepada Yudhis. Tanpa Pandu sadari, Maharani mengamati gerak-geriknya dengan cemas. Wanita itu sadar betul bahwa mantan suaminya sedang tidak baik-baik saja.
=======
Ceritamela:
Halo, time flies so fast ya. Nggak terasa bulan Juli dah mau berakhir.
Kali ni saya mau ngasih funfact, just in case ada yang penasaran tentang lagu-lagu Ale. Soalnya pas cerita ini berkelana di beberapa platform, ada 1-2 orang yang tanya di mana bisa download lagunya. Gitu. Hehe.
Jadi, lagu-lagu itu saya ambil dari puisi karangan saya. Hehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top